“Besok, Mama mau kamu makan malam dengan Mam,” ucap Teresa yang menatap anaknya yang tengah menyetir. Kendrick tidak menanggapi perkataan Teresa dia diam dan fokus menyetir berharap segera sampai di mansion utama. “Ken, apa kami tidak mendengar Mama?” suara Teresa kembali meninggi membuat Kendrick menoleh. “Apa lagi yang mau Mama bicarakan denganku? Semua tidak akan mengubah keputusanku, Ma,” ucap Kendrick tanpa menoleh ke arah Teresa. “Aku akan tetap menikahi Serena, meskipun kalian menentang.”“Kendrick! Kenapa sih kamu tidak pernah mau mendengarkan Mama? Cari wanita manapun dari keluarga terhormat, Ken!”“Dia masih keluarga Quirino, jadi tidak ada alasan lagi untuk Mama mengatakan jika dia bukan berasal dari keluarga terhormat.”“Tapi dia lahir diluar pernikahan, sadarlah Ken.”Kendrick menghela nafas, dia merasa muak terus berdebat dengan Mamanya sendiri. Tidak peduli pandangan orang lain, Kendrick tetap menginginkan Serena dan dia akan mempertahankan Serena agar tetap disisinya
Serena duduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap dinding kamar yang sunyi. Satu bulan berlalu sejak hari itu di kantor, ketika Teresa datang tanpa diundang, menebarkan ketegangan yang tak pernah Serena bayangkan sebelumnya. Hatinya terbelah antara rasa ingin bertahan dan tekanan yang semakin menyesakkan. Minggu lalu ia resmi mengundurkan diri, keputusan yang dibuat setelah berhari-hari menahan tatapan dingin dan bisik-bisik yang tak pernah diucapkan, namun terasa begitu nyata.Pintu kamar terbuka perlahan, Kendrick masuk dengan langkah pelan. Melihat Serena yang masih duduk termangu, wajahnya berubah khawatir. Ia mendekat, duduk di sampingnya dan meraih tangan Serena yang dingin. "Sayang, apa kamu baik-baik saja?" suaranya lembut, penuh perhatian. “Kamu sudah pulang, Ken?” ucap Serena yang kemudian melihat jam yang ternyata sudah pukul tujuh malam. “Iya Sayang, kamu kenapa melamun?”“Tidak apa-apa, aku hanya bingung harus melakukan apa dirumah,” ucap Serena berbohong. Kend
Kantor Alonzo Group hiruk-pikuk. Suara bisik-bisik memenuhi ruang kerja, menciptakan atmosfer tegang yang tidak bisa diabaikan. Serena duduk di mejanya, wajahnya pucat saat melihat layar komputernya. Foto-foto dirinya dan Kendrick memenuhi forum kantor. “Serena, lihat ini!” Luna, rekan kerjanya, berlari menghampiri, wajahnya memancarkan kekhawatiran. “Kamu dan Pak Kendrick! Ini gila!”Serena menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. “Kenapa bisa tersebar?” tanyanya dengan suaranya bergetar.“Entahlah, tapi semua orang membicarakannya,” Sofia menjawab, tidak dapat menyembunyikan rasa kekhawatirannya. “Kamu baik-baik saja, Serena?” tanya Maudy yang melihat wajah pucat Serena.“Kak, tenanglah,” tutur Sofia. Mereka mengerti apa yang menjadi kekhawatiran Serena. Di luar kantor, Kendrick yang baru selesai bertemu dengan klien mendengar kabar dari Julian, asisten pribadinya. “Julian, apa maksudnya ini? Mama sedang dalam perjalanan ke kantor?” Suara Kendrick terdengar tegang, mencermink
Mentari pagi menerobos masuk melalui celah gorden, membekukan lembut wajah Serena. Ia mengerjap, merasakan kehangatan di sekitarnya. Kendrick. Pria itu sudah bangun, menatap dengan senyum teduh yang selalu berhasil menghangatkan hatinya."Selamat pagi, sayang," bisik Kendrick, mengecup bibir Serena singkat namun penuh kasih. Serena membalas senyumannya."Pagi, Ken. Mandi sana, nanti telat ke kantor." Kendrick menggeleng, senyumnya semakin lebar."Tidak ada kantor hari ini untukku." Serena sedikit mengerutkan keningnya. “Maksudmu?”"Aku ingin menghabiskan hari ini bersamamu." "Tidak bisa, Ken. Aku juga harus ke kantor." Raut kekhawatiran langsung tergambar di wajah Kendrick."Kamu yakin Sayang?” Serena mengangguk, dia lalu berkata. “Aku ingin kembali bekerja. Aku tidak bisa terus menerus berdiam diri di rumah,bukan?” Suaranya lirih, namun terdapat ketegasan di dalamnya.Kendrick menatap Serena dengan lembut dan penuh pengertian. Mungkin benar, kembali ke rutinitas seperti biasa akan me
"Aku senang kalau kamu sudah mulai tersenyum lagi," kata Kendrick akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya, seperti mendengarkan alunan lagu yang merdu.Serena terdiam, merenungkan kata-kata Kendrick. Ia menyadari perubahan dalam dirinya sendiri. Rasanya seperti menemukan secercah cahaya di ujung lorong gelap yang tak berujung.Namun, meskipun ada perubahan positif, ia masih tidak yakin dengan apa yang sebenarnya ia rasakan. Apakah ini hanya ilusi dari rasa rindu akan kebahagiaan yang sudah lama menghilang, ataukah ada sesuatu yang nyata?Kendrick tidak berbicara untuk beberapa saat, hanya menemani Serena dalam diam. Serena menghela nafas pelan, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, mencoba meredakan pikirannya yang terus berputar."Aku ingin kamu tetap disisiku, Sayang," kata Kendrick tiba-tiba, membuay suasana tenang yang sebelumnya ada di antara mereka. Serena langsung menegang. Ia menoleh menatap Kendrick, tetapi pria itu tetap menatap lurus ke depan, seolah-olah sedang b
Pagi itu, Kendrick memutuskan untuk Angin sejuk menerpa wajahnya. Dia memperhatikan sekeliling—anak-anak bermain di kejauhan, pasangan muda berjalan bergandengan tangan, dan beberapa orang tua duduk menikmati sore dengan segelas kopi. Semua orang tampak... menjalani hidup.Serena menggenggam lengan bajunya sendiri, merasa terasing di antara mereka. Kendrick berdiri di sampingnya, diam, memberi Serena waktu untuk menyesuaikan diri dengan dunia luar yang terasa asing."Ayo duduk," katanya akhirnya, menunjuk bangku kayu di bawah pohon rindang. Serena menurut, meskipun hatinya masih berat. Mereka duduk berdampingan dalam keheningan, hanya suara burung dan tawa anak-anak yang terdengar."Kamu tahu," Kendrick akhirnya membuka suara, "Aku dulu benci tempat kayak gini." Serena menoleh, keningnya berkerut. "Kenapa?" Kendrick mengangkat bahu. "Karena terlalu ramai. Terlalu banyak orang dengan kehidupan mereka masing-masing, sementara aku sIbuk dengan kehidupanku yang berantakan."Serena terdia