Olivia akhirnya memejamkan kedua matanya. Setelah dia merasakan kehangatan dan rasa aman yang diberikan oleh Nolan kepadanya. Sedangkan Nolan masih terbangun, hingga akhirnya lampu kamar menyala. Dia menatap wajah Olivia yang terlihat cantik saat tertidur dan tidak terlihat mengesalkan saat terbangun. “Kamu selalu membuatku kehilangan kesabaran,” ucap Nolan. Lalu dia turun dari atas ranjang secara perlahan. Nolan ke luar dari dalam kamarnya dan langsung menuju ke ruang kerjanya. Dia sudah ada di dalam ruang kerjanya dan melihat sang asisten yang sudah menunggunya. “Apa kamu sudah mengumpulkan apa yang aku inginkan?” tanya Nolan. Pada sang asisten. “Sudah. Semuanya ada di sini.” Nolan mengambil tablet yang diberikan oleh Ian kepadanya. Dia membuka sebuah data. Di mana semua itu adalah hal yang ada kaitannya dengan bisnis yang sedang dijalankan oleh Miranda. “Bagus. Sekarang lakukan semua rencananya,” Nola kembali berkata. Setelah dia membaca semua informasi. “Baiklah.” “
Olivia terpaku. Saat dia hampir saja tertabrak oleh sebuah mobil. Untung saja mobil itu membanting setir ke arah kanan. Sehingga dirinya bisa terhindar dari kecelakaan. “Apa kamu sudah tidak waras, hah?!” bentak Nolan. Sembari memegang tangan Olivia. Olivia masih tetap diam. Dia akhirnya terkulai lemas dan terduduk di atas trotoar. Dia juga melihat ke arah mobil yang tadi hendak menabraknya sekarang menabrak sebuah pohon besar. Kilas balik sebuah kecelakaan di masa lalu kembali muncul. Dalam kecelakaan itu yang mengakibatkan ibunya kritis di rumah sakit. Dia pun kembali teringat jika saat itu ayahnya lebih memilih bersama dengan Miranda. “Semuanya salahku. Maafkan aku ibu ....” Air mata Olivia keluar. Dia sudah tidak bisa membendungnya lagi. Rasa bersalah dan kesal campur aduk di dalam hatinya. Membuat dendamnya semakin besar kepada Miranda. Nolan terdiam. Dia melihat wanita yang keras kepala dan bisa menghadapi para pengawalnya. Terlihat seperti wanita biasanya yang lemah.
Olivia melihat ke arah sang ayah yang sudah ada di dekat Miranda. Dia tersenyum tipis saat melihat raut wajah ibu tirinya. “Jelaskan padaku, Miranda!” ucap Leon pada istrinya. Dengan nada sedikit menginterogasi. “Mengapa diam? Bukankah tadi begitu bersemangat ingin bicara dengan, Nolan?” sambung Olivia. Dengan nada memancing. Sekarang dia memiliki kesempatan untuk memberikan sedikit pelajaran pada ibu tirinya. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh ayahnya dengan wanita yang ada di depannya itu. “Aku ada bisnis dengannya,” jawab Miranda. “Bisnis? Apa kamu lupa saat ini ada di mana?” tanya Leon pada istrinya. “Aku tahu.” “Apa pantas kamu berbicara bisnis di tempat duka?” Leon kembali melayangkan pertanyaan pada istrinya. Olivia mendengarkan semua penjelasan Miranda. Menurutnya itu hanya sebuah pembelaan. Dia pun melirik ke arah Nolan untuk tahu bagaimana reaksinya. Namun, dia sama sekali tidak melihat raut wajah yang kesal atau terkejut. Masih tetap saja dingin dan
“Nolan, jawab aku!” Panggilan Nolan terputus. Dia pun langsung menarik kopernya ke luar dari dalam kamar. Sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu masuk ke rumahnya. Dia mengenali mobil itu. Dia pun langsung masuk ke dalam mobil itu. “Angel, cepat pergi dari sini!” ucap Olivia pada sang sahabat. “Kita mau ke mana?” “Nolan, dalam masalah,” jawab Olivia. Sembari memasang sabuk pengamannya. Angel pun menjalankan mobilnya. Meski dia tidak tahu tujuannya saat ini. Di pertengahan jalan dia semakin bingung tujuannya. “Ke mana aku harus membawamu?” tanya Angel pada sahabatnya. “Sebentar.” Olivia menghubungi seseorang yang tidak lain adalah Ian. Dia mendapatkan nomor itu karena Nolan yang memberikannya. Dia mendengar suara dering nada sambung. Akan tetapi, Ian tidak mengangkat teleponnya. “Angel, berhenti!” perintah Olivia. Saat dia melihat Nolan dan Ian yang baru memasuki mobil. Angel pun langsung berhenti di pinggir jalan. Dia tidak paham mengapa sang sahabat memint
Secara refleks Olivia menyikut perut pria itu. Dia pun membalikkan tubuhnya dan menatap pria itu. “Kamu ada di sini?” tanya Olivia. Sembari menatapnya dengan tajam. “Jangan begitu kejam padaku.” “Salahkan dirimu sendiri yang langsung memeluk aku dari belakang!” timpal Olivia. Dengan nada datar. “Kamu tidak berubah,” sambung pria itu. Sembari terkekeh. Olivia melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah waktunya untuk pergi menghadiri meeting kali ini. “Eiji, aku harus pergi. Nanti kita sambung lagi,” Olivia berkata. Lalu dia berjalan meninggalkan pria itu. “Tunggu, Olivia! Apakah nomor ponselmu masih sama seperti dulu?” teriak Eiji. “Masih.” Setelah mengatakan itu. Dia masuk ke dalam sebuah taksi. Dia pun mengatakan tujuannya pada sang sopir. Saat di perjalanan, dia mendapatkan pesan dari Eiji. Pria itu mengajaknya bertemu jika sudah menyelesaikan pekerjaannya. Akan tetapi, dia tidak membalas pesan pria itu karena dia sudah tiba di tempat tujuann
“Kamu selalu mengujiku, Olivia,” ujar Nolan. Lalu dia kembali mengecup bibirnya. Olivia berusaha untuk melepaskan kedua tangannya. Namun, tidak bisa karena Nolan mencengkeramnya dengan kuat. ‘Ada apa ini? Mengapa terasa berbeda?’ batin Olivia. Olivia membalas kecupan Nolan yang mendadak begitu lembut. Dia memejamkan kedua matanya dan menikmatinya. Seketika dia membuka kedua matanya. saat merasakan tangan Nolan yang menyelusup ke dalam pakaiannya. “Jangan,” ucap Olivia. Dengan nada lirih. Olivia sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi, meski otaknya menolak. Akan tetapi, tubuhnya menginginkan hal yang lebih gila lagi. “Kamu menolak. Namun, tubuhmu tidak,” bisik Nolan. Lalu dia menggigit dengan lembut daun telinga Olivia dan melepaskan tangannya. Nolan menggendongnya. Dia pun menghempaskan tubuh Olivia ke atas ranjang. Olivia menatap Nolan. Hasrat di dalam dirinya semakin menggebu. Dia melihat Nolan yang melepaskan kemejanya lalu kembali mengecupnya. “Tidak. Jangan di s
“Kamu ingin tahu?” tanya Nolan. Dengan sedikit nada menggoda. “Ada apa denganmu? Apa kamu sakit?” “Maksudmu?” Nolan kembali bertanya. Dia tidak paham dengan pertanyaan yang dilayangkan oleh Olivia kepadanya. “Aku pikir kamu sakit karena bisa menggodaku seperti ini.” Olivia terus menatap Nolan yang sekarang raut wajahnya kembali dingin. Dia memegang tangan pria itu yang hendak meninggalkannya. “Katakan apa yang kamu lakukan dengan bisnis Miranda yang ada di Bali?” Olivia kembali bertanya. Pada Nolan yang tadi belum menjawab pertanyaannya. “Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya sedikit saja sentuhan nakal yang dilakukan oleh, Ian.” “Apa aku harus kembali ke Indonesia? Untuk melihatnya?” tanya Olivia. Dia merasa jika yang dilakukan oleh Ian akan berdampak buruk bagi ibu tirinya. “Tidak perlu.” Nolan kembali mengatakan jika yang terjadi di Bali itu kecil dan tidak seberapa. Sehingga tidak perlu Olivia untuk kembali. Olivia mendengarkan semua yang dikatakan oleh Nolan. Pons
“Nona, sebaiknya Anda tetap di dalam saja!” perintah sang sopir. Dia pun ke luar dari dalam mobil. Olivia tersenyum kecut. Dia merasa jika sopir itu meremehkannya. Akan tetapi, dia akan melihat dulu bagaimana situasi di luar sana. Dia ingin tahu juga apakah sopir Nolan bisa menghadapi ketiga pria yang menghadang jalannya. Dia pun berpikir siapa mereka dan apa yang diinginkan oleh mereka. “Lebih seru melihatnya secara langsung,” gumam Olivia. Lalu dia membuka pintu mobil. Olivia ke luar dari dalam mobil. Dia melihat sang sopir yang masih berbicara baik-baik dengan ketiga pria yang ada di depannya. Dia melihat seorang pria yang menatap ke arahnya. Olivia tidak merasa takut dengan pria itu. “Serahkan wanita itu pada kami!” ucap seorang pria berkaca mata kuning. Dengan nada menekan. “Jangan harap!” tukas sang sopir. Kali ini Olivia akan berdiri dengan tenang. Dia pun melihat ketiga pria itu mulai menyerang sang sopir. Dia pun menyandarkan tubuhnya ke bumper depan mobil. Dia