"Francescohhh lebihh cepat ... akuhh- aku keluarhh."
Ranjang hotel di Moskow bergetar hebat. Kuku Chloe mencakar punggung Francesco saat mereka mencapai puncak. Nafasnya berat, tubuhnya gemetar, dan lenguhannya mengisi seluruh ruangan. Keduanya menyatu dalam klimaks. Cairan kental keluar, mengisi tubuh. Lalu mereka terdiam sejenak, hanya suara napas yang tersisa. Chloe tergolek lemas, tubuhnya masih panas oleh sisa gairah. "Kau luar biasa," desah Chloe dengan napas masih terengah-engah. "Terima kasih. Lubangmu juga sangat pas." "Jadi tidak sia-sia 'kan, kau terbang ke Moskow untuk menemuiku?" "Sama sekali tidak. Aku menikmati rencana mendadak ini." Francesco menyeringai, mengecup pundaknya. "Jadi ... lebih enak mana, aku atau Alexander?" "Entahlah." Chloe menyingkirkan tubuh Francesco yang berada di atasnya. Ia beranjak dari ranjang, dan mulai memakai pakaiannya lagi. "Aku tidak"Kenapa bicara seperti itu? Ini tentang dirimu, Alexander," tanya Ella balik, khawatir."Justru karena ini tentang diriku, maka aku yang memutuskan. Kalau kukatakan tidak apa-apa, berarti tak perlu ada lagi yang diselidiki.""Aku hanya ingin membantu. Maksudku ... aku peduli padamu, jadi kuharap kamu juga peduli pada dirimu.""Terima kasih sudah peduli denganku, tapi Ella ..." Alexander menatapnya, sorotnya dalam nan mengeras. "Sebelum kamu membantu orang lain, tanya terlebih dahulu apakah dia memerlukan bantuan atau tidak. Berhenti bermain-main menjadi pahlawan."Ella tertawa kecil, hambar. "Wow, aku tidak menyangka mendengar kata-kata setajam itu darimu. Baiklah ... kalau memang kamu tak mau dibantu, tak mungkin juga kamu akan memintanya dariku. Betapa bodohnya aku."Ia berdiri, berniat pergi. Namun, tangan Alexander cepat menarik pinggangnya, memaksanya kembali duduk di pangkuannya. "Sekarang mau apa lagi, huh?" dengusnya, kesal.
"Banyak hal yang terjadi, bagian mana yang ingin Anda tahu?" tanya Ben hati-hati. "Aku ingin tahu semuanya dari awal," jawab Ella serius. "Tapi jika keinginanku terasa terlalu banyak, Anda bisa menceritakan tentang hubungan Alexander dengan kedua orang tuanya saja. Sejak kapan Alexander ... membenci mereka?" Ben menarik napas panjang, sorot matanya menerawang jauh. "Perasaan cinta atau benci adalah sesuatu yang tidak aku ketahui, namun, diriku bisa mengira awal mula semuanya terjadi," ungkap Ben. "Tuan dan Nyonya besar telah berpisah sejak Tuan muda masih kecil. Perpisahan pasti terjadi karena ada hal yang kurang baik, tetapi keputusan itulah yang terbaik bagi mereka." Ella mendengarkan dalam diam, tenggorokannya tercekat. "Hak asuh anak pertama jatuh ke tangan sang Nyonya, sedangkan anak kedua dan ketiga ... pada Tuan besar. Alexander bukanlah pewaris utama. Kakaknya-lah yang dulu dipersiapkan. Namun, takdir berbelok. Kare
"Ini ... luka dari mana?" tanya Ella khawatir, jemarinya menyentuh lembut guratan panjang di lengan Alexander. Alexander menghindari tatapannya. "Tersayat pintu. Tak sengaja." Ella mengangkat alis, sinis. "Kalau ingin berbohong, setidaknya buatlah alasan yang bisa dipercaya. Aku tidak sebodoh itu." "Pokoknya ini tidak sengaja." "Katakan sebenarnya, Alexander!" Pria itu tetap diam. Tak ada kejujuran yang lolos dari bibirnya. "Ini bukan sesuatu yang harus kamu tahu." Ella menangkup wajahnya, menatap dalam ke mata hazel yang malam ini terlihat jauh lebih redup dari biasanya. Sorot tajam itu sirna, digantikan sesuatu yang rapuh. Tanpa berkata apa pun, Ella memiringkan kepala dan mengecup bibir Alexander dengan lembut. Ciuman yang pelan dan penuh rasa. Alexander membalasnya dalam diam, seolah mencari pelarian dari luka yang tak pernah ia ceritakan. Begitu bibir mereka t
Langkah kaki Alexander menggema di koridor dingin mansion keluarga Hoffa. Bukannya menuju ruang kerja seperti biasa, jemarinya menekan tombol lift menuju lantai kamar tidur sang Ayah. Tempat yang jarang dikunjungi, tetapi selalu menjadi dingin setiap didatangi. Atau lebih pantas disebut ruang penghakiman.Pintu kamar terbuka. Di balik kaca balkon, Reagan berdiri tegap membelakanginya. Sosok yang selalu memancarkan wibawa sekaligus ancaman."Selamat siang," sapa Alexander tenang."Siang," balas Reagan, membalikkan tubuhnya. Pandangannya menyisir putranya dari kepala hingga kaki. "Kau datang lebih cepat dari yang kukira.""Aku langsung ke sini saat menerima panggilan tadi.""Bagus. Memang itulah yang harus dilakukan jika ingin menjadi penerus utama. Memprioritaskan kepentingan bisnis bukan pribadi.""Lalu apa yang ingin Anda katakan?"Dengan wajah datar, Reagan masuk, membuka laci, lalu melempar beberapa lembar foto ke lan
"Apa sekarang kamu sedang hamil?""Tidak," jawab Ella pelan. "Aku hanya ... bertanya jika hal itu terjadi dalam waktu dekat misalnya.""Sudahlah. Jangan sibuk membayangkan hal yang belum tentu datang," balas Alexander datar. Ia bangkit dari kursi, berjalan ke dapur, membuka lemari bahan makanan seolah ingin mengalihkan arah percakapan.Sementara Ella, ia masih diam merenungkan jawaban Alexander. Sebenarnya ia juga tidak berminat menikah atau menjadi orang tua dalam waktu dekat, sebab masih ingin fokus pada ballet. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa dirinya sedikit takut dengan apa yang akan terjadi di hari-hari selanjutnya. Apalagi di tengah hubungan rumit ini."Aku ingin makan caldo de camaron. Apa kamu bisa memasaknya?" tanyanya, ikut menyusul Alexander ke dapur."Untuk sekarang tidak, tapi jika sudah melihat resep, biasanya aku langsung bisa.""Kalau begitu kita lihat resepnya dulu." Ella menyalakan ponsel, jari telunjuk
"Francescohhh lebihh cepat ... akuhh- aku keluarhh." Ranjang hotel di Moskow bergetar hebat. Kuku Chloe mencakar punggung Francesco saat mereka mencapai puncak. Nafasnya berat, tubuhnya gemetar, dan lenguhannya mengisi seluruh ruangan. Keduanya menyatu dalam klimaks. Cairan kental keluar, mengisi tubuh. Lalu mereka terdiam sejenak, hanya suara napas yang tersisa. Chloe tergolek lemas, tubuhnya masih panas oleh sisa gairah. "Kau luar biasa," desah Chloe dengan napas masih terengah-engah. "Terima kasih. Lubangmu juga sangat pas." "Jadi tidak sia-sia 'kan, kau terbang ke Moskow untuk menemuiku?" "Sama sekali tidak. Aku menikmati rencana mendadak ini." Francesco menyeringai, mengecup pundaknya. "Jadi ... lebih enak mana, aku atau Alexander?" "Entahlah." Chloe menyingkirkan tubuh Francesco yang berada di atasnya. Ia beranjak dari ranjang, dan mulai memakai pakaiannya lagi. "Aku tidak