Share

Bab 6

Author: Kata Semesta
last update Last Updated: 2025-10-13 17:08:29

Abas kembali melajukan mobilnya, roda berputar mulus di atas aspal tol yang panjang. Lampu-lampu jalan berbaris rapi, sementara suara mesin mobil berpadu dengan aliran angin dari AC.

Sejak tadi, Jena duduk gelisah di kursinya. Matanya berulang kali melirik ke arah Abas, lalu buru-buru berpaling lagi setiap kali hampir ketahuan. Namun rasa khawatirnya jauh lebih besar daripada gengsi yang ia simpan.

Akhirnya, dengan suara pelan tapi jelas terdengar, Jena memberanikan diri bertanya, "Mas... dada kamu sakit nggak?"

Abas tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap fokus ke jalan, wajahnya tenang tanpa menunjukkan ekspresi berarti. Hanya jemari tangannya yang sempat mengecilkan genggaman di setir, sebelum kembali menguat.

"Sakit sedikit," jawabnya datar, seolah itu bukan hal penting. "Tapi masih bisa nyetir. Kamu tenang aja."

Jena mengerutkan kening, tangannya meremas tas di pangkuan. "Kok bisa bilang 'tenang aja'? Mas tadi kebentur keras, lho. Harusnya kamu jangan sok kuat gitu. Gimana kalau ada apa-apa?"

Abas melirik sekilas ke arahnya, tatapan matanya tajam tapi samar menyimpan hangat. "Kalau saya nunjukkin sakit, kamu bisa tenang?"

Pertanyaan itu membuat Jena terdiam. Ia membuka mulut, tapi tidak ada jawaban keluar. Bibirnya maju kecil, pipinya memanas karena merasa tersudut.

Abas kembali menatap jalan. "Makanya, saya bilang saya nggak apa-apa. Supaya kamu tenang."

Jena terhenyak. Dadanya serasa ditusuk halus, antara kesal dan terenyuh. Ia akhirnya hanya bisa bergumam pelan, "Dasar keras kepala..." sambil menunduk, pura-pura sibuk merapikan tasnya.

"Kalau saya kenapa-kenapa juga bukan urusan kamu. Toh, nantinya kita akan tetap pisah, kan? Sesuai dengan perjanjian pernikahan yang kamu buat itu. Kamu akan tetap kembali ke pacar kamu," ucap Abas.

Kalimat itu membuat jantung Jena seketika berdegup kencang. Tangannya yang tadi sibuk merapikan resleting tas berhenti begitu saja. Ia menoleh cepat, menatap Abas dengan mata membelalak.

"Mas... kenapa ngomongnya kayak gitu sih?" suaranya lirih, terdengar getir.

Abas tidak menoleh, pandangannya tetap lurus ke jalan tol yang panjang. Rahangnya tampak mengeras, nada bicaranya dingin tanpa intonasi.

"Itu kenyataannya. Kamu sendiri yang bilang pernikahan ini cuma formalitas. Kamu juga yang bikin syarat, kalau semua ini hanya sementara. Jadi kalau suatu hari saya jatuh sakit atau kenapa-kenapa, apa artinya buat kamu?"

Jena tercekat. Ucapan itu seperti tamparan keras. Ia menggigit bibir bawahnya, matanya mulai memanas, seakan menahan sesuatu yang ingin pecah.

"Aku... aku nggak pernah bilang aku nggak peduli sama Mas Abas..." gumam Jena pelan, hampir tak terdengar.

Abas akhirnya menoleh sekilas, tatapannya menusuk tapi dalam. "Tapi kamu juga nggak pernah bilang kamu peduli."

Jena langsung membuang wajah ke jendela, menahan air mata yang hampir jatuh. "Mas Abas nggak ngerti... Mas Abas bener-bener nggak ngerti."

Suasana mobil kembali hening. Hanya suara ban yang berputar di aspal, mengisi ruang di antara mereka yang kini dipenuhi kata-kata tak terucap.

Mobil terus melaju di jalan tol, tapi pikiran Jena sudah tidak karuan. Kata-kata Abas barusan terngiang-ngiang di kepalanya, membuat dadanya sesak. Ia menatap keluar jendela, tapi bayangan wajah Abas tak bisa ia enyahkan.

Tiba-tiba, Jena menegakkan tubuhnya. Dengan suara agak tinggi, ia berseru, "Mas, berhenti di rest area!"

Alis Abas sedikit terangkat. "Kenapa? Kita belum perlu istirahat."

"Aku bilang berhenti!" Jena menoleh cepat, sorot matanya penuh tekad meski suaranya gemetar. "Kalau kamu nggak berhenti, aku yang tarik rem tangannya!"

Abas sempat meliriknya tajam, seolah menimbang apakah Jena hanya menggertak. Tapi melihat gadis itu menggenggam tasnya erat dengan wajah memerah serius, ia akhirnya mendesah panjang dan mengarahkan mobil ke rest area terdekat.

Begitu mobil berhenti di parkiran, Jena langsung melepas sabuk pengamannya dengan gerakan cepat. Ia menoleh ke arah Abas, matanya berkaca-kaca.

"Mas Abas!" suaranya meninggi, penuh emosi yang tertahan. "Kamu pikir aku nggak peduli, ya?! Kamu pikir aku cuma nganggep kamu suami formalitas, ya?! Kamu salah besar!"

Abas masih menatapnya dengan tenang, meski dadanya naik turun karena benturan tadi. "Buktinya?" tanyanya datar.

Tanpa pikir panjang, Jena langsung mengulurkan tangannya. Dengan gerakan agak terburu-buru, ia membuka kancing kemeja Abas bagian atas, lalu menyingkapnya sedikit. Tangannya bergetar saat ia menatap dada Abas yang tadi terbentur.

"Lihat! Kalau aku nggak peduli, aku nggak mungkin kayak gini! Aku khawatir, Mas! Aku takut ada yang terjadi sama kamu!" suaranya pecah, air matanya akhirnya jatuh juga.

Abas terdiam, terpaku pada wajah istrinya yang menangis karena dirinya. Jari-jari Jena masih menyentuh dada Abas, gemetar tapi hangat.

"Baru juga sehari, tapi kayaknya kamu mulai sayang sama saya, ya? Hati-hati aja, hati kamu bisa diisi sama saya, bukan pacar kamu lagi," goda Abas.

Jena sontak menoleh cepat, matanya melebar karena terkejut. Air mata masih menggantung di sudut matanya, tapi kini wajahnya semakin merah karena malu bercampur kesal.

"Ih! Mas Abas! Siapa juga yang bilang aku sayang sama kamu?!" sergahnya dengan suara bergetar. "Aku cuma... cuma khawatir aja! Itu manusiawi kan kalau aku khawatir sama orang yang ada di samping aku?"

Abas tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap lekat pada wajah Jena, dingin di permukaan, tapi dalam sorot matanya terselip sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang bahkan Jena sendiri belum bisa baca.

Sudut bibirnya melengkung tipis, nyaris tak terlihat. "Kalau kamu bilang cuma khawatir, kenapa sampai nangis kayak gini?"

Jena tercekat. Tangannya yang masih menempel di dada Abas buru-buru ditarik, seolah tersengat panas. Ia memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan pipinya yang kian memerah.

"Dasar... suka banget muter-muterin omongan orang," gumam Jena lirih sambil menyeka air matanya dengan kasar.

Abas menghela napas, lalu dengan tenang meraih tangan Jena yang masih gemetar, menggenggamnya erat tanpa kata. "Kamu boleh ngotot bilang ini cuma khawatir, tapi saya ngerti kok. Dan... saya nggak keberatan kalau hati kamu beneran berubah."

Jena menarik tangannya dengan kasar dari tangan Abas. "Aku cuma khawatir, bukan berarti sayang sama kamu! Perasaan aku cuma buat Radit! Nggak akan pernah buat kamu."

Ucapan Jena menusuk lebih dalam daripada yang ia kira. Abas terdiam, genggamannya yang kosong kini perlahan ia tarik kembali. Wajahnya tetap datar, tidak ada ekspresi marah atau kecewa, tapi sorot matanya meredup sesaat—sesuatu yang tidak Jena sadari karena kepalanya menunduk.

Abas menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung ke kursi, menutup kembali kancing kemejanya dengan gerakan tenang. "Ya sudah. Kalau itu yang kamu yakini, saya nggak maksa." Suaranya terdengar datar, terlalu tenang, justru membuat dada Jena terasa sesak.

Hening melingkupi kabin mobil. Hanya suara orang-orang lalu lalang di rest area yang samar terdengar dari luar.

Jena menggigit bibirnya, jemarinya meremas tas di pangkuan. Ia ingin menegaskan lagi kalau perasaannya tidak akan pernah berubah, tapi kata-kata itu terasa berat di tenggorokannya. Sebaliknya, bayangan Abas yang tadi menahan tubuhnya dari benturan, yang lebih memilih sakit sendiri asal dirinya aman, berulang kali muncul di kepalanya.

Abas menoleh sekilas, menatap Jena yang masih menunduk. Tatapannya dingin kembali, seolah ia sudah menutup rapat hatinya. "Kalau udah tenang, kita lanjut jalan."

Jena mengangkat wajah, hendak membalas, tapi begitu melihat sorot mata Abas yang begitu datar, dadanya justru semakin perih. Tiba-tiba ia merasa takut—takut kalau ucapannya barusan benar-benar menjauhkan Abas darinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 6

    Abas kembali melajukan mobilnya, roda berputar mulus di atas aspal tol yang panjang. Lampu-lampu jalan berbaris rapi, sementara suara mesin mobil berpadu dengan aliran angin dari AC.Sejak tadi, Jena duduk gelisah di kursinya. Matanya berulang kali melirik ke arah Abas, lalu buru-buru berpaling lagi setiap kali hampir ketahuan. Namun rasa khawatirnya jauh lebih besar daripada gengsi yang ia simpan.Akhirnya, dengan suara pelan tapi jelas terdengar, Jena memberanikan diri bertanya, "Mas... dada kamu sakit nggak?"Abas tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap fokus ke jalan, wajahnya tenang tanpa menunjukkan ekspresi berarti. Hanya jemari tangannya yang sempat mengecilkan genggaman di setir, sebelum kembali menguat."Sakit sedikit," jawabnya datar, seolah itu bukan hal penting. "Tapi masih bisa nyetir. Kamu tenang aja."Jena mengerutkan kening, tangannya meremas tas di pangkuan. "Kok bisa bilang 'tenang aja'? Mas tadi kebentur keras, lho. Harusnya kamu jangan sok kuat gitu. Gimana kala

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 5

    Beberapa menit kemudian, pintu kayu berwarna biru itu akhirnya berderit terbuka. Jena keluar dengan wajah merah padam, rambut sedikit berantakan karena buru-buru, dan langkahnya canggung. Ia bahkan tidak berani menatap orang-orang di warung yang jelas-jelas masih melirik sambil menahan tawa kecil.Abas yang sedari tadi bersandar dengan tangan bersedekap di dekat pintu, langsung menegakkan tubuhnya. Tatapannya menelusuri Jena sebentar, lalu sudut bibirnya terangkat tipis."Udah lega?" tanyanya datar, tapi nada suaranya penuh sindiran halus.Jena terhenti, menoleh cepat sambil melotot. "Hush! Jangan ngomong keras-keras!" bisiknya panik. "Nanti semua orang tahu!"Abas mengangkat alis santai, menunduk sedikit mendekat ke telinga Jena. Suaranya pelan, tapi jelas menusuk."Semua orang juga udah tahu, soalnya muka kamu nggak bisa bohong."Pipi Jena langsung memanas. Ia meremas tas kecil di tangannya, menahan diri untuk tidak menampar lengan suaminya itu. "Dasar dingin nyebelin! Kamu seneng b

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 4

    Jena berjalan cepat di trotoar, wajahnya masih cemberut. Bibirnya mengerucut, maju seperti paruh bebek, seakan-akan dengan begitu ia bisa melampiaskan kekesalannya pada udara. Sandalnya menghentak-hentak kecil setiap kali melangkah, menandakan mood-nya yang jelas masih buruk.Jena memilih sisi kanan jalan, padahal persis di sampingnya kendaraan lalu-lalang, sesekali mobil melintas cukup dekat.Abas yang berjalan setengah langkah di belakangnya hanya mengamati tanpa suara. Mata dinginnya memperhatikan betapa sembrono gadis itu, seolah tidak sadar betapa rawannya posisi di tepi jalan.Tanpa berkata apa-apa, Abas tiba-tiba mengulurkan tangannya. Dengan gerakan tegas namun tak kasar, ia menahan lengan Jena dan memindahkannya ke sisi kiri—menempatkan dirinya di sisi kanan, berhadapan langsung dengan lalu lintas.Jena terbelalak, menoleh cepat. "Mas Abas! Kamu ngapain sih?!"Abas tidak menatapnya. Pandangannya tetap lurus ke depan, langkahnya mantap. "Kamu jalan di pinggir banget. Kalau ada

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 3

    Perut Jena mulai terasa kosong, suara lirih keroncongan terdengar jelas di tengah kesunyian kamar hotel. Ia mendesah, menatap sekilas menu room service yang tergeletak di meja, lalu menggeleng. "Aku nggak mau makanan hotel," gumamnya pelan.Dengan langkah ringan, Jena keluar dari kamar. Udara pagi yang masih segar menyambutnya ketika ia menuruni lobi hotel. Matanya bergerak ke kanan dan kiri, seperti mencari sesuatu—atau mungkin sebenarnya hanya ingin melarikan diri dari penat yang menyesakkan di dadanya.Di sisi lain, sebuah mobil hitam baru saja berhenti di parkiran hotel. Abas turun, ke keluar dari mobil. Namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok Jena yang keluar sendirian. Gadis itu berjalan dengan langkah malas, sesekali menunduk pada ponselnya, seolah tak peduli sekitar.Abas merapatkan rahang, menghela napas panjang. Ia sempat berpikir untuk memanggilnya, tapi akhirnya urung. Sebaliknya, ia memilih langkah yang lebih diam-diam.Abas mengikuti dari kejauhan. Tidak

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 2

    Abas sudah terjaga sejak subuh, duduk di sofa dengan kemeja putih yang sudah rapi kembali. Wajahnya segar, meski semalaman ia hampir tidak tidur. Ia menatap layar tablet di tangannya, membaca email pekerjaan, seakan pernikahan semalam hanyalah agenda kecil yang bisa ia letakkan di sudut pikirannya.Sementara itu, Jena masih tertidur di ranjang besar dengan piyama berwarna pastel yang ia kenakan, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah, mungkin karena semalaman ia bergulat dengan pikirannya sendiri.Abas melirik jam tangannya, lalu berdiri. Dengan langkah tenang, ia mendekati ranjang, berhenti tepat di sisi Jena."Bangun," suaranya dalam, tegas, namun tidak keras.Jena mengerjap pelan, membuka mata dengan tatapan sayu. "Hm... Om?""Kita perlu bicara sebelum saya ambil keputusan," ucap Abas tanpa basa-basi.Jena langsung terduduk, menyibakkan selimut, wajahnya masih agak kusut tapi matanya menatap serius. "Keputusan soal kontrak?"Abas mengangguk. Ia kembali duduk di

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 1

    Resepsi pernikahan megah selesai. Musik yang sedari tadi riuh di ballroom kini berganti dengan senyap malam. Lampu-lampu gantung kristal masih berkilau, namun para tamu sudah satu per satu meninggalkan tempat.Bastian Lengkara Samudra, atau yang sering dikenal Abas, CEO berusia tiga puluh lima tahun yang dikenal dingin, cuek, dan selalu berpikir logis, berdiri tegak dengan wajah datar di samping pengantin wanitanya. Ia masih mengenakan jas hitam elegan, dasinya terikat rapi, dan sorot matanya dingin.Di sebelahnya, Jenara Cerelia Praratya—atau Jena—gadis berusia dua puluh empat tahun yang cantik dengan gaun pengantin putih sederhana, melangkah pelan. Senyumnya tadi di depan tamu hanyalah formalitas, sama seperti Abas yang menahan ekspresi apapun.Tidak ada romantisme. Tidak ada tatapan hangat.Hanya dua orang asing yang dipaksa oleh keluarga untuk menikah.*****Setelah acara usai, Abas dan Jena ke sebuah hotel mewah yang sudah disiapkan oleh orang tua Abas.Di kamar pengantin, Abas m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status