Share

5. Tidak Dianggap

“Kalau kamu mencintainya, kenapa mau menikahi aku, Mas?”

“Mazaya terlalu sibuk dengan kariernya, sedangkan aku butuh istri dalam waktu cepat. Saat ada yang menawarkan anak gadisnya, salahkah kalau aku menerimanya?"

Aneska menelan ludah yang terasa kelat di tenggorokan. Impian bisa membina rumah tangga bahagia seperti pasangan pengantin baru lainnya pupus sudah. Lelaki yang diharapkan bisa membawanya ke lembah kenikmatan, justru menusukkan belati tepat di hatinya. Aneska terguguk sambil mencengkeram erat baju bagian depannya.

“Kenapa? Merasa tersakiti? Tapi itulah kenyataannya. Aku menikahimu hanya untuk mendapatkan hak waris dan peralihan saham The Golden Grup."

Aneska segera menyusut air matanya sebelum menoleh kepada sang suami yang menatapnya sinis. Ada begitu banyak luka yang ditorehkan pria itu, tetapi Aneska meyakinkan diri bahwa semua itu hanya sementara. Elvano pasti akan berubah seiring berjalannya waktu. Ya, dia hanya perlu bersabar dan bertahan.

“Apakah setelah mendapatkan tujuanmu, kamu akan membuangku, Mas?"

"Tergantung. Tapi, sepertinya Mazaya akan sangat keberatan. Jadi ...."

Aneska kembali menunduk dalam sambil meremas ujung baju bagian depannya. Sementara itu, Elvano menyeringai dan segera melajukan mobil kembali menuju salah satu butik ternama langganan keluarga besarnya.

“Dandani dia! Jangan sampai mengecewakanku!” titah Elvano kepada pemilik butik. Lalu, mengempaskan kasar tubuhnya ke kursi dan mengeluarkan ponsel.

Aneska menekuk wajah saat melihat sang suami yang tersenyum sambil menatap lekat layar ponselnya. Hatinya berdenyut nyeri karena senyum bahagia itu hanya hadir untuk Mazaya, sedangkan di depannya, Elvano hanya menunjukkan raut wajah penuh kebencian.

Tak berselang lama, Aneska telah selesai didandani. Dia tersenyum lebar sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Lalu, berputar sekali sebelum mendekati sang suami.

“Bagaimana, Mas? Kamu suka enggak?”

“Ck, kalau dasarnya jelek, mau didandani kayak apa pun tetap jelek!”

Elvano segera bangkit dan memasukkan ponsel ke saku jas sebelum berjalan menuju mobil. Sementara, Aneska bergeming sesaat untuk menetralisir gelebah dalam dada. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menyusul sang suami. Hening kembali meningkahi keduanya hingga sampai di kediaman Abraham.

Untuk sesaat, Aneska dibuat takjub dengan bangunan megah di depannya. Dua pilar besar dan tinggi hingga sepuluh meter, kokoh menopang bangunan dengan warna dominan putih itu. Lalu, anak tangga di depan dengan lantai granit hitam menambah kesan mewah yang tercipta.

“Jangan membuka mulut kalau tidak ditanya!”

Titah yang dilontarkan Elvano dengan suara baritonnya berhasil menarik perhatian Aneska. Dia mengangguk lemah sebelum menatap lengan sang suami yang terulur di depannya. Melihat sang istri bergeming, Elvano menarik paksa tangan Aneska dan melingkarkan di lengannya.

Suara riuh langsung menyambut kedatangan pasangan Aneska dan Elvano. Seluruh keluarga besar Abraham berkumpul di ruang tamu, dan yang membuat wanita itu bahagia adalah sikap sang suami yang berubah seratus delapan puluh derajat.

Usai acara kumpul keluarga untuk merayakan ulang tahun Abraham, Aneska dan Elvano kembali ke rumah. Sikap pria itu kembali ke mode semula, dingin dan benci melihat Aneska.

“Turun!” titah Elvano setelah menghentikan mobil di depan taman kota.

“Buat apa, Mas? Kita, kan, belum sampai di rumah? Lagi pula ini sudah malam banget. Aku takut, Mas.”

“Cepat turun! Mazaya sudah menungguku.”

Mau tidak mau Aneska membuka pintu mobil dan turun. Baru menutup pintu, mobil yang dikendarai Elvano melesat meninggalkannya. Aneska celingukan sebelum mendekap erat tubuhnya yang hanya mengenakan gaun hitam dengan lengan terbuka. Dingin yang menyergap membuat tubuhnya menggigil kedinginan.

Tepat jam sebelas malam, Aneska baru sampai di rumah. Dia langsung menuju kamar dan membuka baju serta menghapus riasan sebelum mengguyur tubuh di bawah shower. Air dingin langsung membasahi tubuh dan sejenak menenangkan hatinya yang memanas. Usai mandi dan berpakaian, gadis itu merebah dan segera memejamkan mata.

Keesokan harinya, Aneska terjaga setelah mendengar alarm berbunyi. Dia bergegas membasuh muka dan beranjak ke dapur untuk membuat sarapan. Roti lapis isi dengan segelas susu hangat terhidang di meja. Melihat Elvano tak kunjung turun, dia berinisiatif untuk menyambangi kamarnya.

“Mas, bangun. Sudah siang, Mas. Takut kamu telat ke kantornya.” Aneska mengetuk pintu, tetapi tak ada sahutan dari dalam. Dia memberanikan diri untuk memutar gagang pintu dan terbuka. “Mas, aku masuk, ya?”

Aneska menggeleng lemah melihat sang suami tertelungkup dengan masih mengenakan pakaian lengkap dan sepatu. Dia segera membuka gorden, kemudian mengguncang tubuh pria itu.

“Mas, bangun. Sudah siang ini, takut nanti telat.”

“Aaargh! Dasar pengganggu!” rutuk Elvano sambil memukul kasur karena geram dibangunkan. Dia langsung turun dari ranjang dan mencengkeram erat lengan Aneska. “Siapa yang menyuruhmu masuk kamarku? Tak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?"

Elvano menyentak kasar lengan Aneska hingga terhuyung. Lalu, beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sepeninggal sang suami, gadis itu menghela napas panjang dan segera merapikan kasur sebelum beranjak untuk mengambilkan baju untuk Elvano. Dia mengulas senyum getir sebelum memutuskan untuk turun ke meja makan.

“Mas, boleh aku masuk kuliah hari ini?” tanya Aneska usai beberapa jenak hening di meja makan. “Aku sudah libur tiga hari, takut kuliahku terbengkalai. Tapi, kamu tenang saja. Aku akan membagi waktu an—“

“Lakukan apa yang kamu mau, asal jangan menggangguku."

Elvano bergegas menenggak susu sebelum beranjak meninggalkan Aneska yang masih terkejut dengan ucapannya. Dia tidak peduli selama tidak mengganggu waktunya untuk bertemu Mazaya. Sementara itu, Aneska kembali menghela napas panjang sebelum menyuap nasi dengan lauk daging bulgogi. Dia mengunyah makanan dengan senyum getir yang tersemat di bibir serta lelehan air mata yang membasahi pipi.

“Enggak. Aku enggak boleh nangis lagi. Aku harus sabar menghadapi Mas Elvano, karena aku yakin dia pasti bisa berubah mencintaiku nantinya. Jadi, aku harus bertahan sekarang.”

Aneska segera memberesi meja makan dan membersihkan rumah. Lalu, mandi dan bersiap untuk ke kampus. Namun, langkahnya terhenti ketika membuka pintu dan melihat sang suami mengikis jarak.

“Kok, balik lagi, Mas? Ada apa? Apa ada yang ketinggalan?”

Alih-alih menjawab pertanyaan Aneska, Elvano justru memberi perintah sambil berjalan menuju kamar.

“Siapkan bajuku, aku akan keluar kota tiga hari!”

“Mendadak sekali, Mas.”

“Siapkan saja bajuku! Aku harus mengejar pesawat satu jam lagi!”

Aneska mengembuskan napas panjang sebelum ikut masuk ke kamar dan mengambil koper. Lalu, memasukkan beberapa potong baju serta perlengkapan yang akan dibawa pergi.

“Lelet! Aku harus pergi sekarang juga!” rutuk Elvano sambil menyambar koper dari tangan Aneska dan bergegas menuruni tangga.

Tak berselang lama, deru mobil kembali terdengar meninggalkan pekarangan. Sesaat, Aneska bergeming di ambang pintu dan menatap hampa pagar rumah yang terbuka lebar. Dadanya kembali berdentam lara melihat sikap sang suami yang memilih pergi begitu saja.

“Mau sampai kapan kita begini, Mas? Aku tahu kamu sama sekali tak mencintaiku, tetapi apa tak ada sedikit pun arti hadirku di sisimu?”

Aneska menghela napas panjang. Mendadak kepalanya berdenyut nyeri sehingga memutuskan untuk duduk sejenak di ruang tamu. Dia memijat pangkal hidung sambil memejamkan mata sebelum kembali membuka mata karena mendengar notifikasi pesan masuk. Dia merogoh saku celana untuk mengambil ponsel dan membuka layarnya. Lalu, matanya membeliak sempurna membaca pesan yang dikirimkan oleh Elvano.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Veni N
terlalu naif ceritanya, sdh tau perjanjian awalnya knp berharap banyak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status