“Kalau kamu mencintainya, kenapa mau menikahi aku, Mas?”
“Mazaya terlalu sibuk dengan kariernya, sedangkan aku butuh istri dalam waktu cepat. Saat ada yang menawarkan anak gadisnya, salahkah kalau aku menerimanya?"Aneska menelan ludah yang terasa kelat di tenggorokan. Impian bisa membina rumah tangga bahagia seperti pasangan pengantin baru lainnya pupus sudah. Lelaki yang diharapkan bisa membawanya ke lembah kenikmatan, justru menusukkan belati tepat di hatinya. Aneska terguguk sambil mencengkeram erat baju bagian depannya.“Kenapa? Merasa tersakiti? Tapi itulah kenyataannya. Aku menikahimu hanya untuk mendapatkan hak waris dan peralihan saham The Golden Grup."Aneska segera menyusut air matanya sebelum menoleh kepada sang suami yang menatapnya sinis. Ada begitu banyak luka yang ditorehkan pria itu, tetapi Aneska meyakinkan diri bahwa semua itu hanya sementara. Elvano pasti akan berubah seiring berjalannya waktu. Ya, dia hanya perlu bersabar dan bertahan.“Apakah setelah mendapatkan tujuanmu, kamu akan membuangku, Mas?""Tergantung. Tapi, sepertinya Mazaya akan sangat keberatan. Jadi ...."Aneska kembali menunduk dalam sambil meremas ujung baju bagian depannya. Sementara itu, Elvano menyeringai dan segera melajukan mobil kembali menuju salah satu butik ternama langganan keluarga besarnya.“Dandani dia! Jangan sampai mengecewakanku!” titah Elvano kepada pemilik butik. Lalu, mengempaskan kasar tubuhnya ke kursi dan mengeluarkan ponsel.Aneska menekuk wajah saat melihat sang suami yang tersenyum sambil menatap lekat layar ponselnya. Hatinya berdenyut nyeri karena senyum bahagia itu hanya hadir untuk Mazaya, sedangkan di depannya, Elvano hanya menunjukkan raut wajah penuh kebencian.Tak berselang lama, Aneska telah selesai didandani. Dia tersenyum lebar sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Lalu, berputar sekali sebelum mendekati sang suami.“Bagaimana, Mas? Kamu suka enggak?”“Ck, kalau dasarnya jelek, mau didandani kayak apa pun tetap jelek!”Elvano segera bangkit dan memasukkan ponsel ke saku jas sebelum berjalan menuju mobil. Sementara, Aneska bergeming sesaat untuk menetralisir gelebah dalam dada. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menyusul sang suami. Hening kembali meningkahi keduanya hingga sampai di kediaman Abraham.Untuk sesaat, Aneska dibuat takjub dengan bangunan megah di depannya. Dua pilar besar dan tinggi hingga sepuluh meter, kokoh menopang bangunan dengan warna dominan putih itu. Lalu, anak tangga di depan dengan lantai granit hitam menambah kesan mewah yang tercipta.“Jangan membuka mulut kalau tidak ditanya!”Titah yang dilontarkan Elvano dengan suara baritonnya berhasil menarik perhatian Aneska. Dia mengangguk lemah sebelum menatap lengan sang suami yang terulur di depannya. Melihat sang istri bergeming, Elvano menarik paksa tangan Aneska dan melingkarkan di lengannya.Suara riuh langsung menyambut kedatangan pasangan Aneska dan Elvano. Seluruh keluarga besar Abraham berkumpul di ruang tamu, dan yang membuat wanita itu bahagia adalah sikap sang suami yang berubah seratus delapan puluh derajat.Usai acara kumpul keluarga untuk merayakan ulang tahun Abraham, Aneska dan Elvano kembali ke rumah. Sikap pria itu kembali ke mode semula, dingin dan benci melihat Aneska.“Turun!” titah Elvano setelah menghentikan mobil di depan taman kota.“Buat apa, Mas? Kita, kan, belum sampai di rumah? Lagi pula ini sudah malam banget. Aku takut, Mas.”“Cepat turun! Mazaya sudah menungguku.”Mau tidak mau Aneska membuka pintu mobil dan turun. Baru menutup pintu, mobil yang dikendarai Elvano melesat meninggalkannya. Aneska celingukan sebelum mendekap erat tubuhnya yang hanya mengenakan gaun hitam dengan lengan terbuka. Dingin yang menyergap membuat tubuhnya menggigil kedinginan.Tepat jam sebelas malam, Aneska baru sampai di rumah. Dia langsung menuju kamar dan membuka baju serta menghapus riasan sebelum mengguyur tubuh di bawah shower. Air dingin langsung membasahi tubuh dan sejenak menenangkan hatinya yang memanas. Usai mandi dan berpakaian, gadis itu merebah dan segera memejamkan mata.Keesokan harinya, Aneska terjaga setelah mendengar alarm berbunyi. Dia bergegas membasuh muka dan beranjak ke dapur untuk membuat sarapan. Roti lapis isi dengan segelas susu hangat terhidang di meja. Melihat Elvano tak kunjung turun, dia berinisiatif untuk menyambangi kamarnya.“Mas, bangun. Sudah siang, Mas. Takut kamu telat ke kantornya.” Aneska mengetuk pintu, tetapi tak ada sahutan dari dalam. Dia memberanikan diri untuk memutar gagang pintu dan terbuka. “Mas, aku masuk, ya?”Aneska menggeleng lemah melihat sang suami tertelungkup dengan masih mengenakan pakaian lengkap dan sepatu. Dia segera membuka gorden, kemudian mengguncang tubuh pria itu.“Mas, bangun. Sudah siang ini, takut nanti telat.”“Aaargh! Dasar pengganggu!” rutuk Elvano sambil memukul kasur karena geram dibangunkan. Dia langsung turun dari ranjang dan mencengkeram erat lengan Aneska. “Siapa yang menyuruhmu masuk kamarku? Tak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?"Elvano menyentak kasar lengan Aneska hingga terhuyung. Lalu, beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sepeninggal sang suami, gadis itu menghela napas panjang dan segera merapikan kasur sebelum beranjak untuk mengambilkan baju untuk Elvano. Dia mengulas senyum getir sebelum memutuskan untuk turun ke meja makan.“Mas, boleh aku masuk kuliah hari ini?” tanya Aneska usai beberapa jenak hening di meja makan. “Aku sudah libur tiga hari, takut kuliahku terbengkalai. Tapi, kamu tenang saja. Aku akan membagi waktu an—““Lakukan apa yang kamu mau, asal jangan menggangguku."Elvano bergegas menenggak susu sebelum beranjak meninggalkan Aneska yang masih terkejut dengan ucapannya. Dia tidak peduli selama tidak mengganggu waktunya untuk bertemu Mazaya. Sementara itu, Aneska kembali menghela napas panjang sebelum menyuap nasi dengan lauk daging bulgogi. Dia mengunyah makanan dengan senyum getir yang tersemat di bibir serta lelehan air mata yang membasahi pipi.“Enggak. Aku enggak boleh nangis lagi. Aku harus sabar menghadapi Mas Elvano, karena aku yakin dia pasti bisa berubah mencintaiku nantinya. Jadi, aku harus bertahan sekarang.”Aneska segera memberesi meja makan dan membersihkan rumah. Lalu, mandi dan bersiap untuk ke kampus. Namun, langkahnya terhenti ketika membuka pintu dan melihat sang suami mengikis jarak.“Kok, balik lagi, Mas? Ada apa? Apa ada yang ketinggalan?”Alih-alih menjawab pertanyaan Aneska, Elvano justru memberi perintah sambil berjalan menuju kamar.“Siapkan bajuku, aku akan keluar kota tiga hari!”“Mendadak sekali, Mas.”“Siapkan saja bajuku! Aku harus mengejar pesawat satu jam lagi!”Aneska mengembuskan napas panjang sebelum ikut masuk ke kamar dan mengambil koper. Lalu, memasukkan beberapa potong baju serta perlengkapan yang akan dibawa pergi.“Lelet! Aku harus pergi sekarang juga!” rutuk Elvano sambil menyambar koper dari tangan Aneska dan bergegas menuruni tangga.Tak berselang lama, deru mobil kembali terdengar meninggalkan pekarangan. Sesaat, Aneska bergeming di ambang pintu dan menatap hampa pagar rumah yang terbuka lebar. Dadanya kembali berdentam lara melihat sikap sang suami yang memilih pergi begitu saja.“Mau sampai kapan kita begini, Mas? Aku tahu kamu sama sekali tak mencintaiku, tetapi apa tak ada sedikit pun arti hadirku di sisimu?”Aneska menghela napas panjang. Mendadak kepalanya berdenyut nyeri sehingga memutuskan untuk duduk sejenak di ruang tamu. Dia memijat pangkal hidung sambil memejamkan mata sebelum kembali membuka mata karena mendengar notifikasi pesan masuk. Dia merogoh saku celana untuk mengambil ponsel dan membuka layarnya. Lalu, matanya membeliak sempurna membaca pesan yang dikirimkan oleh Elvano.[Sampai ketemu di tempat biasanya, Zaya.] Aneska membeliak membaca pesan yang dikirimkan Elvano. Dia sampai membekap mulut saking tak percaya dengan apa yang terpampang pada layar ponselnya. Namun, beberapa detik kemudian, pesan itu sudah terhapus. “Bukankah Mas Elvan bilang kalau mau keluar kota? Kenapa dia mengirimkan pesan seperti ini? Apa mereka janjian untuk bertemu?” tanya Aneska dalam hati. Aneska menggeleng lemah sebelum kembali menatap layar ponselnya. Dia membuka ruang percakapan singkat dan mencari kontak Elvano, kemudian mengetik pesan singkat. [Aku izin kuliah, ya, Mas.] Lima menit berselang, pesan singkat Aneska hanya berstatus centang satu. Gadis yang menguncir rambut ke atas itu menghela napas panjang sebelum memasukkan ponsel ke dalam tas dan bangkit dari duduk. “Lebih baik aku pergi kuliah sekarang juga sebelum terlambat.” Aneska bergegas keluar rumah dan memesan ojek online untuk mengantarkannya ke kampus. Satu jam berselang, gadis itu telah sampai di dalam ke
Aneska bergeming sesaat di ambang pintu melihat Mazaya kesusahan memapah Elvano. “Kenapa bengong saja di situ? Cepat tolong aku!” Aneska tergagap dan segera membantu Mazaya memapah Elvano ke kamarnya. Aroma alkohol bercampur asap rokok tercium dari tubuh pria itu. Namun, dia harus menahan napas sambil menahan berat tubuh sang suami, hingga berhasil merebahkannya ke ranjang. Napas Aneska terengah-engah sambil menatap lekat Elvano yang terpejam dengan napas teratur.Meskipun pulang dalam keadaan berantakan, ketampanan pria pemilik manik mata berwarna biru itu tetap terpancar. Rahang yang tegas dengan sedikit cambang menghiasi dagu hingga dekat telinganya. Untuk sesaat, Aneska terhipnotis dengan suaminya sendiri.“Titip Mas Elvan, aku pulang dulu, ya?” Aneska segera menoleh begitu mendengar suara Mazaya. Dia lupa jika masih ada wanita yang menjadi cinta pertama suaminya. Akhirnya, gadis itu mengangguk lemah dan mengekori Mazaya hingga sampai di pintu utama. Untuk sesaat, gadis itu bisa
“Aku ke sini cuma mau anterin bajunya Mas Elvan.”Mazaya berkata sambil menyerahkan koper yang kemarin dibawa oleh Elvano ke luar kota kepada Aneska. Setelahnya, dia berbalik dan melenggang ke mobil.Aneska menatap kepergian wanita itu dalam diam sebelum menarik koper ke dalam dan membukanya. Mengeluarkan semua isinya dan memasukkan ke mesin cuci. Saat tengah memilah baju kotor tersebut, tanpa sengaja matanya terpaku kepada benda segitiga berenda warna merah milik seorang wanita.Aneska menghela napas panjang sambil menggenggam erat benda itu sebelum memasukkan kasar ke dalam mesin cuci.“Sudah sejauh itukah hubungan mereka? Kenapa mereka tidak menikah saja, daripada harus sembunyi-sembunyi seperti ini?” tanya Aneska bermonolog.Aneska menggeleng lemah dan tertawa kering menyadari statusnya di rumah itu. Sebanyak apa pun dia berusaha menampilkan diri, tetap saja Mazaya pemenangnya. Setelahnya, gadis itu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lalu, kembali ke dapur untuk
Aneska menelan ludah dengan susah payah saat mencium aroma sabun yang menguar dari tubuh suaminya. Kedua tangan gadis itu saling menyilang di depan dada sambil menunduk dalam. Lalu, memejamkan mata ketika merasakan tangan Elvano terulur dan menyentuh pundaknya.“Bersihkan kamar ini setelah makan nanti.”Aneska mencelus mendengar ucapan Elvano. Dia mengangguk dan langsung keluar kamar begitu sang suami menjauh. Lalu, berlari menuruni tangga dan mengambil air minum dengan tangan bergetar. Sesaat merasa dilambungkan tinggi melihat tatapan hangat pria itu, tetapi langsung diempaskan ke jurang begitu perintah keluar dari mulutnya.“Jangan terlalu berharap, Nes. Ingat posisi kamu di sini sebagai apa.” Aneska menepuk dada dan menggeleng berulang kali. “Mana mungkin kamu bisa mengalahkan pesona Mazaya. Ibarat kata, kamu hanya bongkahan batu, sedangkan dia berlian. Sangat jauh perbedaannya, dan kamu tak akan pernah bisa menggantikannya di hati Mas Elvan."Aneska menghela napas berat mengin
Aneska bergeming di ambang pintu begitu melihat Mazaya sedang merangkul pinggang Elvano yang lemas di depan pintu kamar mandi.“Ngapain bengong di situ? Cepat tolong aku!” seru Mazaya menyentak lamunan Aneska.Gadis itu bergegas mendekat dan meraih tangan kiri Elvano sebelum mengalungkannya ke leher. Bersama, mereka membawa tubuh kekar pria bermanik mata biru itu kembali ke ranjang.“Kamu ke mana tadi? Diteriaki sampai suara aku serak, enggak dateng-dateng!” sentak Mazaya sambil melurubkan selimut ke tubuh Elvano. Lalu, menatap jijik Aneska karena bekas tumpahan bubur masih menempel di kepala dan baju bagian bahunya. “Jauh-jauh sana! Dasar jorok!”Aneska segera mundur sejengkal sambil menunduk. “Bukannya Mbak yang nyuruh aku untuk ....”“Sudah sana! Bikinin minuman hangat buat Mas Elvan!”Mazaya menarik lengan Aneska dan mendorongnya keluar kamar. Tak berselang lama ponselnya berdering nyaring. Dia beranjak ke dekat jendela dan menerima panggilan sambil sesekali melirik Elvano y
Aneska berjalan mondar-mandir sambil sesekali menggigit kuku karena gelisah. Keinginan Viona untuk menginap membuatnya frustasi. Bagaimana tidak, selama ini Aneska dan Elvano tak pernah tidur dalam kamar yang sama. Namun, malam ini semua itu akan terjadi karena tak ingin menimbulkan kecurigaan Viona.“Nes ....”Aneska menoleh dan berjalan lesu menuju pintu untuk membukanya. “Iya, Oma.”“Sudah beres bersihin kamarnya? Kamu juga jangan lama-lama di sini, kasihan Elvan.”Aneska menelan ludah dengan susah payah sebelum tersenyum canggung. “Iya, Oma. Sebentar lagi Anes ke sebelah.”“Boleh Oma bicara sebentar, Nes?”“Tentu saja, Oma.”Viona masuk dan mengusap kedua lengan Aneska. Mata tua wanita itu tampak berbinar menatap gadis di depannya. Lalu, menggandeng Aneska dan mengajaknya duduk di tepi ranjang.“Oma bahagia akhirnya Elvan bisa menikah dengan wanita yang tepat seperti kamu, Nes. Semoga saja Elvan segera bisa melupakan Mazaya.”Lagi, Aneska mengernyit heran mendengar ucapan
“Siapa kamu?” tanya Viona sambil mengurut dada karena terkejut setelah melihat wanita di depannya langsung berteriak begitu pintu dibuka.“Oh, Eh, maaf, Bu. Saya Mala, temannya Anes. Ehm, Anes ada, Bu?” tanya Mala balik sambil mengusap tengkuk karena jengah telah membuat wanita tua di depannya sangat terkejut.“Mala?”Kedua wanita beda generasi itu kompak menoleh setelah mendengar suara Aneska. “Masuk, La.”Viona berjalan lebih dulu dan duduk di sofa, sedangkan Mala menggemit lengan Aneska dan menunduk saat ikut duduk di sofa.“Oma, kenalin ini Mala. Dia sahabat Anes di kampus sejak semester satu sampai sekarang.”Mala perlahan menatap wajah Viona. Dia tersenyum canggung dan mengangguk lemah. “Sa-saya minta maaf, Bu. Tadi saya kira Anes sendirian di rumah, makanya saya langsung ngagetin. Enggak tahunya Ibu yang bukain pintu. Maaf sekali lagi.”Mala mengatupkan kedua tangan di dada melihat wajah dingin Viona. Matanya berkaca-kaca karena takut akan dimarahi oleh wanita tua itu. T
“Apa yang terjadi, Zaya? Kenapa bisa begini?” tanya Elvano dengan nada khawatir.Bukannya menjawab pertanyaan, Mazaya langsung memeluk erat tubuh Elvano begitu melihatnya datang. Tak ada kata yang terucap dari mulut wanita itu kecuali isak tangis tertahannya. Dengan lembut, Elvano mengusap punggung wanita itu dan mengecup kepalanya. “Katakan apa yang terjadi, Zaya? Siapa yang telah membuatmu begini?”“A-ayahku ....”Elvano melerai pelukan dan menelisik wajah Mazaya. “Bisma Pradipta?”Melihat Mazaya mengangguk, Elvano menghela napas panjang sebelum kembali merengkuhnya dalam dekapan. Pria itu bungkam dan memberi kekuatan lewat sentuhan di punggung Mazaya.Usai tangisannya reda, Mazaya melerai pelukan dan menghapus air matanya. Dia menatap lekat pria yang duduk di tepi brankar sebelum meraih jemari dan menggenggamnya erat.“Makasih, Mas. Maaf kalau aku enggak bisa nepatin janji.”“Lupakan soal itu, Zaya. Yang penting kamu sudah tidak apa-apa sekarang. Sebenarnya apa yang sudah