LOGINLiliy memandang putrinya dengan tatapan penuh iba saat mereka kembali memasuki rumah. Ia masih sulit menerima kenyataan bahwa Eva baru saja mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari seseorang.
Dengan suara lembut namun sarat kekhawatiran, ia berkata, “Sejak semalam kau kemana saja, Eva. Apa kau tidak memikirkan bagaimana perasaan Ayah dan Ibu yang mencemaskanmu?”
Ia duduk di samping Eva yang masih terlihat gemetar, memegangi tangannya dengan penuh kasih.
Tuan Adam yang berdiri tak jauh dari mereka menghela napas berat, menyimpan rasa frustasi yang tak mampu ia sembunyikan.
“Dengar, Eva,” ucapnya tegas. “Sejak dulu Ayah tidak pernah merasa nyaman dengan pria itu. Tapi mengapa dia bisa sampai datang ke rumah ini?”
Suasana menjadi tegang. Eva menunduk, menelan ludah dengan sulit. Pandangannya berganti-ganti antara kedua orangtuanya yang begitu khawatir. Ia tahu, mereka telah salah paham.
“Aku… aku tidak pergi bersamanya, Ayah. Aku....” Eva terdiam sejenak, tak sanggup melanjutkan. Bayangan Bryan, dan malam yang mereka lewati bersama, kembali memenuhi isi kepalanya.
Tuan Adam menyipitkan mata, mulai merasakan ada yang disembunyikan. “Lalu, mengapa kalian terlihat bersama?”
Nyonya Liliy ikut bicara, suaranya bergetar menahan kekhawatiran. Ia menggenggam kedua bahu Eva dengan lembut. “Eva, sejak semalam kami terus mencarimu. Setidaknya beri tahu kami agar tidak diliputi rasa cemas seperti ini.”
Eva menunduk makin dalam. Ia ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk memberi penjelasan, meski tidak sepenuhnya benar. “Sebenarnya… aku pergi bersama Bryan, Bu,” katanya lirih, mencoba menenangkan keresahan di wajah kedua orangtuanya.
“Bryan, apa kamu sungguh serius? Kalau memang begitu, Ayah akan memanggilnya ke sini untuk memastikan,” ujar Tuan Adam dengan nada curiga, jelas terlihat belum sepenuhnya mempercayai kata-kata putrinya.
Eva terdiam. Bukan karena takut Bryan akan datang, tetapi lebih karena ia tidak tahu bagaimana harus bersikap jika harus bertemu dengannya. Pertemanan mereka kini berada di ambang kehancuran, semua akibat satu malam yang telah melampaui batas.
“Jangan, Ayah… Tadi waktu Eva bangun, Bryan sudah pergi. Aku rasa dia tidak akan datang ke sini,” tolak Eva, menyisipkan kebohongan kecil dalam kalimatnya. Suasana pun makin hening, seolah ketegangan menggantung di udara.
Tuan Adam menghela napas panjang, seakan mencoba menurunkan emosi dan menerima penjelasan itu. “Baiklah, kali ini Ayah akan mempercayaimu. Tapi ingat, Eva, jika hal seperti ini terulang lagi, Ayah tidak akan tinggal diam.”
Nada tegas itu mengiringi tatapan lembut yang penuh kasih dari seorang ayah. Eva hanya mengangguk kecil, lalu segera naik ke lantai atas menuju kamarnya, berharap bisa menghindari pertanyaan lebih lanjut.
Sesampainya di kamar, Eva menjatuhkan tas selempangnya ke atas tempat tidur. Ia menarik napas panjang beberapa kali, seolah mencoba mengusir rasa lelah yang menguasai tubuh dan pikirannya. Namun bayangan, tentang tubuh pria itu yang terlelap di sampingnya, kembali muncul di benaknya. Gambar yang terus menghantui, meski ia sendiri tak mengingat jelas bagaimana mereka bisa berakhir di ranjang yang sama.
“Eva, kamu benar-benar sudah gila,” gumamnya dalam hati, meremas bantal empuk dengan jengkel.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mungkin sudah waktunya aku berhenti minum... Agar tidak melakukan kesalahan fatal seperti ini lagi,” keluhnya sambil mengusap wajah, masih terjebak dalam kekacauan perasaannya sendiri.
Malam minggu itu, Eva memilih mengurung diri di dalam kamar. Sejak kejadian beberapa hari lalu, ia belum berani menatap wajah Bryan, apalagi bertemu langsung dengannya. Duduk di depan layar monitor, Eva sibuk mengirimkan berkas lamaran ke sejumlah perusahaan, mencoba mengalihkan pikirannya, dari bayang-bayang masa lalu yang masih segar di ingatannya.
Namun, lamunannya buyar saat ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama Bryan muncul di layar, membuat pipi Eva memanas seketika. Ia menatap layar itu beberapa detik, ragu dan gelisah. Ia tidak berniat mengangkatnya karena belum siap. Tapi serangkaian pesan yang terus masuk, satu demi satu, membuatnya tidak punya pilihan selain menjawab.
“H-halo,” ucap Eva lirih, suaranya terdengar gugup.
“Eva, lihat ke luar jendela kamar,” kata Bryan langsung, tanpa basa-basi.
Kening Eva berkerut, namun ia segera berdiri dan berlari ke jendela. Matanya membelalak ketika mendapati Bryan tengah berdiri di luar, mengenakan kemeja putih yang sedikit melekat di tubuhnya. Sambil memenggan sebuket mawar merah di tangannya. Bahunya yang lebar dan dada bidangnya terlihat jelas, saat ia berdiri tegap menyapa dengan senyum tenang di wajah tegasnya.di bawah sana.
Matanya tajam seolah bisa membaca apa yang tersembunyi di balik diamnya Eva di atas sana, rambutnya sedikit rapi membuatnya terlihat lebih menggoda.
“K-kenapa kamu ada di sana?” tanya Eva gugup, matanya masih tertancap pada Bryan yang terlihat sangat tenang.
Bryan kembali menatap ke atas, menyunggingkan senyum menawan yang membuat dada Eva kembali berdebar tak menentu. “Apa kamu tidak bisa keluar? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
Jantung Eva serasa berhenti sesaat. Ia menduga Bryan akan membahas malam itu, malam yang telah mengubah segalanya. Ia menelan ludah, lalu berkata, “Aku... tidak bisa keluar. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan.”
Wajah Bryan tampak kesal. Ia tahu betul Eva sedang menghindar. Namun, ia tidak menyerah.
“Baiklah,” ucapnya santai. “Kalau begitu, aku akan bilang pada Om dan Tante kalau kita sudah tidur bersama.”
Mata Eva langsung melebar. Tanpa pikir panjang, ia berlari turun secepat kilat dan berdiri di hadapan Bryan dengan napas tersengal-sengal, wajahnya sedikit panik ketika Bryan menggodanya dengan candaan.
“Kamu gila, ya! Mau aku lakban mulutmu? Jangan sembarangan bicara,” ucapnya setengah membentak, sembari menutup mulut Bryan dengan tangannya.
Namun bukannya berhenti menggoda Eva, Bryan malah tersenyum nakal. Ia dengan sengaja menjilat jemari Eva, membuat gadis itu refleks menarik tangannya.
“Serius. Aku masih ingat, kamu yang mulai lebih dulu malam itu. Kamu menciumku, lalu kita....”
Eva segera memotong ucapannya, “Diam! Kamu pasti cuma mengarang. Tidak mungkin aku melakukan itu!”
Tapi di balik penolakan itu, bayangan samar tentang malam itu kembali menghampiri. Ia mulai ragu. Dengan cepat, Eva menarik Bryan masuk ke dalam mobil sebelum lebih banyak mata melihat mereka dan membuat asumsi yang keliru.
Di dalam mobil, suasana menjadi hening. Hanya suara napas dan detak jantung Eva yang seolah berdentum keras di telinganya.
Bryan memecah keheningan, kali ini dengan nada yang jauh lebih lembut. “Eva, apa kamu benar-benar tidak mengingat malam itu?”
Eva menunduk, memainkan ujung piyama yang ia kenakan. “Sebagian… tidak,” jawabnya pelan.
Bryan menatap Eva dalam-dalam, lalu menghela napas perlahan. “Tapi aku ingat semuanya, Eva.”
Mata Eva menatap ke arahnya sejenak, sebelum akhirnya berkata dengan nada bercanda, “Kalau kamu ingat… memangnya kamu mau bertanggung jawab?”
Namun candaan itu justru dibalas serius oleh Bryan. “Aku akan bertanggung jawab. Kau pikir aku akan lari?”
Eva terpaku. “A-a… apa maksudmu?”
Bryan menghela napas dalam, lalu menatap mata Eva dengan penuh kesungguhan. “Eva, aku ingin menikahimu. Jadi… maukah kamu menerima lamaranku?”
Detik itu juga, dunia seolah berhenti berputar. Ucapan Bryan menggantung di udara, mengguncang keyakinan Eva.
Mampukah ia menjawab perasaan yang bahkan belum selesai ia pahami?
Bryan menunduk sedikit, menatap Gina dengan ketulusan yang jarang ia tunjukkan pada orang lain. “Terima kasih… sudah menemani istriku,” ucapnya lirih, senyum tipis terlukis di wajahnya.Gina sempat terdiam, seolah terperangkap pada sorot mata Bryan yang meneduhkan, meski garis lelah tampak jelas di sana. Senyumnya kembali muncul, kali ini terlihat kaku, bercampur dengan kecanggung. “Tidak apa-apa. Tapi lain kali… jangan tinggalkan dia seperti tadi. Jika ada masalah, bicarakan dengan tenang. Eva bukan perempuan yang pantas menghadapi semuanya sendirian.”Bryan mengangguk pelan, merasa nasehat itu menampar kesadarannya. “Kau benar. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”Gina pun meraih tasnya, lalu segera melangkah pergi meninggalkan Bryan bersama Eva. Dari sudut matanya, Bryan sempat melihat Gina menoleh sebentar, seperti masih khawatir meninggalkan Eva. Namun pria itu tak lagi menahan. Ia hanya fokus pada Eva saat ini, yang kini tertidur dengan kepala bersandar di meja panjang minimarket
Langkah Bryan meninggalkan ruangan tadi masih terngiang di telinga Eva. Tubuhnya lemas, emosinya terkuras habis. Gina langsung menariknya keluar dari kantor, tidak ingin sahabatnya menjadi bahan tontonan karyawan lain yang mungkin sudah mencium aroma pertikaian.“Ayo ikut aku,” ujar Gina lirih sambil menggandeng tangan Eva, menjauh dari tempat itu.Eva tidak melawan. Ia terlalu lelah untuk berpikir, ia hanya mengikuti Gina yang membawanya menyeberangi jalan menuju sebuah minimarket. Malam mulai turun, lampu jalan berkelip redup, sementara suara kendaraan bersahutan memecah udara.Gina membeli dua kaleng bir dari lemari pendingin, lalu menuntun Eva ke bangku panjang di depan toko. “Kau butuh ini. Setidaknya untuk melupakan sedikit beban malam ini,” katanya menyerahkan satu kaleng ke tangan Eva.Eva menatap benda itu sedikit ragu. “Aku… tidak terbiasa.” “Lalu kau ingin menangis sampai kehabisan napas? Eva, kadang-kadang kita harus membiarkan diri kita melepaskan semuanya, meski hanya d
Hari itu terasa berjalan lambat bagi Eva, sebab semua terasa begitu kacau setelah kehadiran Juan semalam. Sejak pagi, pikirannya tidak pernah tenang saat Juan selalu mengganggu ketenangan batinnya, bagimana tidak, ia harus satu kantor dengan pria yang paling ia benci dalam hidupnya.Tatapan pria itu, meski tak diucapkan dengan kata-kata, seakan mengunci setiap geraknya. Beberapa kali Eva mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaannya, tetapi begitu ia menoleh, ia selalu mendapati Juan sedang menatapnya. Tatapan Juan terlihat begitu penuh keyakinan seolah berkata.‘Aku masih di sini, dan kau tak akan bisa lari dariku.’Gina yang duduk tak jauh darinya, sudah berkali-kali melirik pada Eva dan mulai mengkhawatirkan. Ia bisa membaca kegelisahan Eva, meskipun sahabatnya itu berusaha keras menyembunyikannya di balik senyum tipisnya.“Eva, kalau begini terus kau bisa sakit,” bisik Gina, saat mereka berpapasan di ruang arsip.&ld
Keesokan paginya, Eva membuka mata dengan perasaan yang masih berat. Ketika mengingat kejadian semalam. Eva menoleh pelan, ranjang di sampingnya kosong, tak ada Bryan yang biasa menemaninya bangun.Perasaan sepi seketika menyergap di hatinya, membuat dadanya sedikit sesak. Ia menggigit bibir, mencoba menahan rasa kecewa yang tiba-tiba muncul. Malam sebelumnya masih begitu jelas di benaknya, membuat wajahnya memanas setiap kali teringat.“Apa yang sebenarnya Bryan pikirkan tentangku? Aku bahkan tidak sepenuhnya ingat bagaimana aku bisa pulang bersamanya semalam,” batinnya meronta kala mengingat dirinya yang menangis dihadapannya, sambil memijit pelipis yang berdenyut. Rasa malu bercampur lelah membuat tubuhnya terasa berat.Dengan cepat ia beranjak, membersihkan diri, lalu bersiap menuju kantor. Namun sebelum melangkah keluar, matanya tertuju pada meja makan. Di sana sudah tersusun rapi hidangan sederhana, roti panggang hangat, segelas susu, dan beber
Ban mobil Bryan berdecit keras ketika ia berhenti mendadak di depan gang sempit itu. Lampu sorot mobilnya menembus gelap, dan pandangan matanya langsung terpaku pada satu pemandangan yang membuat darahnya mendidih, di sana ia melihat Juan tengah menggenggam lengan Eva, sementara wajah istrinya terlihat tegang penuh perlawanan.Bryan tak berpikir panjang. Ia membuka pintu mobil dengan kasar, langkahnya cepat, nafasnya memburu. “Lepaskan dia!” suaranya menggelegar, penuh amarah yang tak bisa ditahan.Juan menoleh, sedikit tersentak, namun segera kembali menegakkan bahunya. Senyum mengejek muncul di wajahnya. “Akhirnya kau datang juga, Bryan. Lihatlah, bahkan dalam keadaan seperti ini, Eva masih butuh aku untuk mendengarkannya.”Eva langsung berusaha menarik tangannya, “Lepaskan aku, Juan!” serunya, matanya berkaca-kaca. Ia melangkah mundur begitu Bryan mendekat, seakan mencari perlindungan di sisi suaminya.Bryan berdiri
“Juan… kau di sini?” suara Eva bergetar, setengah tak percaya melihat sosok itu berdiri hanya beberapa langkah darinya.“Eva, ayo kita bicara,” ucap Juan datar, matanya menyapu sekilas ke arah Gina yang menatapnya penuh curiga, seakan hendak mengusirnya dengan pandangan saja.Eva menoleh cepat, menggenggam erat ponselnya yang ternyata sudah terputus sambungan dengan Bryan. Nafasnya tersengal, mencoba menenangkan degup jantung yang berlari liar. “Gina… tunggu sebentar ya,” katanya dengan suara yang dipaksa tenang.Gina mencondongkan tubuh, wajahnya penuh kecemasan. “Kalau kau butuh bantuan, cukup teriak. Aku ada di sini,” pesannya, sembari memberi tanda dukungan tanpa perlu banyak kata.Eva mengangguk pelan, lalu melangkah mengikuti Juan ke sebuah gang sempit tak jauh dari tempat Gina berdiri. Udara malam di gang itu lebih dingin, cahaya lampu redup menyorot dinding yang kusam. Di sana, kehening







