“Pasti ada kesalahpahaman, Tuan. Suamiku tak mungkin menjualku!” “Tak mungkin menjualmu?” Kendrick berkata dengan dingin sebelum melempar sebuah surat ke atas meja. “Begitu percaya diri.” “Baca dan resapi peninggalan dari suami kesayanganmu.” Serena yang mengira selama ini pernikahan mereka baik-baik saja dan cenderung damai tiba-tiba sang suami menjual dirinya. Leonardo membuat dia terjerat dalam hasrat seorang pria yang berkuasa.
Lihat lebih banyak“Pasti ada kesalahpahaman. Suamiku tak mungkin menjualku!”
Serena berkata dengan suara gemetar di hadapan pria yang sudah membelinya, Kendrick Alonzo.
Di hadapan Serena, pria berwajah tampan itu menatap dengan dingin. “Tidak mungkin menjualmu? Begitu percaya diri.”
Jawaban Kendrick membuat Serena merasa semakin merasa terdesak. Apalagi ditambah dengan latar belakang pria itu yang begitu berkuasa.
Namun, meski begitu, dia menolak untuk percaya. Sebab, di kota ini, tak ada yang tidak mengenal tabiat Kendrick yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan yang ia inginkan.
Bisa saja Kendrick menekan Leo dan memaksa suaminya itu menjualnya, kan? Sebab, menurut Serena, pernikahannya dengan Leo baik-baik saja dan cenderung damai tanpa ada masalah berarti.
Oleh karena itu, Serena berjalan menjauh dan mencoba untuk menghubungi Leo, tapi sama sekali tidak diangkat.
Dua kali mencoba, Serena mulai merasa gelisah.
Samar-samar, Serena mendengar dengusan dari arah Kendrick sebelum kemudian suara kertas yang membentur kaca membuat Serena menoleh.
“Baca dan resapi.”
Serena sontak berjalan mendekat dan mengambil surat itu dengan ragu sebelum kemudian membacanya.
Beberapa detik kemudian, mata Serena membelalak lebar dan berubah menjadi buram. Seluruh keraguannya hilang karena hanya dalam sekali pandang, Serena sangat mengenali tulisan tangan dan juga cap keluarga suaminya.
Bagaimana bisa pria itu menukarnya dengan investasi sebesar dua ratus miliar?
“Sudah percaya?” Kendrick berkata lagi sambil memainkan gelas berisi wine di tangannya. Mata pria itu menyorot dingin, dan menyiratkan hasrat yang dalam.
Melihat itu, air mata Serena menetes melewati pipinya. Apa yang akan dilakukan oleh Kendrick padanya?!
“Tuan, saya sama sekali tidak tahu mengenai transaksi ini. Saya dijebak dan ini di luar persetujuan saya. Saya–”
“Apa aku terlihat peduli?” Kendrick berkata dingin. “Awalnya, suamimu hendak menjualmu ke pelacuran demi perusahaannya, tapi aku membelimu. Apakah begini caramu berterima kasih?”
Air mata Serena semakin deras. “Saya sangat berterima kasih, Tuan. Namun, tolong lepaskan saya. Saya janji saya akan membayar–”
“Membayar?” Kendrick tertawa sinis sebelum kemudian beranjak dan berjalan ke arah Serena.
Sesampainya di hadapan wanita itu, ia menarik pinggang Serena mendekat dan memposisikan wajah mereka berhadapan.
Serena refleks menahan napas.
“Kamu bicara seakan kamu mampu.” kata Kendrick. “Hutang Leonardo hanya lima puluh miliar, tapi dia menambah hargamu menjadi dua ratus miliar, Serena.”
Kendrick berbisik serak sambil menundukkan wajahnya ke arah leher Serena, membuat gadis itu berjengit dan refleks memundurkan diri.
Namun, Kendrick mempererat rangkulannya pada pinggang gadis itu.
“Itu pun belum termasuk bunganya. Katakan, bagaimana kamu akan membayar?” Kendrick mengecupnya pundak Serena pelan yang langsung membuat wanita itu tak sengaja meloloskan satu desahan singkat.
“Butuh waktu hampir satu abad untuk kamu melunasi bunganya. Lalu, bagaimana dengan hutang pokoknya?” kata Kendrick lagi. “Sampai matipun kamu tak akan bisa melunasinya. Mengerti?!”
Penjelasan itu membuat Serena terdiam dan keraguan mulai muncul, tapi dengan penuh tekad dia berkata lagi. “Saya akan tetap mengusahakannya, Tuan. Saya.. tidak bisa menggadaikan harga diri saya pada Anda.”
“Naif dan tidak tahu diri.” Kendrick berkata dengan tajam sembari melepaskan tubuh Serena dari dekapannya. “Aku ingin lihat apa kamu masih punya harga diri setelah menerima kabar setelah ini.”
Serena langsung mundur dan mengerutkan dahinya. Namun, saat dia hendak bertanya lebih lanjut, tiba-tiba saja ponselnya bergetar dan menampilkan telepon dari administrator rumah sakit.
Tubuh Serena refleks menegang dan ingatannya pun langsung tertuju pada ibunya yang tengah dirawat di rumah sakit karena Leukimia.
Apakah Kendrick melakukan sesuatu pada ibunya?!
[Halo, Nyonya Serena? Saat ini kondisi Ibu Anda semakin menurun dan segera memerlukan tindakan operasi. Kami harap Anda bisa segera datang dan menyelesaikan administrasinya.]
Perkataan Administrator itu membuat Serena tercekat dan langsung menatap ke arah Kendrick yang telah kembali duduk di sofa.
Namun, pria itu hanya membalas tatapannya dengan datar sambil menyilangkan kaki.
Kepala Serena mulai pusing. Bukankah seharusnya tagihan itu sudah dilunasi oleh Leo dua bulan lalu?
[Setelah mengecek riwayat transaksi keuangan, kami sama sekali tidak menerima dana dari Pak Leo sejak tiga bulan lalu. Pak Leo juga telah memblokir nomor kami sehingga tak dapat dihubungi.]
Mendengar itu, tubuh Serena lemas, tapi dia buru-buru memberi kalimat konfirmasi untuk melakukan yang terbaik.
[Kami akan menunggu pelunasan administrasinya hingga besok, Nyonya. Jika tak kunjung diselesaikan, maka mohon maaf kami tak lagi bisa memberikan fasilitas kepada Ibu Anda.]
Setelah telepon ditutup, tubuh Serena merosot ke lantai tanpa hambatan. Kali ini, dia tidak tahu harus berbuat apa.
Masih dengan air mata yang mengalir, Serena mengambil ponselnya untuk menghubungi Leo dan meminta keterangan.
Namun, nomornya pun telah diblokir bersama dengan sebuah pesan yang masuk ke dalam ponselnya.
[Jangan pernah menghubungiku lagi. Layani Tuan Kendrick dengan baik!]
“Jadi, bagaimana cara kamu melunasinya?”
Posisi Kendrick tak berubah dan Serena bisa mendengar hasrat mendalam dari kalimatnya.
Perlahan, Serena berdiri dan berjalan ke arah Kendrick sebelum kemudian jatuh berlutut ke hadapan pria itu.
“Tolong bantu saya dan saya bersedia melakukan apa pun sebagai gantinya.”
“Bijak sekali.” Kendrick menyeringai kecil dan menyesap anggurnya. “Tapi.. jadilah wanitaku.”
Kantor Alonzo Group hiruk-pikuk. Suara bisik-bisik memenuhi ruang kerja, menciptakan atmosfer tegang yang tidak bisa diabaikan. Serena duduk di mejanya, wajahnya pucat saat melihat layar komputernya. Foto-foto dirinya dan Kendrick memenuhi forum kantor. “Serena, lihat ini!” Luna, rekan kerjanya, berlari menghampiri, wajahnya memancarkan kekhawatiran. “Kamu dan Pak Kendrick! Ini gila!”Serena menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. “Kenapa bisa tersebar?” tanyanya dengan suaranya bergetar.“Entahlah, tapi semua orang membicarakannya,” Sofia menjawab, tidak dapat menyembunyikan rasa kekhawatirannya. “Kamu baik-baik saja, Serena?” tanya Maudy yang melihat wajah pucat Serena.“Kak, tenanglah,” tutur Sofia. Mereka mengerti apa yang menjadi kekhawatiran Serena. Di luar kantor, Kendrick yang baru selesai bertemu dengan klien mendengar kabar dari Julian, asisten pribadinya. “Julian, apa maksudnya ini? Mama sedang dalam perjalanan ke kantor?” Suara Kendrick terdengar tegang, mencermink
Mentari pagi menerobos masuk melalui celah gorden, membekukan lembut wajah Serena. Ia mengerjap, merasakan kehangatan di sekitarnya. Kendrick. Pria itu sudah bangun, menatap dengan senyum teduh yang selalu berhasil menghangatkan hatinya."Selamat pagi, sayang," bisik Kendrick, mengecup bibir Serena singkat namun penuh kasih. Serena membalas senyumannya."Pagi, Ken. Mandi sana, nanti telat ke kantor." Kendrick menggeleng, senyumnya semakin lebar."Tidak ada kantor hari ini untukku." Serena sedikit mengerutkan keningnya. “Maksudmu?”"Aku ingin menghabiskan hari ini bersamamu." "Tidak bisa, Ken. Aku juga harus ke kantor." Raut kekhawatiran langsung tergambar di wajah Kendrick."Kamu yakin Sayang?” Serena mengangguk, dia lalu berkata. “Aku ingin kembali bekerja. Aku tidak bisa terus menerus berdiam diri di rumah,bukan?” Suaranya lirih, namun terdapat ketegasan di dalamnya.Kendrick menatap Serena dengan lembut dan penuh pengertian. Mungkin benar, kembali ke rutinitas seperti biasa akan me
"Aku senang kalau kamu sudah mulai tersenyum lagi," kata Kendrick akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya, seperti mendengarkan alunan lagu yang merdu.Serena terdiam, merenungkan kata-kata Kendrick. Ia menyadari perubahan dalam dirinya sendiri. Rasanya seperti menemukan secercah cahaya di ujung lorong gelap yang tak berujung.Namun, meskipun ada perubahan positif, ia masih tidak yakin dengan apa yang sebenarnya ia rasakan. Apakah ini hanya ilusi dari rasa rindu akan kebahagiaan yang sudah lama menghilang, ataukah ada sesuatu yang nyata?Kendrick tidak berbicara untuk beberapa saat, hanya menemani Serena dalam diam. Serena menghela nafas pelan, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, mencoba meredakan pikirannya yang terus berputar."Aku ingin kamu tetap disisiku, Sayang," kata Kendrick tiba-tiba, membuay suasana tenang yang sebelumnya ada di antara mereka. Serena langsung menegang. Ia menoleh menatap Kendrick, tetapi pria itu tetap menatap lurus ke depan, seolah-olah sedang b
Pagi itu, Kendrick memutuskan untuk Angin sejuk menerpa wajahnya. Dia memperhatikan sekeliling—anak-anak bermain di kejauhan, pasangan muda berjalan bergandengan tangan, dan beberapa orang tua duduk menikmati sore dengan segelas kopi. Semua orang tampak... menjalani hidup.Serena menggenggam lengan bajunya sendiri, merasa terasing di antara mereka. Kendrick berdiri di sampingnya, diam, memberi Serena waktu untuk menyesuaikan diri dengan dunia luar yang terasa asing."Ayo duduk," katanya akhirnya, menunjuk bangku kayu di bawah pohon rindang. Serena menurut, meskipun hatinya masih berat. Mereka duduk berdampingan dalam keheningan, hanya suara burung dan tawa anak-anak yang terdengar."Kamu tahu," Kendrick akhirnya membuka suara, "Aku dulu benci tempat kayak gini." Serena menoleh, keningnya berkerut. "Kenapa?" Kendrick mengangkat bahu. "Karena terlalu ramai. Terlalu banyak orang dengan kehidupan mereka masing-masing, sementara aku sIbuk dengan kehidupanku yang berantakan."Serena terdia
Hujan turun dengan rintik halus, seolah langit ikut berkabung atas kepergian Lydia. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi bunga melati yang tertata di sekitar pusara. Serena berdiri di sana, mengenakan gaun hitam sederhana, matanya sembab karena terlalu banyak menangis sejak semalam. Dia menggenggam erat ujung syal milik Ibunya—satu-satunya kenangan yang masih bisa dia peluk. Nafasnya bergetar saat menatap nisan yang kini terukir nama Lydia Quirino, Ibunya, satu-satunya keluarga yang pernah dia miliki.Melody, Sofia, dan Luna berdiri sedikit di belakangnya, memberikan ruang tetapi tetap ada di sana untuknya. Mereka tahu betapa sulitnya hari ini bagi Serena. "Aku masih tidak percaya, Serena…" suara Melody terdengar pelan, dipenuhi kesedihan yang tulus.Sofia meremas lembut bahu Serena. "Tante sudah tidak sakit lagi sekarang. Tabte bisa tenang."Serena mengangguk kecil, meski hatinya masih terasa kosong. Seberapa pun dia mencoba meyakinkan diri, kenyataan bahwa Ibunya sudah pergi sel
"Bu… bangun, aku di sini… Ibu, tolong jangan tinggalkan aku!"Serena mengguncang tubuh Ibunya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Suaranya bergetar, nafasnya tersengal, seolah mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanya mimpi buruk. Kenyataan yang menyakitkan ini terasa terlalu berat untuk diterima.Tidak ada respons. Tidak ada gerakan.Hanya keheningan yang mengerikan. Keheningan itu seperti pisau, mengiris hati Serena, membuatnya merasa seolah dunia di sekelilingnya mendadak gelap."Ibu, kumohon!" Suara Serena pecah. Tangisannya meluap tanpa kendali. Ia menggenggam tangan Ibunya erat-erat, berharap ada kehangatan yang masih tersisa. Tapi dingin. Terlalu dingin. Dunia yang biasanya hangat dan penuh cinta kini terasa seperti ruang yang membeku.Seorang perawat yang berdiri di dekatnya menunduk, matanya berkaca-kaca. Dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi Lydia hanya bisa menarik napas berat sebelum menatap Serena dengan penuh belas kasih. Rasa empati di mata mereka me
"Kalau kamu mau pulang, aku tidak akan maksa kamu buat tetap di sini," suara Serena terdengar pelan, tapi nadanya jelas menunjukkan kelelahan.Kendrick, yang berdiri di dekat jendela kamar rumah sakit, hanya meliriknya sebelum berjalan ke menghampirinya. "Aku tidak akan ninggalin kamu di sini sendirian."Serena menghela napas. Matanya memandang tubuh Ibunya yang terbaring lemah di ranjang, wajah Lydia terlihat begitu pucat di bawah cahaya redup lampu rumah sakit. Dadanya terasa sesak. Sejak dokter mengatakan kalau kondisi Ibunya sudah tidak bisa diharapkan, Serena tahu waktu yang tersisa sudah tidak lama lagi. Kepanikan dan kesedihan menyelimuti pikirannya, membuatnya sulit untuk berpikir jernih.Kendrick berjalan mendekat, meletakkan tangannya di punggung kursi tempat Serena duduk."Sayang.""Hm?""Kalau kamu butuh sesuatu, bilang padaku ya.”Serena menoleh ke arahnya, menatap mata gelap pria itu yang terasa begitu tajam. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang membuatnya sedikit lebih tena
Mobil melaju cepat menembus jalanan kota yang masih basah akibat hujan tadi malam. Di dalamnya, Serena duduk diam di kursi penumpang dengan tangan saling menggenggam erat di pangkuannya. Dadanya terasa sesak, dan pikirannya terus dipenuhi dengan bayangan ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit. Perasaan cemas menyelimuti dirinya, seolah setiap detik yang berlalu semakin mendekatkan pada kenyataan yang tak ingin dihadapi.Dari sudut matanya, ia bisa merasakan tatapan Kendrick yang sesekali meliriknya. Lelaki itu tidak banyak bicara, hanya memberikan kehadiran yang menenangkan. Namun, Serena tahu, dalam diamnya, Kendrick pasti memperhatikannya lebih dari yang ia sadari. Kendrick selalu bisa merasakan ketegangan di antara mereka, bahkan tanpa kata-kata."Aku di sini," suara Kendrick akhirnya terdengar, lembut namun tegas. "Apapun yang terjadi nanti, kamu tidak sendirian." Kalimat itu terasa seperti pelukan hangat yang meredakan sedikit kegelisahan di hatinya.
Serena masih bisa merasakan hangatnya sentuhan Kendrick di kulitnya. Dadanya naik turun dengan napas yang masih belum sepenuhnya stabil, dan pikirannya berkecamuk dengan banyak hal yang baru saja terjadi di antara mereka. Perasaannya campur aduk—antara kebahagiaan dan ketakutan. Hangatnya sentuhan Kendrick membuatnya merasa aman, tetapi ketidakpastian yang menggelayuti pikirannya membuatnya sulit untuk sepenuhnya menikmati momen itu.Dia menoleh ke samping, melihat wajah Kendrick yang begitu dekat. Mata tajam pria itu kini terlihat lebih lembut, memandangnya dengan intensitas yang belum pernah Serena lihat sebelumnya. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa dihargai dan diinginkan, tapi di sisi lain, ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya membuatnya merasa terjepit."Kau masih tidak percaya padaku?" suara Kendrick terdengar pelan, tetapi tetap penuh tekanan. Suaranya seperti sebuah mantra yang berusaha meredakan badai yang mengamuk di dalam diri Serena.Serena m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen