Alexander melangkah cepat, langkah-langkahnya tegas. Tiap hentakan sepatu mengusir suara-suara di lorong gedung tinggi itu. Ia tidak menghiraukan sapaan ramah para karyawan perusahaan. Wajahnya datar, hanya ada tujuan yang terpatri dalam benaknya.Lift melesat naik, angkanya terus menanjak hingga akhirnya berhenti tepat. Begitu pintu lift terbuka, aroma kayu mahal dan kilau lampu kristal menyambutnya, kontras dengan hawa dingin yang segera merambati suasana.Tatapannya lurus ke satu ruangan. Sebuah pintu kokoh dari kayu oak hitam dengan ukiran huruf 'H' berornamen klasik di tengah. Tanpa ragu, Alexander melangkah mantap, memutar gagang pintu itu."Tunggu, Tuan Alexander. Tuan Francesco sedang ada tamu." Suara asisten pribadi Francesco terdengar panik.Namun Alexander tidak menghiraukan. Ia membuka pintu dengan kasar.Alisnya langsung berkerut ketika mendapati sosok yang tidak ia sangka ada di sana. Sang Ayah tengah duduk tenang di kursi t
Alexander diam memandangi kecantikan seorang wanita yang seolah menyatu dengan laut dan langit terbentang jelas di senyum Ella. Air berkilau di kulitnya dan sinar matahari membuatnya tampak seperti potret hidup yang sulit ditinggalkan pandangan. Tapi kedua tangan Alexander yang tersembunyi dalam kantong celana terkepal kuat menahan gejolak emosional yang aneh. "Ella," panggilnya dari dek atas yacht."Iya?" balas Ella sambil mengapung, menikmati permainan ombak kecil.Alexander sempat ingin menyinggung pesan yang baru ia temukan di ponsel wanita itu, tapi sesuatu malah menahan dirinya. "Tidak. Nikmati saja waktumu," katanya singkat. Tak ingin membuat keributan di situasi bagus ini."Kamu tidak ikut turun? Air di sini menyenangkan."Alexander hanya menggeleng, tersenyum tipis. Ia memilih tetap duduk, memperhatikan kedua wanita itu dari atas.Setelah puas, mereka kembali ke dek. Yacht pun melanjutkan pelayaran ke perairan sekitar,
Sepasang kaki perlahan menyentuh lantai. Dingin. Ella menunduk, mencari-cari sandalnya, lalu tersenyum bodoh sambil menggaruk kepala, ia baru menyadari bahwa semalam datang ke kamar ini tanpa persiapan apa pun. Wanita itu berdiri dengan hati-hati, sebab pangkal pahanya masih nyeri, bahkan membuat wajahnya meringis. Alexander sudah tak ada di ranjang, jadi ia tak bisa meminta bantuannya untuk sekadar berjalan. Ella meraih kembali pakaiannya, mengenakannya satu per satu, lalu melangkah ke pintu. Dari celah sempit yang terbuka, tercium aroma masakan. Alexander pasti sedang sibuk di dapur. Namun tak terlihat tanda-tanda Alice. Pintu kamarnya juga masih rapat tertutup. Kemungkinan besar Alice masih tertidur. Ella pun memberanikan diri keluar, menyusuri lorong untuk kembali ke kamarnya. Syukurlah, dugaannya benar, Alice masih terlelap pulas. Ia masuk perlahan, lalu kembali membaringkan diri di sampingnya, menyelimuti tubuhnya, dan akting tidur pun dimulai. Semoga Alice tak menyadari ba
Pukul 11:42 malam. Ella keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih segar dengan aroma sabun. Dari arah ranjang, terdengar napas teratur. Alice sudah tenggelam dalam mimpi. Sehabis makan malam, mereka sempat mengobrol panjang, hingga lelah menyeret gadis itu ke alam tidur.Ella meraih ponsel yang masih tergenggam di tangan Alice, lalu menaruhnya di laci. Dengan lembut, ia menarik selimut lebih tinggi, memastikannya tetap hangat.Lampu kamar ia padamkan. Ella merebahkan diri di sisi ranjang tepat di samping Alice, matanya segera dipejam. Namun, kantuk enggan menghampiri. Lima belas menit, tiga puluh menit, hingga jarum jam menunjuk pukul 01:56 begitu dilihat kembali. Rasa lelah seharusnya menidurkannya, tapi pikirannya justru kian terjaga.Wanita itu memutuskan menyibukkan diri dengan meraih ponsel. Nama Alexander berada paling atas dalam daftar percakapan. Jemarinya ragu sesaat sebelum akhirnya benar-benar mengetik.Ella: Sudah tidur?Tak ada balasan. Alexander tampak tidak aktif. Ella k
"Seharusnya jangan berenang terlalu jauh." Suara berat Alexander terdengar tepat di telinga Ella.Ella mendongak, masih terengah. "Kenapa ke sini? Bukankah tadi bilang tak mau ikut?""Itu tadi," jawab Alexander santai. "Sekarang berbeda. Memang tidak boleh?""Harusnya jujur saja kalau memang ingin ikut bermain. Jangan pura-pura sibuk.""Aku memang sibuk."Ella menarik napas panjang, lalu berusaha melepaskan diri. "Baiklah, terserah saja. Sekarang lepaskan, aku bisa sendiri."Alexander menyipitkan mata ke arah belakang Ella. "Oh, ombak besar akan datang lagi."Mata Ella membelalak, ia refleks kembali merapat pada dada Alexander, memejamkan mata sekuat tenaga. Degup jantungnya berpacu, siap menahan guncangan air.Namun, tak ada ombak detik maupun menit berikutnya. Hempasan gelombang tetap tenang. Hanya suara tawa asik dan percikan air dari orang-orang lain di sekitar.Perlahan Ella membuka mata. Ia menemukan Alexander menahan tawa sambil menatapnya. "Dasar bajingan." Wajahnya langsung m
"Bagaimana kalau yang ini saja? Warna merah muda ini cocok untukmu," saran Alice sambil menunjukkan sebuah bikini dari hanger. Bikini itu berbentuk halter dengan tali tipis di bahu, potongan atas menonjolkan lekuk tubuh tanpa terlalu terbuka, dan bawahan rendah dengan sisi diikat pita kecil. Warnanya merah muda lembut, feminin tapi tetap berani."Emm ... kamu yakin?" tanya Ella ragu. Bikini itu terlihat seksi, bahkan sedikit menantang, berbeda dari pakaian renangnya yang biasa dirinya miliki."100% yakin. Ayolah, jangan malu-malu. Liburan adalah waktu untuk mencoba hal-hal baru," dorong Alice, matanya berbinar penuh semangat.Ella menoleh ke arah laut dari pantulan kaca toko. Ombak biru kehijauan yang tenang dan wanita-wanita lain yang santai dengan pakaian renang membuatnya tersadar, jika tubuh mereka sempurna berbeda dengan tubuhnya. "Sepertinya tubuhku itu-""Jadilah percaya diri." Alice menarik tangan Ella menuju kaca besar. "Lihat baik-baik! Ini akan terlihat sempurna." Ia meleta