MasukRatna beringsut mundur, jantungnya berdegup kencang seperti hendak pecah. Namun langkahnya terhenti saat punggungnya menyentuh dinding dingin. Panglima Rangga mendekat perlahan, tatapannya menusuk, membuat Ratna merasa seperti seekor rusa yang terperangkap.
"Mau pergi ke mana kau, Ratna? Sudah kubilang, kau tidak akan bisa lepas dari jeratanku!" ujar Rangga dengan senyum miring, kedua tangannya menekan kuat di sisi Ratna, membuatnya terkurung. Ratna menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. "A-apa yang ingin ka-kau lakukan, hah?" tanyanya dengan terbata, matanya bergetar menahan takut. Panglima Rangga terkekeh pelan, tatapannya menusuk layaknya serigala yang baru saja menjebak mangsanya. "Menurutmu, apa yang ingin kulakukan, istriku?" suaranya merendah, penuh ancaman samar. "Bukankah kau sudah mendengar sendiri ucapanku sebelum kita melangkah masuk ke kamar ini? Setelah ini, kau pasti tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi di antara kita hari ini!" Rangga meraih pergelangan tangan Ratna dengan kuat, lalu menariknya mendekat. Dengan sekali hentakan, tubuh gadis itu terhempas ke ranjang besar yang bertirai merah marun. Ratna menegang, tubuhnya bergetar hebat. Ia berpaling, memalingkan wajah ke arah lain agar tak bertemu dengan pandangan Rangga. Pipinya memerah, bukan hanya karena takut, tetapi juga karena rasa malu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seumur hidupnya, Ratna tak pernah berdekatan dengan pria mana pun selain ayahnya dan para prajurit yang selalu menjaganya di kediaman lama. Kini, dirinya justru terjerat dalam bayang-bayang seorang panglima yang termasyhur akan kekejamannya. "Lihatlah aku, Ratna!" suara Rangga berat. Jemarinya menyentuh dagu Ratna, mencoba memaksa wajah gadis itu kembali menghadap padanya. Ratna menahan napasnya, jantungnya berdegup kencang tak terkendali. "Lepaskan aku…!" ucapnya lirih, mencoba menghempaskan tangan Rangga. Panglima Rangga semakin mendekatkan wajahnya, "Oh, kau masih berani menantangku? Bagus… semakin kau melawan, semakin aku menikmati permainan ini!" Ratna meremas erat sprei di bawah jemarinya, wajahnya memerah menahan perasaan campur aduk. "A-aku tidak bisa… melakukan itu!" ucapnya dengan suara bergetar. Ia memejamkan mata rapat-rapat, tubuhnya berusaha meraih celah untuk bebas dari rangkulan Rangga, namun semakin ia berontak, semakin erat pula kungkungan suaminya itu. "Tolong lepaskan aku! A-aku tidak ingin... melakukan malam pertama denganmu!" katanya, mencoba terdengar tegas meski suaranya jelas bergetar oleh ketakutan dan keraguan. Rangga masih tampak tenang setelah mendengar ucapan istrinya, namun dari sorot matanya terpancar kegelapan yang mulai muncul, pekat dan menekan, seakan siap menelan Ratna bulat-bulat. "Apakah kau baru saja menolak suamimu ini, istriku?" tanyanya dengan nada rendah, namun sarat ancaman. Ratna terdiam kaku. Dadanya naik-turun cepat, sementara hawa dingin menjalar ke sekujur tubuhnya. Ia bisa merasakan aura menakutkan yang mulai merembes keluar dari tubuh sang panglima tiran itu. "A-aku… A-aku…" suaranya patah-patah, ia meneguk ludah dengan kasar, tenggorokannya seakan tercekat oleh ketakutan yang membelenggunya. "Ternyata benar..." ucap Rangga berbisik lirih. "Kau berani menolakku!" sambungnya. "Aku… aku tidak bermaksud…" Ratna mencoba menjelaskan dengan suara bergetar. Dengan gemetar, ia mencoba mengangkat wajahnya, berusaha menatap mata suaminya untuk sekadar menunjukkan ketulusan ucapannya. Namun karena jarak mereka yang begitu dekat, tanpa sengaja bibirnya menyentuh bibir Rangga. Waktu seakan berhenti. Ratna membeku dengan mata membelalak, sementara Rangga terdiam menatapnya lekat. Ciuman singkat dan tak disengaja itu adalah yang pertama bagi keduanya, membuat mereka sama-sama tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ratna buru-buru memalingkan wajah. Namun sebelum sempat ia benar-benar menghindar, tangan Rangga bergerak cepat, menahan dagunya, memaksa tatapannya kembali bersua dengan mata tajamnya. Dengan suara rendah namun sarat wibawa, Rangga berbisik, "Jangan pernah alihkan pandanganmu dariku! Aku suamimu, Ratna, dan hanya aku yang pantas kau tatap saat aku berada di hadapanmu!" Rangga semakin tenggelam dalam manik mata cokelat milik istrinya. Wajahnya kian mendekat, bukan karena kebetulan, melainkan karena keinginannya sendiri yang tak mampu ia bendung. Ratna terkejut, tubuhnya seakan membeku di tempat. Ia bisa merasakan hangat napas suaminya yang mulai menyapu kulitnya, membuat jantungnya berdentum cepat. Tak tahu harus berbuat apa, Ratna hanya bisa memejamkan matanya rapat-rapat, pasrah. Namun tepat ketika jarak di antara mereka hanya tinggal sehelai rambut, ketukan keras di pintu mengusik ketegangan yang menyesakkan dada Ratna. Tok! Tok! Tok! Rangga hampir saja meledakkan sumpah serapah di wajah istrinya. Tok! Tok! Tok! Seketika rahang Rangga mengeras, matanya menyala penuh amarah. Ia menggeram tepat di depan wajah Ratna hingga membuat istrinya itu gemetar ketakutan. "Tuan!" suara dari luar kamar terdengar mendesak, penuh ketegangan. "Sial!" Panglima Rangga mengumpat, beringsut mundur dan melepaskan kungkungannya dari tubuh Ratna. "Siapa yang berani mengganggu kesenanganku ini!" Rangga menoleh tajam ke arah Ratna, sorot matanya menyala penuh amarah. Ia menunduk mendekati wajah istrinya. "Jangan coba-coba lari!" desisnya. "Kita belum selesai! Aku hanya akan keluar sebentar, dan akan segera kembali!" Ratna menelan ludah, tubuhnya kaku di atas ranjang. "Apa kau mengerti?!" Panglima Rangga membentak keras, membuat jantung Ratna hampir meloncat dari dadanya. Ratna mengangguk cepat, suaranya tercekat. "I-iya..." Ratna hanya bisa menangis, meratapi nasib yang tak pernah ia pilih. Ingin melawan? Ia hanyalah gadis rapuh yang bahkan tak pernah menyentuh pedang. Sungguh berbeda dengan Rangga, seorang panglima yang sudah terasah keras di medan perang. Ingin melawan melalui koneksi? Itu mustahil. Dia bahkan tidak pernah dikenal ada di kerajaan Jayamarta ini. Sementara itu, Panglima Rangga hanya menyunggingkan senyum tipis, dia merasa puas istri kecilnya ini tidak berani membantah. Baginya, selama Ratna tidak membangkang, itu sudah cukup membuat hatinya senang. Terpaksa atau tidak, ia tidak peduli. Ceklek! Rangga membuka pintu kamarnya. Seorang pria tegap segera menundukkan badan memberi hormat. "Tuan...!" Bugh! Tanpa ampun, Panglima Rangga melayangkan tendangan keras ke perut pria itu. Brugh! Tubuh sang prajurit terhuyung jatuh, erangan kesakitan pun lolos dari mulutnya. "Beraninya kau mengganggu kesenanganku!" suara Rangga menggelegar, penuh amarah. "Am—ampun, Tuan! Hamba tidak bermaksud lancang, mengusik kegiatan Tuan bersama Nyonya. Hamba… terpaksa melakukannya karena ada hal penting yang harus saya sampaikan pada Tuan." Suara prajurit itu bergetar, mencoba menjelaskan di tengah rasa sakit. Mata Panglima Rangga menyipit tajam, sorotnya menusuk seperti bilah pedang. "Hal penting, katamu?" suaranya rendah, penuh ancaman. "Katakan sekarang! Dan ingat… jika berita yang kau bawa tidak sepadan dengan keberanianmu mengusikku…" Ia mendekat, menundukkan wajahnya tepat di hadapan prajurit itu, suaranya semakin dingin. "…maka apa yang kau alami barusan hanyalah permulaan. Ingat, aku tidak akan pernah membiarkanmu lolos dengan mudah!" Prajurit itu menelan ludah dengan gugup, lalu menundukkan kepala dalam-dalam. Ia menarik napas panjang sebelum bersuara, menyusun setiap kata seakan hidupnya bergantung pada ketepatan ucapannya. "Ampun, Tuan! Hamba diutus untuk menyampaikan titah langsung dari Yang Mulia Raja Dursala. Baginda, memanggil Tuan untuk segera menghadap ke istana saat ini juga!" __Raja Dursala menatap Rangga dengan wajah yang berkerut kesal, seolah merasakan ancaman yang tersirat di balik sikap tenang sang panglima. "Tentu saja, Rangga! Aku tak akan melanggar perjanjian yang terjadi diantara kita. Jika kau sudah menikahi putri Damar Langkarsana, aku tak akan mengganggumu. Hanya saja… aku sedikit kecewa, kau menikah begitu tergesa hingga tak sempat mengundangku!"Raja Dursala menyipitkan mata, lalu menambahkan dengan nada penuh peringatan. "Aku hanya ingin mengingatkanmu untuk memperhatikan istrimu dengan lebih jeli. Bukan maksudku menghina, tapi kau tahu dia adalah putri dari bangsawan pengkhianat. Aku percaya kau bukan orang yang mudah dikalahkan, tapi bersikap waspada… tak ada salahnya, bukan?"Panglima Rangga mengangguk, senyum tipis namun dingin terukir di bibirnya."Tentu saja, Yang Mulia. Terima kasih atas perhatian Anda!"Raja Dursala menahan senyumnya, namun hatinya bergolak oleh rasa ingin tahu. Seperti apa wajah gadis itu hingga mampu menjinakkan pa
Panglima Rangga menegakkan tubuhnya semakin tegap, seakan ingin menancapkan setiap kata yang keluar dari bibirnya ke dalam hati Raja Dursala."Benar, Yang Mulia. Hamba telah menikah... dengan putri Damar Langkarsana. Tepat semalam, setelah hamba menuntaskan para pengkhianat yang selama ini mengusik kerajaan."Keheningan langsung menyelimuti singgasana. Raja Dursala terperanjat, matanya membelalak tak percaya. Jemarinya yang tadi menggenggam sandaran kursi perlahan melemah."Putri… Damar Langkarsana?!" suaranya menggelegar, menggetarkan udara seakan petir baru saja menyambar di tengah ruangan.Raja Dursala sontak bangkit dari kursinya, wajahnya memerah, campuran antara murka dan keterkejutan. Selama ini ia tahu benar, Panglima Rangga tidak pernah menunjukkan minat sedikit pun pada wanita manapun. Bagaimana mungkin kini dalam semalam, ia mendadak menikah dan bahkan tanpa sepengetahuan dirinya?Lebih mengejutkan lagi, ia mengaku menikah dengan putri dari Damar Langkarsana, pengkhianat ya
Di tempat lain, jauh dari lamunan Ratna, Panglima Rangga kini tengah berhadapan dengan Raja Dursala di singgasana megah Kerajaan Jayamarta."Kemana saja kau, Rangga? Tidak biasanya kau datang terlambat. Aku bahkan harus menunggu lama hanya untuk bertemu denganmu," suara Raja Dursala terdengar berat, penuh tekanan."Padahal aku sudah mengirimkan pesan sejak semalam. Atau... apakah orang suruhanku terlambat menyampaikannya ke paviliunmu?" tanya sang raja, matanya meneliti tajam seolah hendak membongkar alasan di balik keterlambatan panglima kepercayaannya itu. Panglima Rangga menunduk hormat, ekspresinya datar tanpa riak emosi."Maafkan saya, Yang Mulia! Keterlambatan ini sepenuhnya kesalahan saya, bukan orang suruhan Anda. Mereka datang tepat waktu ke kediaman saya. Namun, ada urusan yang harus saya selesaikan sebelum menuju ke sini!"Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada yang terdengar tenang namun penuh kepatuhan."Sekali lagi, ampunilah saya, Yang Mulia! Jika hukuman p
Suasana malam itu seakan membeku, hanya suara napas berat Rangga yang terdengar di antara mereka. Tatapan matanya menyala penuh keyakinan, menembus jiwa Ratna yang masih dibungkus rasa ragu."Soal statusmu yang seorang putri dari Damar Langkarsana, biarlah tetap menjadi rahasia. Lagi pula, apa yang akan dilakukan Raja atau rakyat kerjaan ini jika mereka tahu?""Mereka takkan berani menatapmu, apalagi mencelamu jika mereka masih ingin bernafas! Kau adalah istriku! Istri dari Panglima Rangga Raksa Jala Wulung! Di Kerajaan ini maupun di Kerajaan lain, tidak ada yang berani mengusikku atau menyentuh apapun yang menjadi milikku!"Panglima Rangga meraih bahu Ratna, mendekatkan wajahnya, suaranya semakin berat namun penuh kepastian."Kau istriku, yang berarti kau adalah milikku! Jika ada yang berani menyentuh atau menyakitimu, itu berarti mereka harus siap berurusan denganku!"Ratna terdiam. Ia menatap Rangga dengan perasaan yang tak menentu. Hatinya diliputi kebingungan sekaligus keterkejut
Panglima Rangga melangkah masuk ke dalam kamar dengan langkah mantap, membuat udara di ruangan itu kembali menegang. Ratna yang duduk di tepi ranjang sontak merasakan jantungnya berdebar kencang. Keringat dingin membasahi pelipisnya, bayangan menakutkan tentang perintah untuk melayaninya kembali terlintas dalam pikirannya.Namun yang terjadi justru di luar dugaan. Panglima Rangga menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara dalam dan penuh wibawa,"Kau bisa beristirahat selama aku tidak ada! Aku harus pergi ke istana menemui Raja Dursala. Jika ada sesuatu yang kau butuhkan atau inginkan, mintalah pada para pelayan! Selama permintaan itu bukan melarikan diri dariku, kau akan mendapatkan apa pun yang kau mau!"Ratna hanya bisa menunduk, mencoba mencerna setiap kalimat yang terucap.Panglima Rangga mendekat selangkah, sorot matanya menusuk, lalu menambahkan, "Sama seperti ayahmu yang tidak mengizinkanmu melihat dunia luar, aku pun memberlakukan aturan yang sama padamu! Kau belum resmi k
Ratna beringsut mundur, jantungnya berdegup kencang seperti hendak pecah. Namun langkahnya terhenti saat punggungnya menyentuh dinding dingin. Panglima Rangga mendekat perlahan, tatapannya menusuk, membuat Ratna merasa seperti seekor rusa yang terperangkap."Mau pergi ke mana kau, Ratna? Sudah kubilang, kau tidak akan bisa lepas dari jeratanku!" ujar Rangga dengan senyum miring, kedua tangannya menekan kuat di sisi Ratna, membuatnya terkurung.Ratna menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. "A-apa yang ingin ka-kau lakukan, hah?" tanyanya dengan terbata, matanya bergetar menahan takut. Panglima Rangga terkekeh pelan, tatapannya menusuk layaknya serigala yang baru saja menjebak mangsanya."Menurutmu, apa yang ingin kulakukan, istriku?" suaranya merendah, penuh ancaman samar. "Bukankah kau sudah mendengar sendiri ucapanku sebelum kita melangkah masuk ke kamar ini? Setelah ini, kau pasti tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi di antara kita hari ini!"Rangga meraih pergela







