LOGINSetelah mendengar suara Eva di telepon yang terdengar seperti menerima lamarannya, Bryan tidak bisa diam. Ia pun dengan cepat menemui Eva, meskipun ada rasa bahagia, namun bercampur dengan kegelisahan, tanpa sadar ia sudah berdiri di depan pintu rumah gadis itu. Dadanya berdebar kencang, dan darahnya berdesir naik ke kepala, membakar setiap pikirannya dengan tanda tanya.
Ia menekan bel dengan tangan yang sedikit berkeringat, menelan ludah sembari berharap dirinya tak salah dengar. Namun, harapan itu mendadak berubah getir saat pintu terbuka.
Eva berdiri di ambang pintu dengan mata sembab dan wajah sendu. Senyum yang sempat menghiasi wajah Bryan langsung pudar, berganti kecemasan yang mendalam.
“Apa yang terjadi, Eva? Matamu... kamu habis menangis?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.
Eva buru-buru memalingkan wajah, menyembunyikan air mata yang masih menggantung di ujung bulu matanya. “Aku... aku baik-baik saja,” ujarnya pelan, nyaris seperti bisikan. Ia menundukkan kepala, malu menunjukkan kelemahannya pada Bryan.
Bryan mengepalkan tangannya. Ia tahu Eva berbohong. "Jangan sembunyikan perasaanmu dariku. Aku mengenalmu lebih dari siapapun, Eva."
Eva menahan napas, matanya memerah menahan ledakan emosi yang nyaris pecah. Ia mundur selangkah saat Bryan mencoba masuk. “Kalau kau ingin bicara soal pernikahan itu, kita bisa bahas besok. Sekarang bukan waktunya,” katanya, mencoba menutup pintu.
Namun Bryan tak bisa lagi menahan emosi yang menumpuk. “Eva, jangan alihkan pembicaraan! Apa yang membuatmu menangis dan aku ingin tahu siapa yang menyakitimu.”
Teriakannya menggema hingga terdengar oleh penghuni unit sebelah. Seorang lansia membuka pintu apartemennya. “Nak, tolong kecilkan suaramu. Jangan ganggu ketenangan orang lain,” ujarnya tegas sebelum menutup pintunya kembali.
Eva menarik Bryan masuk ke dalam, menatapnya dengan sorot penuh kekesalan sambil menggerutu. “Dasar merepotkan.”
Bryan menghela napas berat. “Kau sendiri yang bilang ingin menikah denganku. Aku datang ke sini untuk memastikan itu. Tapi yang kulihat justru kamu menangis. Dan kamu menyebut kehadiranku merepotkan,” suaranya tajam, sebelum menarik tangan Eva secara tiba-tiba, membuat tubuhnya terjatuh ke dalam pelukan Bryan.
Mata mereka bertautan dalam jarak yang begitu dekat. Sorot mata Bryan tak melepaskan pandangannya dari Eva. “Kalau begitu... aku salah. Silahkan pergi sekarang,” ucap Eva akhirnya, mencoba menarik diri dari pelukannya.
Namun pelukan Bryan justru menguat. Ia menahan Eva dengan lembut. “Tidak mau. Jangan kabur lagi. Eva, katakan padaku... kenapa kamu menangis?”
Eva tetap tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia meraih wajah Bryan dan menciumnya, penuh rasa tak menentu. Meskipun ada luka yang sulit dijelaskan pada Bryan.
“Jangan pikirkan itu, Bryan,” ucap Eva pelan, menatapnya dengan pandangan lembut yang kini berubah sedikit menggoda. “Ayah dan Ibu tidak pulang malam ini. Jadi... kau bisa tinggal dan mengobati hatiku malam ini, kan?”
Tatapan Eva membuat napas Bryan tercekat. Ketika wajah Eva begitu menggemaskan saat memintanya tetap tinggal bersamanya. Membuatnya tidak bisa mengendalikan dirinya, dan membalas ciuman Eva sedikit kasar namun penuh dengan hasrat menggoda. Ia merasakan bibir Eva untuk kesekian kalinya.
Ciuman itu hangat, tapi juga menuntut. Ada kemarahan yang dibungkus dengan kasih sayang, ada gairah yang meletup tanpa bisa ditahan. Lidah mereka saling mencari, saling mengenal kembali, seakan menumpahkan semua perasaan yang tak pernah terucap.
Napas Eva terengah, tubuhnya sedikit bergetar di dalam pelukan Bryan. Ia hampir kewalahan mengikuti ritme yang Bryan ciptakan.
“Tarik napas, Eva... jangan ditahan,” bisik Bryan di sela-sela ciuman, jemarinya menyusuri lembut garis rahang Eva.
Bryan mengangkat tubuh Eva dengan hati-hati. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu sedikit bergetar, entah karena ciuman mereka yang baru saja pecah, atau karena sesuatu yang lebih dalam. Tanpa berkata apa-apa, Bryan membawanya ke kamar dan merebahkannya perlahan di atas ranjang. Pandangannya hangat, namun tulus, menatap Eva yang kini berbaring di bawahnya dengan napas yang masih tersisa dari percikan gairah tadi.
"Eva… apa kamu yakin dengan ini?" bisiknya lembut, seolah ingin meminta izin sebelum melangkah lebih jauh. Jemarinya yang besar dan hangat mengusap bibir Eva pelan, kemudian mengecup kelopak matanya dengan penuh kasih.
Eva mengangguk pelan, meski sorot matanya menyiratkan keraguan. "Ti–tidak apa-apa... maksudnya?" gumamnya, nyaris tak terdengar, seolah mencoba mengalihkan kegugupan yang mulai memenuhi dadanya. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya berputar kacau. Ia bahkan tak sadar sejauh apa dirinya sudah melangkah malam ini.
‘Ayo, Eva. Hentikan ini sekarang sebelum semuanya jadi tidak terkendali,’ batinnya berbisik penuh kewaspadaan.
‘Tapi… dia terlihat begitu menggoda. Dan manis. Mungkin sedikit enak untuk dicicipi,’ balas sisi nakalnya, yang terdengar seperti bisikan di kepalanya.
Tanpa sadar, Eva menggeleng pelan. Bryan yang sedang menatapnya langsung mengernyit. “Kamu nggak nyaman?” tanyanya lembut namun cemas, matanya mencoba membaca reaksi Eva.
Eva mengangkat kedua tangannya, mencoba menjelaskan. “Bukan itu maksudku, aku hanya…” Suaranya tertahan, matanya tak sengaja tertuju pada perut Bryan yang sedikit tersingkap karena hoodie krem yang ia kenakan naik saat ia bergerak. Otot perutnya yang terpampang membuat Eva menelan ludah. Panas mulai merayapi wajahnya.
Bryan menangkap pandangan itu, lalu menyeringai kecil. “Aku apa, Eva?” tanyanya menggoda, wajahnya semakin mendekat. “Kamu kelihatan... sangat tidak polos sekarang.”
Eva langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Huwaa… jangan bercanda, Bryan! Aku nggak pernah mikir yang aneh-aneh tentang kamu!” suaranya melengking malu, pipinya kini berwarna semerah delima.
Namun dalam hati, Eva mulai goyah. Ia menatap pria yang selama ini hanya ia anggap sahabat, kini dengan mata yang berbeda. Aura Bryan terasa lebih dewasa.
‘Gila… sejak kapan Bryan kelihatan setampan ini,’ pikirnya sambil melirik cepat wajah pria itu. Hidung mancungnya, serta alis tebal yang membingkai dan sorot matanya yang serius, semuanya tampak begitu nyata. Dan entah bagaimana, Eva tak bisa memalingkan pandangannya.
Bryan mulai menyusuri lekuk tubuh Eva dengan hati-hati namun penuh nafsu. Jemarinya menyentuh tengkuk gadis itu, mengirimkan gelombang hangat yang membuat mata Eva beberapa kali terpejam sambil menggigit bibir bawahnya pelan. Sentuhan Bryan terasa begitu lembut, namun meninggalkan jejak panas di kulitnya.
Menangkap respons Eva yang seolah larut dalam sensasi, Bryan tersenyum tipis, godaannya mulai terdengar di sela napas. “Kamu suka bagian ini, ya?” bisiknya lembut, sambil kembali membelai sisi sensitifnya yang tampak membuat Eva mengerang pelan.
“Bryan... j-jangan lakukan itu lagi,” bisik Eva dengan suara parau. Namun gerakan tubuhnya justru tak selaras dengan kata-katanya, ia tidak benar-benar menolak.
Bryan membalas dengan senyum nakal, membisikkan kalimat yang membuat dada Eva berdebar. “Bukankah kamu sendiri yang bilang ingin diobati olehku,” gumamnya penuh arti. “Atau kamu justru menikmatinya lebih dari yang kamu kira?”
Wajah Eva mulai memerah, ada tawa kecil bercampur gugup yang melintas di wajahnya, namun itu hanya sekejap. Beberapa detik kemudian, matanya berkaca-kaca, dan air mata pun jatuh mengalir pelan dari sudut matanya.
Melihatnya menangis, Bryan langsung menghentikan semua tindakannya. Ia membeku, menatap Eva dengan rasa bersalah. “Eva? Apa… aku terlalu berlebihan padamu,” suaranya cemas, segera menarik tubuh Eva ke dalam pelukannya.
Eva bersandar di dada Bryan, membiarkan dirinya dibalut oleh kehangatan pria itu. Tangisnya bukan karena luka, tetapi karena ia merasakan sesuatu yang tak mampu ia jelaskan.
“Aku nggak apa-apa. Bryan,” lirih Eva, suaranya nyaris tenggelam di antara detak jantung Bryan yang ia dengar begitu dekat.
Bryan mengecup pelipisnya, “Maaf kalau aku terlalu memaksakan diri padamu, aku cuma ingin kamu tahu, bahwa aku ada di sini,” ucapnya tulus, mengusap rambut Eva pelan.
Eva mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. “Ini bukan salahmu, Bryan. Aku hanya... khawatir tentang kita. Semuanya terasa begitu rumit.”
Bryan menatapnya, alisnya terangkat. “Rumit? Kenapa kamu berpikir begitu? Bukankah kamu sudah bilang ingin menikah denganku?”
Eva menghela napas, lalu duduk perlahan, mendorong tubuh Bryan yang masih separuh membungkusnya. Ada sesuatu yang berat tampak ingin ia lepaskan.
“Ada yang ingin aku katakan padamu, dan mungkin… kamu akan menganggapku egois,” ucap Eva pelan, menatap mata Bryan dengan serius.
Suasana mendadak berubah sunyi. Bryan diam, hanya memandangnya dengan perhatian. Sebelum akhirnya ia membalas.
“Katakan, Eva. Aku siap mendengarnya.”
Bryan menunduk sedikit, menatap Gina dengan ketulusan yang jarang ia tunjukkan pada orang lain. “Terima kasih… sudah menemani istriku,” ucapnya lirih, senyum tipis terlukis di wajahnya.Gina sempat terdiam, seolah terperangkap pada sorot mata Bryan yang meneduhkan, meski garis lelah tampak jelas di sana. Senyumnya kembali muncul, kali ini terlihat kaku, bercampur dengan kecanggung. “Tidak apa-apa. Tapi lain kali… jangan tinggalkan dia seperti tadi. Jika ada masalah, bicarakan dengan tenang. Eva bukan perempuan yang pantas menghadapi semuanya sendirian.”Bryan mengangguk pelan, merasa nasehat itu menampar kesadarannya. “Kau benar. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”Gina pun meraih tasnya, lalu segera melangkah pergi meninggalkan Bryan bersama Eva. Dari sudut matanya, Bryan sempat melihat Gina menoleh sebentar, seperti masih khawatir meninggalkan Eva. Namun pria itu tak lagi menahan. Ia hanya fokus pada Eva saat ini, yang kini tertidur dengan kepala bersandar di meja panjang minimarket
Langkah Bryan meninggalkan ruangan tadi masih terngiang di telinga Eva. Tubuhnya lemas, emosinya terkuras habis. Gina langsung menariknya keluar dari kantor, tidak ingin sahabatnya menjadi bahan tontonan karyawan lain yang mungkin sudah mencium aroma pertikaian.“Ayo ikut aku,” ujar Gina lirih sambil menggandeng tangan Eva, menjauh dari tempat itu.Eva tidak melawan. Ia terlalu lelah untuk berpikir, ia hanya mengikuti Gina yang membawanya menyeberangi jalan menuju sebuah minimarket. Malam mulai turun, lampu jalan berkelip redup, sementara suara kendaraan bersahutan memecah udara.Gina membeli dua kaleng bir dari lemari pendingin, lalu menuntun Eva ke bangku panjang di depan toko. “Kau butuh ini. Setidaknya untuk melupakan sedikit beban malam ini,” katanya menyerahkan satu kaleng ke tangan Eva.Eva menatap benda itu sedikit ragu. “Aku… tidak terbiasa.” “Lalu kau ingin menangis sampai kehabisan napas? Eva, kadang-kadang kita harus membiarkan diri kita melepaskan semuanya, meski hanya d
Hari itu terasa berjalan lambat bagi Eva, sebab semua terasa begitu kacau setelah kehadiran Juan semalam. Sejak pagi, pikirannya tidak pernah tenang saat Juan selalu mengganggu ketenangan batinnya, bagimana tidak, ia harus satu kantor dengan pria yang paling ia benci dalam hidupnya.Tatapan pria itu, meski tak diucapkan dengan kata-kata, seakan mengunci setiap geraknya. Beberapa kali Eva mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaannya, tetapi begitu ia menoleh, ia selalu mendapati Juan sedang menatapnya. Tatapan Juan terlihat begitu penuh keyakinan seolah berkata.‘Aku masih di sini, dan kau tak akan bisa lari dariku.’Gina yang duduk tak jauh darinya, sudah berkali-kali melirik pada Eva dan mulai mengkhawatirkan. Ia bisa membaca kegelisahan Eva, meskipun sahabatnya itu berusaha keras menyembunyikannya di balik senyum tipisnya.“Eva, kalau begini terus kau bisa sakit,” bisik Gina, saat mereka berpapasan di ruang arsip.&ld
Keesokan paginya, Eva membuka mata dengan perasaan yang masih berat. Ketika mengingat kejadian semalam. Eva menoleh pelan, ranjang di sampingnya kosong, tak ada Bryan yang biasa menemaninya bangun.Perasaan sepi seketika menyergap di hatinya, membuat dadanya sedikit sesak. Ia menggigit bibir, mencoba menahan rasa kecewa yang tiba-tiba muncul. Malam sebelumnya masih begitu jelas di benaknya, membuat wajahnya memanas setiap kali teringat.“Apa yang sebenarnya Bryan pikirkan tentangku? Aku bahkan tidak sepenuhnya ingat bagaimana aku bisa pulang bersamanya semalam,” batinnya meronta kala mengingat dirinya yang menangis dihadapannya, sambil memijit pelipis yang berdenyut. Rasa malu bercampur lelah membuat tubuhnya terasa berat.Dengan cepat ia beranjak, membersihkan diri, lalu bersiap menuju kantor. Namun sebelum melangkah keluar, matanya tertuju pada meja makan. Di sana sudah tersusun rapi hidangan sederhana, roti panggang hangat, segelas susu, dan beber
Ban mobil Bryan berdecit keras ketika ia berhenti mendadak di depan gang sempit itu. Lampu sorot mobilnya menembus gelap, dan pandangan matanya langsung terpaku pada satu pemandangan yang membuat darahnya mendidih, di sana ia melihat Juan tengah menggenggam lengan Eva, sementara wajah istrinya terlihat tegang penuh perlawanan.Bryan tak berpikir panjang. Ia membuka pintu mobil dengan kasar, langkahnya cepat, nafasnya memburu. “Lepaskan dia!” suaranya menggelegar, penuh amarah yang tak bisa ditahan.Juan menoleh, sedikit tersentak, namun segera kembali menegakkan bahunya. Senyum mengejek muncul di wajahnya. “Akhirnya kau datang juga, Bryan. Lihatlah, bahkan dalam keadaan seperti ini, Eva masih butuh aku untuk mendengarkannya.”Eva langsung berusaha menarik tangannya, “Lepaskan aku, Juan!” serunya, matanya berkaca-kaca. Ia melangkah mundur begitu Bryan mendekat, seakan mencari perlindungan di sisi suaminya.Bryan berdiri
“Juan… kau di sini?” suara Eva bergetar, setengah tak percaya melihat sosok itu berdiri hanya beberapa langkah darinya.“Eva, ayo kita bicara,” ucap Juan datar, matanya menyapu sekilas ke arah Gina yang menatapnya penuh curiga, seakan hendak mengusirnya dengan pandangan saja.Eva menoleh cepat, menggenggam erat ponselnya yang ternyata sudah terputus sambungan dengan Bryan. Nafasnya tersengal, mencoba menenangkan degup jantung yang berlari liar. “Gina… tunggu sebentar ya,” katanya dengan suara yang dipaksa tenang.Gina mencondongkan tubuh, wajahnya penuh kecemasan. “Kalau kau butuh bantuan, cukup teriak. Aku ada di sini,” pesannya, sembari memberi tanda dukungan tanpa perlu banyak kata.Eva mengangguk pelan, lalu melangkah mengikuti Juan ke sebuah gang sempit tak jauh dari tempat Gina berdiri. Udara malam di gang itu lebih dingin, cahaya lampu redup menyorot dinding yang kusam. Di sana, kehening







