Home / Rumah Tangga / Terjerat Godaan Sahabatku / Bab 03. Lamaran yang Tak Terduga

Share

Bab 03. Lamaran yang Tak Terduga

Author: Kanghajun
last update Last Updated: 2025-06-22 08:50:27

Liliy memandang putrinya dengan tatapan penuh iba saat mereka kembali memasuki rumah. Ia masih sulit menerima kenyataan bahwa Eva baru saja mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari seseorang. 

Dengan suara lembut namun sarat kekhawatiran, ia berkata, “Sejak semalam kau kemana saja, Eva. Apa kau tidak memikirkan bagaimana perasaan Ayah dan Ibu yang mencemaskanmu?”

Ia duduk di samping Eva yang masih terlihat gemetar, memegangi tangannya dengan penuh kasih.

Tuan Adam yang berdiri tak jauh dari mereka menghela napas berat, menyimpan rasa frustasi yang tak mampu ia sembunyikan.

“Dengar, Eva,” ucapnya tegas. “Sejak dulu Ayah tidak pernah merasa nyaman dengan pria itu. Tapi mengapa dia bisa sampai datang ke rumah ini?”

Suasana menjadi tegang. Eva menunduk, menelan ludah dengan sulit. Pandangannya berganti-ganti antara kedua orangtuanya yang begitu khawatir. Ia tahu, mereka telah salah paham.

“Aku… aku tidak pergi bersamanya, Ayah. Aku....” Eva terdiam sejenak, tak sanggup melanjutkan. Bayangan Bryan, dan malam yang mereka lewati bersama, kembali memenuhi isi kepalanya.

Tuan Adam menyipitkan mata, mulai merasakan ada yang disembunyikan.  “Lalu, mengapa kalian terlihat bersama?”

Nyonya Liliy ikut bicara, suaranya bergetar menahan kekhawatiran. Ia menggenggam kedua bahu Eva dengan lembut. “Eva, sejak semalam kami terus mencarimu. Setidaknya beri tahu kami agar tidak diliputi rasa cemas seperti ini.”

Eva menunduk makin dalam. Ia ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk memberi penjelasan, meski tidak sepenuhnya benar. “Sebenarnya… aku pergi bersama Bryan, Bu,” katanya lirih, mencoba menenangkan keresahan di wajah kedua orangtuanya.

“Bryan, apa kamu sungguh serius? Kalau memang begitu, Ayah akan memanggilnya ke sini untuk memastikan,” ujar Tuan Adam dengan nada curiga, jelas terlihat belum sepenuhnya mempercayai kata-kata putrinya.

Eva terdiam. Bukan karena takut Bryan akan datang, tetapi lebih karena ia tidak tahu bagaimana harus bersikap jika harus bertemu dengannya. Pertemanan mereka kini berada di ambang kehancuran, semua akibat satu malam yang telah melampaui batas.

“Jangan, Ayah… Tadi waktu Eva bangun, Bryan sudah pergi. Aku rasa dia tidak akan datang ke sini,” tolak Eva, menyisipkan kebohongan kecil dalam kalimatnya. Suasana pun makin hening, seolah ketegangan menggantung di udara.

Tuan Adam menghela napas panjang, seakan mencoba menurunkan emosi dan menerima penjelasan itu. “Baiklah, kali ini Ayah akan mempercayaimu. Tapi ingat, Eva, jika hal seperti ini terulang lagi, Ayah tidak akan tinggal diam.”

Nada tegas itu mengiringi tatapan lembut yang penuh kasih dari seorang ayah. Eva hanya mengangguk kecil, lalu segera naik ke lantai atas menuju kamarnya, berharap bisa menghindari pertanyaan lebih lanjut.

Sesampainya di kamar, Eva menjatuhkan tas selempangnya ke atas tempat tidur. Ia menarik napas panjang beberapa kali, seolah mencoba mengusir rasa lelah yang menguasai tubuh dan pikirannya. Namun bayangan, tentang tubuh pria itu yang terlelap di sampingnya, kembali muncul di benaknya. Gambar yang terus menghantui, meski ia sendiri tak mengingat jelas bagaimana mereka bisa berakhir di ranjang yang sama.

“Eva, kamu benar-benar sudah gila,” gumamnya dalam hati, meremas bantal empuk dengan jengkel.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mungkin sudah waktunya aku berhenti minum... Agar tidak melakukan kesalahan fatal seperti ini lagi,” keluhnya sambil mengusap wajah, masih terjebak dalam kekacauan perasaannya sendiri.

Malam minggu itu, Eva memilih mengurung diri di dalam kamar. Sejak kejadian beberapa hari lalu, ia belum berani menatap wajah Bryan, apalagi bertemu langsung dengannya. Duduk di depan layar monitor, Eva sibuk mengirimkan berkas lamaran ke sejumlah perusahaan, mencoba mengalihkan pikirannya, dari bayang-bayang masa lalu yang masih segar di ingatannya.

Namun, lamunannya buyar saat ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama Bryan muncul di layar, membuat pipi Eva memanas seketika. Ia menatap layar itu beberapa detik, ragu dan gelisah. Ia tidak berniat mengangkatnya karena belum siap. Tapi serangkaian pesan yang terus masuk, satu demi satu, membuatnya tidak punya pilihan selain menjawab.

“H-halo,” ucap Eva lirih, suaranya terdengar gugup.

“Eva, lihat ke luar jendela kamar,” kata Bryan langsung, tanpa basa-basi.

Kening Eva berkerut, namun ia segera berdiri dan berlari ke jendela. Matanya membelalak ketika mendapati Bryan tengah berdiri di luar, mengenakan kemeja putih yang sedikit melekat di tubuhnya. Sambil memenggan sebuket mawar merah di tangannya. Bahunya yang lebar dan dada bidangnya terlihat jelas, saat ia berdiri tegap menyapa dengan senyum tenang di wajah tegasnya.di bawah sana.

Matanya tajam seolah bisa membaca apa yang tersembunyi di balik diamnya Eva di atas sana, rambutnya sedikit rapi membuatnya terlihat lebih menggoda.

“K-kenapa kamu ada di sana?” tanya Eva gugup, matanya masih tertancap pada Bryan yang terlihat sangat tenang.

Bryan kembali menatap ke atas, menyunggingkan senyum menawan yang membuat dada Eva kembali berdebar tak menentu. “Apa kamu tidak bisa keluar? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”

Jantung Eva serasa berhenti sesaat. Ia menduga Bryan akan membahas malam itu, malam yang telah mengubah segalanya. Ia menelan ludah, lalu berkata, “Aku... tidak bisa keluar. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan.”

Wajah Bryan tampak kesal. Ia tahu betul Eva sedang menghindar. Namun, ia tidak menyerah.

“Baiklah,” ucapnya santai. “Kalau begitu, aku akan bilang pada Om dan Tante kalau kita sudah tidur bersama.”

Mata Eva langsung melebar. Tanpa pikir panjang, ia berlari turun secepat kilat dan berdiri di hadapan Bryan dengan napas tersengal-sengal, wajahnya sedikit panik ketika Bryan menggodanya dengan candaan.

“Kamu gila, ya! Mau aku lakban mulutmu? Jangan sembarangan bicara,” ucapnya setengah membentak, sembari menutup mulut Bryan dengan tangannya.

Namun bukannya berhenti menggoda Eva, Bryan malah tersenyum nakal. Ia dengan sengaja menjilat jemari Eva, membuat gadis itu refleks menarik tangannya.

“Serius. Aku masih ingat, kamu yang mulai lebih dulu malam itu. Kamu menciumku, lalu kita....”

Eva segera memotong ucapannya, “Diam! Kamu pasti cuma mengarang. Tidak mungkin aku melakukan itu!”

Tapi di balik penolakan itu, bayangan samar tentang malam itu kembali menghampiri. Ia mulai ragu. Dengan cepat, Eva menarik Bryan masuk ke dalam mobil sebelum lebih banyak mata melihat mereka dan membuat asumsi yang keliru.

Di dalam mobil, suasana menjadi hening. Hanya suara napas dan detak jantung Eva yang seolah berdentum keras di telinganya. 

Bryan memecah keheningan, kali ini dengan nada yang jauh lebih lembut. “Eva, apa kamu benar-benar tidak mengingat malam itu?”

Eva menunduk, memainkan ujung piyama yang ia kenakan. “Sebagian… tidak,” jawabnya pelan.

Bryan menatap Eva dalam-dalam, lalu menghela napas perlahan. “Tapi aku ingat semuanya, Eva.”

Mata Eva menatap ke arahnya sejenak, sebelum akhirnya berkata dengan nada bercanda, “Kalau kamu ingat… memangnya kamu mau bertanggung jawab?”

Namun candaan itu justru dibalas serius oleh Bryan. “Aku akan bertanggung jawab. Kau pikir aku akan lari?”

Eva terpaku. “A-a… apa maksudmu?”

Bryan menghela napas dalam, lalu menatap mata Eva dengan penuh kesungguhan. “Eva, aku ingin menikahimu. Jadi… maukah kamu menerima lamaranku?”

Detik itu juga, dunia seolah berhenti berputar. Ucapan Bryan menggantung di udara, mengguncang keyakinan Eva. 

Mampukah ia menjawab perasaan yang bahkan belum selesai ia pahami?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 11. Altar Pernikahan

    Bryan berdiri tegak di altar, jas hitamnya terpasang sempurna, namun getar halus di ujung jarinya tak bisa ia sembunyikan. Ruangan penuh cahaya itu dihiasi deretan bunga lili dan mawar putih yang semerbak, berpadu dengan denting piano yang mengalun lembut, seolah menenangkan sekaligus menegangkan setiap jiwa yang hadir.Hari itu seharusnya menjadi momen paling bahagia, hari di mana ia dan Eva akhirnya mengucapkan janji suci. Keputusan yang dipercepat, setelah Bryan berhasil meyakinkan Eva untuk menutup telinga dari rumor, dan memilih tetap melangkah bersamanya.“Tenanglah… jangan gugup,” batinnya bergumam, sembari membetulkan dasi pita yang terasa semakin menyesakkan lehernya. Tatapan tamu undangan, dari sanak keluarga hingga sahabat-sahabat terdekat, tertuju penuh harap pada dirinya. Ada yang tersenyum tulus, ada pula yang hanya berbisik penuh tanda tanya.Lalu, pintu besar itu terbuka. Cahaya matahari yang menembus kaca berwarna-warni gereja

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 10. Menyelesaikan Kesalahpahaman

    Setelah melihat foto vulgar yang mirip dengan Eva, dada Bryan seakan diremas. Ia bergegas menyusul Eva, hatinya diliputi kebingungan.Setibanya di rumah, ia menekan bel berkali-kali, namun tak ada jawaban. Nama Eva ia seru berulang, tetap saja hening. Rasa panik merayapi tubuhnya, hingga sebuah ingatan terlintas begitu saja. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju tempat itu.Dugaan Bryan ternyata tepat. Eva duduk terpaku di bangku kayu taman bermain, wajahnya tertunduk, bahunya bergetar menahan tangis. Hari yang seharusnya penuh kebahagiaan, justru menyisakan luka dalam hatinya.Langkah Bryan perlahan terhenti di hadapannya. Dengan suara pelan ia berkata, “Eva… apa karena ini kamu tidak ingin bercerita padaku?”Eva tersentak, buru-buru mengangkat wajahnya. Matanya yang sembab menatap Bryan penuh keterkejutan. “Kamu… bagaimana bisa kamu tau aku ada disini,” bisiknya lirih.“Jawab saja, Eva. Aku tidak ingin

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 09. Amarah Yang Tak Menentu

    “Bryan!” seru Eva, matanya terbelalak lega ketika suara yang sangat ia kenal terdengar tepat di hadapannya.Nyonya Lea segera menarik tangannya, wajahnya masam. “Hei, Nak, sebaiknya kau jangan ikut campur. Perempuan ini memang pantas mendapat tamparan!” ujarnya ketus, menatap lelaki itu tanpa menyadari bahwa dialah calon suami Eva.Sorot mata Bryan menajam, rahangnya mengeras mendengar penghinaan itu. “Berani sekali kau mengangkat tangan padanya. Memangnya kau siapa hingga bisa memperlakukan calon istri saya dengan cara seperti itu?!” suaranya dingin menusuk.Nyonya Lea sempat terkejut, namun segera tersenyum miring penuh kelicikan. “Oh, jadi kau laki-laki malang itu?” sindirnya tajam. “Dengar baik-baik, Nak. Wanita ini tidak pantas bersanding denganmu. Dia kotor, sok suci, dan hanya akan mempermalukanmu!”Tubuh Eva bergetar hebat. Air mata mulai memenuhi pelupuknya, bukan karena hinaan, tapi kar

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 08. Restu Keluarga

    Keduanya bergegas menuju ruangan itu, raut wajah Eva tampak makin gusar setelah mendengar suara keras dari dalam.“Ibu… jangan-jangan ayah,” gumam Eva pelan, tatapannya penuh was-was pada ibunya yang juga terlihat cemas.“Hus, jangan asal bicara. Mana mungkin ayahmu sampai memukul Bryan,” sahut sang ibu, meski nada suaranya terdengar sama khawatirnya.Tak sanggup menahan rasa penasaran, Eva langsung menarik daun pintu dengan agak keras. Namun, begitu pintu terbuka, keduanya justru terpaku kaget, ayahnya dan Bryan ternyata tengah duduk berhadapan sambil serius memainkan papan catur.“Ayah!!” teriak Eva spontan, wajahnya pucat, seolah-olah baru saja menyelamatkan Bryan dari sesuatu yang berbahaya.Tuan Adam terlonjak kaget, bidak catur di tangannya hampir jatuh. “Eva? Kenapa kamu masuk begitu saja?” tanyanya bingung melihat putrinya dan istrinya menatapnya dengan wajah panik.Sementara itu

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 07. Misi Membuatmu Jatuh Cinta

    “Aku menerima pernikahan ini... bukan karena aku mencintaimu,” ucap Eva akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat hati Bryan terasa tergores.Bryan menatapnya lekat, sorot matanya berubah, namun ia tetap tenang. Eva memberanikan diri menatap sahabatnya itu, yang kini berada di ambang harapan dan luka.“Tapi... aku harap kamu bisa mengerti,” lanjut Eva, mencoba jujur pada akhirnya.Bryan mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang jelas terpancar dari sorot matanya. “Tidak apa-apa,” katanya dengan suara pelan, lalu menarik napas dalam. “Tapi… ada satu hal lagi yang ingin aku tahu. Aku harap kamu bisa jujur kali ini.”Eva menatapnya dengan bingung. Ia tidak menduga bahwa Bryan akan bersikap setenang ini. Bukannya lega, justru ada rasa sesak yang tumbuh di dadanya. Apakah ia terlalu menyakitinya, atau Bryan justru menahan kecewa?“Jujur tentang apa?&rdq

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 06. Hubungan Yang Rumit

    Setelah mendengar suara Eva di telepon yang terdengar seperti menerima lamarannya, Bryan tidak bisa diam. Ia pun dengan cepat menemui Eva, meskipun ada rasa bahagia, namun bercampur dengan kegelisahan, tanpa sadar ia sudah berdiri di depan pintu rumah gadis itu. Dadanya berdebar kencang, dan darahnya berdesir naik ke kepala, membakar setiap pikirannya dengan tanda tanya.Ia menekan bel dengan tangan yang sedikit berkeringat, menelan ludah sembari berharap dirinya tak salah dengar. Namun, harapan itu mendadak berubah getir saat pintu terbuka.Eva berdiri di ambang pintu dengan mata sembab dan wajah sendu. Senyum yang sempat menghiasi wajah Bryan langsung pudar, berganti kecemasan yang mendalam.“Apa yang terjadi, Eva? Matamu... kamu habis menangis?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.Eva buru-buru memalingkan wajah, menyembunyikan air mata yang masih menggantung di ujung bulu matanya. “Aku... aku baik-baik saja,” ujarnya pelan,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status