Home / Rumah Tangga / Terjerat Godaan Sahabatku / Bab. 04 Sebuah Penolakan

Share

Bab. 04 Sebuah Penolakan

Author: Kanghajun
last update Last Updated: 2025-06-22 09:14:56

Eva terpaku mendengar lamaran itu. Hatinya berdebar kencang, tapi lidahnya kelu. Belum sempat ia memberi jawaban, suara ketukan pelan di kaca mobil membuatnya tersentak. Ia menoleh ke arah suara dan mendapati sosok ayahnya berdiri di luar mobil.

Panik langsung menyelimuti wajahnya. Ia menoleh cepat pada Bryan yang masih duduk santai, seperti tak terjadi apa-apa.

“Mengapa Ayahku bisa ada di sini,” bisiknya gugup.

Bryan hanya mengangkat bahu sambil tersenyum menggoda. “Mana aku tahu? Mungkin dia tahu kamu sedang bersamaku.”

Eva mengerucutkan bibirnya sebal, lalu menepuk lengan Bryan pelan. “Dasar kamu!”

Sementara itu, dari luar mobil, Tuan Adam tampak mencoba mengintip ke dalam, meskipun sulit karena kaca mobil yang gelap. Namun, ia mengenali mobil tersebut. Dengan nada sopan, ia memanggil, “Nak, kamu di dalam, ya?”

Eva langsung menoleh panik ke arah Bryan. “Cepat keluar! Dan jangan coba-coba bilang hal yang aneh tentang aku, atau kamu akan menyesal,” bisiknya penuh ancaman.

Bryan justru tersenyum semakin lebar, seolah menikmati kegelisahan Eva. “Tergantung. Kalau kamu terima lamaranku, mungkin aku akan tetap diam,” candanya sembari membuka pintu mobil.

“Bryan, kamu gila!” desis Eva, kesal, sambil menendang pelan kakinya dari dalam mobil.

Dari balik kaca, Eva memperhatikan Bryan dan ayahnya yang tengah berbincang. Meskipun tidak bisa mendengar apapun, ia bisa membaca gestur tubuh mereka, keduanya tampak santai, bahkan ayahnya tersenyum.

Wajah Eva dipenuhi rasa penasaran. “Apa yang sedang kalian bicarakan sampai ayahku terlihat begitu senang,” gumamnya pelan.

Beberapa menit kemudian, Tuan Adam berpamitan dan berjalan menjauh. Bryan kembali masuk ke dalam mobil dengan senyum misterius.

“Apa yang kamu bicarakan dengan Ayahku?” tanya Eva waspada, tatapannya curiga.

Bryan menyandarkan tubuh santai ke kursinya. “Kenapa? Kamu takut aku cerita hal yang seharusnya tidak diceritakan?”

Eva memutar bola matanya. “Bryan! Jangan bilang kamu benar-benar membahas soal, itu?”

Bryan hanya tersenyum menggoda. “Tebak saja.”

Eva mendesah frustasi. “Astaga, aku bisa gila kalau terus berbicara denganmu. Kenapa kamu tidak pernah serius?”

Dengan kesal, Eva membuka pintu dan segera keluar dari mobil. Tapi sebelum sempat melangkah lebih jauh, Bryan menarik tangannya dan mengecup bibirnya sekilas singkat, namun cukup membuat dunia Eva berhenti berputar.

Matanya membelalak. Ia segera mendorong Bryan menjauh dan berlari menuju rumah, sementara Bryan hanya tersenyum puas melihat reaksinya.

Dengan wajah memerah seperti buah leci matang, Eva masuk ke rumah. Kedua orang tuanya yang sedang menonton televisi hanya saling berpandangan, heran melihat putri mereka melintas cepat seperti dikejar sesuatu.

Di dalam kamar, Eva memegang dadanya yang masih berdetak kencang. “Apa-apaan tadi? Kenapa dia menciumku begitu saja? Apa dia sudah tidak waras?”

Ia membenamkan wajahnya ke bantal, wajahnya masih panas.

“Sejak kapan anak laki-laki yang dulu penakut itu, jadi seberani ini,” gumamnya sambil tersenyum kecut, mengingat Bryan kecil yang dulu sering menangis, hanya karena jatuh atau dimarahi, kini tumbuh menjadi pria yang tampan dan keren.

Pagi itu, Eva terbangun dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Malam sebelumnya benar-benar membuat pikirannya kacau. Lamaran Bryan yang tiba-tiba, ditambah ciuman mendadaknya, terus terngiang di benaknya dan membuat perasaannya semakin rumit.

Berusaha mengalihkan pikirannya, Eva memutuskan untuk turun dan pergi ke restoran milik ayahnya. Ia berniat membantu di sana sementara ia belum kembali bekerja secara profesional. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat seseorang yang tak asing berdiri di balik meja pelayanan.

Pria itu menoleh dan tersenyum lebar ketika melihatnya. Apron masih terikat rapi di tubuhnya, menambah kesan santai namun memesona.

“Jam makan pagi sudah lewat. Apa kamu hanya akan berdiri di situ saja?” tanyanya sambil menyapu Eva dengan pandangan nakal, memperhatikan penampilannya yang sederhana dengan kaos hitam dan celana pendek.

Eva mendecak pelan, menahan kesal. “Bryan! Kenapa kamu bisa ada di restoran ayahku? Memangnya kamu nggak punya pekerjaan lain yang lebih penting,” ujarnya dengan nada menyindir, masih tidak bisa melupakan kejadian kemarin.

Belum sempat Bryan menjawab, Tuan Adam muncul dari dapur dan langsung menimpali, “Sekarang, Bryan yang akan membantu ayah di sini. Toh, selama ini kamu juga tidak menunjukkan minat untuk mengembangkan restoran keluarga.”

Eva merengut. “Tapi Ayah... Dia itu sudah sangat kaya. Lagipula, dia nggak kekurangan uang, kenapa harus bekerja di tempat kita?” protesnya, menatap Bryan penuh curiga.

“Siapa bilang orang kaya nggak butuh kerja?” sahut Bryan santai, melirik Eva dengan senyum menggoda. “Aku juga butuh pemasukan buat bayar kolosal gems-ku, tahu.”

Tuan Adam langsung menyela sebelum perdebatan itu makin panjang. “Sudah, sudah. Ayah nggak keberatan menerima bantuan dari siapapun, Bryan juga datang menawarkan diri, bukan ayah yang memintanya. Jadi sekarang, lebih baik kamu fokus saja, lihat apa yang bisa kamu bantu.”

Setelah itu, Tuan Adam pun kembali masuk ke dapur, meninggalkan Eva yang masih menatap Bryan dengan wajah tak percaya. Bryan hanya tersenyum lebar, jelas merasa menang dalam situasi itu.

Meskipun Eva adalah anak dari pemilik restoran daging terkenal, ia sendiri tidak pernah bercita-cita mengikuti jejak ayahnya. Berbeda dengan Bryan, yang lahir dari keluarga berada, namun justru ingin membuktikan dirinya tanpa bergantung pada latar belakang.

Tak lama setelah restoran dibuka, suasana menjadi sedikit riuh. Sekelompok gadis muda mulai memenuhi meja-meja, senyum mereka mengembang begitu melihat Bryan tengah membersihkan kaca jendela restoran dengan santai. Wajahnya yang tampan dan sikapnya yang ramah jelas menarik perhatian.

“Kyaa! Dia ganteng banget... Aku harus cari cara buat minta nomornya,” bisik salah satu pelanggan wanita dengan mata berbinar dari sudut ruangan.

Eva yang sedari tadi mendengar bisik-bisik penuh kekaguman itu merasa tidak nyaman. Ia menghela napas panjang, lalu berjalan ke dapur dengan langkah kesal. Setelah mengambil pesanan mereka, ia kembali ke meja para wanita tersebut dan meletakkan hidangan dengan gerakan sedikit kasar, nyaris tanpa senyum.

“Percuma saja kalian minta nomornya. Dia tidak tertarik pada wanita,” ucap Eva sinis, lalu berlalu begitu saja meninggalkan meja itu. Ucapannya mengejutkan semua orang, terutama Bryan yang sempat mendengarnya dari kejauhan.

Sejenak suasana menjadi canggung. Bryan menatap ke arah Eva yang berjalan pergi, bingung dengan sikapnya. Ia mengenalnya sebagai gadis tenang dan mandiri, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Mungkin, untuk pertama kalinya, Bryan melihat Eva menunjukkan tanda-tanda cemburu. Sayangnya, Eva sendiri masih belum menyadarinya, terkungkung dalam batas pertemanan yang selama ini mereka jaga.

Saat hatinya baru mulai disentuh oleh kehangatan rasa yang belum dikenalnya, takdir menghadirkan bayang kelam dari pria yang telah mengkhianatinya. Di tengah langkah kakinya meninggalkan restoran, karena sudah tak selera makan melihat hiruk-pikuk para pengunjung yang memuja Bryan, Eva dikejutkan oleh suara yang tak asing.

“Eva, kita bertemu lagi, sayang,” sapa Juan, mantan kekasihnya yang kini berdiri tepat di hadapannya.

Tubuh Eva menegang seketika. Kenangan akan perlakuan kasar Juan beberapa hari lalu masih membekas dan menorehkan trauma. Ia melangkah mundur, berniat melarikan diri, namun Juan dengan sigap menarik lengannya dan menyeretnya ke lorong sempit tak jauh dari restoran.

“Kamu mau apa?” tanya Eva gemetar, tatapannya panik.

Juan tersenyum dengan penuh arti yang membuat bulu kuduk Eva meremang. “Tentu saja aku hanya ingin bertemu denganmu, Eva. Aku sudah memohon agar kamu memaafkanku, tapi kamu terlalu angkuh. Padahal, aku masih sangat mencintaimu,” ucapnya pelan, namun tangannya mulai bergerak melewati batas.

Tatapan Juan menyusuri tubuh Eva yang tertutup kaus tipis, dan jemarinya mulai mengusik kenyamanan gadis itu. Eva segera memejamkan matanya, tubuhnya bergetar, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berlalu.

“Tolong, Juan... Jangan lakukan ini. Ini salah,” pinta Eva dengan suara bergetar, penuh ketakutan. Namun Juan tetap tidak bergeming, ia semakin mendesak ruang gerak Eva.

Tepat ketika situasi menjadi semakin genting, sebuah suara terdengar dari balik bayang lorong.

“Apa yang sedang terjadi di sini, Eva?”

Bryan muncul dengan wajah terkejut, menatap Juan yang tengah menghimpit Eva. Matanya menatap Eva penuh tanya dan kebingungan. Dari sudut pandangnya, apa yang ia lihat tampak seperti kedekatan yang tak asing, membuat pikirannya dipenuhi prasangka.

“Jangan-jangan... kau masih memilih dia?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 34. Kemarahan yang Dipenuhi Hasrat

    Bryan menunduk sedikit, menatap Gina dengan ketulusan yang jarang ia tunjukkan pada orang lain. “Terima kasih… sudah menemani istriku,” ucapnya lirih, senyum tipis terlukis di wajahnya.Gina sempat terdiam, seolah terperangkap pada sorot mata Bryan yang meneduhkan, meski garis lelah tampak jelas di sana. Senyumnya kembali muncul, kali ini terlihat kaku, bercampur dengan kecanggung. “Tidak apa-apa. Tapi lain kali… jangan tinggalkan dia seperti tadi. Jika ada masalah, bicarakan dengan tenang. Eva bukan perempuan yang pantas menghadapi semuanya sendirian.”Bryan mengangguk pelan, merasa nasehat itu menampar kesadarannya. “Kau benar. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”Gina pun meraih tasnya, lalu segera melangkah pergi meninggalkan Bryan bersama Eva. Dari sudut matanya, Bryan sempat melihat Gina menoleh sebentar, seperti masih khawatir meninggalkan Eva. Namun pria itu tak lagi menahan. Ia hanya fokus pada Eva saat ini, yang kini tertidur dengan kepala bersandar di meja panjang minimarket

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 33. Retakan yang Terlihat

    Langkah Bryan meninggalkan ruangan tadi masih terngiang di telinga Eva. Tubuhnya lemas, emosinya terkuras habis. Gina langsung menariknya keluar dari kantor, tidak ingin sahabatnya menjadi bahan tontonan karyawan lain yang mungkin sudah mencium aroma pertikaian.“Ayo ikut aku,” ujar Gina lirih sambil menggandeng tangan Eva, menjauh dari tempat itu.Eva tidak melawan. Ia terlalu lelah untuk berpikir, ia hanya mengikuti Gina yang membawanya menyeberangi jalan menuju sebuah minimarket. Malam mulai turun, lampu jalan berkelip redup, sementara suara kendaraan bersahutan memecah udara.Gina membeli dua kaleng bir dari lemari pendingin, lalu menuntun Eva ke bangku panjang di depan toko. “Kau butuh ini. Setidaknya untuk melupakan sedikit beban malam ini,” katanya menyerahkan satu kaleng ke tangan Eva.Eva menatap benda itu sedikit ragu. “Aku… tidak terbiasa.” “Lalu kau ingin menangis sampai kehabisan napas? Eva, kadang-kadang kita harus membiarkan diri kita melepaskan semuanya, meski hanya d

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 32. Bara yang Tersulut

    Hari itu terasa berjalan lambat bagi Eva, sebab semua terasa begitu kacau setelah kehadiran Juan semalam. Sejak pagi, pikirannya tidak pernah tenang saat Juan selalu mengganggu ketenangan batinnya, bagimana tidak, ia harus satu kantor dengan pria yang paling ia benci dalam hidupnya.Tatapan pria itu, meski tak diucapkan dengan kata-kata, seakan mengunci setiap geraknya. Beberapa kali Eva mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaannya, tetapi begitu ia menoleh, ia selalu mendapati Juan sedang menatapnya. Tatapan Juan terlihat begitu penuh keyakinan seolah berkata.‘Aku masih di sini, dan kau tak akan bisa lari dariku.’Gina yang duduk tak jauh darinya, sudah berkali-kali melirik pada Eva dan mulai mengkhawatirkan. Ia bisa membaca kegelisahan Eva, meskipun sahabatnya itu berusaha keras menyembunyikannya di balik senyum tipisnya.“Eva, kalau begini terus kau bisa sakit,” bisik Gina, saat mereka berpapasan di ruang arsip.&ld

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 31. Berusaha untuk Lupa

    Keesokan paginya, Eva membuka mata dengan perasaan yang masih berat. Ketika mengingat kejadian semalam. Eva menoleh pelan, ranjang di sampingnya kosong, tak ada Bryan yang biasa menemaninya bangun.Perasaan sepi seketika menyergap di hatinya, membuat dadanya sedikit sesak. Ia menggigit bibir, mencoba menahan rasa kecewa yang tiba-tiba muncul. Malam sebelumnya masih begitu jelas di benaknya, membuat wajahnya memanas setiap kali teringat.“Apa yang sebenarnya Bryan pikirkan tentangku? Aku bahkan tidak sepenuhnya ingat bagaimana aku bisa pulang bersamanya semalam,” batinnya meronta kala mengingat dirinya yang menangis dihadapannya, sambil memijit pelipis yang berdenyut. Rasa malu bercampur lelah membuat tubuhnya terasa berat.Dengan cepat ia beranjak, membersihkan diri, lalu bersiap menuju kantor. Namun sebelum melangkah keluar, matanya tertuju pada meja makan. Di sana sudah tersusun rapi hidangan sederhana, roti panggang hangat, segelas susu, dan beber

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 30. Amarah di Balik Malam

    Ban mobil Bryan berdecit keras ketika ia berhenti mendadak di depan gang sempit itu. Lampu sorot mobilnya menembus gelap, dan pandangan matanya langsung terpaku pada satu pemandangan yang membuat darahnya mendidih, di sana ia melihat Juan tengah menggenggam lengan Eva, sementara wajah istrinya terlihat tegang penuh perlawanan.Bryan tak berpikir panjang. Ia membuka pintu mobil dengan kasar, langkahnya cepat, nafasnya memburu. “Lepaskan dia!” suaranya menggelegar, penuh amarah yang tak bisa ditahan.Juan menoleh, sedikit tersentak, namun segera kembali menegakkan bahunya. Senyum mengejek muncul di wajahnya. “Akhirnya kau datang juga, Bryan. Lihatlah, bahkan dalam keadaan seperti ini, Eva masih butuh aku untuk mendengarkannya.”Eva langsung berusaha menarik tangannya, “Lepaskan aku, Juan!” serunya, matanya berkaca-kaca. Ia melangkah mundur begitu Bryan mendekat, seakan mencari perlindungan di sisi suaminya.Bryan berdiri

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 29. Mantan yang Menyebalkan

    “Juan… kau di sini?” suara Eva bergetar, setengah tak percaya melihat sosok itu berdiri hanya beberapa langkah darinya.“Eva, ayo kita bicara,” ucap Juan datar, matanya menyapu sekilas ke arah Gina yang menatapnya penuh curiga, seakan hendak mengusirnya dengan pandangan saja.Eva menoleh cepat, menggenggam erat ponselnya yang ternyata sudah terputus sambungan dengan Bryan. Nafasnya tersengal, mencoba menenangkan degup jantung yang berlari liar. “Gina… tunggu sebentar ya,” katanya dengan suara yang dipaksa tenang.Gina mencondongkan tubuh, wajahnya penuh kecemasan. “Kalau kau butuh bantuan, cukup teriak. Aku ada di sini,” pesannya, sembari memberi tanda dukungan tanpa perlu banyak kata.Eva mengangguk pelan, lalu melangkah mengikuti Juan ke sebuah gang sempit tak jauh dari tempat Gina berdiri. Udara malam di gang itu lebih dingin, cahaya lampu redup menyorot dinding yang kusam. Di sana, kehening

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status