Wanita 28 tahunan ini juga hanya bisa meratapi Kejadian ini sendirian di balik pintu kamarnya. Ia bisa mendengar apa yang Jean dan anaknya bicarakan. Mungkin, semuanya masih bisa diperbaiki dengan meminta maaf dan berjanji untuk berubah. Tapi nyatanya, perempuan itu hanya diam saja di tempatnya, sambil sesekali menyeka air mata yang turun di pipinya.
Elisha terlalu mementingkan dirinya sendiri."Papa harus pergi sekarang. Kamu— di sini ama Mama ya!" Jean melepaskan dekapannya dan memandangi sang Papa dengan ekspresi tak rela."Papa..." Qila menggelengkan kepalanya, tangan kecilnya terus menggenggam jemari Jean erat. Dia tidak rela papanya harus pergi. "Papa jangan pergi!""Maafin Papa sayang..."Qila makin terisak. "Nanti siapa yang bakal kuncir rambut Qila? Nanti siapa yang nyuapin Qila makan? Siapa yang antar jemput Qila Pa? Terus— kalau Mama lembur Qila tidur ama siapa?" tangis bocah itu semakin menjadi.Dan tentu saja Jean maMalam semakin larut. Hujan rintik mulai turun, mengetuk-ngetuk kaca jendela kamar rawat Nilam, menambah sendu suasana. Jean masih duduk di sisi ranjang istrinya, menggenggam tangan Nilam erat, seolah takut jika harus melepaskannya barang sedetik. Wajahnya letih, mata sembab, tapi ia terus bertahan.Akhirnya, karena tak kuasa melawan kantuk dan kelelahan, Jean menyandarkan kepalanya di tepi ranjang, dengan tangan Nilam tetap dalam genggamannya. Hembusan napasnya teratur, matanya terpejam, tapi di dalam hatinya, doa-doa terus mengalir.Suasana kamar begitu hening, hanya suara hujan, bunyi monitor, dan deru alat pernapasan yang terdengar. Namun, kedamaian itu tak bertahan lama.Monitor tiba-tiba berbunyi nyaring. Alarmnya meraung keras, memecah sunyi. Detak jantung Nilam yang sebelumnya teratur mendadak melonjak kacau. Tubuh Nilam tampak gelisah. Bahunya terangkat turun dengan cepat, napasnya terengah-engah. Wajahnya memucat, bibirnya membiru.Jean tersentak bangun, jantungnya serasa ber
“Akhirnya aku bebas…” batinnya lirih. Elisha memejamkan mata sejenak, membiarkan angin sepoi membelai wajahnya. Suasana hening yang ia rasakan justru membuat ingatan-ingatan masa lalunya bermunculan satu per satu, menghantam batinnya tanpa ampun. Bayangan tembok-tembok dingin penjara, suara pintu besi yang berderit setiap kali dikunci, tatapan tajam para sipir, dan malam-malam panjang yang ia lewati sendirian di sudut selnya. Setiap hari seolah berjalan lambat, penuh sesal dan kerinduan. Kerinduan pada Qila, pada dunia luar, pada kebebasan yang dulu ia anggap sepele. Ia menghela napas dalam-dalam, menatap langit luas di atas sana. “Akhirnya aku bisa di sini… akhirnya aku bebas…” batinnya. Matanya memanas, bukan karena angin, tapi karena emosi yang sulit ia bendung. Bebas. Satu kata yang dulu begitu ia dambakan, dan kini ada di genggamannya. Dan yang paling membahagiakan—ia bisa memeluk Qila lagi. Bisa mencium rambut anak itu, menyuapinya makan, menatap wajah polosnya tanpa sekat j
Elisha perlahan menyuapkan sesendok kecil sup hangat ke mulut Qila. Bocah itu membuka mulutnya pelan, lalu mengunyah dengan lemah. Meski air matanya masih tersisa di sudut mata, setidaknya kini ia mau makan.“Nah, gitu dong, Sayang…” bisik Elisha lembut, mengusap rambut Qila dengan penuh kasih. “kamu harus makan yang banyak supaya Mama Nilam dan Papa senang…”Beberapa suapan berlalu dalam hening, sebelum akhirnya Elisha bertanya dengan suara hati-hati, penuh kehangatan. “Sayang… boleh Mama nanya sesuatu?”Qila menatap Elisha sejenak, lalu mengangguk kecil.“Gimana sih Mama Nilam ke kamu selama ini?” Elisha mencoba tersenyum, meski hatinya sedikit nyeri mengucap pertanyaan itu. “Mama penasaran… dia baik gak sama kamu?”Wajah Qila perlahan berubah. Tatapannya yang sedih sedikit melembut, mengenang sosok wanita yang selama ini ia anggap ibu. “Mama Nilam… baik banget, Ma. Dia suka bacain aku dongeng sebelum tidur. Kalau aku susah tidur, dia nemenin aku sampai aku bener-bener tidur. Dia ga
Beberapa menit kemudian, seorang perawat mendekat dan memberi isyarat lembut kepada Jean. “Silakan, Pak. Tapi hanya sebentar ya.”Dengan langkah pelan dan hati yang berdegup kencang, Jean mengikuti perawat masuk ke ruang ICU. Aroma khas disinfektan langsung menyeruak. Cahaya lampu putih menyinari ruangan itu dengan terang, memantulkan kilau dingin dari alat-alat medis yang berjejer di sekeliling ranjang.Dan di sanalah Nilam.Terbaring lemah, tubuhnya nyaris tak bergerak. Wajahnya pucat, bibirnya kering, kontras dengan selang oksigen yang menempel di hidungnya. Beberapa helai rambutnya menempel di pelipis karena keringat yang mengering. Di leher dan tangan terpasang infus dan monitor. Dadanya naik turun perlahan, seolah setiap tarikan napas membutuhkan usaha besar.Selimut putih menutupi tubuhnya hingga dada, tapi di bawahnya Jean tahu, ada luka, jahitan, dan bekas perjuangan panjang semalam. Lengan kirinya digips. Di sudut perut bagian bawah tampak perban tebal, tanda sisa pendarahan
Di dalam, monitor tiba-tiba berbunyi panjang—bunyi yang paling ditakuti. Bunyi lurus tanpa irama. “Sial! Henti jantung! Cepat, defibrillator!” “Siap, Dok!” Perawat menyiapkan alat dan menempelkan panel di dada Nilam. “Clear!” seru dokter. Tubuh Nilam terangkat sedikit saat arus listrik mengalir di dadanya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Monitor masih menunjukkan garis lurus. Waktu terasa berhenti. Semua di dalam ruangan menahan napas. Keringat dingin membasahi kening para tenaga medis yang berjuang menyelamatkan nyawa Nilam. “Sekali lagi! Clear!” Tubuh Nilam kembali tersentak. Beberapa detik yang terasa seperti seabad berlalu—lalu tiba-tiba, bip... bip... bip... Detak jantungnya muncul lagi, pelan, lemah… tapi ada. “Detak jantung kembali, Dok!” seru salah satu perawat dengan suara lega. Dokter utama menghela napas panjang, menatap timnya. “Stabilkan. Pantau terus tekanan darah dan pendarahannya. Kita belum boleh lengah sedikit pun.” Sementara itu, Jean dan Bu Mala hanya bisa
"Terus kamu gimana?"Jean mengusap rambut Qila pelan, lalu menggandeng lengan kecil itu ke arah ibunya.“Aku akan tetap di sini,” katanya lembut, menatap wajah Elisha yang tampak ragu. “Aku nggak mungkin ninggalin Mama dan Nilam dalam kondisi kayak gini.”Elisha memeluk Qila erat. Sementara anaknya itu tampak masih diam dan mungkin sedikit trauma karena kejadian ini.Jean melanjutkan, suaranya rendah namun tegas. “Tolong jagain Qila, Elisha. Qila juga pasti capek banget sama semua kejadian ini.""Iya Mas. Aku bakal jagain Qila."Jean mengangguk."Kamu juga jangan lupa istirahat ya! Salam buat Bu Mala," Elisha bangkit dari tempat duduknya dan melirik sekilas ke arah Bu Mala yang tampak terisak. Jujur dia ingin sekali menyapa wanita itu dan minta maaf atas kejadian di masa lalu, namun situasi saat ini sangat tidak memungkinkan baginya untuk menyapa wanita tersebut.Terlebih kondisi Nilam saat ini sama kritisnya dengan beberapa tahun lalu. Dan itu pasti membuat beliau trauma."Do'akan Ni