Beranda / Rumah Tangga / Terjerat Godaan Sahabatku / Bab 05. Lebih Dari Sekedar Teman

Share

Bab 05. Lebih Dari Sekedar Teman

Penulis: Kanghajun
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-22 09:20:52

"Apa kau tidak lihat? Aku sedang bersama Eva," ucap Juan tajam, menanggapi tatapan Bryan yang penuh tuntutan penjelasan.

Eva langsung menggeleng lemah. “Jangan percaya padanya,” lirihnya dengan sorot mata yang menyimpan luka.

Kesal ditolak, Juan membentaknya, “Eva! Kenapa kamu tidak mau mengaku? Kita masih saling mencintai, kan?”

Eva mengepalkan tangan, menahan emosi. “Itu hanya perasaanmu sendiri, Juan! Aku tidak merasakannya lagi,” tegasnya.

Juan menatap Eva dengan sinis, lalu mengalihkan tatapannya ke Bryan. “Sudah kuduga. Ini semua karena kalian punya hubungan, ya? Kalian bermain di belakangku,” tuduhnya, mencoba menutupi kesalahannya sendiri.

Tak tahan dengan tuduhan itu, Eva menatap Juan penuh kemarahan, lalu dengan suara lantang berkata, membuat Bryan terkejut sekaligus tersipu malu, “Iya! Memang kenapa kalau aku dan Bryan punya hubungan? Toh, kita juga sudah berakhir, Juan!”

“A-apa?! Jadi kalian benar-benar…” Juan menelan ludah, sulit menerima kenyataan. “Tidak… Aku tidak percaya kalian benar-benar melakukannya di belakangku!”

Melihat kesempatan itu, Bryan tiba-tiba menarik wajah Eva dan menciumnya penuh keberanian. Eva membelalak sangat terkejut, sementara Juan hanya terpaku dengan wajah pucat.

“Lihat,” ucap Bryan santai, melepaskan ciuman itu lalu menatap Juan dengan senyum setengah mengejek. “Sekarang kau tahu, kami lebih dari sekadar teman.”

Bryan menggandeng tangan Eva dan mengajaknya pergi dari tempat itu. Eva masih terdiam, pikirannya kacau, belum sepenuhnya mencerna apa yang baru saja terjadi. 

Setelah beberapa menit berjalan dalam diam, mereka tiba di sebuah minimarket terdekat. Keduanya duduk berdua di bangku luar sambil menikmati es krim. ia akhirnya bersuara, “Kenapa kamu tiba-tiba menciumku seperti itu tadi?” protesnya pelan, begitu kesadarannya mulai kembali pulih.

Bryan menoleh padanya, “Aku cuma ingin membantumu. Terus terang saja, tadi aku sempat berpikir kamu gadis paling bodoh, kalau sampai kembali pada pria seperti dia,” ujarnya sambil menjilat es krim coklat miliknya.

Eva menghentikan aktivitasnya, lalu menatap Bryan dengan bibir mengerucut, menyiratkan kekesalan yang masih mengendap. “Aku tidak akan pernah kembali padanya. Bahkan, aku merasa bodoh karena pernah mencintai pria seburuk itu,” gumamnya lirih, menyembunyikan luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Bryan tersenyum kecil, menyukai ekspresi Eva yang penuh emosi. “Ternyata kamu bisa cerewet juga, ya,” ujarnya sambil menggoda ringan. “Tapi baguslah, kalau kamu sudah benar-benar menutup pintu untuknya. Masih banyak pria lain yang lebih layak mencintaimu dengan tulus.”

Eva mengernyit pelan, menoleh dengan rasa penasaran. “Contohnya?” tanyanya singkat.

Bryan menatapnya dalam, lalu perlahan meraih tangan Eva dengan lembut. “Mungkin... seperti aku,” jawabnya tenang, namun cukup dalam untuk membuat jantung Eva berdetak lebih cepat.

Eva dengan cepat menarik tangannya dari genggaman Bryan. Ia tertawa kecil, meski canggung, mencoba menutupi perasaannya yang mulai bergejolak. “Jangan bercanda seperti itu, Bryan. Aku tidak mungkin menyukaimu,” ucapnya, berusaha terdengar tegas.

Namun Bryan hanya tersenyum samar, menatapnya penuh makna. “Oh, ya? Tapi kamu... sepertinya cukup menyukai sesuatu dariku,” godanya ringan.

Wajah Eva langsung membeku mendengar kalimat ambigu itu. Ingatannya seketika kembali ke malam ketika ia dan Bryan, entah bagaimana berakhir di ranjang yang sama.

“Apa maksudmu,” sahut Eva mencoba tetap tenang, meski hatinya mulai tak karuan. “Kalau kamu bicara yang aneh-aneh lagi, aku akan pergi.”

Bryan bangkit dari bangkunya, lalu berjalan mendekat. Ia menatap Eva dengan penuh kesungguhan dan sedikit senyum nakal. “Aku serius, Eva. Kamu sendiri yang bilang, milikku itu seperti roti baguette… panjang dan besar,” ucapnya setengah berbisik, membuat jantung Eva berpacu lebih cepat.

“Apa? Dasar mesum!” sahut Eva panik, mendorong tubuh Bryan menjauh sambil menunduk malu. Namun tatapan Bryan tetap tak lepas dari wajahnya yang mulai memerah.

Ia lalu melanjutkan ceritanya, mengenang malam yang tak pernah benar-benar dilupakan. Malam ketika Eva, yang terluka karena pengkhianatan Juan, mengajak Bryan minum di bar untuk meluapkan perasaannya. Saat itu, dalam kesedihan dan mabuk ringan, Eva yang mulai kehilangan kendali, menjadi lebih berani. Ia mencium Bryan, 

Bryan, yang sejak lama menghormati ikatan pertemanan mereka selama dua puluh tiga tahun, sempat ragu. Ia bahkan sempat berkata,

“Eva… ini tidak benar. Kita tidak seharusnya melakukan ini. Aku takut kamu akan membenciku setelah sadar.”

Namun Eva, dengan mata berkaca, menjawab pelan, “Aku hanya ingin merasakan kehangatan… yang bisa membuatku melupakan semuanya.” Ia lalu menyingkap kaos Bryan dan mengecup dadanya perlahan.

Bryan hanya bisa mengatupkan rahangnya, telinganya memerah karena menahan godaan yang begitu nyata. Ia sempat membalikkan posisi dan menindih Eva, mencoba mengendalikan dirinya, sampai akhirnya Eva, dalam kondisi setengah sadar, terlelap begitu saja.

Dengan wajah frustasi, Bryan hanya bisa bergumam, “Kamu benar-benar keterlaluan, Eva. Menggodaku habis-habisan… lalu tertidur begitu saja,” ucapnya sambil berusaha menenangkan dirinya di kamar mandi sebelum akhirnya kembali ke samping Eva dan memeluknya. Meskipun tak terjadi apa-apa malam itu di hotel, hubungan mereka berubah selamanya.

Kembali ke minimarket, Eva menatap Bryan lekat-lekat usai mendengar ceritanya, meski hanya sepotong. Ia tak tahu harus berkata apa. Hening mengisi ruang di antara mereka, hingga akhirnya Bryan memecahnya dengan nada tenang.

“Jadi, apa kamu sudah memikirkan lamaranku, Eva? Aku tetap akan menunggu, bahkan jika kamu menolakku. Tapi aku serius.”

Mata mereka saling bertautan. Eva menunduk sejenak. “Bagaimana dengan orangtuamu? Aku tak yakin mereka bisa menerimaku,” ucapnya lirih, merasa kecil hati dibandingkan latar belakang Bryan.

“Tentu saja mereka bisa. Jangan khawatir soal itu,” balas Bryan.

Eva hendak menjawab, namun Bryan lebih dulu berkata, “Begini saja. Pikirkan baik-baik. Aku akan menunggu jawabanmu… sampai besok pagi.”

Malam telah larut, namun pikiran Eva tak kunjung tenang. Hatinya gelisah, tak henti bertanya-tanya pada diri sendiri. “Huaaa… apa yang harus aku lakukan?” keluhnya, berguling di atas tempat tidur, mencoba menepis kegundahan yang menggema di benaknya.

Ia meraih ponselnya, berharap ada sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Namun, begitu layar menyala, matanya membelalak. Sebuah foto yang telah diedit secara tidak senonoh tersebar di dunia maya, terlihat sangat memalukan dan menjijikkan.

Belum sempat ia mencerna semuanya, sebuah pesan masuk ke ponselnya.

"Seharusnya kamu tidak memutuskan hubungan kita, Eva. Mungkin hanya aku yang bisa menerima kekuranganmu." Kalimat itu terasa seperti tamparan. Eva langsung tahu siapa pelakunya, meski ia telah memblokir semua akses dari pria itu.

“Bajingan… kejam sekali kamu,” geram Eva, menggenggam ponselnya erat, rasa marah dan sakit bercampur aduk dalam dada.

Sementara itu, di tempat lain, Bryan baru saja selesai mandi. Tubuhnya masih basah ketika suara getar ponselnya terdengar dari meja. Ia mengulurkan tangan, menyambar handuk putih dan melilitkannya ke pinggang, lalu menjawab panggilan itu.

“Iya, ada apa, Eva?” tanyanya, agak cemas mendengar suara Eva yang terdengar serak dan terguncang.

Di ujung sana, tanpa basa-basi, Eva berkata pelan namun terdengar tegas. “Aku mau menikah denganmu, Bryan.”

Bryan terdiam sejenak, matanya membelalak. “Apa… kamu serius?” tanyanya, sulit menyembunyikan keterkejutannya, namun juga tidak bisa menyembunyikan haru yang mulai menyeruak di hatinya.

Meski bahagia mendengar keputusan itu, dibenaknya tak bisa berhenti bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi hingga Eva tiba-tiba mau menerima keputusan itu?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 11. Altar Pernikahan

    Bryan berdiri tegak di altar, jas hitamnya terpasang sempurna, namun getar halus di ujung jarinya tak bisa ia sembunyikan. Ruangan penuh cahaya itu dihiasi deretan bunga lili dan mawar putih yang semerbak, berpadu dengan denting piano yang mengalun lembut, seolah menenangkan sekaligus menegangkan setiap jiwa yang hadir.Hari itu seharusnya menjadi momen paling bahagia, hari di mana ia dan Eva akhirnya mengucapkan janji suci. Keputusan yang dipercepat, setelah Bryan berhasil meyakinkan Eva untuk menutup telinga dari rumor, dan memilih tetap melangkah bersamanya.“Tenanglah… jangan gugup,” batinnya bergumam, sembari membetulkan dasi pita yang terasa semakin menyesakkan lehernya. Tatapan tamu undangan, dari sanak keluarga hingga sahabat-sahabat terdekat, tertuju penuh harap pada dirinya. Ada yang tersenyum tulus, ada pula yang hanya berbisik penuh tanda tanya.Lalu, pintu besar itu terbuka. Cahaya matahari yang menembus kaca berwarna-warni gereja

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 10. Menyelesaikan Kesalahpahaman

    Setelah melihat foto vulgar yang mirip dengan Eva, dada Bryan seakan diremas. Ia bergegas menyusul Eva, hatinya diliputi kebingungan.Setibanya di rumah, ia menekan bel berkali-kali, namun tak ada jawaban. Nama Eva ia seru berulang, tetap saja hening. Rasa panik merayapi tubuhnya, hingga sebuah ingatan terlintas begitu saja. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju tempat itu.Dugaan Bryan ternyata tepat. Eva duduk terpaku di bangku kayu taman bermain, wajahnya tertunduk, bahunya bergetar menahan tangis. Hari yang seharusnya penuh kebahagiaan, justru menyisakan luka dalam hatinya.Langkah Bryan perlahan terhenti di hadapannya. Dengan suara pelan ia berkata, “Eva… apa karena ini kamu tidak ingin bercerita padaku?”Eva tersentak, buru-buru mengangkat wajahnya. Matanya yang sembab menatap Bryan penuh keterkejutan. “Kamu… bagaimana bisa kamu tau aku ada disini,” bisiknya lirih.“Jawab saja, Eva. Aku tidak ingin

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 09. Amarah Yang Tak Menentu

    “Bryan!” seru Eva, matanya terbelalak lega ketika suara yang sangat ia kenal terdengar tepat di hadapannya.Nyonya Lea segera menarik tangannya, wajahnya masam. “Hei, Nak, sebaiknya kau jangan ikut campur. Perempuan ini memang pantas mendapat tamparan!” ujarnya ketus, menatap lelaki itu tanpa menyadari bahwa dialah calon suami Eva.Sorot mata Bryan menajam, rahangnya mengeras mendengar penghinaan itu. “Berani sekali kau mengangkat tangan padanya. Memangnya kau siapa hingga bisa memperlakukan calon istri saya dengan cara seperti itu?!” suaranya dingin menusuk.Nyonya Lea sempat terkejut, namun segera tersenyum miring penuh kelicikan. “Oh, jadi kau laki-laki malang itu?” sindirnya tajam. “Dengar baik-baik, Nak. Wanita ini tidak pantas bersanding denganmu. Dia kotor, sok suci, dan hanya akan mempermalukanmu!”Tubuh Eva bergetar hebat. Air mata mulai memenuhi pelupuknya, bukan karena hinaan, tapi kar

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 08. Restu Keluarga

    Keduanya bergegas menuju ruangan itu, raut wajah Eva tampak makin gusar setelah mendengar suara keras dari dalam.“Ibu… jangan-jangan ayah,” gumam Eva pelan, tatapannya penuh was-was pada ibunya yang juga terlihat cemas.“Hus, jangan asal bicara. Mana mungkin ayahmu sampai memukul Bryan,” sahut sang ibu, meski nada suaranya terdengar sama khawatirnya.Tak sanggup menahan rasa penasaran, Eva langsung menarik daun pintu dengan agak keras. Namun, begitu pintu terbuka, keduanya justru terpaku kaget, ayahnya dan Bryan ternyata tengah duduk berhadapan sambil serius memainkan papan catur.“Ayah!!” teriak Eva spontan, wajahnya pucat, seolah-olah baru saja menyelamatkan Bryan dari sesuatu yang berbahaya.Tuan Adam terlonjak kaget, bidak catur di tangannya hampir jatuh. “Eva? Kenapa kamu masuk begitu saja?” tanyanya bingung melihat putrinya dan istrinya menatapnya dengan wajah panik.Sementara itu

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 07. Misi Membuatmu Jatuh Cinta

    “Aku menerima pernikahan ini... bukan karena aku mencintaimu,” ucap Eva akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat hati Bryan terasa tergores.Bryan menatapnya lekat, sorot matanya berubah, namun ia tetap tenang. Eva memberanikan diri menatap sahabatnya itu, yang kini berada di ambang harapan dan luka.“Tapi... aku harap kamu bisa mengerti,” lanjut Eva, mencoba jujur pada akhirnya.Bryan mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang jelas terpancar dari sorot matanya. “Tidak apa-apa,” katanya dengan suara pelan, lalu menarik napas dalam. “Tapi… ada satu hal lagi yang ingin aku tahu. Aku harap kamu bisa jujur kali ini.”Eva menatapnya dengan bingung. Ia tidak menduga bahwa Bryan akan bersikap setenang ini. Bukannya lega, justru ada rasa sesak yang tumbuh di dadanya. Apakah ia terlalu menyakitinya, atau Bryan justru menahan kecewa?“Jujur tentang apa?&rdq

  • Terjerat Godaan Sahabatku   Bab 06. Hubungan Yang Rumit

    Setelah mendengar suara Eva di telepon yang terdengar seperti menerima lamarannya, Bryan tidak bisa diam. Ia pun dengan cepat menemui Eva, meskipun ada rasa bahagia, namun bercampur dengan kegelisahan, tanpa sadar ia sudah berdiri di depan pintu rumah gadis itu. Dadanya berdebar kencang, dan darahnya berdesir naik ke kepala, membakar setiap pikirannya dengan tanda tanya.Ia menekan bel dengan tangan yang sedikit berkeringat, menelan ludah sembari berharap dirinya tak salah dengar. Namun, harapan itu mendadak berubah getir saat pintu terbuka.Eva berdiri di ambang pintu dengan mata sembab dan wajah sendu. Senyum yang sempat menghiasi wajah Bryan langsung pudar, berganti kecemasan yang mendalam.“Apa yang terjadi, Eva? Matamu... kamu habis menangis?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.Eva buru-buru memalingkan wajah, menyembunyikan air mata yang masih menggantung di ujung bulu matanya. “Aku... aku baik-baik saja,” ujarnya pelan,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status