ログインPanglima Rangga melangkah masuk ke dalam kamar dengan langkah mantap, membuat udara di ruangan itu kembali menegang. Ratna yang duduk di tepi ranjang sontak merasakan jantungnya berdebar kencang.
Keringat dingin membasahi pelipisnya, bayangan menakutkan tentang perintah untuk melayaninya kembali terlintas dalam pikirannya. Namun yang terjadi justru di luar dugaan. Panglima Rangga menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara dalam dan penuh wibawa, "Kau bisa beristirahat selama aku tidak ada! Aku harus pergi ke istana menemui Raja Dursala. Jika ada sesuatu yang kau butuhkan atau inginkan, mintalah pada para pelayan! Selama permintaan itu bukan melarikan diri dariku, kau akan mendapatkan apa pun yang kau mau!" Ratna hanya bisa menunduk, mencoba mencerna setiap kalimat yang terucap. Panglima Rangga mendekat selangkah, sorot matanya menusuk, lalu menambahkan, "Sama seperti ayahmu yang tidak mengizinkanmu melihat dunia luar, aku pun memberlakukan aturan yang sama padamu! Kau belum resmi kuperkenalkan pada dunia luar, terutama pada rakyat kerajaan Jayamarta. Jadi jangan berbuat macam-macam!" "Banyak orang jahat di luar sana. Kau belum pernah bertemu atau berinteraksi dengan orang asing, jadi jangan sekali pun meninggalkan kediaman ini tanpa sepengetahuanku dan tanpa pengawalan!" Panglima Rangga berhenti sejenak, lalu menatap lurus ke dalam mata istrinya. "Apa kau mengerti, istriku?" Ratna hanya mengangguk pelan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Wajahnya tertunduk dalam, seakan lantai jauh lebih aman untuk dipandang daripada mata suaminya itu. Panglima Rangga menatapnya lekat, senyum tipis tersungging di sudut bibirnya. Ada kepuasan tersendiri melihat istrinya yang begitu patuh, seolah Ratna adalah burung jinak yang sudah terkekang di dalam sangkar emasnya. "Patuhlah selalu, Ratna! Maka aku akan menjagamu dari segala hal yang bisa melukaimu!" Tatapannya penuh kuasa, tapi ada nada ambigu di balik suaranya, antara ancaman dan perlindungan. Namun lagi-lagi Ratna hanya menganggukkan kepalanya. Bibirnya gemetar, seolah ada ribuan kata yang ingin keluar, namun semua tertahan di tenggorokannya. Sebenarnya, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya, tentang Raja. Tentang kekejaman yang semakin hari semakin membelenggu rakyat kecil. Tapi bagaimana mungkin ia bisa membicarakannya pada Rangga? Ia tahu, meskipun raja dikenal kejam, Panglima Rangga memilih menutup mata. Kesetiaannya pada singgasana lebih kuat daripada rasa iba pada rakyat yang menderita. Ratna menunduk lebih dalam, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuannya. Hatinya pedih. Sebab ia ingat, ayahnya seorang lelaki yang hidup demi membela rakyat, harus membayar mahal atas keberaniannya. Demi keadilan, ayahnya terpaksa melakukan pembelotan, sesuatu yang dianggap pengkhianatan besar. Dan kini, ironisnya, ia justru menjadi istri dari orang yang berdiri di sisi berlawanan dengan ayahnya. Ratna menghela napas berat, dadanya terasa sesak. Bayangan masa depan terbentang di pelupuk mata, mungkin sisa hidupnya akan ia habiskan bersama Rangga. "Apakah aku bisa benar-benar bahagia?" batin Ratna getir. Jika benar hidupnya akan terus bergulir di sisi Rangga, maka itu berarti Ratna juga harus siap menanggung segala konsekuensi. Setia pada seorang pria yang tunduk pada Raja yang telah menjadi musuh ayahnya sendiri. Tanpa sadar, jemari Ratna meremas kain gaunnya. Wajahnya menunduk, seolah ingin menyembunyikan gemuruh dalam dadanya. Rangga yang memperhatikan perubahan di wajah istrinya hanya tersenyum tipis. Ia mendekat, mencondongkan tubuhnya sedikit untuk menangkap setiap garis ekspresi Ratna. "Ada apa?" tanyanya lembut namun penuh selidik. "Apa yang sedang kau pikirkan? Atau… kau kecewa karena kita tidak jadi melewati malam pertama?" Ratna sontak mendongak, kedua matanya membelalak kaget. Bibirnya sedikit terbuka, tak percaya dengan kalimat yang baru saja keluar dari mulut suaminya. Dengan cepat ia memalingkan wajah, pipinya memanas hingga berubah merah merona. "B-bagaimana bisa kau bicara seperti itu? Malam pertama apanya? Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu!" ucapnya terbata, suaranya meninggi karena gugup, sementara rona merah di wajahnya semakin jelas. Rangga terkekeh pelan, suaranya hangat namun juga menggoda. "Aku pikir kau kecewa!" ucapnya sambil menatap lekat wajah istrinya. Ratna buru-buru menutup matanya, seolah ingin bersembunyi dari tatapan suaminya. Wajahnya semakin memerah, jantungnya berdegup kencang saat merasakan jarak di antara mereka semakin tipis. Panglima Rangga menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan campuran gemas, hangat, dan sedikit tak percaya. Perlahan, ia mengangkat tangannya, lalu mengusap lembut pipi Ratna yang panas bersemu merah. Sentuhan itu membuat Ratna tersentak kecil, namun ia tak berani membuka matanya. "Ternyata memiliki seorang wanita di sisiku... tidak semenyebalkan seperti yang kubayangkan!" ucap Rangga lirih. "Jujur saja, sebenarnya aku masih ingin menghabiskan banyak waktu denganmu, aku masih ingin mengenali istriku lebih dalam. Tapi sayang sekali, Raja Dursala memanggilku. Jika tidak, sudah kupastikan kau tak akan bisa bangkit dari ranjang ini malam ini!" Nada suaranya tajam, membuat Ratna merinding meski mencoba menatap suaminya dengan tenang. "Jadi, Ratna istriku, selama aku tidak ada, kau harus ingat apa yang sudah kukatakan padamu sebelumnya. Tentang aturan yang berlaku padamu, aturan yang tidak boleh sekali pun kau langgar!" Ia semakin mendekat, menundukkan wajahnya hingga hampir sejajar dengan Ratna, suaranya merendah namun penuh ancaman. "Jangan coba-coba melanggar, atau ayahmu akan..." "Aku mengerti! Jadi berhenti mengancamku dengan membawa-bawa nama ayahku!" potong Ratna cepat, matanya berkilat penuh amarah. Sejenak hening. Udara di ruangan terasa berat. Panglima Rangga menatap Ratna dalam, seakan menimbang keberanian yang tiba-tiba muncul dari istrinya. Sudut bibirnya terangkat tipis, "Keberanianmu menarik, Ratna! Tapi jangan sampai kata-kata itu menjadi awal dari penyesalanmu sendiri!" Panglima Rangga melangkah mundur, meraih jubah hitamnya, lalu berbalik hendak meninggalkan kamar. Namun suara lirih Ratna menahannya. "Bagaimana jika Raja Dursala bertanya tentang ayahku?" tanyanya dengan suara bergetar. Langkah Rangga terhenti. Tangannya yang sudah menyentuh gagang pintu pun perlahan mengendur. Ia menoleh setengah badan, menatap istrinya dengan sorot mata tajam. "Memangnya kenapa?" tanyanya datar. Ratna menunduk, jemarinya saling memilin di atas pangkuannya. Bibirnya bergetar, mencoba menyusun kata. "Apakah kau akan mengatakan bahwa ayahku masih hidup? Lalu… bagaimana jika Raja Dursala tetap memerintahkanmu untuk menghabisinya? Apakah kau benar-benar akan melakukannya?" Nada suaranya pecah. Ia mengangkat wajahnya, tatapan matanya penuh kecemasan. "Dan… bagaimana denganku? Aku adalah putri dari Damar Langkarsana yang dituduh berkhianat. Bukankah aku pun akan dicap sama seperti ayahku? Mungkin aku juga akan berakhir sama seperti…" Belum sempat kata-kata itu tuntas, Rangga mendadak melangkah cepat, menutup jarak, lalu memotong tegas, "Tidak akan ada yang berani menyentuhmu!" Ratna terdiam, matanya membesar, menatap suaminya dengan campuran takut dan ragu. Dengan gerakan lembut yang kontras dengan nada suaranya tadi, Rangga mengangkat tangan, mengusap wajah istrinya. "Apakah kau masih meragukan janjiku, istriku?" bisiknya dalam. "Selama kau tetap berada di sisiku… selama kau menurut padaku… baik dirimu maupun ayahmu, aku pastikan akan tetap aman!" "Dan soal Raja Dursala, jangan khawatirkan apapun tentang dia! Dia tidak akan tahu jika ayahmu masih hidup!" Ratna hanya mengangguk, meski hatinya masih diliputi rasa ragu. Janji Panglima Rangga terdengar indah, namun benarkah ia mampu menentang titah Raja Dursala? __Raja Dursala menatap Rangga dengan wajah yang berkerut kesal, seolah merasakan ancaman yang tersirat di balik sikap tenang sang panglima. "Tentu saja, Rangga! Aku tak akan melanggar perjanjian yang terjadi diantara kita. Jika kau sudah menikahi putri Damar Langkarsana, aku tak akan mengganggumu. Hanya saja… aku sedikit kecewa, kau menikah begitu tergesa hingga tak sempat mengundangku!"Raja Dursala menyipitkan mata, lalu menambahkan dengan nada penuh peringatan. "Aku hanya ingin mengingatkanmu untuk memperhatikan istrimu dengan lebih jeli. Bukan maksudku menghina, tapi kau tahu dia adalah putri dari bangsawan pengkhianat. Aku percaya kau bukan orang yang mudah dikalahkan, tapi bersikap waspada… tak ada salahnya, bukan?"Panglima Rangga mengangguk, senyum tipis namun dingin terukir di bibirnya."Tentu saja, Yang Mulia. Terima kasih atas perhatian Anda!"Raja Dursala menahan senyumnya, namun hatinya bergolak oleh rasa ingin tahu. Seperti apa wajah gadis itu hingga mampu menjinakkan pa
Panglima Rangga menegakkan tubuhnya semakin tegap, seakan ingin menancapkan setiap kata yang keluar dari bibirnya ke dalam hati Raja Dursala."Benar, Yang Mulia. Hamba telah menikah... dengan putri Damar Langkarsana. Tepat semalam, setelah hamba menuntaskan para pengkhianat yang selama ini mengusik kerajaan."Keheningan langsung menyelimuti singgasana. Raja Dursala terperanjat, matanya membelalak tak percaya. Jemarinya yang tadi menggenggam sandaran kursi perlahan melemah."Putri… Damar Langkarsana?!" suaranya menggelegar, menggetarkan udara seakan petir baru saja menyambar di tengah ruangan.Raja Dursala sontak bangkit dari kursinya, wajahnya memerah, campuran antara murka dan keterkejutan. Selama ini ia tahu benar, Panglima Rangga tidak pernah menunjukkan minat sedikit pun pada wanita manapun. Bagaimana mungkin kini dalam semalam, ia mendadak menikah dan bahkan tanpa sepengetahuan dirinya?Lebih mengejutkan lagi, ia mengaku menikah dengan putri dari Damar Langkarsana, pengkhianat ya
Di tempat lain, jauh dari lamunan Ratna, Panglima Rangga kini tengah berhadapan dengan Raja Dursala di singgasana megah Kerajaan Jayamarta."Kemana saja kau, Rangga? Tidak biasanya kau datang terlambat. Aku bahkan harus menunggu lama hanya untuk bertemu denganmu," suara Raja Dursala terdengar berat, penuh tekanan."Padahal aku sudah mengirimkan pesan sejak semalam. Atau... apakah orang suruhanku terlambat menyampaikannya ke paviliunmu?" tanya sang raja, matanya meneliti tajam seolah hendak membongkar alasan di balik keterlambatan panglima kepercayaannya itu. Panglima Rangga menunduk hormat, ekspresinya datar tanpa riak emosi."Maafkan saya, Yang Mulia! Keterlambatan ini sepenuhnya kesalahan saya, bukan orang suruhan Anda. Mereka datang tepat waktu ke kediaman saya. Namun, ada urusan yang harus saya selesaikan sebelum menuju ke sini!"Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada yang terdengar tenang namun penuh kepatuhan."Sekali lagi, ampunilah saya, Yang Mulia! Jika hukuman p
Suasana malam itu seakan membeku, hanya suara napas berat Rangga yang terdengar di antara mereka. Tatapan matanya menyala penuh keyakinan, menembus jiwa Ratna yang masih dibungkus rasa ragu."Soal statusmu yang seorang putri dari Damar Langkarsana, biarlah tetap menjadi rahasia. Lagi pula, apa yang akan dilakukan Raja atau rakyat kerjaan ini jika mereka tahu?""Mereka takkan berani menatapmu, apalagi mencelamu jika mereka masih ingin bernafas! Kau adalah istriku! Istri dari Panglima Rangga Raksa Jala Wulung! Di Kerajaan ini maupun di Kerajaan lain, tidak ada yang berani mengusikku atau menyentuh apapun yang menjadi milikku!"Panglima Rangga meraih bahu Ratna, mendekatkan wajahnya, suaranya semakin berat namun penuh kepastian."Kau istriku, yang berarti kau adalah milikku! Jika ada yang berani menyentuh atau menyakitimu, itu berarti mereka harus siap berurusan denganku!"Ratna terdiam. Ia menatap Rangga dengan perasaan yang tak menentu. Hatinya diliputi kebingungan sekaligus keterkejut
Panglima Rangga melangkah masuk ke dalam kamar dengan langkah mantap, membuat udara di ruangan itu kembali menegang. Ratna yang duduk di tepi ranjang sontak merasakan jantungnya berdebar kencang. Keringat dingin membasahi pelipisnya, bayangan menakutkan tentang perintah untuk melayaninya kembali terlintas dalam pikirannya.Namun yang terjadi justru di luar dugaan. Panglima Rangga menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara dalam dan penuh wibawa,"Kau bisa beristirahat selama aku tidak ada! Aku harus pergi ke istana menemui Raja Dursala. Jika ada sesuatu yang kau butuhkan atau inginkan, mintalah pada para pelayan! Selama permintaan itu bukan melarikan diri dariku, kau akan mendapatkan apa pun yang kau mau!"Ratna hanya bisa menunduk, mencoba mencerna setiap kalimat yang terucap.Panglima Rangga mendekat selangkah, sorot matanya menusuk, lalu menambahkan, "Sama seperti ayahmu yang tidak mengizinkanmu melihat dunia luar, aku pun memberlakukan aturan yang sama padamu! Kau belum resmi k
Ratna beringsut mundur, jantungnya berdegup kencang seperti hendak pecah. Namun langkahnya terhenti saat punggungnya menyentuh dinding dingin. Panglima Rangga mendekat perlahan, tatapannya menusuk, membuat Ratna merasa seperti seekor rusa yang terperangkap."Mau pergi ke mana kau, Ratna? Sudah kubilang, kau tidak akan bisa lepas dari jeratanku!" ujar Rangga dengan senyum miring, kedua tangannya menekan kuat di sisi Ratna, membuatnya terkurung.Ratna menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. "A-apa yang ingin ka-kau lakukan, hah?" tanyanya dengan terbata, matanya bergetar menahan takut. Panglima Rangga terkekeh pelan, tatapannya menusuk layaknya serigala yang baru saja menjebak mangsanya."Menurutmu, apa yang ingin kulakukan, istriku?" suaranya merendah, penuh ancaman samar. "Bukankah kau sudah mendengar sendiri ucapanku sebelum kita melangkah masuk ke kamar ini? Setelah ini, kau pasti tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi di antara kita hari ini!"Rangga meraih pergela