Share

2. Diboyong

Setelah menikah, Alvaro langsung memboyong Saskia ke rumahnya. Keduanya duduk tanpa bicara dalam perjalanan. Saskia yang merasa gugup sibuk meremas-remas jariku.

"Mobilmu ada di rumah. Kata Hendra kamu suka warna kalem, jadi aku membeli yang berwarna bronze. Apa kamu bisa mengemudi?" Alvaro memecah keheningan.

"Tidak bisa, Om," sahut Saskia, dalam hati cukup terkejut dengan ketelitian Alvaro yang mau repot-repot mencari tahu warna kesukaannya.

"Aku akan pekerjakan supir untukmu. Tolong jangan panggil aku 'Om'. Aku suamimu sekarang." Alvaro melirik Saskia dengan wajah tak suka.

"Terus aku panggil apa?" tanya Saskia bingung.

"Seperti orang menikah saja. Papa dan Mama," sahut Alvaro acuh.

Saskia langsung tersedak mendengar permintaan Alvaro. Saskia mengira akan memanggil Alvaro dengan 'Mas' yang terdengar lebih umum. Panggilan Papa dan Mama biasanya dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai, sedangkan mereka? Mereka menikah demi orang lain.

"Kamu kenapa?" tanya Alvaro. Dia menoleh lalu menyodorkan sebotol air mineral yang sudah dibuka tutupnya. Saskia langsung menghabiskan setengah botol.

"Nggak apa-apa, Om ... eh, Pa," sahut Saskia setelah berhasil menguasai diri. Lidahnya terasa kaku sekali mengucapkan panggilan itu.

"Lakukan apapun yang kamu suka di rumahku. Kamu boleh mengganti tema ruangan atau apapun yang kamu inginkan. Namun ingat, jangan ganggu ruang kerjaku." Alvaro mewanti-wanti.

Saskia mengangguk tanda mengerti. Alvaro ingin dirinya patuh dan senyap seperti kelinci.

Tak berapa lama kemudian mereka sampai di depan sebuah pagar tinggi yang membentang sekian puluh meter. Seorang satpam berdiri dan memberi hormat. Iringan kendaraan masuk ke dalam gerbang yang terbuka secara elektronik lalu berhenti di lobby sebuah rumah bertingkat dua yang sangat besar.

Saskia baru saja menjejakkan kaki dan mengagumi rumah besar itu ketika Alvaro ikut turun dan langsung menggendongny ala bridal style. Saskia yang masih memakai kebaya langsung gelagapan, tangannya menggapai-gapai.

"Tenanglah. Kita sedang direkam," bisik Alvaro. Lelaki itu tersenyum menatap ke depan. Saskia ikut menoleh dan melihat kameramen yang sedari tadi mendokumentasikan pernikahan sedang mengarahkan kameranya kepada keduanya.

Saskia ikut bersandiwara. Gadis itu melingkarkan lengannya dengan mesra di leher Alvaro dan memasang senyum terbaik. Alvaro mulai melangkah memasuki pintu depan yang tinggi dan besar. Langkahnya stabil menuju tangga melingkar yang mengarah ke lantai dua.

Tanpa terengah-engah, Alvaro membawa Saskia masuk ke dalam sebuah kamar yang sangat luas. Dinding kamar didominasi warna krem muda yang netral. Satu set sofa berwarna putih yang terlihat empuk berada di sudut ruangan.

Kamar Alvaro sudah dihias dengan apik. Kelopak mawar merah bertebaran di atas permadani mahal yang mengalasi lantai kamar itu.

Di atas ranjang bersusun kelopak mawar berbentuk love. Alvaro menurunkan tubuh Saskia di atas ranjang dengan lembut. Wajahnya mendekat. Tatapan matanya hangat dan bibirnya tersenyum manis. Wajahnya terlihat sangat tampan.

Saskia terpukau dan membatu, tersihir oleh wajah tampannya.

'Apa dia akan menciumku?' pikir Saskia.

Alvaro semakin mendekat. Keduanya bertukar pandang. Saskia merasa terhanyut dalam manik mata Alvaro yang cemerlang. Sang gadis hampir saja memejamkan mata ketika mendadak Alvaro memalingkan wajah.

"Kurasa cukup, Dam," kata Alvaro pada kameramen yang berdiri di dekat ranjang. Kameramen itu mengacungkan jempol kirinya sambil tersenyum lebar.

Alvaro menarik tubuhnya turun dari ranjang. Ekspresinya kembali seperti sebelumnya, datar. Dia mendekati sang kameramen dan ikut menonton video tadi sebentar.

"Kirimkan videonya ke ponselku," perintah Alvaro.

"Siap, Bos," sahut sang kameramen sambil terus memperhatikan kameranya. "Istri Anda benar-benar fotogenic, Bos. Aku tak perlu susah-susah mengedit. "

Alvaro hanya tersenyum tipis mendengar pujian itu.

"Oke. Terimakasih, Dam. Kuharap Kakek puas." Alvaro menepuk bahu sang kameramen. Kameramen mengangguk lalu keluar kamar.

Saskia yang masih berbaring di ranjang mendadak merasa seperti orang bodoh.

'Apa itu tadi? Syuting iklan kasur?' Saskia berpikir sambil mengangkat tubuhnya ke posisi duduk.

"Kamu bisa tidur di ranjang. Aku akan tidur di sofa." Alvaro menunjuk sebuah sofa besar di sudut kamarnya.

"Tapi ini kamarmu. Aku saja yang tidur di sofa." Saskia mencoba membantahnya.

Alvaro hanya mendengus. Rupanya dia tipe yang tidak menerima penolakan.

"Ini nafkah untukmu, saldonya 500 juta rupiah. Jika saldonya tersisa 200 juta, beri tahu aku. Aku akan mengisinya lagi." Alvaro mengulurkan sebuah kartu debit berwarna hitam.

"Terima kasih." Saskia menerima kartu itu ragu.

'Mau kubelanjakan apa uang sebanyak itu? Saldo di rekeningku saja tak pernah lebih dari 10 juta rupiah,' batin Saskia.

"Untuk keperluan rumah dan lainnya tak perlu kau pikirkan. Ada Pakde Gito yang mengurus semuanya. Resepsi pernikahan akan diadakan dua bulan lagi. Aku harap kamu menjaga penampilanmu, karena resepsi nanti akan dihadiri banyak orang penting."

Nada bicara Alvaro datar, terdengar seperti sedang memberi perintah. Mungkin dianggapnya Saskia adalah salah satu anak buahnya.

"Aku paham," sahut Saskia.

"Bagus. Aku akan ke kantor sekarang."

Alvaro berjalan ke arah pintu kamar, namun berhenti sebelum mencapai ambang pintu.

"Satu hal yang harus kamu rahasiakan adalah kesepakatan kita. Jangan beritahu Kakek karena itu akan membuatnya tambah sakit," tegasnya. Ditatapnya Saskia dengan tajam. Saskia mengangkat kedua jarinya sebagai simbol janji.

Saskia menghabiskan waktu di dalam kamar sambil menelepon ibunya. Seorang pelayan memberitahu kalau makan malam akan dihidangkan pukul tujuh dan semua berkumpul untuk makan bersama.

Saskia memilih sebuah gaun terusan sederhana berwarna pink lembut lalu turun ke ruang makan tepat pukul tujuh.

Rumah besar itu sepi. Alvaro tinggal bersama kakeknya saja. Kedua orangtuanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu dalam suatu kecelakaan.

Seorang pelayan menarik kursi dan Saskia mendudukinya. Alvaro belum terlihat.

Saskia memperhatikan ruang makan yang luas dan mewah itu. Warna dindingnya krem muda dengan aksen emas. Saskia teringat ruang makan di rumahnya yang kecil ketika terdengar suara roda bergesekan dengan lantai mendekat. Kakek Orlando masuk ke ruang makan. Beliau mengambil tempat di kepala meja dan tersenyum lebar kepada Saskia. Sang gadis berdiri lalu mencium punggung tangan Kakek Orlando.

"Cucu menantuku cantik sekali! Mana Al? Apa dia terlambat lagi?" tanya Kakek Orlando.

"Aa ... aa ...." Saskia kebingungan menjawab. Dia sendiri tidak tahu di mana Alvaro. Namun suara langkah kaki yang tegas memotong kalimatnya.

"Aku di sini, Kek. Aku baru selesai rapat dengan Endika Energy." Alvaro mencium punggung tangan kakeknya dengan takzim.

"Astaga, kamu tetap mengurus pekerjaan di hari pernikahanmu? Kakek sudah bilang untuk cuti hari ini." Kakek Orlando mengomel.

Alvaro tak menjawab. Dia duduk di sebelah istrinya. Pelayan mulai menyajikan makanan di atas meja.

Kakek Orlando banyak bertanya kepada Saskia. Saskia menjawab dengan bersemangat sedangkan Alvaro makan dengan tenang. Kakek Orlando ramah dan menyenangkan, membuat Saskia langsung merasa akrab dengannya.

"Kalian akan segera memberiku cicit,, 'kan?" Kakek Orlando menatap Saskia dan Alvaro bergantian. Wajah berumur yang masih menyisakan ketampanan di masa mudanya itu menatap keduanya dengan penuh harap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status