LOGINRatna menelan ludahnya, dadanya terasa sesak oleh kalimat yang baru saja meluncur dari bibir Rangga. Ia melangkah masuk dengan hati yang bergetar, menatap setiap sudut ruangan yang megah, seakan dinding-dinding itu benar-benar mengurungnya dalam takdir baru.
"Bagaimana istriku? Apakah kau menyukai kediaman barumu?" tanya Rangga sambil menyunggingkan senyum samar. Ratna menoleh sekilas, matanya menyapu ruangan luas dengan lampu gantung berkilau dan dinding penuh ukiran mewah. Semua tampak indah, megah, bahkan nyaris sempurna, namun bukan kehangatan yang ia rasakan. Yang ada hanya hawa dingin, seakan setiap sudut rumah itu menatapnya dengan tatapan asing. "Rangga, paviliunmu sungguh megah, bahkan melampaui kemewahan tempat kelahiranku. Namun, aku merasa lebih nyaman tinggal di kediaman lamaku," sahut Ratna lirih, tak sanggup sepenuhnya menyembunyikan getir di matanya. "Kau hanya perlu beradaptasi, Ratna! Setelah beberapa waktu, kau akan merasa nyaman, sebab paviliun ini akan menelan semua keraguanmu. Ingatlah Ratna, kediaman ini bukan hanya milikku, tapi juga tempat yang akan mengikatmu sepenuhnya!" ucap Panglima Rangga datar. "Mari masuk! Aku akan mengenalkanmu kepada para pelayan dan prajurit kesatria-ku. Mereka harus tahu siapa Tuan mereka yang baru, selain aku!" ujar Rangga, sambil menarik lembut tangan Ratna. Ratna menatap paviliun di hadapannya. Tiang-tiang tinggi berukir naga dan garuda menjulang, menegaskan wibawa sang Panglima. Lantai andesit yang dingin berderet rapi, menimbulkan gema langkah yang seolah setiap bunyi mengingatkan bahwa di sini, semua tunduk pada kekuasaan Panglima Rangga. Dengan langkah mantap Rangga melangkah lebih dulu, Ratna mengikuti di belakangnya. Segera, mereka berada di pendapa terbuka, tempat para pelayan dan prajurit kesatria berdiri tegap. Mata para prajurit menatap lurus, penuh kewaspadaan, sementara para pelayan menundukkan kepala, bibir mereka terkatup rapat, menahan rasa ingin tahu. Kepala pelayan kediaman Rangga, Santosa, melangkah mendekati tuannya, lalu menundukkan tubuhnya dengan hormat. "Selamat datang, Tuan!" ucap Santosa, matanya lalu menyapu wajah Ratna sekilas. Sekilas pandang itu membuatnya tersentak. Kecantikan gadis di depannya sungguh memikat, namun ia segera menahan diri. Jangan sampai pandangannya terlalu lama, atau akan dianggap lancang oleh tuannya. "Selamat datang, Nona…!" sapanya, suaranya sedikit bergetar. Santosa ragu, bingung memanggil gadis di hadapannya. Sebelumnya, ia tak pernah melihat atau mengenal sosok yang dibawa tuannya itu. Rangga menatap kepala pelayannya dengan dingin. "Santosa, jangan memanggilnya Nona! Dia sekarang istriku. Artinya, ia adalah nyonya di paviliun ini!" tegasnya, suaranya berat dan tak terbantahkan. Bagi Rangga, semua orang harus menyadari posisi wanita itu agar tidak ada pria di paviliun ini atau di luar sana, yang berani mendekati istrinya. Tiap tatapan, tiap langkah, harus menegaskan bahwa Ratna kini sepenuhnya miliknya. Santosa menelan ludah, matanya menatap Ratna sekilas sebelum menunduk lebih dalam. Ia jelas terkejut, sebelumnya ia tak pernah mendengar desas-desus bahwa Panglima Rangga sedang dekat dengan seorang wanita. Tidak ada pesta lamaran, tidak ada pemberitahuan pernikahan, bahkan tak satu pun pelayan atau prajurit mengetahui kabar jika tuannya akan menikah. Namun kini baru saja ia pulang, Rangga sudah langsung mengumumkan bahwa gadis itu adalah nyonya di paviliunnya, istrinya sendiri. Para prajurit yang hadir pun menahan napas. Tatapan mereka tak berani menatap Ratna terlalu lama, namun rasa penasaran membara di dalam dada. Mereka tahu, wanita yang kini berdiri di hadapan mereka bukan sekadar tamu biasa. Ia adalah istri Panglima Rangga, sosok yang harus dihormati, bahkan ditakuti, karena sedikit kesalahan saja bisa berakibat fatal. Sementara itu, Ratna tetap berdiri tegap di samping Rangga, menelan gemetar di dadanya. Ia menyadari, pengumuman singkat itu sudah menempatkannya dalam sorotan, sekaligus dalam jerat kekuasaan Rangga yang tak bisa ia hindari. Rangga menatap semua orang dengan mata tajam, suaranya bergema di pendapa. "Dengar baik-baik! Mulai hari ini, Ratna adalah nyonya paviliun ini. Setiap perintahnya adalah hukum di sini, sama seperti titahku. Tak seorang pun boleh mengabaikannya , menatapnya sembarangan dan bertindak seenaknya!" Seketika para prajurit menundukkan kepala lebih dalam, pedang dan tombak mereka sejajar dengan lantai, tanda hormat dan kewaspadaan. Tak seorang pun berani menatap Ratna langsung. Mata mereka tertuju pada lantai, namun hati mereka tetap terbakar rasa penasaran. Sosok wanita itu jelas istimewa di mata tuannya, Panglima Rangga yang terkenal kejam, bengis dan tak terkalahkan. "Apa ini sikap kalian dalam menyambut nyonya kalian, hah?!" teriak Rangga, suaranya bergema di seluruh paviliun, penuh amarah dan wibawa. Santosa, para pelayan, dan seluruh prajurit segera menundukkan badan untuk memberikan penghormatan pada nyonya baru mereka. "Salam, Nyonya!" ucap mereka serempak, menandakan hormat dan ketegangan yang menguasai ruangan. Ratna menatap sekeliling, merasa campuran kagum dan cemas. Setiap gerak-gerik mereka menunjukkan betapa seriusnya posisi barunya. Tidak hanya sebagai istri Rangga, tapi sebagai nyonya yang harus dihormati dan ditakuti oleh seluruh paviliun. "Salam pada kalian semua!" jawab Ratna, suaranya sedikit bergetar. Tanpa sadar, tangannya menggenggam erat tangan Rangga, seolah mencari perlindungan dari tatapan puluhan pasang mata yang kini tertuju padanya. Bagaimanapun, sejak kecil Ratna tak pernah benar-benar berinteraksi dengan orang lain selain keluarga dekat, serta para pelayan dan prajurit di kediaman ayahnya. Dunia luar terasa asing baginya, apalagi kini ia berdiri sebagai pusat perhatian sebagai nyonya baru yang harus dihormati. Panglima Rangga menoleh sekilas, menyunggingkan senyum tipis. Ia merasa, genggaman itu bukan sekadar tanda takut atau gugup. Itu adalah awal dari pengakuan, bahwa Ratna memahami posisi barunya dan perlahan mulai menyesuaikan diri dengan aturan serta jerat kekuasaan yang kini mengikatnya. Panglima Rangga menarik tangan Ratna, menuntunnya melangkah masuk ke dalam kediaman. Sebelum benar-benar masuk, ia sempat menoleh pada Santosa dengan sorot mata tajam penuh wibawa. "Persiapkan seluruh kebutuhan istriku di paviliun ini! Dan jangan lupa hias kamarku dengan indah. Ingatlah, malam ini adalah malam pertamaku bersama permaisuriku!" ucapnya lantang. Tubuh Ratna sontak menegang mendengar kata-kata itu. Jantungnya berdegup kencang, seolah sebuah lonceng bahaya berdentang dalam dirinya. Segala naluri menyuruhnya untuk segera lepas dari genggaman suaminya. Panglima Rangga menyadarinya. Ia menundukkan wajah, menatap Ratna dengan sorot yang menusuk. "Jangan pernah mencoba melarikan diri dariku!" bisiknya tegas. "Jika kau berani melawan, bukan hanya kau yang akan menanggung akibatnya, tetapi juga ayahmu!" Ratna melangkah masuk ke kamar yang megah namun terasa asing di matanya. Dindingnya dipenuhi ukiran emas, tirai sutra menjuntai hingga lantai, dan lampu minyak beraroma rempah menyala redup, menebarkan bayangan yang menyesakkan dada. Namun, kemewahan itu tidak menghadirkan kenyamanan sedikit pun. Jantung Ratna berdentum keras, tangannya gemetar saat pintu di belakangnya berderit tertutup rapat. Rangga mendekat, jari-jari kasarnya menelusuri wajah cantik istrinya. Entah kenapa ia ingin sekali menikmati wajah itu tanpa henti, padahal sebelumnya ia tidak pernah tertarik dengan wanita manapun. Namun sekarang setelah melihat kecantikan Ratna, hatinya yang keras mulai goyah. Untuk pertama kalinya, Rangga ingin menyentuh bukan karena kuasa, melainkan karena rasa. Dan di sinilah awal dari segalanya, awal yang kelak tak hanya mengguncang hatinya, tapi juga seluruh kerajaan. __Raja Dursala menatap Rangga dengan wajah yang berkerut kesal, seolah merasakan ancaman yang tersirat di balik sikap tenang sang panglima. "Tentu saja, Rangga! Aku tak akan melanggar perjanjian yang terjadi diantara kita. Jika kau sudah menikahi putri Damar Langkarsana, aku tak akan mengganggumu. Hanya saja… aku sedikit kecewa, kau menikah begitu tergesa hingga tak sempat mengundangku!"Raja Dursala menyipitkan mata, lalu menambahkan dengan nada penuh peringatan. "Aku hanya ingin mengingatkanmu untuk memperhatikan istrimu dengan lebih jeli. Bukan maksudku menghina, tapi kau tahu dia adalah putri dari bangsawan pengkhianat. Aku percaya kau bukan orang yang mudah dikalahkan, tapi bersikap waspada… tak ada salahnya, bukan?"Panglima Rangga mengangguk, senyum tipis namun dingin terukir di bibirnya."Tentu saja, Yang Mulia. Terima kasih atas perhatian Anda!"Raja Dursala menahan senyumnya, namun hatinya bergolak oleh rasa ingin tahu. Seperti apa wajah gadis itu hingga mampu menjinakkan pa
Panglima Rangga menegakkan tubuhnya semakin tegap, seakan ingin menancapkan setiap kata yang keluar dari bibirnya ke dalam hati Raja Dursala."Benar, Yang Mulia. Hamba telah menikah... dengan putri Damar Langkarsana. Tepat semalam, setelah hamba menuntaskan para pengkhianat yang selama ini mengusik kerajaan."Keheningan langsung menyelimuti singgasana. Raja Dursala terperanjat, matanya membelalak tak percaya. Jemarinya yang tadi menggenggam sandaran kursi perlahan melemah."Putri… Damar Langkarsana?!" suaranya menggelegar, menggetarkan udara seakan petir baru saja menyambar di tengah ruangan.Raja Dursala sontak bangkit dari kursinya, wajahnya memerah, campuran antara murka dan keterkejutan. Selama ini ia tahu benar, Panglima Rangga tidak pernah menunjukkan minat sedikit pun pada wanita manapun. Bagaimana mungkin kini dalam semalam, ia mendadak menikah dan bahkan tanpa sepengetahuan dirinya?Lebih mengejutkan lagi, ia mengaku menikah dengan putri dari Damar Langkarsana, pengkhianat ya
Di tempat lain, jauh dari lamunan Ratna, Panglima Rangga kini tengah berhadapan dengan Raja Dursala di singgasana megah Kerajaan Jayamarta."Kemana saja kau, Rangga? Tidak biasanya kau datang terlambat. Aku bahkan harus menunggu lama hanya untuk bertemu denganmu," suara Raja Dursala terdengar berat, penuh tekanan."Padahal aku sudah mengirimkan pesan sejak semalam. Atau... apakah orang suruhanku terlambat menyampaikannya ke paviliunmu?" tanya sang raja, matanya meneliti tajam seolah hendak membongkar alasan di balik keterlambatan panglima kepercayaannya itu. Panglima Rangga menunduk hormat, ekspresinya datar tanpa riak emosi."Maafkan saya, Yang Mulia! Keterlambatan ini sepenuhnya kesalahan saya, bukan orang suruhan Anda. Mereka datang tepat waktu ke kediaman saya. Namun, ada urusan yang harus saya selesaikan sebelum menuju ke sini!"Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada yang terdengar tenang namun penuh kepatuhan."Sekali lagi, ampunilah saya, Yang Mulia! Jika hukuman p
Suasana malam itu seakan membeku, hanya suara napas berat Rangga yang terdengar di antara mereka. Tatapan matanya menyala penuh keyakinan, menembus jiwa Ratna yang masih dibungkus rasa ragu."Soal statusmu yang seorang putri dari Damar Langkarsana, biarlah tetap menjadi rahasia. Lagi pula, apa yang akan dilakukan Raja atau rakyat kerjaan ini jika mereka tahu?""Mereka takkan berani menatapmu, apalagi mencelamu jika mereka masih ingin bernafas! Kau adalah istriku! Istri dari Panglima Rangga Raksa Jala Wulung! Di Kerajaan ini maupun di Kerajaan lain, tidak ada yang berani mengusikku atau menyentuh apapun yang menjadi milikku!"Panglima Rangga meraih bahu Ratna, mendekatkan wajahnya, suaranya semakin berat namun penuh kepastian."Kau istriku, yang berarti kau adalah milikku! Jika ada yang berani menyentuh atau menyakitimu, itu berarti mereka harus siap berurusan denganku!"Ratna terdiam. Ia menatap Rangga dengan perasaan yang tak menentu. Hatinya diliputi kebingungan sekaligus keterkejut
Panglima Rangga melangkah masuk ke dalam kamar dengan langkah mantap, membuat udara di ruangan itu kembali menegang. Ratna yang duduk di tepi ranjang sontak merasakan jantungnya berdebar kencang. Keringat dingin membasahi pelipisnya, bayangan menakutkan tentang perintah untuk melayaninya kembali terlintas dalam pikirannya.Namun yang terjadi justru di luar dugaan. Panglima Rangga menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara dalam dan penuh wibawa,"Kau bisa beristirahat selama aku tidak ada! Aku harus pergi ke istana menemui Raja Dursala. Jika ada sesuatu yang kau butuhkan atau inginkan, mintalah pada para pelayan! Selama permintaan itu bukan melarikan diri dariku, kau akan mendapatkan apa pun yang kau mau!"Ratna hanya bisa menunduk, mencoba mencerna setiap kalimat yang terucap.Panglima Rangga mendekat selangkah, sorot matanya menusuk, lalu menambahkan, "Sama seperti ayahmu yang tidak mengizinkanmu melihat dunia luar, aku pun memberlakukan aturan yang sama padamu! Kau belum resmi k
Ratna beringsut mundur, jantungnya berdegup kencang seperti hendak pecah. Namun langkahnya terhenti saat punggungnya menyentuh dinding dingin. Panglima Rangga mendekat perlahan, tatapannya menusuk, membuat Ratna merasa seperti seekor rusa yang terperangkap."Mau pergi ke mana kau, Ratna? Sudah kubilang, kau tidak akan bisa lepas dari jeratanku!" ujar Rangga dengan senyum miring, kedua tangannya menekan kuat di sisi Ratna, membuatnya terkurung.Ratna menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. "A-apa yang ingin ka-kau lakukan, hah?" tanyanya dengan terbata, matanya bergetar menahan takut. Panglima Rangga terkekeh pelan, tatapannya menusuk layaknya serigala yang baru saja menjebak mangsanya."Menurutmu, apa yang ingin kulakukan, istriku?" suaranya merendah, penuh ancaman samar. "Bukankah kau sudah mendengar sendiri ucapanku sebelum kita melangkah masuk ke kamar ini? Setelah ini, kau pasti tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi di antara kita hari ini!"Rangga meraih pergela







