MasukBeberapa menit kemudian, pintu kayu berwarna biru itu akhirnya berderit terbuka. Jena keluar dengan wajah merah padam, rambut sedikit berantakan karena buru-buru, dan langkahnya canggung. Ia bahkan tidak berani menatap orang-orang di warung yang jelas-jelas masih melirik sambil menahan tawa kecil.
Abas yang sedari tadi bersandar dengan tangan bersedekap di dekat pintu, langsung menegakkan tubuhnya. Tatapannya menelusuri Jena sebentar, lalu sudut bibirnya terangkat tipis. "Udah lega?" tanyanya datar, tapi nada suaranya penuh sindiran halus. Jena terhenti, menoleh cepat sambil melotot. "Hush! Jangan ngomong keras-keras!" bisiknya panik. "Nanti semua orang tahu!" Abas mengangkat alis santai, menunduk sedikit mendekat ke telinga Jena. Suaranya pelan, tapi jelas menusuk. "Semua orang juga udah tahu, soalnya muka kamu nggak bisa bohong." Pipi Jena langsung memanas. Ia meremas tas kecil di tangannya, menahan diri untuk tidak menampar lengan suaminya itu. "Dasar dingin nyebelin! Kamu seneng banget ya ngeledekin aku?" Abas mengedikkan bahu seolah tak peduli, lalu berbalik melangkah lebih dulu. "Bukan ngeledekin. Saya cuma pastiin kamu nggak ada 'gebrakan baru' yang bikin saya repot lagi." Jena mendengus, mulutnya maju seperti bebek lagi. Ia berlari kecil menyusul Abas, sambil dalam hati bersumpah tidak akan pernah lagi cerita apa pun tentang kondisi tubuhnya di depan pria itu. Namun, langkahnya yang semakin cepat justru membuat Abas menoleh sekilas dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Entah kenapa, setiap tingkah canggung Jena malah jadi hiburan tersendiri baginya. ***** Begitu pintu kamar hotel terbuka, Jena langsung melangkah masuk dengan wajah masih sebal. Ia menjatuhkan tubuh ke ranjang empuk, menenggelamkan wajahnya ke bantal seolah ingin melupakan kejadian memalukan barusan. Namun, belum sempat ia benar-benar bernafas lega, suara Abas terdengar dari balik pintu yang baru saja ditutup rapat. "Cepat siap-siap. Sebentar lagi kita check out." Jena mengangkat kepalanya cepat, matanya melebar. "Hah? Check out?!" Abas melepaskan jasnya dan meletakkannya di kursi dengan rapi, gerakannya tenang seperti biasa. "Iya. Kita nggak akan lama di sini. Kamu ikut saya ke apartemen." Jena bangkit duduk, rambutnya sedikit berantakan. "Serius? Baru semalam di sini, Mas! Orang-orang kalau habis nikah tuh biasanya honeymoon berminggu-minggu. Kamu cuma kasih aku semalam? Itu pun penuh sindiran!" Abas melirik sebentar, sorot matanya dingin tapi tajam. "Kita menikah bukan buat liburan, Jena. Ini bukan honeymoon. Dari awal kamu sendiri yang bilang, pernikahan ini cuma formalitas." Mulut Jena ternganga, tidak siap dengan jawaban sekeras itu. Ia memeluk bantal, bibirnya kembali mengerucut. "Tetep aja... masa aku nggak dapat sedikit pun hak buat honeymoon? Orang lain pasti iri lho kalau tahu nasib aku kayak gini." Abas mengambil koper hitamnya, lalu menepuk ringan bagian atas koper itu. "Nggak usah bawel. Cepat beresin aja barang-barang kamu." "Aku serius, Mas!" suara Jena meninggi, matanya membulat. "Masa iya aku nggak boleh ngerasain honeymoon kayak pasangan normal lain? Nikah sehari langsung pulang ke apartemen? Gila aja!" "Kamu sendiri yang bilang, pernikahan ini cuma formalitas, kan? Jadi nggak usah berharap yang manis-manis," jawab Abas. "Ya... ya nggak bisa gitu dong, Mas. Setidaknya kita nikmatin waktu dulu dong di sini, jalan-jalan atau apa gitu. Masa baru nginep semalam udah pulang. Apalagi ke apartemen kamu! Aku nggak mau!" protes Jena. "Kamu istri saya. Wajar kalau kita tinggal bareng. Kamu tenang aja, apartemen saya bagus. Semua ada, dan kamu nggak perlu takut gelap, hantu atau kolam renang. Aman," ucap Abas. "Ma.. makasudnya apa?" tanya Jena. "Saya tahu kamu phobia ruang sempit, gelap, berdebu, kamu takut hantu, kamu takut lihat kolam renang yang dalam, dan kamu juga takut kalau ada suara besar seperti keributan. Jadi saya pastikan apartemen saya aman untuk kamu," jawab Abas tenang. "Kok kamu bisa tahu itu semua? Pasti Mama dan Papa yang cerita ke kamu ya? Ih! Mereka nggak asik banget sih!" gerutu Jena. Abas menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Jena dengan sorot mata yang tak terbaca. "Iya. Emang kenapa? Berarti Mama dan Papa kamu sayang banget ke kamu. Mereka nyeritain semuanya ke saya, supaya saya tahu istri saya takut sama hal apa. Dan ternyata banyak," jawab Abas tenang. Jena langsung terdiam, mulutnya sedikit terbuka. Ia menatap Abas dengan kesal bercampur malu. "Ih! Jadi sekarang kamu tahu semua kelemahan aku? Enak banget kamu pasti bisa ngeledek aku kapan aja!" Abas mengangkat alis tipis, wajahnya tetap dingin. "Kalau saya mau ngeledek, tadi malam udah saya lakuin." "Tapi justru karena saya tahu, saya pastikan apartemen saya nggak akan bikin kamu panik. Jadi nggak ada alasan buat nolak ikut saya." Jena masih cemberut, bibirnya maju, matanya melotot kecil. "Dasar dingin! Semua diomongin pake logika, kayak aku nggak punya perasaan." Abas menoleh sebentar, menatapnya tanpa berkedip. "Saya tahu kamu punya perasaan. Tapi kalau kamu terus ngotot kayak anak kecil, perasaan kamu itu nggak akan ada yang bisa ngerti." Jena tercekat. Ia ingin membantah, tapi kata-kata itu terlalu menohok. Ia akhirnya hanya bisa membuang wajah, pura-pura sibuk membereskan koper sambil mendengus keras. "Jangan cemberut terus. Bibir kamu nanti nggak bisa balik," ucap Abas. Jena langsung berhenti melipat bajunya, menoleh cepat dengan mata membulat. "Apa-apaan sih ngomong gitu?!" Abas tetap santai, bahkan nyaris tanpa ekspresi, hanya bahunya sedikit terangkat. "Fakta aja. Dari tadi bibir kamu udah kayak bebek." Pipi Jena langsung panas. "Ih! Nyebelin banget. Kalau aku jadi bebek, berarti kamu suami bebek dong!" serang Jena cepat, berusaha membalas. Abas menatapnya lama, lalu menghela napas pendek. "Kalau iya, ya saya pasrah. Mau apa lagi? Suami kan nggak bisa milih istri." Jena melotot, tangannya otomatis melempar bantal ke arah Abas. "Kurang ajar!" Bantal itu mengenai dada Abas, tapi pria itu sama sekali tidak bergeming. Ia hanya menunduk sebentar melihat bantal di pangkuannya, lalu menatap Jena lagi dengan tatapan datar yang justru membuat jantung gadis itu berdetak tak karuan. "Sudah? Atau mau lempar koper sekalian?" ucap Abas dingin, tapi sudut bibirnya nyaris tak terlihat melengkung tipis. Jena buru-buru memalingkan wajah, pura-pura sibuk menutup resleting koper sambil menggerutu, "Dasar manusia es. Susah banget diajak bercanda." "Saya heran deh kenapa orang tua saya minta saya nikah sama perempuan kayak kamu. Udah berusia dua puluh empat tahun tapi kelakuan kamu kayak anak kecil. Kok pacar kamu tahan sih sama kamu?" ucap Abas sarkas. Jena sontak menoleh dengan cepat, matanya membelalak tak percaya. "Hah?! Kamu... kamu bilang apa barusan?!" Abas tak terguncang sedikit pun, ia bahkan merapikan jasnya dengan santai. "Ya, saya cuma heran aja. Kamu manja, gampang ngambek, mulutnya nyolot. Kalau saya jadi pacar kamu, mungkin udah kabur dari dulu." Jena tercekat, dadanya naik-turun menahan emosi. "Mas Abas!" serunya, nadanya meninggi. "Kamu keterlaluan! Kamu pikir gampang apa jadi aku?! Kamu enak, dingin, hidup kayak robot tanpa hati! Kalau aku manja, nyolot, itu karena aku manusia normal yang punya perasaan!" Abas menghentikan gerakannya, menatap Jena lurus dengan sorot mata yang menusuk. Sunyi sesaat. "Kalau kamu beneran manusia normal yang punya perasaan," ucap Abas dingin, "kamu harusnya tahu kalau setiap perasaan ada konsekuensinya." Kata-kata itu membuat Jena terdiam, seakan sesuatu menusuk dadanya. Ia menggigit bibir, menunduk dalam, tidak ingin Abas melihat matanya yang mulai berair. Jena meraih koper kecilnya dengan kasar, menyeretnya ke pintu sambil bergumam lirih, "Aku nyesel banget mau nikah kayak gini." Abas hanya menatap punggung Jena tanpa berkata apa-apa. Wajahnya tetap datar, tapi jemarinya sempat mengepal pelan sebelum ia akhirnya mengikuti langkah istrinya. "Tapi saya nggak nyesal nikah sama kamu," batin Abas.Abas masuk ke kamar setelah mendapatkan telepon dari Ibas. Pintu kamar ditutupnya perlahan, tidak ingin mengagetkan Jena.Jena sedang duduk bersandar pada headboard, selimut menutupi kakinya. Ia tertawa kecil sambil menonton video lucu di tabletnya, bahunya naik-turun karena masih menahan geli.Abas mendekat tanpa suara, lalu duduk di tepi tempat tidur, membuat kasur sedikit melesak. Gerakan itu membuat Jena otomatis menoleh.“Mas?”Ia memiringkan kepala. “Kenapa? Mau makan? Aku siapin sebentar ya.”Abas tidak langsung menjawab. Ia meraih tangan Jena, menggenggamnya hangat, ibu jarinya mengusap punggung tangan istrinya.“Sayang…” ucapnya pelan, seolah memulai sesuatu yang penting.“Besok Ibas ngajak kita makan siang, kamu mau? Ibas mau ajak Siska, katanya ada yang mau diomongin sama Siska.”“Siska ajak Tante Putri nggak, Mas? Aku nggak mau kalau ada Tante Putri. Nanti dia sumpahin aku yang nggak-nggak lagi. Aku biasanya berani lawan dia, tapi setelah dia sumpahin aku, aku takut,” ucap
Koper itu gedebuk turun satu anak tangga, lalu satu lagi. Suaranya memecah keheningan rumah besar itu—rumah yang biasanya hangat, kini terasa seperti medan perang yang baru saja selesai terbakar.Ibas dan Siska yang sedang duduk di ruang keluarga langsung terlonjak kaget.“Ma… Mama mau ke mana bawa koper?”Ibas berdiri, suaranya berat dan bingung.Siska ikut bangkit. “Iya, Ma… Ini udah malam banget loh. Mau ke mana sih?”Tante Putri berhenti di tengah tangga. Napasnya kasar, matanya merah—bukan karena sedih, lebih seperti marah yang tidak sempat disembunyikan.Ia menarik kopernya lagi, keras, tidak mempedulikan tatapan anak dan menantunya.Sebelum ia sempat menjawab, langkah berat terdengar dari arah ruang kerja.Pak Samudra muncul, wajahnya tenang... Tenang yang sudah selesai. Tenang yang tidak bisa dibantah siapa pun.“Mulai hari ini,” ujarnya tanpa nada berputar-putar, “Mama kalian nggak tinggal di sini l
Tante Putri merangkak sedikit mendekat, air mata jatuh tanpa henti. Tangannya gemetar saat meraih pergelangan tangan Pak Samudra, menciumi punggung tangannya berkali-kali seperti orang yang kehilangan pegangan hidup. “Pa… maafin Mama… Pa, Mama nggak bermaksud nyumpahin Jena… Mama cuma—Mama cuma kesel… Mama lagi emosi… Mama nggak mikir…” suaranya pecah, terisak tanpa kendali. Pak Samudra tidak menjauh, tapi tubuhnya kaku. “Keputusan saya udah bulat,” ucapnya pelan, namun sangat tegas. Tante Putri mencengkeram lebih erat. “Pa… Pa jangan gitu… Pa, kita udah puluhan tahun bareng… Pa jangan tinggalin Mama… Pa pliss…” Pak Samudra akhirnya menatap istrinya. Mata lelaki itu tampak sangat lelah, lebih lelah dari siapa pun di tempat itu. “Putri… kamu udah tahu dari dulu kan? Aku bertahan di rumah tangga kita… bukan karena cinta.” Tante Putri tersentak. “Pa… pa jangan ngomong gitu… jangan di depan orang…” Pak Samudra menghembuskan napas panjang. “Karena cinta saya cuma untuk almarhuma
Abas dan Jena baru saja keluar dari restoran, tangan masih bertautan. Langkah mereka menuju area arcade.Jena berjalan kecil sambil menahan antusiasnya, sementara Abas hanya tersenyum mengikuti langkah istrinya.Namun, langkah mereka terhenti mendadak.Di depan, dari arah eskalator, Tante Putri—dengan tas mewah menggantung di lengan—melangkah bersama Pak Samudra.Mata Jena langsung mengecil. Abas refleks mengeraskan genggaman tangannya, berdiri tegak.“Oh, Abas udah pulang dari rumah sakit. Syukur deh,” ucap Tante Putri dengan senyum manis—yang rasanya lebih seperti belati.“Bas, gimana keadaan kamu? Udah baik-baik aja?” tanya Pak Samudra, wajahnya cemas.“Udah, Pa,” jawab Abas pendek, dingin.Pak Samudra hendak mengangguk lega, tapi suara ketus Tante Putri langsung memotong.“Kamu benar-benar istri yang nggak ngerti, ya!” serangnya tiba-tiba.Jena terpaku, tubuhnya menegang. “Tante… maksudnya?”“Suami kamu baru pulang dari rumah sakit, kamu ajakin ke mall. Otak kamu tuh di mana sih,
Begitu memasuki restoran Jepang yang dipenuhi aroma kaldu hangat dan wangi rumput laut, Jena langsung bersinar seperti anak kecil masuk toko permen. Abas hanya bisa mengikutinya sambil menahan tawa, masih menggenggam tangan istrinya saat mereka diarahkan ke meja untuk berdua di dekat jendela. Begitu duduk, Jena langsung membuka buku menu seolah sedang membaca buku favoritnya. Matanya berbinar tiap kali melihat gambar makanan. “Mas… lihat deh ini!” serunya sambil menunjuk ramen dengan irisan chashu tebal. Abas hanya mengangguk dengan senyum pasrah. “Iya, iya… kamu pasti pesan itu.” Dan benar saja. “Aku mau ramen yang ini, Mas. Yang kuah creamy. Terus… sushi juga. Yang salmon. Eh, sama yang ini! Sama yang ini juga!” Jena menunjuk dua jenis sushi lain, tampaknya sudah lupa hitungan. Pelayan yang berdiri di samping meja tersenyum ramah saat Jena menyebutkan pesanannya, satu mangkuk ramen besar, salmon sushi, tamago sushi, dan satu set sushi roll dengan mayo. Bahkan Jena masih meli
Abas memutar kemudi perlahan, matanya menelisik setiap deret kendaraan di area parkir yang padat. Sudah hampir lima belas menit ia berkeliling, tapi tak satu pun slot kosong terlihat. Sementara itu, Jena duduk di sampingnya, menatap ekspresi suaminya yang masih tampak tenang. Abas menoleh kanan-kiri, memastikan belum ada mobil yang hendak keluar. Ia bahkan sempat menurunkan sedikit volume musik di mobil, seolah hal itu bisa membantunya lebih fokus mencari. Jena menghela napas pelan, lalu menoleh ke arah Abas. “Mas, kok bisa sih setenang ini?” tanyanya sambil menatap wajah suaminya yang tetap santai. “Kalau aku jadi Mas, mungkin aku udah putar balik, dan mutusin buat pulang aja. Nggak jadi ke mall karena nggak dapet-dapet parkir.” Abas tersenyum kecil tanpa menoleh, tangannya masih mantap di setir. “Heh, sabar itu bagian dari seni, sayang,” ujarnya santai. “Kalau tiap macet atau susah parkir langsung nyerah, bisa-bisa hidup kita penuh ngel







