Share

4. Cinta Pertama Elvano

“Ada hubungan apa kamu sama dia, Mas?”

Elvano tak menggubris ucapan Aneska. Dia meneruskan langkah sambil memapah wanita yang memakai dres di bawah lutut berwarna ungu muda. Wanita itu tampak pucat dan berjalan sambil memegang perutnya. Merasa diabaikan, Aneska mencekal lengan suaminya.

“Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas? Dia siapa?”

“Apa penting sekarang aku jawab pertanyaanmu? Dia sedang kesakitan.”

“Tapi aku berhak tahu, Mas. Aku ini istrimu.”

Elvano menggeram kesal sebelum menepis kasar tangan Aneska. Lalu, meneruskan langkah sambil memapah wanita dengan rambut sepunggung itu. Sekilas, Aneska bisa melihat tatapan penuh kemenangan yang diperlihat wanita itu saat berbelok sebelum menghilang di balik pintu kaca.

Aneska menjerit dalam hati karena sakit melihat sikap sang suami yang begitu mengkhawatirkan wanita lain. Apakah dia juga bisa merasakan hal itu mengingat semua perkataan dan sikap Elvano yang begitu dingin, bahkan sudah ditunjukkan sejak pertama kali menikahinya. Aneska menggeleng lemah sebelum membawa langkah untuk menemui Andi.

“Bagaimana kondisi papa saya, Dok?” tanya Aneska begitu bertemu dokter yang memeriksa Andi.

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Hari ini juga langsung bisa pulang.”

Usai mengurus administrasi Andi, Aneska mengantarnya hingga sampai di rumah. Melihat ada mendung di wajah sang anak, pria yang masih tampak pucat itu membuka mulut.

“Kamu enggak apa-apa, Nes? Papa lihat kamu murung sejak meninggalkan rumah sakit.”

“Enggak ada apa-apa, Pa. Aku cuma merasa sedikit pusing, mungkin karena kurang tidur semalam.”

“Biasalah itu buat pengantin baru. Papa juga pernah merasakannya.” Andi mengerling kepada sang anak sambil tersenyum penuh arti.

Aneska tersenyum getir menanggapi ucapan sang ayah. Sebisa mungkin dia akan menyembunyikan kehidupan pernikahannya yang kelam dari siapa pun. Mereka hanya perlu tahu kalau dia bahagia bersama Elvano.

Hening meningkahi kedua ayah dan anak itu. Hanya suara detik jarum jam yang terdengar memenuhi ruangan hingga suara bas Andi terdengar menyapa rungu.

“Maafkan Papa harus melibatkanmu dalam kasus Papa, Nes. Papa khilaf waktu itu karena Mama butuh biaya besar selama pengobatan, tapi Papa enggak tahu harus cari uangnya di mana dalam waktu singkat.”

Aneska hanya mengangguk lemah menanggapi ucapan sang ayah. Memang selama sang ibu sakit, keuangan keluarga sedang terpuruk. Namun, Andi selalu saja bisa mendapatkan uang untuk membiayai pengobatan istrinya. Ada rasa penasaran dalam diri gadis itu, tetapi tak sanggup untuk bertanya kepada sang ayah.

Hening meningkahi keduanya. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing sampai suara Aneska terdengar memecah kesunyian.

“Ehm, Papa mau makan? Biar aku buatkan dulu, abis itu minum obat biar Papa cepat sembuh, ya?”

Aneska bergegas bangkit dari duduk dan beranjak ke dapur. Dia mulai mengolah bahan makanan yang ditemukan di lemari pendingin sebelum menghidangkannya kepada sang ayah yang menunggu di kamar.

“Bihun goreng sama mendoan siap dinikmati,” ucap Aneska semringah sambil mengangsurkan nampan di pangkuan Andi.

“Wah, sudah lama Papa enggak makan ini, Nes. Jadi kangen Mama rasanya.”

Aneska tersenyum getir dengan mata yang mengembun. Bayangan tentang malaikat tak bersayap yang selalu memeluknya sebelum tertidur kembali hadir di pelupuk mata. Namun, tak ingin membuat suasana bertambah haru, dia mengulas senyum lebar dan mengusap bahu Andi.

“Papa buruan makan terus minum obat. Aku keluar dulu, Pa.”

“Nes ....”

Aneska menoleh dan kembali tersenyum. “Iya, Pa?”

“Kamu bahagia menikah dengan Elvano?”

“Bahagia, Pa. Aku sangat bahagia bisa bertemu dan menikah dengan Mas Elvan. Papa jangan khawatir lagi sekarang karena aku sudah ada yang menjaga.”

“Syukurlah. Papa bisa tenang sekarang. Satu pesan Papa sama kamu, Nes. Bagaimanapun Elvano itu sekarang adalah suami kamu. Jadi, kamu harus berbakti dan menurut padanya, maka Papa akan ringan untuk melepasmu padanya.”

Aneska segera beranjak keluar kamar dan mengempaskan tubuh di teras. Dia menghela napas panjang saat mengingat bayangan tentang Elvano dengan wanita yang ditemuinya di rumah sakit.

“Siapa dia, ya? Sepertinya tak asing.” Aneska bermonolog sambil menatap langit dengan gumpalan awan yang berarak pergi.

Sekejap mata bayangan tentang sosok wanita yang datang di hari pernikahannya dengan Elvano tempo hari menyeruak. Wanita yang memakai gaun hitam, tampak sempurna membungkus tubuhnya yang sintal. Dia cantik dan berhasil mengalihkan perhatian sang suami saat berhadapan dengannya.

Dari semua yang diingat Aneska pada sosok itu adalah matanya yang sangat mendamba Elvano. Mata yang memerah karena menahan tangis itu sesaat menatap bawah sebelum setetes air matanya luruh. Tangan sang suami sudah terulur untuk mengusap bulir bening itu, tetapi sang wanita segera berlalu.

“Ya, dialah wanita itu. Tapi, ada hubungan apa Mas Elvano sama dia?”

Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam dada Aneska. Dia meraup oksigen dengan rakus untuk memenuhi rongga dada yang terasa menyempit. Namun, belum sempat menetralisir gelebah dalam dada, ponsel yang diletakkannya di meja ruang tamu berdering.

“Iya, Mas,” ucap Aneska begitu menjawab panggilan dari Elvano.

“Kamu di mana?”

“Aku lagi di rumah Papa, Mas. Darah tinggi Papa kambuh, tadi sudah sempat berobat. Tapi, aku enggak tega ninggalin Papa sendirian di—“

Telepon terputus. Aneska menggeram kesal sebelum terduduk lemas di kursi tamu. Dia menatap hampa layar ponsel yang menggelap sebelum mengembuskan napas kasar. Lalu, membawa langkahnya menuju kamar. Namun, gerakannya pada gagang pintu terhenti ketika mendengar deru mobil yang memasuki pekarangan rumah.

Aneska menoleh dan bergegas berjalan ke pintu begitu mendengar suara suaminya. Matanya membeliak sempurna melihat pria yang berhasil menggoreskan luka tadi, sudah berdiri di depannya.

“Mas mau jemput aku?”

“Terpaksa! Karena acara ini mewajibkan kita pergi bersama."

Senyum semringah yang sejak tadi tersumir di bibir Aneska, mendadak lesap mendengar ucapan sang suami.

“Memangnya ada acara apa, Mas?”

“Ulang tahun Papi."

Elvano bergegas berbalik dan melangkah menuju mobil. Dia membunyikan klakson berulang kali karena kesal melihat Aneska tak kunjung beranjak.

Aneska segera tersadar dan berlari ke dalam untuk berpamitan kepada Andi, lalu menyambar tas selempang dan setengah berlari menuju mobil. Setelahnya, mobil bergerak perlahan meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, hanya hening yang meningkahi keduanya. Aneska menunduk sambil memainkan jemarinya, sedangkan Elvano menatap jalanan.

Tepat saat itulah ponsel Elvano berdering nyaring. Dia bergegas menjawab panggilan setelah menepikan mobil.

“Iya, nanti aku mampir setelah acara. Hem, terpaksa aku mengajaknya karena permintaan Papi. Kamu jangan cemburu, ya? Bagaimanapun, kamu tetaplah yang utama.”

Elvano melirik sekilas sang istri yang menunduk dalam sambil meremas baju bagian depannya. Dia menyeringai dan kembali meletakkan ponsel ke saku jas. Sementara, Aneska tak mampu lagi menahan sesak yang terus membebat dada. Dia sakit saat melihat suaminya justru bersikap lemah lembut kepada wanita lain.

“Kenapa? Cemburu?” tanya Elvano sambil menelisik gadis di sampingnya. “Aku mengenalnya lebih dulu daripada kamu!”

“Siapa dia, Mas?” tanya Aneska balik sambil menatap Elvano dengan mata berkabut karena dipenuhi air mata.

“Dia Mazaya, cinta pertamaku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status