Share

Bab 5

Author: Kata Semesta
last update Last Updated: 2025-10-12 01:30:53

Beberapa menit kemudian, pintu kayu berwarna biru itu akhirnya berderit terbuka. Jena keluar dengan wajah merah padam, rambut sedikit berantakan karena buru-buru, dan langkahnya canggung. Ia bahkan tidak berani menatap orang-orang di warung yang jelas-jelas masih melirik sambil menahan tawa kecil.

Abas yang sedari tadi bersandar dengan tangan bersedekap di dekat pintu, langsung menegakkan tubuhnya. Tatapannya menelusuri Jena sebentar, lalu sudut bibirnya terangkat tipis.

"Udah lega?" tanyanya datar, tapi nada suaranya penuh sindiran halus.

Jena terhenti, menoleh cepat sambil melotot. "Hush! Jangan ngomong keras-keras!" bisiknya panik. "Nanti semua orang tahu!"

Abas mengangkat alis santai, menunduk sedikit mendekat ke telinga Jena. Suaranya pelan, tapi jelas menusuk.

"Semua orang juga udah tahu, soalnya muka kamu nggak bisa bohong."

Pipi Jena langsung memanas. Ia meremas tas kecil di tangannya, menahan diri untuk tidak menampar lengan suaminya itu. "Dasar dingin nyebelin! Kamu seneng banget ya ngeledekin aku?"

Abas mengedikkan bahu seolah tak peduli, lalu berbalik melangkah lebih dulu. "Bukan ngeledekin. Saya cuma pastiin kamu nggak ada 'gebrakan baru' yang bikin saya repot lagi."

Jena mendengus, mulutnya maju seperti bebek lagi. Ia berlari kecil menyusul Abas, sambil dalam hati bersumpah tidak akan pernah lagi cerita apa pun tentang kondisi tubuhnya di depan pria itu.

Namun, langkahnya yang semakin cepat justru membuat Abas menoleh sekilas dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Entah kenapa, setiap tingkah canggung Jena malah jadi hiburan tersendiri baginya.

*****

Begitu pintu kamar hotel terbuka, Jena langsung melangkah masuk dengan wajah masih sebal. Ia menjatuhkan tubuh ke ranjang empuk, menenggelamkan wajahnya ke bantal seolah ingin melupakan kejadian memalukan barusan.

Namun, belum sempat ia benar-benar bernafas lega, suara Abas terdengar dari balik pintu yang baru saja ditutup rapat.

"Cepat siap-siap. Sebentar lagi kita check out."

Jena mengangkat kepalanya cepat, matanya melebar. "Hah? Check out?!"

Abas melepaskan jasnya dan meletakkannya di kursi dengan rapi, gerakannya tenang seperti biasa. "Iya. Kita nggak akan lama di sini. Kamu ikut saya ke apartemen."

Jena bangkit duduk, rambutnya sedikit berantakan. "Serius? Baru semalam di sini, Mas! Orang-orang kalau habis nikah tuh biasanya honeymoon berminggu-minggu. Kamu cuma kasih aku semalam? Itu pun penuh sindiran!"

Abas melirik sebentar, sorot matanya dingin tapi tajam. "Kita menikah bukan buat liburan, Jena. Ini bukan honeymoon. Dari awal kamu sendiri yang bilang, pernikahan ini cuma formalitas."

Mulut Jena ternganga, tidak siap dengan jawaban sekeras itu. Ia memeluk bantal, bibirnya kembali mengerucut. "Tetep aja... masa aku nggak dapat sedikit pun hak buat honeymoon? Orang lain pasti iri lho kalau tahu nasib aku kayak gini."

Abas mengambil koper hitamnya, lalu menepuk ringan bagian atas koper itu. "Nggak usah bawel. Cepat beresin aja barang-barang kamu."

"Aku serius, Mas!" suara Jena meninggi, matanya membulat. "Masa iya aku nggak boleh ngerasain honeymoon kayak pasangan normal lain? Nikah sehari langsung pulang ke apartemen? Gila aja!"

"Kamu sendiri yang bilang, pernikahan ini cuma formalitas, kan? Jadi nggak usah berharap yang manis-manis," jawab Abas.

"Ya... ya nggak bisa gitu dong, Mas. Setidaknya kita nikmatin waktu dulu dong di sini, jalan-jalan atau apa gitu. Masa baru nginep semalam udah pulang. Apalagi ke apartemen kamu! Aku nggak mau!" protes Jena.

"Kamu istri saya. Wajar kalau kita tinggal bareng. Kamu tenang aja, apartemen saya bagus. Semua ada, dan kamu nggak perlu takut gelap, hantu atau kolam renang. Aman," ucap Abas.

"Ma.. makasudnya apa?" tanya Jena.

"Saya tahu kamu phobia ruang sempit, gelap, berdebu, kamu takut hantu, kamu takut lihat kolam renang yang dalam, dan kamu juga takut kalau ada suara besar seperti keributan. Jadi saya pastikan apartemen saya aman untuk kamu," jawab Abas tenang.

"Kok kamu bisa tahu itu semua? Pasti Mama dan Papa yang cerita ke kamu ya? Ih! Mereka nggak asik banget sih!" gerutu Jena.

Abas menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Jena dengan sorot mata yang tak terbaca.  "Iya. Emang kenapa? Berarti Mama dan Papa kamu sayang banget ke kamu. Mereka nyeritain semuanya ke saya, supaya saya tahu istri saya takut sama hal apa. Dan ternyata banyak," jawab Abas tenang.

Jena langsung terdiam, mulutnya sedikit terbuka. Ia menatap Abas dengan kesal bercampur malu. "Ih! Jadi sekarang kamu tahu semua kelemahan aku? Enak banget kamu pasti bisa ngeledek aku kapan aja!"

Abas mengangkat alis tipis, wajahnya tetap dingin. "Kalau saya mau ngeledek, tadi malam udah saya lakuin."

"Tapi justru karena saya tahu, saya pastikan apartemen saya nggak akan bikin kamu panik. Jadi nggak ada alasan buat nolak ikut saya."

Jena masih cemberut, bibirnya maju, matanya melotot kecil. "Dasar dingin! Semua diomongin pake logika, kayak aku nggak punya perasaan."

Abas menoleh sebentar, menatapnya tanpa berkedip. "Saya tahu kamu punya perasaan. Tapi kalau kamu terus ngotot kayak anak kecil, perasaan kamu itu nggak akan ada yang bisa ngerti."

Jena tercekat. Ia ingin membantah, tapi kata-kata itu terlalu menohok. Ia akhirnya hanya bisa membuang wajah, pura-pura sibuk membereskan koper sambil mendengus keras.

"Jangan cemberut terus. Bibir kamu nanti nggak bisa balik," ucap Abas.

Jena langsung berhenti melipat bajunya, menoleh cepat dengan mata membulat. "Apa-apaan sih ngomong gitu?!"

Abas tetap santai, bahkan nyaris tanpa ekspresi, hanya bahunya sedikit terangkat. "Fakta aja. Dari tadi bibir kamu udah kayak bebek."

Pipi Jena langsung panas. "Ih! Nyebelin banget. Kalau aku jadi bebek, berarti kamu suami bebek dong!" serang Jena cepat, berusaha membalas.

Abas menatapnya lama, lalu menghela napas pendek. "Kalau iya, ya saya pasrah. Mau apa lagi? Suami kan nggak bisa milih istri."

Jena melotot, tangannya otomatis melempar bantal ke arah Abas. "Kurang ajar!"

Bantal itu mengenai dada Abas, tapi pria itu sama sekali tidak bergeming. Ia hanya menunduk sebentar melihat bantal di pangkuannya, lalu menatap Jena lagi dengan tatapan datar yang justru membuat jantung gadis itu berdetak tak karuan.

"Sudah? Atau mau lempar koper sekalian?" ucap Abas dingin, tapi sudut bibirnya nyaris tak terlihat melengkung tipis.

Jena buru-buru memalingkan wajah, pura-pura sibuk menutup resleting koper sambil menggerutu, "Dasar manusia es. Susah banget diajak bercanda."

"Saya heran deh kenapa orang tua saya minta saya nikah sama perempuan kayak kamu. Udah berusia dua puluh empat tahun tapi kelakuan kamu kayak anak kecil. Kok pacar kamu tahan sih sama kamu?" ucap Abas sarkas.

Jena sontak menoleh dengan cepat, matanya membelalak tak percaya. "Hah?! Kamu... kamu bilang apa barusan?!"

Abas tak terguncang sedikit pun, ia bahkan merapikan jasnya dengan santai. "Ya, saya cuma heran aja. Kamu manja, gampang ngambek, mulutnya nyolot. Kalau saya jadi pacar kamu, mungkin udah kabur dari dulu."

Jena tercekat, dadanya naik-turun menahan emosi. "Mas Abas!" serunya, nadanya meninggi. "Kamu keterlaluan! Kamu pikir gampang apa jadi aku?! Kamu enak, dingin, hidup kayak robot tanpa hati! Kalau aku manja, nyolot, itu karena aku manusia normal yang punya perasaan!"

Abas menghentikan gerakannya, menatap Jena lurus dengan sorot mata yang menusuk. Sunyi sesaat.

"Kalau kamu beneran manusia normal yang punya perasaan," ucap Abas dingin, "kamu harusnya tahu kalau setiap perasaan ada konsekuensinya."

Kata-kata itu membuat Jena terdiam, seakan sesuatu menusuk dadanya. Ia menggigit bibir, menunduk dalam, tidak ingin Abas melihat matanya yang mulai berair.

Jena meraih koper kecilnya dengan kasar, menyeretnya ke pintu sambil bergumam lirih, "Aku nyesel banget mau nikah kayak gini."

Abas hanya menatap punggung Jena tanpa berkata apa-apa. Wajahnya tetap datar, tapi jemarinya sempat mengepal pelan sebelum ia akhirnya mengikuti langkah istrinya.

"Tapi saya nggak nyesal nikah sama kamu," batin Abas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 6

    Abas kembali melajukan mobilnya, roda berputar mulus di atas aspal tol yang panjang. Lampu-lampu jalan berbaris rapi, sementara suara mesin mobil berpadu dengan aliran angin dari AC.Sejak tadi, Jena duduk gelisah di kursinya. Matanya berulang kali melirik ke arah Abas, lalu buru-buru berpaling lagi setiap kali hampir ketahuan. Namun rasa khawatirnya jauh lebih besar daripada gengsi yang ia simpan.Akhirnya, dengan suara pelan tapi jelas terdengar, Jena memberanikan diri bertanya, "Mas... dada kamu sakit nggak?"Abas tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap fokus ke jalan, wajahnya tenang tanpa menunjukkan ekspresi berarti. Hanya jemari tangannya yang sempat mengecilkan genggaman di setir, sebelum kembali menguat."Sakit sedikit," jawabnya datar, seolah itu bukan hal penting. "Tapi masih bisa nyetir. Kamu tenang aja."Jena mengerutkan kening, tangannya meremas tas di pangkuan. "Kok bisa bilang 'tenang aja'? Mas tadi kebentur keras, lho. Harusnya kamu jangan sok kuat gitu. Gimana kala

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 5

    Beberapa menit kemudian, pintu kayu berwarna biru itu akhirnya berderit terbuka. Jena keluar dengan wajah merah padam, rambut sedikit berantakan karena buru-buru, dan langkahnya canggung. Ia bahkan tidak berani menatap orang-orang di warung yang jelas-jelas masih melirik sambil menahan tawa kecil.Abas yang sedari tadi bersandar dengan tangan bersedekap di dekat pintu, langsung menegakkan tubuhnya. Tatapannya menelusuri Jena sebentar, lalu sudut bibirnya terangkat tipis."Udah lega?" tanyanya datar, tapi nada suaranya penuh sindiran halus.Jena terhenti, menoleh cepat sambil melotot. "Hush! Jangan ngomong keras-keras!" bisiknya panik. "Nanti semua orang tahu!"Abas mengangkat alis santai, menunduk sedikit mendekat ke telinga Jena. Suaranya pelan, tapi jelas menusuk."Semua orang juga udah tahu, soalnya muka kamu nggak bisa bohong."Pipi Jena langsung memanas. Ia meremas tas kecil di tangannya, menahan diri untuk tidak menampar lengan suaminya itu. "Dasar dingin nyebelin! Kamu seneng b

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 4

    Jena berjalan cepat di trotoar, wajahnya masih cemberut. Bibirnya mengerucut, maju seperti paruh bebek, seakan-akan dengan begitu ia bisa melampiaskan kekesalannya pada udara. Sandalnya menghentak-hentak kecil setiap kali melangkah, menandakan mood-nya yang jelas masih buruk.Jena memilih sisi kanan jalan, padahal persis di sampingnya kendaraan lalu-lalang, sesekali mobil melintas cukup dekat.Abas yang berjalan setengah langkah di belakangnya hanya mengamati tanpa suara. Mata dinginnya memperhatikan betapa sembrono gadis itu, seolah tidak sadar betapa rawannya posisi di tepi jalan.Tanpa berkata apa-apa, Abas tiba-tiba mengulurkan tangannya. Dengan gerakan tegas namun tak kasar, ia menahan lengan Jena dan memindahkannya ke sisi kiri—menempatkan dirinya di sisi kanan, berhadapan langsung dengan lalu lintas.Jena terbelalak, menoleh cepat. "Mas Abas! Kamu ngapain sih?!"Abas tidak menatapnya. Pandangannya tetap lurus ke depan, langkahnya mantap. "Kamu jalan di pinggir banget. Kalau ada

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 3

    Perut Jena mulai terasa kosong, suara lirih keroncongan terdengar jelas di tengah kesunyian kamar hotel. Ia mendesah, menatap sekilas menu room service yang tergeletak di meja, lalu menggeleng. "Aku nggak mau makanan hotel," gumamnya pelan.Dengan langkah ringan, Jena keluar dari kamar. Udara pagi yang masih segar menyambutnya ketika ia menuruni lobi hotel. Matanya bergerak ke kanan dan kiri, seperti mencari sesuatu—atau mungkin sebenarnya hanya ingin melarikan diri dari penat yang menyesakkan di dadanya.Di sisi lain, sebuah mobil hitam baru saja berhenti di parkiran hotel. Abas turun, ke keluar dari mobil. Namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok Jena yang keluar sendirian. Gadis itu berjalan dengan langkah malas, sesekali menunduk pada ponselnya, seolah tak peduli sekitar.Abas merapatkan rahang, menghela napas panjang. Ia sempat berpikir untuk memanggilnya, tapi akhirnya urung. Sebaliknya, ia memilih langkah yang lebih diam-diam.Abas mengikuti dari kejauhan. Tidak

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 2

    Abas sudah terjaga sejak subuh, duduk di sofa dengan kemeja putih yang sudah rapi kembali. Wajahnya segar, meski semalaman ia hampir tidak tidur. Ia menatap layar tablet di tangannya, membaca email pekerjaan, seakan pernikahan semalam hanyalah agenda kecil yang bisa ia letakkan di sudut pikirannya.Sementara itu, Jena masih tertidur di ranjang besar dengan piyama berwarna pastel yang ia kenakan, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah, mungkin karena semalaman ia bergulat dengan pikirannya sendiri.Abas melirik jam tangannya, lalu berdiri. Dengan langkah tenang, ia mendekati ranjang, berhenti tepat di sisi Jena."Bangun," suaranya dalam, tegas, namun tidak keras.Jena mengerjap pelan, membuka mata dengan tatapan sayu. "Hm... Om?""Kita perlu bicara sebelum saya ambil keputusan," ucap Abas tanpa basa-basi.Jena langsung terduduk, menyibakkan selimut, wajahnya masih agak kusut tapi matanya menatap serius. "Keputusan soal kontrak?"Abas mengangguk. Ia kembali duduk di

  • Terjerat Gairah si Om Suami   Bab 1

    Resepsi pernikahan megah selesai. Musik yang sedari tadi riuh di ballroom kini berganti dengan senyap malam. Lampu-lampu gantung kristal masih berkilau, namun para tamu sudah satu per satu meninggalkan tempat.Bastian Lengkara Samudra, atau yang sering dikenal Abas, CEO berusia tiga puluh lima tahun yang dikenal dingin, cuek, dan selalu berpikir logis, berdiri tegak dengan wajah datar di samping pengantin wanitanya. Ia masih mengenakan jas hitam elegan, dasinya terikat rapi, dan sorot matanya dingin.Di sebelahnya, Jenara Cerelia Praratya—atau Jena—gadis berusia dua puluh empat tahun yang cantik dengan gaun pengantin putih sederhana, melangkah pelan. Senyumnya tadi di depan tamu hanyalah formalitas, sama seperti Abas yang menahan ekspresi apapun.Tidak ada romantisme. Tidak ada tatapan hangat.Hanya dua orang asing yang dipaksa oleh keluarga untuk menikah.*****Setelah acara usai, Abas dan Jena ke sebuah hotel mewah yang sudah disiapkan oleh orang tua Abas.Di kamar pengantin, Abas m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status