Share

BAB 4

Note: Penyebutan tokoh Kalyna sekarang telah berubah menjadi Kaluna.

Kaluna melirik Edgar dan Liliana yang kini duduk di kursi samping ranjang. Kursi itu memang cukup panjang dan muat untuk diduduki dua orang. Tapi karena postur tubuh Edgar cukup kekar, mereka tampak duduk menempel layaknya perangko dan kertas, rapat sekali.

Kaluna tidak bisa mengelak bahwa pemandangan di sampingnya sedikit membuat jengah.

Please deh, itu di sisi ranjang seberang masih ada satu kursi single satu. Kenapa pula dua-duanya harus duduk di sana.

Kaluna melemparkan pandangan tidak nyaman pada kedekatan Edgar dan Liliana.

Meskipun jiwanya telah berganti, tapi sepertinya perasaan jiwa Kaluna yang asli masih banyak tertinggal, itu mengapa ia merasa tidak senang dengan kedekatan keduanya.

Edgar sepertinya menyadari tatapan Kaluna dan memutuskan untuk pindah ke kursi di sisi lain ranjang. Mengamati ekspresi wajah Kaluna yang berangsur tenang, Edgar mulai berbicara.

“Lili bilang ingin menjengukmu, jadi kubawa dia ke sini selepas kelasnya selesai,” katanya tenang.

Alih-alih menanggapi perkataan Edgar, Kaluna menatap wajah gugup Liliana di sisi kirinya. Tangan gadis itu meremas-remas gagang keranjang buah yang dibawanya sambil sesekali mencuri pandang.

“Em, anu… Kak Luna, ini aku bawa buah-buahan buat Kakak,” Liliana menyodorkan keranjang buah itu.

“Aku pilih sendiri semua buahnya, soalnya aku tau Kak Luna nggak suka makan buah yang nggak bagus atau berkualitas. Tapi maaf, ya Kak, kalau buahnya nggak sesuai selera Kakak, aku cuma bisa beli di toko buah kecil pinggir jalan tadi, bukan di supermarket.”

Ya? Gimana-gimana? Ini anak ngomong apa, sih?

Kaluna masih menatap Liliana, kali ini dengan pandangan heran. Dibiarkannya tangan gadis itu menggantung membawa keranjang buah yang berat.

Edgar yang melihatnya hanya menghela napas dan mengambil alih keranjang buah Liliana untuk diletakkan di meja nakas samping ranjang.

“Kamu harus belajar menghargai apa yang telah diberikan orang lain, Luna,” ujarnya setelah menghela nafas.

“Apalagi Liliana sudah susah payah memilihkannya untukmu,” lanjutnya.

Kaluna makin dibuat heran, perasaan dari tadi dirinya diam saja, kenapa jadi seolah-olah ia habis melakukan kesalahan?

Kaluna menatap Liliana dan Edgar bergantian. Sesungguhnya ia merasa sangat canggung karena baginya ini pertama kali mereka bertiga bertatap muka dan berbincang. Kaluna tidak tahu harus menunjukkan sikap seperti apa.

Kalau sekarang Kaluna asli yang ada di sini, mungkin perempuan itu sudah mengamuk dan mengusir Liliana. Tapi ini Kalyna, ia tidak merasakan dorongan untuk melakukan hal-hal jahat pada mahasiswi Edgar itu.

“Sejak kapan mereka tertidur?” suara Edgar lagi-lagi memecah keheningan karena Kaluna tetap pada sikap diamnya.

“Kayaknya udah dari satu jam yang lalu,” kali ini Kaluna menjawab dengan suaranya yang setipis tisu.

Sepertinya ia butuh minum, tadi dirinya berbincang cukup banyak dengan Damian dan sekarang kerongkongannya baru terasa kering.

Sebelum Kaluna meraih gelas yang tersedia di atas nakas, Edgar mendahuluinya, mengisi gelas kosong itu sampai setengah penuh dan memberikannya pada Kaluna. Setelah menggumamkan terima kasih Kaluna meminum air putih di gelas sampai habis dan meletakkannya kembali di meja nakas.

Ya Tuhan, ini super canggung! Tolong siapa pun, datang dan alihkan perhatian mereka dari aku. Dokter Rahadiii… di mana dirimuuu.

Kaluna benar-benar mati kutu saat tidak ada yang memulai percakapan di antara mereka bertiga. Semua orang hanya saling menatap dan melirik satu sama lain.

Cari topik, Kaluna, cari topik! Ayolah, apa yang bisa kubicarakan? Harga saham? Galeri seni?

Di tengah dialog batinnya, mata Kaluna menangkap pergerakan Lavanya yang mulai terbangun dari tidurnya. Gadis kecil itu terduduk dengan wajah mengantuk, kepalanya menoleh berkeliling ruangan. Tak lama ia mulai merengek saat melihat sosok familiar yang tak jauh dari tempat tidur.

“Papaaa,” Lavanya turun dari ranjang dan berjalan sempoyongan menuju sang Papa. Edgar yang mengetahui anaknya sudah bangun membalikkan badan untuk menyambut Lavanya dalam gendongan.

Gadis kecil itu menyandarkan kepalanya sejenak pada pundak papanya sebelum kemudian memandang wajah Kaluna yang juga menatapnya penuh terima kasih.

“Mamiii, peyuk,” Lavanya mulai meronta dari gendongan Edgar, meminta untuk diturunkan pada pangkuan Kaluna.

“Mamiii,” ia mulai menjerit kecil saat dirasa Edgar tidak akan menuruti kemauannya.

“Adek, Mami masih sakit, belum bisa peluk-peluk sekarang,” Edgar mulai kewalahan dengan sang anak yang terus memberontak ingin turun.

Merasa kasihan melihat wajah Lavanya yang mulai memerah dan siap menangis, Kaluna mengulurkan tangan kirinya yang tidak diinfus.

“Nggak apa, kalau peluk di sebelah kiri ini aku masih bisa. Sini, Adek,” katanya.

Edgar menyerah dan menurunkan Lavanya di sisi sebelah kiri Kaluna. Anaknya itu langsung mendusel pada badan Kaluna dengan nyaman dan mendapat usapan lembut di kepalanya. Kaluna sedikit membungkuk untuk mengecup puncak kepala Lavanya dan anak itu semakin mengeratkan pelukannya.

“Abang juga mau peluk Mami, Pa,” Damian tiba-tiba saja sudah berada di samping Edgar, menatap Kaluna dan Lavanya yang sedang berpelukan penuh harap.

Hendak melarang, tapi Edgar melihat anaknya begitu rindu pada Kaluna, ia tertegun selama beberapa saat. Apakah anak-anaknya selalu sedekat ini dengan Kaluna?

“Sini, Abang juga peluk Mami dari sini,” Kaluna merentangkan tangan kirinya, membuat Damian bergegas pergi ke sisi kiri ranjang. Lili yang menempati kursi di sisi itu terpaksa berdiri dan mundur beberapa langkah agar Damian memiliki ruang untuk lewat.

Damian dengan gembira masuk dalam rangkulan Kaluna, badannya yang belum begitu tinggi merapat ke pinggir ranjang, mencoba memeluk Kaluna dan adiknya sebisa mungkin. Ia bisa merasakan kepalanya yang diusap dan dikecup lembut, membuatnya seketika begitu nyaman.

Di lain sisi, Liliana melihat pemandangan itu dengan sorot iri. Wajah cantiknya yang semula memancarkan aura lembut dan lugu seketika berubah datar dan dingin. Tangannya meremas rok dengan kuat, dan semua itu tertangkap dalam pandangan Kaluna.

Sementara itu, Edgar melihat anak-anaknya yang memeluk Kaluna dengan perasaan gamang. Pria itu baru mengetahui jika anak lelakinya memiliki sisi manja yang ditunjukkan di depan Kaluna.

Sejauh ini, Damian tidak pernah meminta untuk dipeluk oleh orang lain, pada dirinya, pengasuhnya, atau pada Liliana sekalipun. Padahal Edgar menganggap Liliana dan anak-anaknya cukup akrab karena gadis itu tak jarang mengunjungi rumahnya.

Dan lagi, Edgar tidak menyangka jika Kaluna dapat menunjukkan wajah selembut itu. Wajah yang penuh kasih sayang tulus dan keteduhan. Sama seperti… wajah Elvina.

Selesai dengan acara berpelukan, Edgar mengantar Liliana untuk pulang. Ia juga memesankan anak-anaknya beberapa jenis makanan karena hari sudah mulai petang.

Kaluna menghabiskan sorenya untuk menemani Damian dan Lavanya memakan makan malam sambil mendengarkan cerita mereka selama dirinya dirawat di rumah sakit. Pukul tujuh malam, dua orang pengasuh Damian dan Lavanya datang untuk menjemput mereka.

Selepas itu, Kaluna langsung terlelap karena merasa begitu kelelahan. Banyak hal yang terjadi padanya hari ini, otaknya tidak berhenti berpikir keras sejak tadi siang, belum lagi kedatangan Edgar bersama Liliana yang membuatnya tidak nyaman.

Saat tidur, Kaluna merasa tenggelam pada mimpinya dengan begitu dalam, sampai-sampai tidak menyadari bahwa seseorang kembali mengunjungi kamar inapnya dan mengamati wajahnya dalam diam nyaris semalaman.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status