Eva terpaku mendengar lamaran itu. Hatinya berdebar kencang, tapi lidahnya kelu. Belum sempat ia memberi jawaban, suara ketukan pelan di kaca mobil membuatnya tersentak. Ia menoleh ke arah suara dan mendapati sosok ayahnya berdiri di luar mobil.
Panik langsung menyelimuti wajahnya. Ia menoleh cepat pada Bryan yang masih duduk santai, seperti tak terjadi apa-apa.
“Mengapa Ayahku bisa ada di sini,” bisiknya gugup.
Bryan hanya mengangkat bahu sambil tersenyum menggoda. “Mana aku tahu? Mungkin dia tahu kamu sedang bersamaku.”
Eva mengerucutkan bibirnya sebal, lalu menepuk lengan Bryan pelan. “Dasar kamu!”
Sementara itu, dari luar mobil, Tuan Adam tampak mencoba mengintip ke dalam, meskipun sulit karena kaca mobil yang gelap. Namun, ia mengenali mobil tersebut. Dengan nada sopan, ia memanggil, “Nak, kamu di dalam, ya?”
Eva langsung menoleh panik ke arah Bryan. “Cepat keluar! Dan jangan coba-coba bilang hal yang aneh tentang aku, atau kamu akan menyesal,” bisiknya penuh ancaman.
Bryan justru tersenyum semakin lebar, seolah menikmati kegelisahan Eva. “Tergantung. Kalau kamu terima lamaranku, mungkin aku akan tetap diam,” candanya sembari membuka pintu mobil.
“Bryan, kamu gila!” desis Eva, kesal, sambil menendang pelan kakinya dari dalam mobil.
Dari balik kaca, Eva memperhatikan Bryan dan ayahnya yang tengah berbincang. Meskipun tidak bisa mendengar apapun, ia bisa membaca gestur tubuh mereka, keduanya tampak santai, bahkan ayahnya tersenyum.
Wajah Eva dipenuhi rasa penasaran. “Apa yang sedang kalian bicarakan sampai ayahku terlihat begitu senang,” gumamnya pelan.
Beberapa menit kemudian, Tuan Adam berpamitan dan berjalan menjauh. Bryan kembali masuk ke dalam mobil dengan senyum misterius.
“Apa yang kamu bicarakan dengan Ayahku?” tanya Eva waspada, tatapannya curiga.
Bryan menyandarkan tubuh santai ke kursinya. “Kenapa? Kamu takut aku cerita hal yang seharusnya tidak diceritakan?”
Eva memutar bola matanya. “Bryan! Jangan bilang kamu benar-benar membahas soal, itu?”
Bryan hanya tersenyum menggoda. “Tebak saja.”
Eva mendesah frustasi. “Astaga, aku bisa gila kalau terus berbicara denganmu. Kenapa kamu tidak pernah serius?”
Dengan kesal, Eva membuka pintu dan segera keluar dari mobil. Tapi sebelum sempat melangkah lebih jauh, Bryan menarik tangannya dan mengecup bibirnya sekilas singkat, namun cukup membuat dunia Eva berhenti berputar.
Matanya membelalak. Ia segera mendorong Bryan menjauh dan berlari menuju rumah, sementara Bryan hanya tersenyum puas melihat reaksinya.
Dengan wajah memerah seperti buah leci matang, Eva masuk ke rumah. Kedua orang tuanya yang sedang menonton televisi hanya saling berpandangan, heran melihat putri mereka melintas cepat seperti dikejar sesuatu.
Di dalam kamar, Eva memegang dadanya yang masih berdetak kencang. “Apa-apaan tadi? Kenapa dia menciumku begitu saja? Apa dia sudah tidak waras?”
Ia membenamkan wajahnya ke bantal, wajahnya masih panas.
“Sejak kapan anak laki-laki yang dulu penakut itu, jadi seberani ini,” gumamnya sambil tersenyum kecut, mengingat Bryan kecil yang dulu sering menangis, hanya karena jatuh atau dimarahi, kini tumbuh menjadi pria yang tampan dan keren.
Pagi itu, Eva terbangun dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Malam sebelumnya benar-benar membuat pikirannya kacau. Lamaran Bryan yang tiba-tiba, ditambah ciuman mendadaknya, terus terngiang di benaknya dan membuat perasaannya semakin rumit.
Berusaha mengalihkan pikirannya, Eva memutuskan untuk turun dan pergi ke restoran milik ayahnya. Ia berniat membantu di sana sementara ia belum kembali bekerja secara profesional. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat seseorang yang tak asing berdiri di balik meja pelayanan.
Pria itu menoleh dan tersenyum lebar ketika melihatnya. Apron masih terikat rapi di tubuhnya, menambah kesan santai namun memesona.
“Jam makan pagi sudah lewat. Apa kamu hanya akan berdiri di situ saja?” tanyanya sambil menyapu Eva dengan pandangan nakal, memperhatikan penampilannya yang sederhana dengan kaos hitam dan celana pendek.
Eva mendecak pelan, menahan kesal. “Bryan! Kenapa kamu bisa ada di restoran ayahku? Memangnya kamu nggak punya pekerjaan lain yang lebih penting,” ujarnya dengan nada menyindir, masih tidak bisa melupakan kejadian kemarin.
Belum sempat Bryan menjawab, Tuan Adam muncul dari dapur dan langsung menimpali, “Sekarang, Bryan yang akan membantu ayah di sini. Toh, selama ini kamu juga tidak menunjukkan minat untuk mengembangkan restoran keluarga.”
Eva merengut. “Tapi Ayah... Dia itu sudah sangat kaya. Lagipula, dia nggak kekurangan uang, kenapa harus bekerja di tempat kita?” protesnya, menatap Bryan penuh curiga.
“Siapa bilang orang kaya nggak butuh kerja?” sahut Bryan santai, melirik Eva dengan senyum menggoda. “Aku juga butuh pemasukan buat bayar kolosal gems-ku, tahu.”
Tuan Adam langsung menyela sebelum perdebatan itu makin panjang. “Sudah, sudah. Ayah nggak keberatan menerima bantuan dari siapapun, Bryan juga datang menawarkan diri, bukan ayah yang memintanya. Jadi sekarang, lebih baik kamu fokus saja, lihat apa yang bisa kamu bantu.”
Setelah itu, Tuan Adam pun kembali masuk ke dapur, meninggalkan Eva yang masih menatap Bryan dengan wajah tak percaya. Bryan hanya tersenyum lebar, jelas merasa menang dalam situasi itu.
Meskipun Eva adalah anak dari pemilik restoran daging terkenal, ia sendiri tidak pernah bercita-cita mengikuti jejak ayahnya. Berbeda dengan Bryan, yang lahir dari keluarga berada, namun justru ingin membuktikan dirinya tanpa bergantung pada latar belakang.
Tak lama setelah restoran dibuka, suasana menjadi sedikit riuh. Sekelompok gadis muda mulai memenuhi meja-meja, senyum mereka mengembang begitu melihat Bryan tengah membersihkan kaca jendela restoran dengan santai. Wajahnya yang tampan dan sikapnya yang ramah jelas menarik perhatian.
“Kyaa! Dia ganteng banget... Aku harus cari cara buat minta nomornya,” bisik salah satu pelanggan wanita dengan mata berbinar dari sudut ruangan.
Eva yang sedari tadi mendengar bisik-bisik penuh kekaguman itu merasa tidak nyaman. Ia menghela napas panjang, lalu berjalan ke dapur dengan langkah kesal. Setelah mengambil pesanan mereka, ia kembali ke meja para wanita tersebut dan meletakkan hidangan dengan gerakan sedikit kasar, nyaris tanpa senyum.
“Percuma saja kalian minta nomornya. Dia tidak tertarik pada wanita,” ucap Eva sinis, lalu berlalu begitu saja meninggalkan meja itu. Ucapannya mengejutkan semua orang, terutama Bryan yang sempat mendengarnya dari kejauhan.
Sejenak suasana menjadi canggung. Bryan menatap ke arah Eva yang berjalan pergi, bingung dengan sikapnya. Ia mengenalnya sebagai gadis tenang dan mandiri, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Mungkin, untuk pertama kalinya, Bryan melihat Eva menunjukkan tanda-tanda cemburu. Sayangnya, Eva sendiri masih belum menyadarinya, terkungkung dalam batas pertemanan yang selama ini mereka jaga.
Saat hatinya baru mulai disentuh oleh kehangatan rasa yang belum dikenalnya, takdir menghadirkan bayang kelam dari pria yang telah mengkhianatinya. Di tengah langkah kakinya meninggalkan restoran, karena sudah tak selera makan melihat hiruk-pikuk para pengunjung yang memuja Bryan, Eva dikejutkan oleh suara yang tak asing.
“Eva, kita bertemu lagi, sayang,” sapa Juan, mantan kekasihnya yang kini berdiri tepat di hadapannya.
Tubuh Eva menegang seketika. Kenangan akan perlakuan kasar Juan beberapa hari lalu masih membekas dan menorehkan trauma. Ia melangkah mundur, berniat melarikan diri, namun Juan dengan sigap menarik lengannya dan menyeretnya ke lorong sempit tak jauh dari restoran.
“Kamu mau apa?” tanya Eva gemetar, tatapannya panik.
Juan tersenyum dengan penuh arti yang membuat bulu kuduk Eva meremang. “Tentu saja aku hanya ingin bertemu denganmu, Eva. Aku sudah memohon agar kamu memaafkanku, tapi kamu terlalu angkuh. Padahal, aku masih sangat mencintaimu,” ucapnya pelan, namun tangannya mulai bergerak melewati batas.
Tatapan Juan menyusuri tubuh Eva yang tertutup kaus tipis, dan jemarinya mulai mengusik kenyamanan gadis itu. Eva segera memejamkan matanya, tubuhnya bergetar, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berlalu.
“Tolong, Juan... Jangan lakukan ini. Ini salah,” pinta Eva dengan suara bergetar, penuh ketakutan. Namun Juan tetap tidak bergeming, ia semakin mendesak ruang gerak Eva.
Tepat ketika situasi menjadi semakin genting, sebuah suara terdengar dari balik bayang lorong.
“Apa yang sedang terjadi di sini, Eva?”
Bryan muncul dengan wajah terkejut, menatap Juan yang tengah menghimpit Eva. Matanya menatap Eva penuh tanya dan kebingungan. Dari sudut pandangnya, apa yang ia lihat tampak seperti kedekatan yang tak asing, membuat pikirannya dipenuhi prasangka.
“Jangan-jangan... kau masih memilih dia?”
Bryan berdiri tegak di altar, jas hitamnya terpasang sempurna, namun getar halus di ujung jarinya tak bisa ia sembunyikan. Ruangan penuh cahaya itu dihiasi deretan bunga lili dan mawar putih yang semerbak, berpadu dengan denting piano yang mengalun lembut, seolah menenangkan sekaligus menegangkan setiap jiwa yang hadir.Hari itu seharusnya menjadi momen paling bahagia, hari di mana ia dan Eva akhirnya mengucapkan janji suci. Keputusan yang dipercepat, setelah Bryan berhasil meyakinkan Eva untuk menutup telinga dari rumor, dan memilih tetap melangkah bersamanya.“Tenanglah… jangan gugup,” batinnya bergumam, sembari membetulkan dasi pita yang terasa semakin menyesakkan lehernya. Tatapan tamu undangan, dari sanak keluarga hingga sahabat-sahabat terdekat, tertuju penuh harap pada dirinya. Ada yang tersenyum tulus, ada pula yang hanya berbisik penuh tanda tanya.Lalu, pintu besar itu terbuka. Cahaya matahari yang menembus kaca berwarna-warni gereja
Setelah melihat foto vulgar yang mirip dengan Eva, dada Bryan seakan diremas. Ia bergegas menyusul Eva, hatinya diliputi kebingungan.Setibanya di rumah, ia menekan bel berkali-kali, namun tak ada jawaban. Nama Eva ia seru berulang, tetap saja hening. Rasa panik merayapi tubuhnya, hingga sebuah ingatan terlintas begitu saja. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju tempat itu.Dugaan Bryan ternyata tepat. Eva duduk terpaku di bangku kayu taman bermain, wajahnya tertunduk, bahunya bergetar menahan tangis. Hari yang seharusnya penuh kebahagiaan, justru menyisakan luka dalam hatinya.Langkah Bryan perlahan terhenti di hadapannya. Dengan suara pelan ia berkata, “Eva… apa karena ini kamu tidak ingin bercerita padaku?”Eva tersentak, buru-buru mengangkat wajahnya. Matanya yang sembab menatap Bryan penuh keterkejutan. “Kamu… bagaimana bisa kamu tau aku ada disini,” bisiknya lirih.“Jawab saja, Eva. Aku tidak ingin
“Bryan!” seru Eva, matanya terbelalak lega ketika suara yang sangat ia kenal terdengar tepat di hadapannya.Nyonya Lea segera menarik tangannya, wajahnya masam. “Hei, Nak, sebaiknya kau jangan ikut campur. Perempuan ini memang pantas mendapat tamparan!” ujarnya ketus, menatap lelaki itu tanpa menyadari bahwa dialah calon suami Eva.Sorot mata Bryan menajam, rahangnya mengeras mendengar penghinaan itu. “Berani sekali kau mengangkat tangan padanya. Memangnya kau siapa hingga bisa memperlakukan calon istri saya dengan cara seperti itu?!” suaranya dingin menusuk.Nyonya Lea sempat terkejut, namun segera tersenyum miring penuh kelicikan. “Oh, jadi kau laki-laki malang itu?” sindirnya tajam. “Dengar baik-baik, Nak. Wanita ini tidak pantas bersanding denganmu. Dia kotor, sok suci, dan hanya akan mempermalukanmu!”Tubuh Eva bergetar hebat. Air mata mulai memenuhi pelupuknya, bukan karena hinaan, tapi kar
Keduanya bergegas menuju ruangan itu, raut wajah Eva tampak makin gusar setelah mendengar suara keras dari dalam.“Ibu… jangan-jangan ayah,” gumam Eva pelan, tatapannya penuh was-was pada ibunya yang juga terlihat cemas.“Hus, jangan asal bicara. Mana mungkin ayahmu sampai memukul Bryan,” sahut sang ibu, meski nada suaranya terdengar sama khawatirnya.Tak sanggup menahan rasa penasaran, Eva langsung menarik daun pintu dengan agak keras. Namun, begitu pintu terbuka, keduanya justru terpaku kaget, ayahnya dan Bryan ternyata tengah duduk berhadapan sambil serius memainkan papan catur.“Ayah!!” teriak Eva spontan, wajahnya pucat, seolah-olah baru saja menyelamatkan Bryan dari sesuatu yang berbahaya.Tuan Adam terlonjak kaget, bidak catur di tangannya hampir jatuh. “Eva? Kenapa kamu masuk begitu saja?” tanyanya bingung melihat putrinya dan istrinya menatapnya dengan wajah panik.Sementara itu
“Aku menerima pernikahan ini... bukan karena aku mencintaimu,” ucap Eva akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat hati Bryan terasa tergores.Bryan menatapnya lekat, sorot matanya berubah, namun ia tetap tenang. Eva memberanikan diri menatap sahabatnya itu, yang kini berada di ambang harapan dan luka.“Tapi... aku harap kamu bisa mengerti,” lanjut Eva, mencoba jujur pada akhirnya.Bryan mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang jelas terpancar dari sorot matanya. “Tidak apa-apa,” katanya dengan suara pelan, lalu menarik napas dalam. “Tapi… ada satu hal lagi yang ingin aku tahu. Aku harap kamu bisa jujur kali ini.”Eva menatapnya dengan bingung. Ia tidak menduga bahwa Bryan akan bersikap setenang ini. Bukannya lega, justru ada rasa sesak yang tumbuh di dadanya. Apakah ia terlalu menyakitinya, atau Bryan justru menahan kecewa?“Jujur tentang apa?&rdq
Setelah mendengar suara Eva di telepon yang terdengar seperti menerima lamarannya, Bryan tidak bisa diam. Ia pun dengan cepat menemui Eva, meskipun ada rasa bahagia, namun bercampur dengan kegelisahan, tanpa sadar ia sudah berdiri di depan pintu rumah gadis itu. Dadanya berdebar kencang, dan darahnya berdesir naik ke kepala, membakar setiap pikirannya dengan tanda tanya.Ia menekan bel dengan tangan yang sedikit berkeringat, menelan ludah sembari berharap dirinya tak salah dengar. Namun, harapan itu mendadak berubah getir saat pintu terbuka.Eva berdiri di ambang pintu dengan mata sembab dan wajah sendu. Senyum yang sempat menghiasi wajah Bryan langsung pudar, berganti kecemasan yang mendalam.“Apa yang terjadi, Eva? Matamu... kamu habis menangis?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.Eva buru-buru memalingkan wajah, menyembunyikan air mata yang masih menggantung di ujung bulu matanya. “Aku... aku baik-baik saja,” ujarnya pelan,