Seperti yang sudah Kikan janjikan kepada Terry bahwa ia akan datang tepat waktu hari ini. Dengan semangat yang begitu menggebu, Kikan berdiri di samping Terry yang sedari tadi menjelaskan dengan begitu rinci hal-hal apa saja yang harus wanita itu lakukan semasa bekerja di cafe ini.
“Di sini sistem kerjanya terbagi menjadi dua shift. Kemudian pukul sembilan malam cafe sudah benar-benar harus tutup, jadi kita nggak akan menerima orderan lagi setengah jam sebelum itu apapun alasannya.”
Kikan mengangguk paham. Semua hal yang Terry jelaskan dan ajarkan kepadanya secara kilat dapat Kikan pahami dengan begitu mudah.
“Sepertinya kamu sudah paham. Kalau gitu, mau sarapan bareng nggak? Kamu pasti belum sarapan ‘kan?”
Terry berani bertaruh jika Kikan tidak sempat sarapan sebelum datang ke mari. Dan sebenarnya asumsi Terry sama sekali tidak salah. Kikan memang belum sarapan untuk mengisi perutnya yang bahkan terasa sangat lapar sekarang.
Bagaimana wanita itu tidak kelaparan jika sejak tadi malam ia belum makan. Demi mengirit uangnya yang tersisa tak seberapa itu, Kikan sampai harus melewatkan makan malam.
“Hari ini aku sengaja minta suamiku bikinin bekal untuk kamu sekalian. Ayo, ikuti aku. Kita sarapan bersama di ruanganku.”
Kikan berjalan mengekor tepat di belakang Terry. Tadi Terry jelas menyebutkan bahwa ia meminta suaminya untuk membuatkan bekal untuk Kikan sekalian. Wah, Kikan berpikir hal itu sangat menarik.
“Jadi, suami kamu yang membuat bekal. Bukan kamu?”
Terry menoleh ke belakang di mana Kikan berjalan mengekorinya. Wanita itu tersenyum lebar. Merasa tersipu namun sebenarnya merasa bangga di dalam hatinya.
“Yah, begitulah. Aku beruntung menikah dengan Kevin. Dia benar-benar merawatku dengan baik,” kata Terry. Kedua matanya menyiratkan betapa ia sangat bangga dengan pria bernama Kevin itu.
Kikan ikut tersenyum dengan lebar. Entah mengapa ia merasa ikut bergembira mendengar hal itu. “Syukurlah kalau dia merawat kamu dengan baik. Senang mendengarnya,” sahutnya tulus.
Salah satu tangan Terry terulur untuk mendorong pintu ruangannya hingga terbuka lebar. Kemudian mempersilakan wanita penyelamatnya itu untuk segera mengambil posisi duduk di sofa empuk miliknya.
“Aku nggak tahu hari ini dia masak apa. Tapi aku jamin kalau masakan Kevin yang terbaik. Dia koki yang handal di kediaman kami.” Mengingat dirinya sama sekali tidak bisa memasak, Terry dengan lantang mengakui kehandalan sang suami dalam hal memasak.
“Wah, kurasa dia memang benar-benar pandai memasak. Dia bahkan menata makanan ini dengan sangat baik.” Kikan menganga takjub saat berhasil membuka wadah bekal dan mendapati bento dengan bentuk yang begitu apik di sana.
“Sekarang cepat cicipi. Aku yakin kamu pasti nggak akan bisa berkata-kata dan ketagihan untuk memakannya sampai habis,” kata Terry seraya menyodorkan alat makan kepada Kikan.
Satu suapan pertama Kikan benar-benar dibuat takjub karena Terry sama sekali tidak bergurau soal cita rasa masakan suaminya. “Wah, kamu benar. Rasanya sangat lezat!” seru Kikan kemudian lanjut dengan suapan kedua nya.
Sesaat Kikan memikirkan jika Terry sangatlah beruntung. Lihat saja bagaimana wanita itu hidup sekarang. Setidaknya Terry memiliki kehidupan yang layak serta suami yang mencintainya dengan tulus.
Tidak seperti dirinya yang hidup dikejar hutang. Lihat saja dirinya, Kikan bahkan bekerja sebagai seorang waitress di usianya sekarang. Bahkan tempat tinggal yang ia tempati bukan miliknya sendiri.
“Oh iya, Kikan. Aku boleh tanya sesuatu?”
Kikan mengangguk pelan tanpa menahan kunyahan di mulutnya.
“Apa ingatan kamu masih belum sepenuhnya kembali? Dan gimana soal kehidupan kamu dulu, apa kamu pernah menikah atau ... uhm sorry aku nggak bermaksud untuk lancang. Aku hanya ingin tahu lebih banyak soal kamu.”
Kunyahan di mulut Kikan perlahan melemah. Namun sedetik kemudian segera ia lanjutkan lalu menelannya tanpa tersisa.
“Sebenarnya aku juga nggak tahu karena aku sama sekali nggak bisa mengingatnya. Apa aku pernah menikah atau memiliki hubungan semacam itu, aku sama sekali nggak ingat. Tapi sepertinya aku memang belum pernah menikah karena nggak ada satupun petunjuk soal itu. Saat aku terbangun dari koma dulu, hanya Manda yang ada di sampingku hingga detik ini.”
Kikan meyakini jika memang seandainya ia memiliki keluarga ataupun pasangan, maka orang itu akan ada di sampingnya saat ia terbangun. Namun yang ia dapati hanya Manda seorang dan tidak ada yang lain. Dan di saat Kikan menanyai Manda perihal keluarganya, wanita itu mengklaim jika Kikan hidup sebatang kara.
Satu-satunya orang yang menjadi keluarga Kikan adalah pamannya yang tinggal di kampung. Dan sayangnya pria tua itu harus mengembuskan napas terakhir karena penyakit kronis yang dideritanya tujuh tahun silam.
“Aku hanya memiliki Manda sebagai orang terdekatku sekaligus keluargaku.” Kikan menambahkan.
“Aku nggak tahu siapa Manda yang kamu maksud. Tapi aku bersyukur karena kamu memiliki dia. Dan kalau kamu nggak keberatan, kamu juga bisa menganggapku sebagai keluarga kamu, Kikan.”
Kikan hanya membalas ucapan Terry dengan seulas senyum yang ia sematkan di bibir ranumnya. Tanpa mampu membalas dengan sepatah kalimat pun sebab Kikan tiba-tiba merasa emosional.
Selama ini selain Manda tidak ada satupun orang yang begitu peduli kepadanya. Dan sekarang ia tiba-tiba mendapat perlakuan seperti ini dari Terry. Sontak saja hal itu langsung memicu perasaannya dan membuat Kikan merasa tersenyuh sekaligus terharu di waktu yang sama.
“Berkat kamu aku makan enak pagi ini. Terima kasih,” ucap Kikan saat semua makanan yang ada di kotak bekal berhasil pindah ke perutnya.
Terry tersenyum penuh arti. “Sama-sama. Gimana kalau besok, ah tidak, gimana kalau setiap hari kita sarapan bersama?” usulnya.
Kikan bergumam panjang. “Memangnya kamu nggak sarapan di rumah bersama suami kamu?” tanyanya. Yang Kikan tahu ‘kan Terry memiliki suami. Seharusnya wanita itu sarapan bersama suaminya alih-alih bersama Kikan seperti yang wanita itu usulkan.
“Karena pekerjaan kami yang sama-sama padat, kami memutuskan untuk nggak sarapan di rumah. Tapi kami menggantinya dengan makan malam bersama setiap hari.”
Kikan terkekeh pelan saat mendengar hal itu. “Terry, terima kasih untuk niat baik kamu. Tapi aku nggak bisa menerima hal itu karena aku nggak mau merepotkan suami kamu karena harus membuat tambahan bekal untukku setiap hari.”
Memangnya Kikan ini siapa sampai harus dibuatkan bekal setiap hari oleh suami orang? Bukankah jadi terkesan aneh kalau ia menerima tanpa rasa malu? Ah, menolak seperti ini sudah benar untuk Kikan lakukan.
“Hmm, padahal aku udah senang banget bisa sarapan bersama kayak gini,” sahut Terry terlihat kecewa.
Melihat kekecewaan di wajah Terry, Kikan hanya menanggapinya dengan seulas senyum tipis nan menawan yang tersemat di bibirnya.
Kikan berdiri di dapur, masih mengenakan piyamanya, sibuk menyiapkan sarapan. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang memenuhi ruangan. Ia tersenyum puas melihat meja yang kini sudah tertata rapi—segelas kopi untuk Dewandra, segelas susu untuk Rosetta, dan piring berisi omelet serta roti panggang.Langkah kaki terdengar mendekat, dan tak lama kemudian, sepasang lengan melingkari pinggangnya dari belakang.“Rajin sekali,” bisik Dewandra di dekat telinganya, suaranya masih berat karena baru bangun tidur.Kikan tersenyum kecil, meski pipinya merona. “Kalau bukan aku, siapa lagi yang mau menyiapkan sarapan buat suami sendiri?” godanya.Dewandra tertawa pelan, mengecup pipi Kikan sekilas sebelum akhirnya melepaskan pelukan dan mengambil secangkir kopi.Kikan melirik sekilas ke arahnya dan tersenyum. “Ayo sarapan sebelum Rosetta bangun,” ajaknya.Mereka duduk berdua menikmati sarapan dalam suasana tenang dan intim. Sekali-sekali, Dewandra mencuri pandang ke arah Kik
Setelah resepsi yang penuh kebahagiaan dan tawa, Dewandra membawa Kikan ke rumah mereka—rumah yang kini benar-benar menjadi milik mereka berdua, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan.Begitu memasuki kamar, Kikan terdiam. Kamar itu telah dihias dengan sangat indah—kelopak mawar putih tersebar di atas ranjang, lilin-lilin kecil menyala lembut di sudut ruangan, menciptakan suasana yang begitu hangat dan romantis.Dewandra berdiri di belakangnya, memerhatikan ekspresi Kikan yang terlihat gugup, namun matanya bersinar lembut.“Kamu suka?” tanyanya pelan.Kikan berbalik, menatap pria yang kini sah menjadi suaminya kembali. Ia mengangguk. “Sangat indah,” sahutnya tersenyum.Dewandra tersenyum tipis, lalu mendekat. “Aku ingin malam ini menjadi malam yang spesial untuk kita.”Kikan menahan napas ketika Dewandra mengangkat tangannya, kemudian menyentuh pipinya dengan kelembutan yang begitu menenangkan. “Aku masih tidak percaya kalau akhirnya kita sampai di titik ini,” bisiknya.Dewandr
Setelah malam yang penuh kehangatan itu, hubungan antara Kikan dan Dewandra semakin erat. Kikan masih sering terbangun dengan perasaan tidak percaya bahwa ia benar-benar telah menerima lamaran pria itu lagi. Ada kegugupan, ada ketakutan, tetapi yang paling mendominasi adalah perasaan bahagia yang perlahan-lahan memenuhi hatinya.Di rumah, Rosetta menjadi orang yang paling gembira mendengar kabar itu.“Jadi Tante Kikan bakal jadi Mama beneran lagi?” seru Rosetta dengan mata berbinar.Kikan tertawa sambil mengusap kepala gadis kecil itu. “Mama dari dulu tetap mamamu, Tata.”“Tapi kali ini aku bisa bilang ke semua orang! Mama dan Papa bakal menikah lagi! Aku bakal punya keluarga lengkap!” Rosetta melompat-lompat kegirangan, membuat Dewandra dan Kikan tak bisa menahan tawa.“Kita harus buat pesta, Pa!” lanjut Rosetta dengan penuh semangat.Dewandra mengangkat alis. “Pesta?”“Iya! Aku mau jadi flower girl!”Kikan dan Dewandra saling berpandangan sebelum akhirnya tersenyum.“Baiklah,” kata D
Waktu berlalu dengan cepat sejak Rosetta mengetahui kebenaran tentang Kikan. Hubungan mereka semakin erat, dan tanpa Kikan sadari, hari-harinya kini selalu diwarnai dengan canda tawa bocah kecil itu. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang perlahan mulai berubah dalam dirinya terhadap Dewandra.Pria itu tidak lagi mendesaknya untuk segera memberi jawaban tentang rujuk, tapi Kikan tahu Dewandra masih menyimpan harapan. Dan kini, setelah berminggu-minggu, ia mengajak Kikan makan malam di luar. Bukan sekadar makan malam biasa, tapi sesuatu yang dirancang dengan sangat sempurna.Kikan berdiri di depan cermin menatap pantulan dirinya dengan ragu. Gaun berwarna merah marun yang membalut tubuhnya terlihat begitu anggun, sederhana namun tetap elegan. Ia bahkan merasa sedikit gugup, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.Saat ia membuka pintu apartemen, Dewandra sudah menunggunya di depan sana. Pria itu mengenakan setelan jas berwarna hitam, tampak lebih berkarisma dari biasa
Beberapa hari kemudianBeberapa hari kemudianBeberapa hari kemudian, Kikan dan Dewandra akhirnya sepakat. Sudah terlalu lama mereka menyembunyikan kebenaran ini, dan Rosetta berhak tahu siapa ibunya sebenarnya.Siang itu, mereka duduk di ruang tamu menunggu Rosetta yang masih asyik bermain dengan bonekanya di lantai. Kikan menggigit bibirnya dengan gugup, sementara Dewandra meremas tangannya sendiri, mencoba menyusun kata-kata yang tepat.“Apa menurutmu dia akan marah?” bisik Kikan pelan.Dewandra menoleh padanya, lalu tersenyum kecil. “Aku rasa tidak. Tapi dia mungkin akan terkejut.”Kikan menghela napas, lalu menatap Rosetta yang masih belum sadar akan percakapan serius yang menunggunya.“Tata,” panggil Dewandra lembut.Bocah itu menoleh cepat. “Iya, Papa?”“Kemari sebentar, Sayang. Papa dan Tante Kikan punya sesuatu yang penting untuk dibicarakan,” ujar Dewandra sambil menepuk sofa di sampingnya.Rosetta berdiri dan berjalan mendekat. Wajahnya penuh rasa ingin tahu. “Apa itu?” tanya
Akhir pekan pun tiba. Sejak pagi, Rosetta sudah bersemangat berlarian ke sana kemari di dalam rumah untuk memastikan semua yang dibutuhkan telah siap. Ia mengenakan gaun berwarna kuning dengan topi kecil yang menghiasi kepalanya.“Tante Kikan, Papa, ayo cepat! Tata sudah nggak sabar!” seru Rosetta, lalu menarik tangan Kikan dan Dewandra bersamaan.Kikan terkekeh melihat antusiasme bocah itu, sementara Dewandra hanya menggelengkan kepala pelan. “Iya, iya, kita berangkat sekarang,” ucapnya sebelum meraih keranjang piknik yang sudah dipersiapkan.Mereka pergi ke taman besar di pinggiran kota. Cuaca sangat cerah, angin berembus sepoi-sepoi, dan suara anak-anak lain yang bermain terdengar di kejauhan. Kikan menggelar tikar piknik di bawah pohon rindang, sementara Dewandra membantu Rosetta melepas sepatunya agar bisa berlari di atas rumput.“Tata mau main dulu!” Rosetta berseru sebelum berlari ke taman bermain.“Jangan jauh-jauh, ya!” Pesan Dewandra yang hanya dibalas anggukan cepat oleh put