Kikan duduk termenung di bangku taman setelah menerima telepon bahwa dirinya dipecat dari pekerjaan. Baru satu bulan Kikan mengembani pekerjaan sebagai asisten dari seorang desainer terkenal itu. Sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa ia telah kehilangan pekerjaan.
Kikan tidak tahu apa kesalahannya di masa lalu sehingga harus menerima hal semacam ini. Kikan dipecat karena sebuah kesalahpahaman yang bahkan tidak bisa ia luruskan sebab sang bos tidak mau mendengarkan.“Baru kali ini aku dipecat lewat telepon begini. Syukur-syukur kalau gaji satu bulanku kemarin dibayar,” gumam Kikan dengan mata sendu.Bagi Kikan dipecat dari pekerjaan sama saja dengan bermimpi buruk. Bagaimana ia bisa membayar hutang jika tidak punya penghasilan? Kikan merasa nyawanya sudah terancam sekarang.“Andai saja aku nggak mengalami kecelakaan itu. Manda pasti nggak akan berpikiran pendek untuk meminjam pada rentenir dan kehidupan kami akan damai sentosa.” Kikan menghela napas berat. Matanya kian sendu dari sebelumnya.Manda—sahabat terbaik Kikan—tidak punya pilihan selain meminjam pada rentenir untuk membayar biaya operasi dan pengobatan Kikan. Bagaimanapun bagi Manda, Kikan adalah sahabat terbaik yang sudah seperti saudaranya sendiri. Manda tidak bisa membiarkan nyawa Kikan tidak selamat.Mulanya Manda tidak memberi tahu Kikan di mana ia mendapatkan uang untuk biaya operasi serta pengobatannya. Hingga beberapa bulan yang lalu sekelompok pria berwajah sangar datang mengamuk di rumah Manda, Kikan akhirnya tahu jika sahabatnya itu berhutang pada rentenir.Merasa bertanggung jawab atas keputusan yang diambil Manda, Kikan memutuskan untuk meminta Manda membiarkan dirinya yang menanggung semua hutang dan membayarnya setiap bulan. Namun sudah tiga bulan belakangan Kikan menunggak iuran dan sekarang mereka didesak untuk segera membayar tunggakan berserta bunganya yang terus bertambah banyak.Kikan pusing tujuh keliling. Bagaimana dia akan membayar tunggakan iuran berserta bunganya itu? Sebab sekarang Kikan telah dipecat dan hanya tersisa beberapa lembar uang untuknya makan di dalam dompet.Drrttt...Kikan terkesiap saat ponselnya di dalam saku celana bergetar. Didapatinya nama Manda terpampang di layar ponsel itu.Kikan berusaha mendorong salivanya dari batang tenggorokan. Rasanya sedikit sulit. Kikan tidak tahu apa yang harus dia katakan kepada Manda jika sahabatnya itu bertanya soal uang tunggakan.“Halo, Manda,” sapa Kikan dengan suara sedikit bergetar. Tangan kanannya terus meremas ujung blouse yang saat ini ia kenakan.Di seberang telepon, Manda yang saat ini sedang bersembunyi di dalam kamarnya menjawab, “Kikan, orang-orang itu datang lagi. Kulihat masing-masing dari mereka membawa tongkat bisbol. Mereka terus menggedor pintu, aku takut,” ujarnya menggigil ketakutan.Kikan langsung beranjak dari duduknya. Matanya membulat dan rasa panik tercetak jelas di raut wajahnya. “Aku akan ke rumah kamu sekarang. Jangan takut ya, mereka nggak akan macam-macam sama kamu. Jangan buka pintu sampai aku datang, oke?” sahutnya kemudian mengakhiri panggilan.Kikan bergegas membuka langkah untuk mendatangi Manda di kediamannya. Untuk mempersingkat waktu, Kikan memutuskan untuk menggunakan jasa ojek dan membiarkan uang makannya digunakan. Kikan hanya takut Manda sampai kenapa-kenapa jika ia terlalu lama.“Cepetan ya, Mas! Saya buru-buru banget soalnya,” kata Kikan, meminta abang ojek untuk menambah laju kecepatan.Abang ojek setuju menambah laju kecepatan sesuai permintaan Kikan. Hingga kurang dari sepuluh menit kemudian mereka tiba di kediaman Manda yang sudah dipenuhi oleh pria berwajah sangar di halamannya.Kikan membuka langkah lebar kemudian berhenti tidak jauh dari para pria itu. Tanpa basa-basi salah satu pria berwajah sangar itu membuka suara. Memberi tahu Kikan tentang tujuan mereka.“Heh, perempuan! Hari ini sudah jatuh tempo untuk kalian membayar tunggakan dan juga bunganya.”Kikan refleks mundur satu langkah ke belakang saat pria itu melangkah mendatanginya. Matanya berkeliling memandangi satu per satu pria yang berdiri di belakang ketuanya. Kemudian menatap kembali pria yang berbicara dengannya sebelumnya.“B-bisa kasih kita waktu lagi sampai besok? Saya sedang menunggu gaji saya dibayar oleh bos saya. Kalau gaji itu sudah dibayar olehnya, saya pastikan untuk langsung membayar tunggakan pada kalian.” Kikan tidak tahu apakah cara ini akan berhasil atau tidak. Dalam hatinya sangat berharap jika mereka akan mau memberinya waktu sampai besok.“Apa? Memberi kalian waktu sampai besok? Heh! Jangan main-main dengan kami. Kalian sudah menunggak selama tiga bulan dan sekarang masih minta waktu sampai besok?” ujar pria gundul di hadapan Kikan. Kesabarannya benar-benar setipis tisu.Kikan menunduk ke bawah. Kedua kakinya nampak bergetar namun ia tetap berusaha untuk tidak jatuh merosot ke bawah.“T-tapi saya beneran nggak punya uangnya hari ini. Dan Manda juga nggak punya. Saya mohon, Pak. Beri waktu sampai besok dan saya janji akan segera membayarnya.” Kikan menempelkan kedua telapak tangannya satu sama lain. Ia benar-benar memohon agar pria gundul itu mau memberinya waktu sampai besok.“Oke! Aku kasih kamu waktu sampai besok siang. Kalau kamu berbohong, tanggung sendiri akibatnya nanti.”Kikan menghela napas lega saat sekumpulan pria berwajah sangar itu pergi. Hampir saja ia jatuh merosot ke lantai kalau saja tidak mengingat Manda yang ketakutan di dalam kamarnya.“Manda, bukain. Ini aku, Kikan,” teriak Kikan sembari mengetuk pintu rumah Manda.Tidak lama berselang pintu rumah itupun terbuka. Kikan segera menghamburkan diri memeluk Manda yang berdiri gemetar dengan mata sembapnya.“Maafin aku ya, Manda. Karena aku kamu harus ketakutan begini,” ucap Kikan sembari mengusap punggung Manda.Kikan membawa Manda masuk ke dalam untuk menenangkan sahabatnya itu. Diposisikannya Manda di atas sofa ruang tamu. Kemudian dirinya juga ikut duduk di samping sahabat baiknya itu.“Mereka setuju kasih kita waktu sampai besok siang. Aku bilang ke mereka kalau aku lagi nunggu gajiku dibayarkan. Semoga saja Bu Reana segera membayar gajiku jadi aku bisa membayar tunggakan ke rentenir itu.”Manda mengangguk pelan. “Iya, semoga saja. Tapi kita tetap harus nyari kekurangannya ‘kan? Tabunganku juga sepertinya nggak cukup. Kita harus gimana, Kikan?”Rasa khawatir kembali menggelung di hati Manda. Saat ini situasi mereka sama-sama sulit. Kemungkinan terburuknya jika mereka tidak bisa membayar dan terus menunggak adalah ia harus menjadi istri ketiga dari seorang Badar.Fyi, Badar adalah rentenir yang terkenal di lingkungan tempat tinggal Manda. Pria tua itu sangat kaya tetapi juga sangat kejam. Saat pertama kali memutuskan untuk meminjam uang kepada Badar, Manda sudah diperingatkan bahwa ia harus menjadi istri Badar jika tidak bisa membayar.Kikan menggenggam kedua tangan Manda. Ditatapnya sahabatnya itu dengan penuh keyakinan. “Kamu nggak usah khawatir soal itu. Aku akan memikirkan caranya dan mendapatkan kekurangannya bagaimanapun juga.”Manda menarik napas dalam. Tidak! Manda tidak yakin jika Kikan akan bisa mendapatkan kekurangan uangnya dalam waktu semalam.“Sebenarnya sebelum kamu datang ke mari, aku sempat bicara sama Adelia di telepon. Kamu tahu ‘kan dia adalah teman kita yang paling enak kehidupannya sekarang.”Kikan mengangguk pelan. “Iya, kamu benar. Dia adalah teman kita yang paling enak kehidupannya. Lalu kenapa?” tanyanya.“Aku minta sama dia untuk nyariin kita pekerjaan dengan bayaran tinggi dalam satu malam.”“Manda! Kita sama-sama tahu dia kerja di mana ‘kan? Kalau kamu minta carikan pekerjaan sama dia, pasti dia akan membuat kita bekerja di tempat yang sama dengannya. Enggak! Aku nggak setuju.” Kikan menggelengkan kepalanya.“Tapi, Kikan! Dari mana lagi kita dapat bayaran tinggi hanya dalam satu malam? Ayolah, kamu tega kalau aku berakhir jadi istri pria tua bangka itu? Kamu tahu sendiri ‘kan konsekuensinya kalau kita nggak bisa bayar hutang itu?” Manda menatap Kikan dengan mata memelas. “Ini satu-satunya jalan keluar supaya kita bisa dapat uang banyak, Kikan. Please.”Kikan berdiri di dapur, masih mengenakan piyamanya, sibuk menyiapkan sarapan. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang memenuhi ruangan. Ia tersenyum puas melihat meja yang kini sudah tertata rapi—segelas kopi untuk Dewandra, segelas susu untuk Rosetta, dan piring berisi omelet serta roti panggang.Langkah kaki terdengar mendekat, dan tak lama kemudian, sepasang lengan melingkari pinggangnya dari belakang.“Rajin sekali,” bisik Dewandra di dekat telinganya, suaranya masih berat karena baru bangun tidur.Kikan tersenyum kecil, meski pipinya merona. “Kalau bukan aku, siapa lagi yang mau menyiapkan sarapan buat suami sendiri?” godanya.Dewandra tertawa pelan, mengecup pipi Kikan sekilas sebelum akhirnya melepaskan pelukan dan mengambil secangkir kopi.Kikan melirik sekilas ke arahnya dan tersenyum. “Ayo sarapan sebelum Rosetta bangun,” ajaknya.Mereka duduk berdua menikmati sarapan dalam suasana tenang dan intim. Sekali-sekali, Dewandra mencuri pandang ke arah Kik
Setelah resepsi yang penuh kebahagiaan dan tawa, Dewandra membawa Kikan ke rumah mereka—rumah yang kini benar-benar menjadi milik mereka berdua, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan.Begitu memasuki kamar, Kikan terdiam. Kamar itu telah dihias dengan sangat indah—kelopak mawar putih tersebar di atas ranjang, lilin-lilin kecil menyala lembut di sudut ruangan, menciptakan suasana yang begitu hangat dan romantis.Dewandra berdiri di belakangnya, memerhatikan ekspresi Kikan yang terlihat gugup, namun matanya bersinar lembut.“Kamu suka?” tanyanya pelan.Kikan berbalik, menatap pria yang kini sah menjadi suaminya kembali. Ia mengangguk. “Sangat indah,” sahutnya tersenyum.Dewandra tersenyum tipis, lalu mendekat. “Aku ingin malam ini menjadi malam yang spesial untuk kita.”Kikan menahan napas ketika Dewandra mengangkat tangannya, kemudian menyentuh pipinya dengan kelembutan yang begitu menenangkan. “Aku masih tidak percaya kalau akhirnya kita sampai di titik ini,” bisiknya.Dewandr
Setelah malam yang penuh kehangatan itu, hubungan antara Kikan dan Dewandra semakin erat. Kikan masih sering terbangun dengan perasaan tidak percaya bahwa ia benar-benar telah menerima lamaran pria itu lagi. Ada kegugupan, ada ketakutan, tetapi yang paling mendominasi adalah perasaan bahagia yang perlahan-lahan memenuhi hatinya.Di rumah, Rosetta menjadi orang yang paling gembira mendengar kabar itu.“Jadi Tante Kikan bakal jadi Mama beneran lagi?” seru Rosetta dengan mata berbinar.Kikan tertawa sambil mengusap kepala gadis kecil itu. “Mama dari dulu tetap mamamu, Tata.”“Tapi kali ini aku bisa bilang ke semua orang! Mama dan Papa bakal menikah lagi! Aku bakal punya keluarga lengkap!” Rosetta melompat-lompat kegirangan, membuat Dewandra dan Kikan tak bisa menahan tawa.“Kita harus buat pesta, Pa!” lanjut Rosetta dengan penuh semangat.Dewandra mengangkat alis. “Pesta?”“Iya! Aku mau jadi flower girl!”Kikan dan Dewandra saling berpandangan sebelum akhirnya tersenyum.“Baiklah,” kata D
Waktu berlalu dengan cepat sejak Rosetta mengetahui kebenaran tentang Kikan. Hubungan mereka semakin erat, dan tanpa Kikan sadari, hari-harinya kini selalu diwarnai dengan canda tawa bocah kecil itu. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang perlahan mulai berubah dalam dirinya terhadap Dewandra.Pria itu tidak lagi mendesaknya untuk segera memberi jawaban tentang rujuk, tapi Kikan tahu Dewandra masih menyimpan harapan. Dan kini, setelah berminggu-minggu, ia mengajak Kikan makan malam di luar. Bukan sekadar makan malam biasa, tapi sesuatu yang dirancang dengan sangat sempurna.Kikan berdiri di depan cermin menatap pantulan dirinya dengan ragu. Gaun berwarna merah marun yang membalut tubuhnya terlihat begitu anggun, sederhana namun tetap elegan. Ia bahkan merasa sedikit gugup, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.Saat ia membuka pintu apartemen, Dewandra sudah menunggunya di depan sana. Pria itu mengenakan setelan jas berwarna hitam, tampak lebih berkarisma dari biasa
Beberapa hari kemudianBeberapa hari kemudianBeberapa hari kemudian, Kikan dan Dewandra akhirnya sepakat. Sudah terlalu lama mereka menyembunyikan kebenaran ini, dan Rosetta berhak tahu siapa ibunya sebenarnya.Siang itu, mereka duduk di ruang tamu menunggu Rosetta yang masih asyik bermain dengan bonekanya di lantai. Kikan menggigit bibirnya dengan gugup, sementara Dewandra meremas tangannya sendiri, mencoba menyusun kata-kata yang tepat.“Apa menurutmu dia akan marah?” bisik Kikan pelan.Dewandra menoleh padanya, lalu tersenyum kecil. “Aku rasa tidak. Tapi dia mungkin akan terkejut.”Kikan menghela napas, lalu menatap Rosetta yang masih belum sadar akan percakapan serius yang menunggunya.“Tata,” panggil Dewandra lembut.Bocah itu menoleh cepat. “Iya, Papa?”“Kemari sebentar, Sayang. Papa dan Tante Kikan punya sesuatu yang penting untuk dibicarakan,” ujar Dewandra sambil menepuk sofa di sampingnya.Rosetta berdiri dan berjalan mendekat. Wajahnya penuh rasa ingin tahu. “Apa itu?” tanya
Akhir pekan pun tiba. Sejak pagi, Rosetta sudah bersemangat berlarian ke sana kemari di dalam rumah untuk memastikan semua yang dibutuhkan telah siap. Ia mengenakan gaun berwarna kuning dengan topi kecil yang menghiasi kepalanya.“Tante Kikan, Papa, ayo cepat! Tata sudah nggak sabar!” seru Rosetta, lalu menarik tangan Kikan dan Dewandra bersamaan.Kikan terkekeh melihat antusiasme bocah itu, sementara Dewandra hanya menggelengkan kepala pelan. “Iya, iya, kita berangkat sekarang,” ucapnya sebelum meraih keranjang piknik yang sudah dipersiapkan.Mereka pergi ke taman besar di pinggiran kota. Cuaca sangat cerah, angin berembus sepoi-sepoi, dan suara anak-anak lain yang bermain terdengar di kejauhan. Kikan menggelar tikar piknik di bawah pohon rindang, sementara Dewandra membantu Rosetta melepas sepatunya agar bisa berlari di atas rumput.“Tata mau main dulu!” Rosetta berseru sebelum berlari ke taman bermain.“Jangan jauh-jauh, ya!” Pesan Dewandra yang hanya dibalas anggukan cepat oleh put