LOGIN“Apa ini… hangat… dan lembut?” gumam Eva pelan, kelopak matanya terbuka perlahan, menatap langit-langit kamar hotel yang asing. Tapi yang paling mengejutkan bukanlah tempat ia terbangun, melainkan kenyataan bahwa ia sedang berbaring di ranjang yang sama, bersama Bryan.
Bryan masih tertidur, wajahnya tenang, napasnya teratur. Tubuhnya terasa hangat di samping Eva. Ia sontak terlonjak pelan, menarik selimut ke atas tubuhnya dengan panik. Matanya menatap sekeliling, lalu menunduk, menyadari bahwa ia dan Bryan sama sekali tak mengenakan sehelai benang pun.
“Apa yang terjadi semalam?” pikiran Eva kacau. Kedua tangannya menekan pelipis, mencoba mengingat kembali potongan-potongan memori tadi malam. Adelia mulai mengingat betapa seksinya Bryan ketika mereka berdua bercumbu di atas ranjang bersama.
“Aku mencium Bryan? Dan kami….” pikirannya melayang, berkabut oleh kenangan samar yang sulit ia rangkai. "Astaga, apa aku sudah gila!, Bagimana bisa kami berdua melakukan ini, dan aku tidak menyangka Bryan begitu sangat terampil melakukan ciuman," batin Eva meronta.
Dengan jantung berdebar, Eva segera turun dari ranjang, memunguti pakaian yang berserakan di lantai, dan mengenakannya dengan tergesa. Ia menatap Bryan untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan kamar hotel, tanpa membangunkannya.
Dalam perjalanan pulang, pikiran Eva dipenuhi kegelisahan. Ia tak henti-hentinya memutar ulang kejadian antara dirinya dan Bryan. Sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, kini telah melewati batas yang dulu mereka jaga sebagai sahabat.
“Oh, tidak… Eva,” gumamnya pelan sambil menyandarkan kepala ke jendela mobil, lalu tak sengaja membenturkannya sedikit terlalu keras.
Suara itu membuat sang sopir terkejut.
Ia melirik lewat kaca spion dan bertanya hati-hati, “Anda tidak apa-apa, Nona?”Eva cepat-cepat menyadari kebodohannya dan tersenyum canggung. Dengan rambut yang berantakan dan pakaian yang kusut, ia tampak seperti seseorang yang baru saja bangkit dari kekacauan.
“Ah, iya... saya tidak apa-apa,” jawabnya gugup sambil memperbaiki posisi duduk.
Setelah tiga puluh menit perjalanan yang terasa sangat lama, akhirnya ia tiba di depan rumah. Tanpa pikir panjang, Eva langsung membayar ongkos taksi dan buru-buru turun, terlalu malu untuk menunjukkan wajahnya lebih lama.
Sang sopir yang hendak mengembalikan uang kembalian, hanya bisa melongo melihat punggung Eva yang sudah menjauh. Ia pun berteriak, “Nona! Uang kembaliannya!”
Namun Eva tak menggubris. Ia melangkah cepat di jalan kecil menuju rumahnya yang terletak agak jauh dari jalan besar. “Aku benar-benar kacau,” gumamnya sambil mengeratkan tali tas selempangnya.
Namun langkahnya terhenti saat melihat sosok yang tak ingin ia temui. Wajahnya seketika membeku.
Juan mantan kekasih yang telah menghancurkan kepercayaannya, tengah berdiri dengan santainya di depan gerbang rumah, seolah tak terjadi apa-apa.
“Kamu ngapain di sini?” suara Eva terdengar datar, namun dingin, menahan gelombang emosi yang tiba-tiba menyeruak.
“E-Eva, aku bisa jelaskan. Aku tahu aku salah… Maafkan aku,” ucap Juan dengan suara lembut, segera melangkah mendekati Eva.
Namun, bagi Eva, keberadaan Juan hanya membuatnya semakin muak. Ia menatap pria itu dengan penuh kecewa dan jijik. “Aku tidak butuh penjelasan apa pun darimu,” balas Eva dingin, nadanya menusuk, tatapannya merendahkan.
Tak menyerah, Juan berlutut di hadapan Eva, kedua tangannya bersimpuh memohon, berharap permohonannya bisa mengubah keputusan sang gadis. “Aku masih mencintaimu, Eva. Aku hanya khilaf… sekali saja. Aku janji tidak akan mengulanginya,” katanya dengan suara memelas.
Eva memalingkan wajah, tak tersentuh sedikitpun oleh tangisan pura-pura Juan. “Minggir! Aku tak ingin mendengarmu lagi. Kita sudah selesai.”
Ia melangkah melewati tubuh Juan yang masih tersungkur, namun pria itu tak rela diperlakukan begitu saja.
Tiba-tiba, dengan kasar Juan menarik lengan Eva dan mendorongnya ke dinding. “Hanya karena aku sekali tidur dengan perempuan lain, kamu mau putus? Kamu gila, ya!” bentaknya penuh emosi.
Terkejut atas perilaku Juan yang kasar, membuat tubuh Eva gemetar karena rasa takut, Eva berusaha melawan, matanya membelalak marah. “Kau gila! Ini rumahku! Beraninya kau bertingkah seperti binatang di sini!” teriaknya, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Juan yang semakin menekan tubuhnya.
“Diam, dasar perempuan tak tahu diri! Mana ada pria yang sanggup menahan diri saat kekasihnya sibuk kuliah di luar negeri! Aku juga punya kebutuhan, Eva!” makinya tanpa malu, kini tangannya menutup mulut Eva dengan paksa.
Air mata mulai menggenang di mata Eva. Tubuhnya bergetar karena rasa takut, membuat kakinya lemas. Meski hatinya menjerit, ia tak mampu melawan. “Umph… lepasin aku… hiks… sakit,” lirihnya di balik tangan Juan yang mencengkeram wajahnya.
Namun sebelum hal lebih buruk terjadi, suara langkah terburu-buru terdengar dari dalam rumah. Tuan Adam, ayah Eva, yang sejak tadi menunggu kepulangan putrinya, mendengar keributan dari luar. Ketika ia membuka pintu dan melihat kejadian mengerikan itu, amarahnya meledak.
Dengan sigap, Tuan Adam menarik kerah baju Juan dan mendorongnya menjauh dari Eva. “Laki-laki macam apa kau ini?! Berani-beraninya kau perlakukan putriku seperti itu!” teriaknya berjalan ke arah pria itu, sambil menggenggam tinjunya siap menghantam wajah Juan yang terlihat terkejut.
Tak lama, Nyonya Liliy keluar menyusul, membawa mantel hangat dan segera menyelimuti tubuh putrinya yang menggigil. Tangannya bergetar saat menyentuh bahu Eva yang trauma. Wajahnya pucat, seolah jantungnya hampir berhenti menyaksikan anak perempuannya mengalami kekerasan seperti itu.
“Om… sa-saya tidak melakukan apa-apa,” elak Juan, menutupi wajahnya saat Tuan Adam melayangkan pukulan ke arah tubuhnya.
“Diam! Saya melihat tanganmu sendiri yang berani menyentuh putriku dengan cara seperti itu!” bentak Tuan Adam dengan sorot mata tajam dan amarah yang nyaris tak terbendung.
Juan masih mencoba membela diri, dengan nada sok suci. “Tidak mungkin saya menyakitinya. Saya dan Eva saling mencintai,” katanya, melirik ke arah Eva yang masih berdiri dengan tubuh gemetar penuh ketakutan.
“Cinta? Cinta macam apa yang membenarkan kekerasan seperti itu? Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah merestui anakku bersama pria sekeji dirimu. Jadi, jangan pernah datang ke sini!"
Eva yang melihat ayahnya semakin terpancing emosinya mulai merasa khawatir. Ia tidak ingin ayah yang paling ia cintai, terseret ke dalam masalah hukum hanya karena ingin melindunginya.
“Ayah… tolong hentikan. Eva tidak ingin Ayah menjadi pelaku kekerasan juga,” ucap Eva lirih, air mata mulai mengalir dari sudut matanya.
Mendengar suara Eva yang penuh harap, Tuan Adam terdiam. Napasnya memburu, tinjunya masih mengepal, namun perlahan ia melepaskan kerah baju Juan dengan penuh amarah yang tertahan.
“Cih… Kali ini kau selamat,” desisnya. “Tapi dengar baik-baik. Jika aku melihatmu menyakiti putriku lagi, walau hanya sekali, aku bersumpah, kau tidak akan pernah selamat!”
Setelah itu, Tuan Adam melangkah pergi, menghampiri istri dan anaknya dengan sorot mata yang tetap waspada. Sambil meninggalkan tempat itu.
Sementara Juan menatap penuh luka dan dendam dari kejauhan. Hatinya panas oleh penghinaan yang baru saja ia terima. Dalam hati, ia bergumam penuh kemarahan. “Lihat saja… Saat aku berhasil menjadikan Eva istriku, bukan hanya dia yang akan aku kendalikan. Aku akan balas semua penghinaan keluarga ini, berkali-kali lipat.”
Bryan menunduk sedikit, menatap Gina dengan ketulusan yang jarang ia tunjukkan pada orang lain. “Terima kasih… sudah menemani istriku,” ucapnya lirih, senyum tipis terlukis di wajahnya.Gina sempat terdiam, seolah terperangkap pada sorot mata Bryan yang meneduhkan, meski garis lelah tampak jelas di sana. Senyumnya kembali muncul, kali ini terlihat kaku, bercampur dengan kecanggung. “Tidak apa-apa. Tapi lain kali… jangan tinggalkan dia seperti tadi. Jika ada masalah, bicarakan dengan tenang. Eva bukan perempuan yang pantas menghadapi semuanya sendirian.”Bryan mengangguk pelan, merasa nasehat itu menampar kesadarannya. “Kau benar. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”Gina pun meraih tasnya, lalu segera melangkah pergi meninggalkan Bryan bersama Eva. Dari sudut matanya, Bryan sempat melihat Gina menoleh sebentar, seperti masih khawatir meninggalkan Eva. Namun pria itu tak lagi menahan. Ia hanya fokus pada Eva saat ini, yang kini tertidur dengan kepala bersandar di meja panjang minimarket
Langkah Bryan meninggalkan ruangan tadi masih terngiang di telinga Eva. Tubuhnya lemas, emosinya terkuras habis. Gina langsung menariknya keluar dari kantor, tidak ingin sahabatnya menjadi bahan tontonan karyawan lain yang mungkin sudah mencium aroma pertikaian.“Ayo ikut aku,” ujar Gina lirih sambil menggandeng tangan Eva, menjauh dari tempat itu.Eva tidak melawan. Ia terlalu lelah untuk berpikir, ia hanya mengikuti Gina yang membawanya menyeberangi jalan menuju sebuah minimarket. Malam mulai turun, lampu jalan berkelip redup, sementara suara kendaraan bersahutan memecah udara.Gina membeli dua kaleng bir dari lemari pendingin, lalu menuntun Eva ke bangku panjang di depan toko. “Kau butuh ini. Setidaknya untuk melupakan sedikit beban malam ini,” katanya menyerahkan satu kaleng ke tangan Eva.Eva menatap benda itu sedikit ragu. “Aku… tidak terbiasa.” “Lalu kau ingin menangis sampai kehabisan napas? Eva, kadang-kadang kita harus membiarkan diri kita melepaskan semuanya, meski hanya d
Hari itu terasa berjalan lambat bagi Eva, sebab semua terasa begitu kacau setelah kehadiran Juan semalam. Sejak pagi, pikirannya tidak pernah tenang saat Juan selalu mengganggu ketenangan batinnya, bagimana tidak, ia harus satu kantor dengan pria yang paling ia benci dalam hidupnya.Tatapan pria itu, meski tak diucapkan dengan kata-kata, seakan mengunci setiap geraknya. Beberapa kali Eva mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaannya, tetapi begitu ia menoleh, ia selalu mendapati Juan sedang menatapnya. Tatapan Juan terlihat begitu penuh keyakinan seolah berkata.‘Aku masih di sini, dan kau tak akan bisa lari dariku.’Gina yang duduk tak jauh darinya, sudah berkali-kali melirik pada Eva dan mulai mengkhawatirkan. Ia bisa membaca kegelisahan Eva, meskipun sahabatnya itu berusaha keras menyembunyikannya di balik senyum tipisnya.“Eva, kalau begini terus kau bisa sakit,” bisik Gina, saat mereka berpapasan di ruang arsip.&ld
Keesokan paginya, Eva membuka mata dengan perasaan yang masih berat. Ketika mengingat kejadian semalam. Eva menoleh pelan, ranjang di sampingnya kosong, tak ada Bryan yang biasa menemaninya bangun.Perasaan sepi seketika menyergap di hatinya, membuat dadanya sedikit sesak. Ia menggigit bibir, mencoba menahan rasa kecewa yang tiba-tiba muncul. Malam sebelumnya masih begitu jelas di benaknya, membuat wajahnya memanas setiap kali teringat.“Apa yang sebenarnya Bryan pikirkan tentangku? Aku bahkan tidak sepenuhnya ingat bagaimana aku bisa pulang bersamanya semalam,” batinnya meronta kala mengingat dirinya yang menangis dihadapannya, sambil memijit pelipis yang berdenyut. Rasa malu bercampur lelah membuat tubuhnya terasa berat.Dengan cepat ia beranjak, membersihkan diri, lalu bersiap menuju kantor. Namun sebelum melangkah keluar, matanya tertuju pada meja makan. Di sana sudah tersusun rapi hidangan sederhana, roti panggang hangat, segelas susu, dan beber
Ban mobil Bryan berdecit keras ketika ia berhenti mendadak di depan gang sempit itu. Lampu sorot mobilnya menembus gelap, dan pandangan matanya langsung terpaku pada satu pemandangan yang membuat darahnya mendidih, di sana ia melihat Juan tengah menggenggam lengan Eva, sementara wajah istrinya terlihat tegang penuh perlawanan.Bryan tak berpikir panjang. Ia membuka pintu mobil dengan kasar, langkahnya cepat, nafasnya memburu. “Lepaskan dia!” suaranya menggelegar, penuh amarah yang tak bisa ditahan.Juan menoleh, sedikit tersentak, namun segera kembali menegakkan bahunya. Senyum mengejek muncul di wajahnya. “Akhirnya kau datang juga, Bryan. Lihatlah, bahkan dalam keadaan seperti ini, Eva masih butuh aku untuk mendengarkannya.”Eva langsung berusaha menarik tangannya, “Lepaskan aku, Juan!” serunya, matanya berkaca-kaca. Ia melangkah mundur begitu Bryan mendekat, seakan mencari perlindungan di sisi suaminya.Bryan berdiri
“Juan… kau di sini?” suara Eva bergetar, setengah tak percaya melihat sosok itu berdiri hanya beberapa langkah darinya.“Eva, ayo kita bicara,” ucap Juan datar, matanya menyapu sekilas ke arah Gina yang menatapnya penuh curiga, seakan hendak mengusirnya dengan pandangan saja.Eva menoleh cepat, menggenggam erat ponselnya yang ternyata sudah terputus sambungan dengan Bryan. Nafasnya tersengal, mencoba menenangkan degup jantung yang berlari liar. “Gina… tunggu sebentar ya,” katanya dengan suara yang dipaksa tenang.Gina mencondongkan tubuh, wajahnya penuh kecemasan. “Kalau kau butuh bantuan, cukup teriak. Aku ada di sini,” pesannya, sembari memberi tanda dukungan tanpa perlu banyak kata.Eva mengangguk pelan, lalu melangkah mengikuti Juan ke sebuah gang sempit tak jauh dari tempat Gina berdiri. Udara malam di gang itu lebih dingin, cahaya lampu redup menyorot dinding yang kusam. Di sana, kehening







