"Tolong bantu Kakak, Sasi," pinta Hendra, kedua tangannya menggenggam jemari Saskia dengan erat. Wajahnya pucat pasi dan jemarinya terasa dingin.
"Tolonglah kakakmu, Nduk. Dia yang membayar biaya kuliahmu setelah Ayah tiada. Sekarang bantulah dia." Ibu ikut bersuara untuk membujuk Saskia.
"Kakak bilang, Kakak melakukannya untuk menutup hutang-hutang yang dibuat oleh Kak Dea. Kenapa aku yang harus dikorbankan untuk membantu Kakak?" tukas Saskia kesal.
Saskia membayangkan wajah kakak iparnya yang hobi berfoya-foya sehingga menyebabkan Hendra terlibat masalah. Hendra menggelapkan dana perusahaan untuk menutup semua hutang yang dibuat oleh istrinya. Jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah. Hendra sudah menjual mobilnya yang belum lunas, tapi tetap kurang banyak untuk menutup hutang itu.
Selain berfoya-foya liburan ala-ala selebgram, kakak iparnya menggunakan uang itu untuk memulai sebuah bisnis skin care dengan dua orang temannya. Namun produk mereka tidak laku. Kedua temannya menghilang meninggalkan setumpuk hutang yang harus dibayar jika tidak ingin diperkarakan melalui jalur hukum.
"Dia sangat menyesali perbuatannya. Dia menangis dan bersujud meminta maaf kepadaku, dan berjanji tidak akan membuat masalah lagi. Berilah dia kesempatan, Sasi." Hendra terus mengiba.
"Kakak percaya sama ucapannya?" Saskia kembali menukas.
"Kakak percaya kita harus memberi kesempatan pada orang yang sudah bertobat, Sasi. Coba pikirkan, jika perusahaan melaporkanku ke polisi, bagaimana nasib istri dan anakku? Kamu tega Kakak meringkuk di penjara dan keponakanmu tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah?" Suara Hendra bergetar saat menyebut-nyebut keponakan yang sangat disayangi Saskia.
Saskia terpaku. Terbayang wajah bocah kecil tampan menggemaskan itu.
'Bagaimana bisa aku membiarkan ayahnya dipenjara sementara aku bisa mencegahnya?' pikir Saskia galau.
"Tapi aku tak mau menikah dengan lelaki asing yang tak kukenal!" seru Saskia frustasi.
Perusahaan tambang tempat Hendra bekerja mengajukan kesepakatan untuk tidak menempuh jalur hukum atas penggelapan dana yang dilakukan oleh Hendra. Syarat yang mereka minta adalah agar Saskia bersedia menikah dengan CEO perusahaan itu, seorang pria yang berusia 14 tahun lebih tua dariku.
Saat ini Saskia baru saja lulus kuliah S1 Manajemen Bisnis. Usianya 21 tahun. Jika CEO itu lebih tua 14 tahun dari Saskia, maka dia sudah berusia 35 tahun.
'Kenapa orang seperti itu tidak menikah? Harta pasti bukanlah masalah baginya. Apa karena penampilannya, atau jangan-jangan dia mempunyai orientasi seks yang menyimpang?' Saskia membatin. Gadis itu bergidik membayangkan kemungkinan yang melintas di benaknya.
"Nduk, Ibu tidak pernah melihatmu dekat dengan lelaki setelah kepergian Andry," gumam Ibu pelan, namun menyayat hati Saskia. Luka lamanya kembali terbuka.
Saskia memalingkan wajah, menyembunyikan air mata yang mendadak berkumpul di kedua sudut matanya. Sosok bernama Andry itu hadir di hidup Saskia empat tahun yang lalu, namun ingatan tentangnya tak pernah gagal membuat Saskia menangis di malam-malam insomnianya kambuh.
Andry adalah cinta pertama yang sampai saat ini tak tergantikan bagi Saskia.
Entah sudah berapa banyak teman kuliah ataupun kenalan yang mendekati Saskia, akan tetapi gadis itu sudah tak punya hati untuk diberikan kepada lelaki lain.
"Pak Alvaro hanya akan menikahimu setahun untuk memenuhi permintaan dari kakeknya yang sudah renta dan sakit-sakitan. Beliau sangat ingin melihat cucunya menikah. Setelah setahun kamu bisa bercerai," kata Hendra.
"Aku akan jadi janda di usia 22 tahun?! Apa kata orang?! Itu sangat buruk, Kak!" Saskia memekik kaget. Baginya kesepakatan Hendra dan CEO itu sungguh di luar nalar.
"Tolong pikirkan lagi, Sasi. Besok Kakak harus memberi jawaban, kamu setuju menikah dengan Pak Alvaro atau Kakak masuk penjara. Maafkan Kakak telah melibatkanmu dalam hal ini." Hendra menghembuskan napas panjang. Matanya berkaca-kaca.
Saskia menatap lelaki yang telah membiayai kehidupannya dan ibunya setelah ayahnya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas tiga tahun yang lalu. Semua beban keluarga langsung berpindah ke bahu Hendra, padahal saat itu dia baru saja menikah dan mulai menata rumah tangganya. Namun Hendra tak pernah mengeluh.
Sebenarnya Saskia mempunyai satu kakak perempuan yang berusia empat tahun lebih tua, namun dia pergi meninggalkan keluarganya setelah bersuamikan seorang bule yang dikenalnya di hotel tempatnya bekerja. Dia ikut ke negara suaminya di Norwegia. Mereka kesulitan berkomunikasi sejak saat itu.
Saskia masuk ke kamarnya dan berguling-guling di ranjang dengan gelisah. Tak lama pintu kamar diketuk beberapa kali lalu Ibu masuk.
Ibu duduk di tepi ranjang, tangannya membelai kepala Saskia yang terasa panas.
"Nduk, sebenarnya Ibu ingin menanyakan suatu hal yang sudah lama Ibu pendam. Maafkan Ibu kalau pertanyaan Ibu akan menyinggung perasaanmu."
"Apa yang mau Ibu tanyakan?" Saskia mengambil posisi duduk. Ibu menghela napas beberapa kali.
"Mmm ... apa kamu dan Andry ..."
Saskia membuang muka.
"Jangan lagi membahas dia, Bu. Aku sudah memutuskan untuk menerima kesepakatan ini. Paling tidak aku bisa menjadi orang yang berguna di keluarga kita," potong Saskia. Nadanya sinis.
Ibu kembali menghela napas, lalu keluar dari kamar. Saskia tahu ibunya kecewa mendengar kalimatnya yang sinis itu, akan tetapi bagaimana dengan perasaannya? Kenapa tak ada yang memikirkannya?
Persiapan pernikahan dilakukan dengan cepat. Tiga hari kemudian, pada hari Jumat pagi Saskia mendapati dirinya di depan cermin setinggi tubuh orang dewasa sedang mengenakan kebaya dan kerudung putih yang cantik.
"Kakak cantik banget," komentar MUA yang merias Saskia. Dia manatap Saskia dengan puas. Hasil make up-nya bagus, natural tapi membuat Saskia terlihat mempesona.
Saskia menatap pantulannya di cermin. Mungkin benar wajahnya cantik, namun sorot matanya terlihat redup. Tidak ada binar kebahagiaan seperti umumnya calon pengantin yang akan mengikat janji suci.
Sebuah mobil Alphard dikirim oleh Alvaro untuk menjemput keluarga Saskia. Di dalam mobil, Dea—kakak iparnya—berulang kali meminta maaf karena membuat Saskia menanggung perbuatannya. Saskia memaafkannya. Toh semua sudah terlanjur.
Tak berapa lama Saskia dan keluarganya sampai di halaman masjid termegah di kota ini. Masjid yang didominasi warna putih dan emas itu tampak sangat aging dan sakral. Saskia tiba-tiba merasa gugup lalu menggandeng lengan Hendra yang akan menjadi wali nikahnya.
Di dalam masjid telah menunggu penghulu dan Alvaro beserta keluarganya. Seorang Kakek duduk di kursi roda, pastinya beliau adalah Kakek Orlando.
Baru kali itu Saskia bertemu dengan Alvaro. Saat Alvaro datang melamar dua hari yang lalu, Saskia pergi dengan alasan pekerjaan. Pekerjaan Saskia adalah guru les privat bahasa Inggris untuk anak-anak dan remaja.
Saskia mencuri pandang kepada Alvaro. Lelaki itu tampan, hidungnya mancung, sorot matanya tajam dan rahangnya tegas. Kulitnya cerah dan bersih, tubuhnya bagus. Dia terlihat seperri berusia 25 tahun.
Seketika ingatan Saskia melayang pada wajah lain yang juga berusia 25 tahun saat bersamanya. Namun, Saskia segera menepisnya sebelum air mata mulai mengalir.
Alvaro menatap Saskia tanpa berkedip sampai gadis itu duduk di sebelahnya. Kemudian Alvaro menjabat tangan Hendra untuk mengucapkan Ijab Kabul.
"Saudara Alvaro Revanda Baroto bin Djendro Baroto saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Saskia Melati binti Hasbi Alamsyah dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat, uang satu miliar dan satu unit mobil Range Rover dibayar tunai," ucap Hendra dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca karena haru yang menguasainya.
Saskia tersentak mendengar maskawin yang disebutkan karena gadis itu tidak meminta apapun kepada Alvaro.
"Saya terima nikah dan kawinnya Saskia Melati binti Hasbi Alamsyah dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Alvaro berkata dengan tegas.
"Bagaimana?"
"Sah! Sah!" jawab para saksi.
Setelah menikah, Alvaro langsung memboyong Saskia ke rumahnya. Keduanya duduk tanpa bicara dalam perjalanan. Saskia yang merasa gugup sibuk meremas-remas jariku. "Mobilmu ada di rumah. Kata Hendra kamu suka warna kalem, jadi aku membeli yang berwarna bronze. Apa kamu bisa mengemudi?" Alvaro memecah keheningan. "Tidak bisa, Om," sahut Saskia, dalam hati cukup terkejut dengan ketelitian Alvaro yang mau repot-repot mencari tahu warna kesukaannya. "Aku akan pekerjakan supir untukmu. Tolong jangan panggil aku 'Om'. Aku suamimu sekarang." Alvaro melirik Saskia dengan wajah tak suka. "Terus aku panggil apa?" tanya Saskia bingung. "Seperti orang menikah saja. Papa dan Mama," sahut Alvaro acuh. Saskia langsung tersedak mendengar permintaan Alvaro. Saskia mengira akan memanggil Alvaro dengan 'Mas' yang terdengar lebih umum. Panggilan Papa dan Mama biasanya dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai, sedangkan mereka? Mereka menikah demi orang lain. "Kamu kenapa?" tanya Alvaro. Dia meno
Saskia tersedak lalu terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Kakek Orlando. Alvaro mengulurkan segelas air sambil mengusap punggung istrinya dengan lembut. Saskia meminum air itu hingga habis. Kakek Orlando masih menatap keduanya, seolah menuntut jawaban. "Kami akan berusaha, tapi Kakek jangan terlalu memaksa. Aku takut Sasi malah jadi stress," sahut Alvaro. Dia menggenggam tangan Saskia yang berada di atas meja. Saskia merasa hangat. Kakek Orlando terkekeh. "Seharusnya kalian pergi berbulan madu. Akan aku belikan tiket ke Swiss. Pergilah dan segera buatkan aku cucu!" ucapnya lantang. "Aku tak ada waktu saat ini, Kek. Kerjasama dengan Endika memerlukan beberapa tahapan penting yang tidak bisa kuwakilkan. Lagipula, resepsi akan diadakan dua bulan lagi. Aku tak ingin Sasi dalam kondisi hamil muda dan kelelahan mengikuti rangkaian resepsi itu. Kudengar Ibu yang sedang hamil muda masih rentan kandungannya. Iya kan, Ma?" Alvaro bertanya sambil meremas tangan Saskia yang berada dalam gengga
"Tidak apa-apa," sahut Saskia sambil membuang muka. Alvaro menatap Saskia selama beberapa saat, lalu sibuk dengan ponselnya. Keduanya sampai di sebuah rumah mewah yang sama besarnya dengan rumah Alvaro. Alvaro berbincang-bincang dengan beberapa koleganya. Saskia yang berdiri di sisi suaminya lama kelamaan merasa jenuh. Dia melihat para tamu mengambil makanan. Perutnya lapar. Saskia mendongak pada lelaki jangkung di sebelahnya yang masih asyik berbincang. Namun Alvaro tidak menyadari gerakannya. 'Bagaimana ini? Tadi dia bilang aku tidak boleh jauh darinya, tapi dia malah asyik sendiri,' gerutu Saskia dalam hati. Kakinya yang tidak terbiasa memakai heels mulai terasa sakit. Tubuhnya pun mulai merasa meriang karena waktu makannya sudah lewat. "Aku akan ke toilet," bisik Saskia pada Alvaro. Alvaro mengangguk tanpa menoleh. Setelah keluar dari toilet, Saskia melihat sekeliling. Ada sebuah sofa panjang di sudut ruangan. Saskia menuju ke sofa itu. Dia ingin mengistirahatkan kakinya yan
"Haa? Kita akan satu ranjang? Kenapa?" Saskia menjengit. Digesernya tubuhnya menempel ke sandaran ranjang karena merasa ada yang aneh dengan tatapan Alvaro. "Aku suamimu, kenapa tidak boleh tidur denganmu?" Alvaro balik bertanya dengan nada tak bersalah. Lelaki itu berbaring di sebelah Saskia. Saskia tak bisa membantahnya. Secara hukum agama dan negara, Alvaro berhak atas Saskia Saskia merebahkan diri dan memunggunginya, dengan harapan Alvaro segera tidur. Saskia berusaha memejamkan mata namun tidak bisa. Saskia merasa punggungnya dipandangi oleh Alvaro. Saskia memindahkan guling yang tadinya dipeluknya lalu memposisikan guling itu di antara dia dan Alvaro. Namun itu tak ada gunanya. Guling itu langsung dilempar Alvaro ke lantai. "Kita tak butuh guling," bisik Alvaro serak di telinga Saskia. Saskia kembali menjengit. Dia tak tahu sejak kapan Alvaro sedekat itu dengannya. Hembusan napas Alvaro membuat bulu kuduk Saskia meremang. Alvaro menempelkan tubuhnya pada Saskia. Saskia mera
Alvaro menghentikan gerakannya. Lelaki itu menghela napas beberapa kali dengan mata terpejam.Saskia menatap wajah tampan suaminya. Saskia tahu, Alvaro kecewa karena dia bukanlah yang pertama menyentuh Saskia. Empat tahun yang lalu, Andry telah melakukannya. Pikiran Saskia melayang, teringat pada malam dia menyerahkan diri seutuhnya pada Andry atas nama cinta dan sebuah janji pernikahan.Mata Saskia mengerjap, sudut matanya basah. Tangannya yang semula memegang lengan Alvaro perlahan luruh. Saskia merasa kotor dan tidak pantas menyentuh sosok tampan itu.Alvaro yang merasakan gerakan Saskia menjadi tersadar dari pikirannya sendiri. Alvaro membuka mata lalu memaksakan satu senyum kecil. Walaupun dia berusaha tak menampakkan emosi, namun Saskia bisa melihat jelas kekecewaan membayang di mata Alvaro. Alvaro menuntaskan hasratnya di luar. Setelah selesai, dia bangkit dan berkata,"Mulai besok kamu harus minum pil agar tidak hamil."Saskia mengangguk pasrah. Mungkin Alvaro tidak ingin me
Alvaro menghembuskan napas kasar. Bunyi ban berdecit nyaring bersamaan dengan Alvaro menepikan mobil yang sedang dikemudikannya.Alvaro mengambil napas dalam beberapa kali sebelum menjawab Orlando.["Aku ada perlu sebentar, Kek. Beri aku waktu beberapa jam. Aku sudah cukup dewasa untuk mengatasi semua permasalahanku. " ][ "Baik. Kamu pewaris Bintang Terang Group. Jangan bertingkah kekanak-kanakan." ]Orlando memutuskan sambungan. Alvaro diam dan berpikir.'Kenapa Kakek berkata seperti itu? Apa Saskia yang mengadu? Keterlaluan!'Alvaro berbicara sendiri. Dalam hatinya mulai muncul rasa tidak suka terhadap Saskia.Alvaro lupa, Orlando mempunyai intuisi yang tajam dalam menganalisa situasi. Orlando melihat rambut Saskia basah di pagi hari. Itu sesuatu yang baru, namun tidak hanya rambutnya yang basah melainkan matanya juga. Lalu Alvaro pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas. Semua itu cukup bagi Orlando untuk mengetahui ada yang tidak beres di antara keduanya. Alvaro melanjutkan pe
Alvaro tiba di rumahnya beberapa menit sebelum waktu makan malam. Mereka makan di jam yang sama setiap harinya. Itu merupakan kebiasaan yang telah dipupuk oleh Orlando sejak kecil. Kedisiplinan dan kerja keras yang mengantar Orlando pada kesuksesan, berdampak pula pada hal yang terlihat remeh seperti jam makan.Alvaro melihat Saskia sedang berbincang dengan Orlando di sofa sambil menonton film di televisi super besar yang ada di ruangan itu. Keduanya menoleh saat Alvaro tiba. Saskia mendekat dan mencium punggung tangan suaminya tanpa berbicara."Kamu dari mana?" tanya Orlando. Alvaro menghembuskan napas lalu duduk di hadapan sang kakek.Saskia yang merasa tidak enak hati, berdiri untuk menghindar."Cucu mantu! Tetaplah di kursimu. Kamu sekarang istrinya Alvaro, tak ada lagi rahasia di antara kalian," titah Orlando tegas.Saskia mengurungkan langkah, kembali duduk di sebelah Orlando. Di seberang meja, Alvaro meliriknya dengan wajah tenang dan dingin seperti biasanya."Aku dari panti a
Seorang lelaki tampan dan gagah keluar dari bandara internasional Soekarno Hatta bersama dengan sahabatnya."Aaahh ... Indonesia! Setelah empat tahun, aku bisa kembali!" Sang lelaki menghirup napas dalam. Walaupun yang dia hirup adalah pekatnya udara ibukota yang tidak segar namun baginya udara itu menyejukkannya. Langit malam menyamarkan kabut asap yang menggantung di udara."Sekarang kau hendak kemana?" tanya Roni."Aku akan mengunjungi gadisku dulu, lalu besok aku ke tempat ibuku. Kamu mau ikut?" Lelaki itu balas bertanya."Lain waktu, Rue. Aku akan ke rumah pamanku. Kami sudah hampir 10 tahun tidak bertemu. Nanti aku share lokasi kalau sudah sampai. Bilang saja padaku kalau kamu memerlukan apapun." Roni menepuk bahu kokoh sahabatnya. Pekerjaan mereka sebagai penangkap kepiting di tengah terjangan ombak dan badai laut Utara membuat tubuh mereka terpahat dengan sempurna. Perut sixpack dengan dada bidang dan lemak minimal. Kulit mereka kuning langsat karena tidak terkena panas matah