LOGIN"Apa kau tidak lihat? Aku sedang bersama Eva," ucap Juan tajam, menanggapi tatapan Bryan yang penuh tuntutan penjelasan.
Eva langsung menggeleng lemah. “Jangan percaya padanya,” lirihnya dengan sorot mata yang menyimpan luka.
Kesal ditolak, Juan membentaknya, “Eva! Kenapa kamu tidak mau mengaku? Kita masih saling mencintai, kan?”
Eva mengepalkan tangan, menahan emosi. “Itu hanya perasaanmu sendiri, Juan! Aku tidak merasakannya lagi,” tegasnya.
Juan menatap Eva dengan sinis, lalu mengalihkan tatapannya ke Bryan. “Sudah kuduga. Ini semua karena kalian punya hubungan, ya? Kalian bermain di belakangku,” tuduhnya, mencoba menutupi kesalahannya sendiri.
Tak tahan dengan tuduhan itu, Eva menatap Juan penuh kemarahan, lalu dengan suara lantang berkata, membuat Bryan terkejut sekaligus tersipu malu, “Iya! Memang kenapa kalau aku dan Bryan punya hubungan? Toh, kita juga sudah berakhir, Juan!”
“A-apa?! Jadi kalian benar-benar…” Juan menelan ludah, sulit menerima kenyataan. “Tidak… Aku tidak percaya kalian benar-benar melakukannya di belakangku!”
Melihat kesempatan itu, Bryan tiba-tiba menarik wajah Eva dan menciumnya penuh keberanian. Eva membelalak sangat terkejut, sementara Juan hanya terpaku dengan wajah pucat.
“Lihat,” ucap Bryan santai, melepaskan ciuman itu lalu menatap Juan dengan senyum setengah mengejek. “Sekarang kau tahu, kami lebih dari sekadar teman.”
Bryan menggandeng tangan Eva dan mengajaknya pergi dari tempat itu. Eva masih terdiam, pikirannya kacau, belum sepenuhnya mencerna apa yang baru saja terjadi.
Setelah beberapa menit berjalan dalam diam, mereka tiba di sebuah minimarket terdekat. Keduanya duduk berdua di bangku luar sambil menikmati es krim. ia akhirnya bersuara, “Kenapa kamu tiba-tiba menciumku seperti itu tadi?” protesnya pelan, begitu kesadarannya mulai kembali pulih.
Bryan menoleh padanya, “Aku cuma ingin membantumu. Terus terang saja, tadi aku sempat berpikir kamu gadis paling bodoh, kalau sampai kembali pada pria seperti dia,” ujarnya sambil menjilat es krim coklat miliknya.
Eva menghentikan aktivitasnya, lalu menatap Bryan dengan bibir mengerucut, menyiratkan kekesalan yang masih mengendap. “Aku tidak akan pernah kembali padanya. Bahkan, aku merasa bodoh karena pernah mencintai pria seburuk itu,” gumamnya lirih, menyembunyikan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Bryan tersenyum kecil, menyukai ekspresi Eva yang penuh emosi. “Ternyata kamu bisa cerewet juga, ya,” ujarnya sambil menggoda ringan. “Tapi baguslah, kalau kamu sudah benar-benar menutup pintu untuknya. Masih banyak pria lain yang lebih layak mencintaimu dengan tulus.”
Eva mengernyit pelan, menoleh dengan rasa penasaran. “Contohnya?” tanyanya singkat.
Bryan menatapnya dalam, lalu perlahan meraih tangan Eva dengan lembut. “Mungkin... seperti aku,” jawabnya tenang, namun cukup dalam untuk membuat jantung Eva berdetak lebih cepat.
Eva dengan cepat menarik tangannya dari genggaman Bryan. Ia tertawa kecil, meski canggung, mencoba menutupi perasaannya yang mulai bergejolak. “Jangan bercanda seperti itu, Bryan. Aku tidak mungkin menyukaimu,” ucapnya, berusaha terdengar tegas.
Namun Bryan hanya tersenyum samar, menatapnya penuh makna. “Oh, ya? Tapi kamu... sepertinya cukup menyukai sesuatu dariku,” godanya ringan.
Wajah Eva langsung membeku mendengar kalimat ambigu itu. Ingatannya seketika kembali ke malam ketika ia dan Bryan, entah bagaimana berakhir di ranjang yang sama.
“Apa maksudmu,” sahut Eva mencoba tetap tenang, meski hatinya mulai tak karuan. “Kalau kamu bicara yang aneh-aneh lagi, aku akan pergi.”
Bryan bangkit dari bangkunya, lalu berjalan mendekat. Ia menatap Eva dengan penuh kesungguhan dan sedikit senyum nakal. “Aku serius, Eva. Kamu sendiri yang bilang, milikku itu seperti roti baguette… panjang dan besar,” ucapnya setengah berbisik, membuat jantung Eva berpacu lebih cepat.
“Apa? Dasar mesum!” sahut Eva panik, mendorong tubuh Bryan menjauh sambil menunduk malu. Namun tatapan Bryan tetap tak lepas dari wajahnya yang mulai memerah.
Ia lalu melanjutkan ceritanya, mengenang malam yang tak pernah benar-benar dilupakan. Malam ketika Eva, yang terluka karena pengkhianatan Juan, mengajak Bryan minum di bar untuk meluapkan perasaannya. Saat itu, dalam kesedihan dan mabuk ringan, Eva yang mulai kehilangan kendali, menjadi lebih berani. Ia mencium Bryan,
Bryan, yang sejak lama menghormati ikatan pertemanan mereka selama dua puluh tiga tahun, sempat ragu. Ia bahkan sempat berkata,
“Eva… ini tidak benar. Kita tidak seharusnya melakukan ini. Aku takut kamu akan membenciku setelah sadar.”
Namun Eva, dengan mata berkaca, menjawab pelan, “Aku hanya ingin merasakan kehangatan… yang bisa membuatku melupakan semuanya.” Ia lalu menyingkap kaos Bryan dan mengecup dadanya perlahan.
Bryan hanya bisa mengatupkan rahangnya, telinganya memerah karena menahan godaan yang begitu nyata. Ia sempat membalikkan posisi dan menindih Eva, mencoba mengendalikan dirinya, sampai akhirnya Eva, dalam kondisi setengah sadar, terlelap begitu saja.
Dengan wajah frustasi, Bryan hanya bisa bergumam, “Kamu benar-benar keterlaluan, Eva. Menggodaku habis-habisan… lalu tertidur begitu saja,” ucapnya sambil berusaha menenangkan dirinya di kamar mandi sebelum akhirnya kembali ke samping Eva dan memeluknya. Meskipun tak terjadi apa-apa malam itu di hotel, hubungan mereka berubah selamanya.
Kembali ke minimarket, Eva menatap Bryan lekat-lekat usai mendengar ceritanya, meski hanya sepotong. Ia tak tahu harus berkata apa. Hening mengisi ruang di antara mereka, hingga akhirnya Bryan memecahnya dengan nada tenang.
“Jadi, apa kamu sudah memikirkan lamaranku, Eva? Aku tetap akan menunggu, bahkan jika kamu menolakku. Tapi aku serius.”
Mata mereka saling bertautan. Eva menunduk sejenak. “Bagaimana dengan orangtuamu? Aku tak yakin mereka bisa menerimaku,” ucapnya lirih, merasa kecil hati dibandingkan latar belakang Bryan.
“Tentu saja mereka bisa. Jangan khawatir soal itu,” balas Bryan.
Eva hendak menjawab, namun Bryan lebih dulu berkata, “Begini saja. Pikirkan baik-baik. Aku akan menunggu jawabanmu… sampai besok pagi.”
Malam telah larut, namun pikiran Eva tak kunjung tenang. Hatinya gelisah, tak henti bertanya-tanya pada diri sendiri. “Huaaa… apa yang harus aku lakukan?” keluhnya, berguling di atas tempat tidur, mencoba menepis kegundahan yang menggema di benaknya.
Ia meraih ponselnya, berharap ada sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Namun, begitu layar menyala, matanya membelalak. Sebuah foto yang telah diedit secara tidak senonoh tersebar di dunia maya, terlihat sangat memalukan dan menjijikkan.
Belum sempat ia mencerna semuanya, sebuah pesan masuk ke ponselnya.
"Seharusnya kamu tidak memutuskan hubungan kita, Eva. Mungkin hanya aku yang bisa menerima kekuranganmu." Kalimat itu terasa seperti tamparan. Eva langsung tahu siapa pelakunya, meski ia telah memblokir semua akses dari pria itu.
“Bajingan… kejam sekali kamu,” geram Eva, menggenggam ponselnya erat, rasa marah dan sakit bercampur aduk dalam dada.
Sementara itu, di tempat lain, Bryan baru saja selesai mandi. Tubuhnya masih basah ketika suara getar ponselnya terdengar dari meja. Ia mengulurkan tangan, menyambar handuk putih dan melilitkannya ke pinggang, lalu menjawab panggilan itu.
“Iya, ada apa, Eva?” tanyanya, agak cemas mendengar suara Eva yang terdengar serak dan terguncang.
Di ujung sana, tanpa basa-basi, Eva berkata pelan namun terdengar tegas. “Aku mau menikah denganmu, Bryan.”
Bryan terdiam sejenak, matanya membelalak. “Apa… kamu serius?” tanyanya, sulit menyembunyikan keterkejutannya, namun juga tidak bisa menyembunyikan haru yang mulai menyeruak di hatinya.
Meski bahagia mendengar keputusan itu, dibenaknya tak bisa berhenti bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi hingga Eva tiba-tiba mau menerima keputusan itu?
Bryan menunduk sedikit, menatap Gina dengan ketulusan yang jarang ia tunjukkan pada orang lain. “Terima kasih… sudah menemani istriku,” ucapnya lirih, senyum tipis terlukis di wajahnya.Gina sempat terdiam, seolah terperangkap pada sorot mata Bryan yang meneduhkan, meski garis lelah tampak jelas di sana. Senyumnya kembali muncul, kali ini terlihat kaku, bercampur dengan kecanggung. “Tidak apa-apa. Tapi lain kali… jangan tinggalkan dia seperti tadi. Jika ada masalah, bicarakan dengan tenang. Eva bukan perempuan yang pantas menghadapi semuanya sendirian.”Bryan mengangguk pelan, merasa nasehat itu menampar kesadarannya. “Kau benar. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”Gina pun meraih tasnya, lalu segera melangkah pergi meninggalkan Bryan bersama Eva. Dari sudut matanya, Bryan sempat melihat Gina menoleh sebentar, seperti masih khawatir meninggalkan Eva. Namun pria itu tak lagi menahan. Ia hanya fokus pada Eva saat ini, yang kini tertidur dengan kepala bersandar di meja panjang minimarket
Langkah Bryan meninggalkan ruangan tadi masih terngiang di telinga Eva. Tubuhnya lemas, emosinya terkuras habis. Gina langsung menariknya keluar dari kantor, tidak ingin sahabatnya menjadi bahan tontonan karyawan lain yang mungkin sudah mencium aroma pertikaian.“Ayo ikut aku,” ujar Gina lirih sambil menggandeng tangan Eva, menjauh dari tempat itu.Eva tidak melawan. Ia terlalu lelah untuk berpikir, ia hanya mengikuti Gina yang membawanya menyeberangi jalan menuju sebuah minimarket. Malam mulai turun, lampu jalan berkelip redup, sementara suara kendaraan bersahutan memecah udara.Gina membeli dua kaleng bir dari lemari pendingin, lalu menuntun Eva ke bangku panjang di depan toko. “Kau butuh ini. Setidaknya untuk melupakan sedikit beban malam ini,” katanya menyerahkan satu kaleng ke tangan Eva.Eva menatap benda itu sedikit ragu. “Aku… tidak terbiasa.” “Lalu kau ingin menangis sampai kehabisan napas? Eva, kadang-kadang kita harus membiarkan diri kita melepaskan semuanya, meski hanya d
Hari itu terasa berjalan lambat bagi Eva, sebab semua terasa begitu kacau setelah kehadiran Juan semalam. Sejak pagi, pikirannya tidak pernah tenang saat Juan selalu mengganggu ketenangan batinnya, bagimana tidak, ia harus satu kantor dengan pria yang paling ia benci dalam hidupnya.Tatapan pria itu, meski tak diucapkan dengan kata-kata, seakan mengunci setiap geraknya. Beberapa kali Eva mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaannya, tetapi begitu ia menoleh, ia selalu mendapati Juan sedang menatapnya. Tatapan Juan terlihat begitu penuh keyakinan seolah berkata.‘Aku masih di sini, dan kau tak akan bisa lari dariku.’Gina yang duduk tak jauh darinya, sudah berkali-kali melirik pada Eva dan mulai mengkhawatirkan. Ia bisa membaca kegelisahan Eva, meskipun sahabatnya itu berusaha keras menyembunyikannya di balik senyum tipisnya.“Eva, kalau begini terus kau bisa sakit,” bisik Gina, saat mereka berpapasan di ruang arsip.&ld
Keesokan paginya, Eva membuka mata dengan perasaan yang masih berat. Ketika mengingat kejadian semalam. Eva menoleh pelan, ranjang di sampingnya kosong, tak ada Bryan yang biasa menemaninya bangun.Perasaan sepi seketika menyergap di hatinya, membuat dadanya sedikit sesak. Ia menggigit bibir, mencoba menahan rasa kecewa yang tiba-tiba muncul. Malam sebelumnya masih begitu jelas di benaknya, membuat wajahnya memanas setiap kali teringat.“Apa yang sebenarnya Bryan pikirkan tentangku? Aku bahkan tidak sepenuhnya ingat bagaimana aku bisa pulang bersamanya semalam,” batinnya meronta kala mengingat dirinya yang menangis dihadapannya, sambil memijit pelipis yang berdenyut. Rasa malu bercampur lelah membuat tubuhnya terasa berat.Dengan cepat ia beranjak, membersihkan diri, lalu bersiap menuju kantor. Namun sebelum melangkah keluar, matanya tertuju pada meja makan. Di sana sudah tersusun rapi hidangan sederhana, roti panggang hangat, segelas susu, dan beber
Ban mobil Bryan berdecit keras ketika ia berhenti mendadak di depan gang sempit itu. Lampu sorot mobilnya menembus gelap, dan pandangan matanya langsung terpaku pada satu pemandangan yang membuat darahnya mendidih, di sana ia melihat Juan tengah menggenggam lengan Eva, sementara wajah istrinya terlihat tegang penuh perlawanan.Bryan tak berpikir panjang. Ia membuka pintu mobil dengan kasar, langkahnya cepat, nafasnya memburu. “Lepaskan dia!” suaranya menggelegar, penuh amarah yang tak bisa ditahan.Juan menoleh, sedikit tersentak, namun segera kembali menegakkan bahunya. Senyum mengejek muncul di wajahnya. “Akhirnya kau datang juga, Bryan. Lihatlah, bahkan dalam keadaan seperti ini, Eva masih butuh aku untuk mendengarkannya.”Eva langsung berusaha menarik tangannya, “Lepaskan aku, Juan!” serunya, matanya berkaca-kaca. Ia melangkah mundur begitu Bryan mendekat, seakan mencari perlindungan di sisi suaminya.Bryan berdiri
“Juan… kau di sini?” suara Eva bergetar, setengah tak percaya melihat sosok itu berdiri hanya beberapa langkah darinya.“Eva, ayo kita bicara,” ucap Juan datar, matanya menyapu sekilas ke arah Gina yang menatapnya penuh curiga, seakan hendak mengusirnya dengan pandangan saja.Eva menoleh cepat, menggenggam erat ponselnya yang ternyata sudah terputus sambungan dengan Bryan. Nafasnya tersengal, mencoba menenangkan degup jantung yang berlari liar. “Gina… tunggu sebentar ya,” katanya dengan suara yang dipaksa tenang.Gina mencondongkan tubuh, wajahnya penuh kecemasan. “Kalau kau butuh bantuan, cukup teriak. Aku ada di sini,” pesannya, sembari memberi tanda dukungan tanpa perlu banyak kata.Eva mengangguk pelan, lalu melangkah mengikuti Juan ke sebuah gang sempit tak jauh dari tempat Gina berdiri. Udara malam di gang itu lebih dingin, cahaya lampu redup menyorot dinding yang kusam. Di sana, kehening







