Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan, menurut Rayna. Usai bertemu dengan Alden tadi, pikirannya mulai berkecamuk.Alden menunjukkan sisi lain dari kehidupannya, yang Rayna pikir jika Alden itu tipe pria penggoda, suka merayu sana-sini, penolong tapi pamrih. Namun tadi dia melihat sendiri bagaimana Alden sedang marah, hal itu sukses membuatnya merinding.Bagaimana kalau sampai ancamannya itu bukan hanya sekadar omongan belaka? Apa yang harus dia lakukan? Apakah Rayna akan tetap mengandung benih dari pria itu? Apa yang akan orang lain pikirkan tentangnya?Rayna bergidik ngeri. "Ngapain mikir yang jauh-jauh sih, belum tentu juga aku hamil, kan? Ngapain juga ancamannya terlalu dipikirin, mungkin itu hanya gertakan saja," gumam wanita itu."Ini udah waktunya pulang, kamu nggak pulang?"Rayna terlonjak kaget, dia melihat ke samping, dilihatnya Riska tengah menatapnya sambil nyengir."Ngagetin aja kamu itu!" seru Rayna."Hehehe, lagian dari tadi aku lihat kamu itu melamun terus. Mikir
"Alden, jangan seperti ini. Nanti ada yang lihat," kata Rayna lirih.Saat ini posisi mereka begitu dekat. Entah apa yang Alden pikirkan, pria itu terus mendekati Rayna, dan Rayna sebisa mungkin menjauh dari pria itu, sayangnya saat ini dirinya malah terpojok, kini dia berada di kungkungan pria itu."Nggak ada orang, di sini sepi."Rayna mendorong pria itu, sayangnya tenaganya tidak terlalu kuat, Alden sama sekali tidak bergerak dengan dorongannya itu."Kenapa pertanyaanku tidak dijawab?""Pertanyaan apa? Lagian kamu itu salah paham. Aku cuma--""Cuma apa? Jelas-jelas aku dengar sendiri kalau kamu cari tahu tentang kehidupanku, tanya dengan siapa saja aku tidur, dan juga siapa saja wanita yang minta tanggung jawab padaku. Apa itu disebut salah paham, Rayna? Aku tidak tuli ya," dengkus pria itu."Maaf kalau kamu keberatan, aku tidak akan mengulanginya lagi.""Lagian kamu ngapain tanya seperti itu. Apa yang bikin kamu penasaran, kita sudah pernah melakukannya, kan? Aku rasa kamu menginga
"Nggak mau mampir dulu, Den?" tawar Zidan.Setelah mengalami kejadian menegangkan, akhirnya Zidan membuka kembali obrolan itu, walau sebenarnya di dalam hatinya selalu dipenuhi dengan pertanyaan."Kayaknya langsung aja deh, Dan. Sibuk soalnya," ucap Alden beralasan."Kok gitu, ayo mampir dulu, sekali-kali juga, kan? Ya, ngopi-ngopi dulu lah buat lepas penat, kapan lagi kita kumpul," desak pria itu.Alden menghela napas. Dalam lubuk hatinya, sejujurnya dia tidak mau mengganggu waktu mereka berdua. Selain karena takut mengganggu, dia juga harus mengamankan hatinya, kalau-kalau nanti tiba-tiba dadanya berdenyut nyeri.Setelah berpikir panjang, akhirnya pria itu mengangguk lemah, sebagai tanda rasa menghargai temannya itu."Oke deh," ucapnya sambil turun dari mobil."Omong-omong kalian habis dari mana?" tanya Zidan penasaran."Dari mana katamu? Jelas aja dari restoran, kamu lupa kalau Rayna kerja di restoranku?" tanyanya pura-pura merajuk.Bukannya menjawab, Zidan malah nyengir. "Aku kira
Tok ... tok ... tok ...Rayna mengernyit heran ketika ada yang mengetuk pintu rumahnya, dia melirik jam dinding itu, sudah pukul 10 malam, siapa yang ingin bertamu selarut ini?'Apa mungkin itu Zidan?' pikir Rayna.Karena takut, dia tidak berniat untuk membukakan pintu, yang wanita itu lakukan saat ini hanya mengintip dari balik gorden jendela. Namun sayangnya dia tidak melihat sosok itu, karena terlanjur penasaran, akhirnya dia memutuskan untuk membukakan pintu."Loh, Alden. Kamu ngapain ke sini? Zidan udah pulang loh, 30 menit yang lalu," ujar wanita itu, dia tampak kebingungan karena melihat Alden di depan rumahnya dengan penampilan yang begitu acak-acakan."Aku bukan mencarinya," desis pria itu.Rayna mencium aroma tak enak dari tubuh Alden. "Kamu mabuk?" tanyanya dengan mata melotot."Nggak!" elak pria itu."Kamu mabuk, Alden. Ya ampun, kenapa nggak langsung pulang ke rumahmu aja, kenapa harus mampir ke sini sih, kamu mau aku yang ngurusin kamu?"Alden menggeleng, dia menyingkirk
Rayna membanting apa saja yang ada di depannya, dia masih belum terima dengan kejadian tadi malam.Ini sudah kali kedua mereka melakukannya. Yang pertama mungkin karena efek mabuk, membuat dirinya tak sadarkan diri, lalu yang kedua? Dirinya sangat sadar, tanpa efek apapun, kenapa dia begitu gampang menyerahkan tubuhnya, membiarkan pria yang baru saja dikenalnya mencicipi setiap inci tubuhnya dengan suka rela. Kenapa? Rayna selalu menanyakan hal itu pada dirinya sendiri berulang kali. Kenapa, kenapa dan kenapa?Kenapa harus Alden, yang notabenenya orang asing. Kenapa bukan Zidan yang jelas-jelas akan menjadi suaminya kelak?Menyesal? Rasanya percuma, karena semua itu tidak akan membuatnya kembali seperti dulu.Rayna mengacak rambutnya, kentara sekali jika wanita itu tengah frustrasi.Jika dia dengan percaya dirinya jika melakukannya hanya sekali tidak akan menimbulkan efek apapun, lalu bagaimana dengan kedua kalinya? Dan lagi-lagi Alden tidak memakai pengaman. Apakah mulai hari ini Ray
"Hei, kamu sudah banyak minum, apa ini tidak keterlaluan?!" pekik Rafa, dia terus menggeleng karena Alden terus meminum alkohol itu tanpa jeda."Sebenarnya apa yang kamu pikirkan?" tanya Rafa lagi, karena Alden sama sekali tak menanggapi ucapannya.Alden menatap Rafa singkat, lalu kembali meneguk minuman itu. "Tidak ada," sahutnya datar.Rafa menghela napas berat. "Sepertinya kamu memang tengah banyak masalah. Semoga saja masalahnya cepat teratasi."Alden diam saja, dia sama sekali tidak menggubris ucapan Rafa."Rafa," panggil Alden pelan."Kenapa?""Apa kamu percaya apa yang namanya itu cinta?"Rafa mengerutkan keningnya, tumben sekali Alden berbicara seperti itu."Percaya dong, kamunya aja yang nggak percaya," kata Rafa sinis."Bagaimana rasanya jika orang yang kita cinta itu tengah bermesraan dengan kekasihnya?"Rafa semakin tak mengerti dengan Alden."Kamu ini kenapa?""Entahlah, rasanya hatiku tak enak ketika melihat dia tengah bermesraan dengan kekasihnya, apalagi aku melihat se
Sebisa mungkin Rayna bersikap biasa saja ketika bekerja, dan sepertinya Alden pun juga begitu, kali ini dia bertindak dengan profesional.Alden sama sekali tidak menegur Rayna. Bukankah seperti ini yang wanita itu inginkan?Entah apa yang pria itu lakukan, tiba-tiba saja mendadak rajin mengawasi setiap karyawan yang sedang bekerja."Riska, tolong mejanya dibersihkan," titah pria itu dengan tegas."Yang mana, Pak?""Meja nomor 20, itu aku lihat masih kotor."Riska mengernyit heran. "Tapi, Pak. Baru saja sudah saya bersihkan.""Bersihkan ulang, kamu ini gimana sih kalau kerja," omel pria itu."Tapi, Pak--""Bersihkan!" bentak Alden, membuat yang ada di ruangan itu terkesiap, termasuk Rayna."Ba--baik, Pak."Semua yang ada di situ tampak menunduk ketika Alden memperhatikan mereka satu persatu, kecuali Rayna, dia bingung dengan sikap Alden, tumben sekali pria itu bisa semarah ini, biasanya juga tidak seperti itu."Ini pelajaran buat kalian semua, kalau kerja itu yang benar, jangan asal ce
Alden sama sekali tidak membiarkan Rayna pulang. Padahal ini sudah sangat larut malam.Entah mengapa Rayna mempunyai pikiran jika sedari tadi Alden terus saja mencari-cari kesalahannya walau sekecil apapun."Apakah aku sudah boleh pulang?" tanya Rayna pelan, kentara sekali jika wanita itu sangat letih."Memangnya aku sudah menyuruhmu untuk berhenti?" tanya Alden ketus.Rayna menghela napas berat. "Tapi ini sudah larut malam, kenapa tidak dilanjutkan besok saja. Lagian untuk membersihkan ruanganmu itu sama sekali bukan tugasku." Kali ini Rayna memberanikan diri untuk berbicara seperti itu pada Alden, sungguh saat ini badannya terasa begitu remuk karena Alden sedari tadi selalu saja menyuruhnya."Kau lupa kalau hari ini kamu dihukum?""Ya, aku tahu kalau hari ini aku begitu lalai, tapi hukumanmu itu sangat keterlaluan, Alden," kata Rayna bengis."Oke, dalam kamusmu mungkin itu keterlaluan, tapi dalam kamusku yang namanya hukuman tetaplah hukuman yang harus dikerjakan, itulah konsekuensi