"Kenapa bicara seperti itu? Ini tentang dirimu, Alexander," tanya Ella balik, khawatir.
"Justru karena ini tentang diriku, maka aku yang memutuskan. Kalau kukatakan tidak apa-apa, berarti tak perlu ada lagi yang diselidiki.""Aku hanya ingin membantu. Maksudku ... aku peduli padamu, jadi kuharap kamu juga peduli pada dirimu.""Terima kasih sudah peduli denganku, tapi Ella ..." Alexander menatapnya, sorotnya dalam nan mengeras. "Sebelum kamu membantu orang lain, tanya terlebih dahulu apakah dia memerlukan bantuan atau tidak. Berhenti bermain-main menjadi pahlawan."Ella tertawa kecil, hambar. "Wow, aku tidak menyangka mendengar kata-kata setajam itu darimu. Baiklah ... kalau memang kamu tak mau dibantu, tak mungkin juga kamu akan memintanya dariku. Betapa bodohnya aku."Ia berdiri, berniat pergi. Namun, tangan Alexander cepat menarik pinggangnya, memaksanya kembali duduk di pangkuannya. "Sekarang mau apa lagi, huh?" dengusnya, kesal.<Entah sudah berapa kali jemari Alexander menekan pelipisnya. Bukan karena pusing memikirkan angka-angka di meja kerja, melainkan pusaran rumit yang diciptakan dua wanita itu.Sebelum langkahnya diambil, ia tahu bahwa drama ini akan muncul. Namun, yang tak ia perhitungkan adalah satu hal, yaitu perasaannya pada Ella.Apa ia sungguh merasakan cinta pada wanita itu? Sial. Di mana dirinya yang dulu?"Kita sudah sampai, Sir," ujar Lionello.Kesadaran Alexander kembali setelah mendengar perkataan asistennya. Ia mengangkat pandangan. Di balik kaca jendela mobil, berdiri megah mansion keluarga Hoffa, tempat yang selalu mengandung rasa getir dalam ingatannya.Dengan kaki yang melangkah cepat, ia masuk ke dalam. Kebetulan sekali, orang yang Alexander cari sedang duduk santai di sofa ruang tengah. "Tenang sekali hidupmu," ucap Alexander mendekati sang adik. "Tentu saja. Lihatlah, di majalah ini ada wajah dan album terba
Suara tawa para wanita di dapur terdengar mengalun, mengisi udara malam yang dingin menjadi hangat. Para pelayan dan Ella tengah menunduk ke atas meja panjang, menghias sebuah kue besar. Padahal jarum jam sudah menunjuk pukul sepuluh malam, waktu yang biasanya menandai para pelayan pulang. Namun malam ini, dapur masih hidup, penuh canda, tepung, dan aroma manis."Bibir Tuan Alexander tidak seperti ini. Seharusnya garis lurus saja. Tuan selalu memasang wajah datar," gurau salah satu pelayan, menatap kue di hadapan Ella."Kalian ini, pakar ekspresi wajah rupanya," jawab Ella sambil tersenyum kecil, mengikuti saran tadi."Semua orang di mansion sudah hafal watak Tuan besar.""Kalau tidak datar, berarti beliau sedang marah. Apalagi kalau alisnya mengerut seperti ini," timpa pelayan lain menirukan ekspresi wajah Alexander, membuat yang lain terbahak."Siapa yang kalian sebut menyeramkan itu?"Suara itu datang bagai petir di
"Lama tidak bertemu. Aku merindukan kalian semua," seru Daniella memeluk teman-temannya. Aroma parfum manisnya bercampur dengan bau ringan rosin sepatu balet di ruang latihan. Mereka baru saja mengganti sepatu, menunggu pelatih datang. Senyum menghiasi wajah-wajah itu, seolah liburan baru saja mengisi ulang seluruh energi mereka. "Wajah kalian sangat berseri-seri, pasti liburannya menyenangkan, bukan?" tanyanya melirik Stella. "Iya, lumayan. Aku menghabiskan banyak waktu bersama kekasihku di Bahama," jawab Stella. "Pasti banyak kondom yang telah terpakai," celetuk Teresa nakal, membuat semua tertawa terbahak. "Lebih banyak dari yang kamu kira," timpal Stella sambil tersenyum penuh rahasia. "Aku iri. Bukan hanya pada kalian ... tapi pada foto-foto yang kalian unggah. Liburan dengan pasangan itu ... menyenangkan," keluh Chloe. Tatapannya sedikit meredup. "Memang kamu tidak?" tanya Teresa. Chloe m
"Kenapa bicara seperti itu? Ini tentang dirimu, Alexander," tanya Ella balik, khawatir."Justru karena ini tentang diriku, maka aku yang memutuskan. Kalau kukatakan tidak apa-apa, berarti tak perlu ada lagi yang diselidiki.""Aku hanya ingin membantu. Maksudku ... aku peduli padamu, jadi kuharap kamu juga peduli pada dirimu.""Terima kasih sudah peduli denganku, tapi Ella ..." Alexander menatapnya, sorotnya dalam nan mengeras. "Sebelum kamu membantu orang lain, tanya terlebih dahulu apakah dia memerlukan bantuan atau tidak. Berhenti bermain-main menjadi pahlawan."Ella tertawa kecil, hambar. "Wow, aku tidak menyangka mendengar kata-kata setajam itu darimu. Baiklah ... kalau memang kamu tak mau dibantu, tak mungkin juga kamu akan memintanya dariku. Betapa bodohnya aku."Ia berdiri, berniat pergi. Namun, tangan Alexander cepat menarik pinggangnya, memaksanya kembali duduk di pangkuannya. "Sekarang mau apa lagi, huh?" dengusnya, kesal.
"Banyak hal yang terjadi, bagian mana yang ingin Anda tahu?" tanya Ben hati-hati. "Aku ingin tahu semuanya dari awal," jawab Ella serius. "Tapi jika keinginanku terasa terlalu banyak, Anda bisa menceritakan tentang hubungan Alexander dengan kedua orang tuanya saja. Sejak kapan Alexander ... membenci mereka?" Ben menarik napas panjang, sorot matanya menerawang jauh. "Perasaan cinta atau benci adalah sesuatu yang tidak aku ketahui, namun, diriku bisa mengira awal mula semuanya terjadi," ungkap Ben. "Tuan dan Nyonya besar telah berpisah sejak Tuan muda masih kecil. Perpisahan pasti terjadi karena ada hal yang kurang baik, tetapi keputusan itulah yang terbaik bagi mereka." Ella mendengarkan dalam diam, tenggorokannya tercekat. "Hak asuh anak pertama jatuh ke tangan sang Nyonya, sedangkan anak kedua dan ketiga ... pada Tuan besar. Alexander bukanlah pewaris utama. Kakaknya-lah yang dulu dipersiapkan. Namun, takdir berbelok. Kare
"Ini ... luka dari mana?" tanya Ella khawatir, jemarinya menyentuh lembut guratan panjang di lengan Alexander. Alexander menghindari tatapannya. "Tersayat pintu. Tak sengaja." Ella mengangkat alis, sinis. "Kalau ingin berbohong, setidaknya buatlah alasan yang bisa dipercaya. Aku tidak sebodoh itu." "Pokoknya ini tidak sengaja." "Katakan sebenarnya, Alexander!" Pria itu tetap diam. Tak ada kejujuran yang lolos dari bibirnya. "Ini bukan sesuatu yang harus kamu tahu." Ella menangkup wajahnya, menatap dalam ke mata hazel yang malam ini terlihat jauh lebih redup dari biasanya. Sorot tajam itu sirna, digantikan sesuatu yang rapuh. Tanpa berkata apa pun, Ella memiringkan kepala dan mengecup bibir Alexander dengan lembut. Ciuman yang pelan dan penuh rasa. Alexander membalasnya dalam diam, seolah mencari pelarian dari luka yang tak pernah ia ceritakan. Begitu bibir mereka t