Share

BAB 5

Sudah beberapa hari terlewat dari kunjungan kejutan Damian, Lavanya, Edgar, juga Liliana. Kaluna berdoa agar Liliana tidak lagi memiliki niatan untuk menjenguknya karena ia belum merasa siap berhadapan lagi dengan sang tokoh utama.

Kedatangan Liliana bersama Edgar waktu itu meninggalkan perasaan tidak nyaman yang cukup mengganggu. Kaluna tahu kalau jiwanya tidak pernah mengenal sosok Liliana sejauh jiwa asli yang selama ini berperan dalam melakukan segala tindakannya pada mahasiswi Edgar itu.

Meskipun begitu, Kaluna terus-terusan merasakan ujung jari-jarinya terasa gatal untuk meremas sesuatu saat bayangan wajah lugu Liliana tidak sengaja terlintas di benaknya.

Hari ini, Kaluna membuat otaknya bekerja keras untuk memikirkan seluruh fakta yang sejauh ini berhasil ia dapatkan. Wanita muda itu mencoba mencari tahu sampai mana alur cerita komik

Lily Princess” ini sudah berlangsung melalui orang-orang di sekitarnya.

Sejauh ini semua informasi yang didapat Kaluna dari dokter dan para perawat yang rutin mengunjungi kamarnya untuk pemeriksaan rutin tidak begitu berguna. Hal-hal yang mereka bicarakan hanya seputar proses kesembuhan Kaluna, atau hanya sekedar gosip-gosip artis tanah air yang tidak diketahui sama sekali namanya oleh Kaluna.

Ia semakin yakin kalau dunia ini bukanlah dunianya yang dulu karena tidak satupun nama artis yang disebut oleh para perawat yang terkadang berbincang dengannya terdengar familiar. Bahkan nama presiden dan wakil presiden di dunai ini juga berbeda. Padahal jelas-jelas Kaluna menempati negara yang sama-sama bernama Indonesia dengan kota Jakarta sebagai pusat pemerintahannya.

Saat mencoba mencari informasi dari berita-berita televisi, acara infotainment siang hari, maupun tayangan sinetron harian yang setiap hari tayang, Kaluna selalu mendapatkan informasi baru yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan alur cerita komik.

Seperti hari ini, Kaluna sedari pagi sudah rajin membaca puluhan koran, majalah bisnis, dan tabloid fashion yang dimintanya dari para perawat, sampai otaknya terasa berasap. Satu-dua artikel tentang Edgar berhasil ia dapatkan.

Di sana dibahas secara singkat profil sang direktur muda pemilik kekuasaan tertinggi seluruh bisnis keluarga Mahawira. Kemudian sebagian besar isi artikel memuat pandangan Edgar tentang dunia bisnis, dan sisanya yang tak seberapa membahas posisinya sebagai dosen tamu di salah satu universitas swasta.

Semua informasi itu terasa sia-sia karena Kaluna sudah mengetahui semuanya melalui cerita komik

saat tokoh Edgar pertama kali dikenalkan pada para pembaca.

Kaluna menutup harinya dengan kelada pening dan tubuh lelah karena terlalu banyak melihat deretan huruf yang tidak menguntungkannya. Ia menggerutu sebelum tidur karena tidak menemukan segala macam gadget di kamarnya selama ia menetap di sana.

Tidak ada laptop, tablet, maupun ponsel yang dapat ia temukan. Sepertinya benda-benda itu disimpan oleh Edgar di suatu tempat. Jadi mau sampai Kaluna kayang untuk menemukan benda-benda tersebut, wujudnya tidak akan pernah muncul di sudut mata.

Kaluna memutuskan untuk tidur setelah dirasa kepalanya semakin berat dan pundaknya pegal luar biasa. Ia merapikan tumpukan koran dan majalah yang berserakan di ranjang dan meletakkannya di lantai.

Biar saja koran-koran dan majalah itu tidak tertumpuk dengan rapi. Kaluna sudah tidak sabar untuk melepas letihnya dan bermesraan bersama bantal juga selimut.

**

Kaluna merasa kedinginan dan ingin buang air kecil. Ia membuka matanya yang terasa berat dan mendapati ruangannya terasa remang-remang dengan cahaya yang redup. Sepertinya sudah tengah malam.

Dengan perlahan, Kaluna turun dari ranjang dan meraih tiang infusnya. Ia melupakan tulang kakinya yang retak dan nyaris terjatuh ketika seseorang menangkap bahunya dengan cepat. Kaluna meringis, merasakan kakinya yang belum sembuh total berdenyut nyeri.

Menyadari ada orang lain selain dirinya di ruangan itu, Kaluna buru-buru mendongak untuk melihat siapa pahlawan tengah malam yang menolongnya. Dan Kaluna bukan hanya terkejut, tetapi ia juga merasa heran, saat mendapati sosok tinggi Edgar menyangga pundaknya dengan ekspresi keras.

Sedang apa pria itu di sini tengah malam begini?

“Ceroboh,” suara Edgar yang dingin dan rendah membuat Kaluna merinding.

Kemudian tanpa kata pria itu mendudukkan Kaluna pada kursi roda, yang sebelumnya keberadaannya tidak disadari oleh wanita itu, dan mulai mendorongnya menuju kamar mandi.

Kaluna merasa begitu malu saat Edgar membantunya untuk membuka tutup kloset duduk dan menggendongnya untuk berpindah tempat. Wajah Kaluna sudah sangat merah, ia menunduk dalam sambil meremas ujung baju tidur pasiennya.

“Aku bisa sendiri,” kata Kaluna pelan.

Edgar yang mendengar perkataan wanita itu karena jarak mereka masih cukup dekat hanya menghela nafas. Pria itu kemudian meninggalkan kamar mandi, membiarkan Kaluna menyelesaikan urusannya.

Di dalam kamar mandi, sambil menyelesaikan panggilan alamnya, Kaluna sibuk menggerutu pada diri sendiri.

“Mampus, malu banget! Astagaaa, boleh nggak sih, aku ikutan kesedot ke dalam kloset?” Kaluna terus mendumal dan mengacak rambutnya dengan tangan kiri.

Dirinya tidak sadar bahwa suaranya cukup keras untuk didengar Edgar yang menunggu di samping pintu kamar mandi. Pria itu mendengus geli, tidak menyangka jika Kaluna bisa menggerutu sedemikian rupa.

Kaluna selesai dengan urusannya dan berusaha untuk meraih kursi rodanya mendekat. Ia mencoba menumpu badannya dengan satu tangan pada lengan kursi. Baru saja berdiri dan hendak memindahkan badannya, kursi roda itu tiba-tiba bergerak mundur. Kaluna yang tidak siap ikut tertarik dan tergelincir.

BRAKK.

“KALUNA!” suara Edgar menggelegar bersamaan dengan pintu kamar mandi yang dibuka kasar.

Pria itu masuk secepat kilat saat mendengar suara gaduh dari dalam. Dilihatnya Kaluna dengan posisi setengah berbaring di lantai kamar mandi, tiang infusnya terjatuh menimpa kursi roda dengan posisi miring, sedangkan tangan kanan wanita itu sudah bersimbah darah karena selang infusnya tercabut.

Kaluna memandang wajah keras Edgar dengan ngeri. Tampak sekali kemarahan pada kedua mata pria itu. Ketakutannya melihat sosok mengerikan Edgar mengalahkan sakit di sekujur tubuhnya karena terjatuh.

"A-aku, bis-saaa," suara terbata Kaluna tercekat di tenggorokan saat Edgar menggendongnya dan membawanya kembali ke tempat tidur. Edgar lalu memanggil perawat melalui tombol darurat untuk membereskan kekacauan yang ada.

Kaluna mengamati kelakuan Edgar dalam diam. Ia merasa takut tapi juga bersalah. Ia bisa melihat sedikit kekhawatiran dan kekalutan dalam mata Edgar, meski tetap saja dominasi amarahnya lebih kuat.

Sambil menunggu perawat datang, Edgar membalut luka akibat selang infus di tangan Kaluna dengan sapu tangannya, mencoba menghentikan darah yang terus keluar.

“Demi Tuhan, Kaluna,” Edgar menatap Kaluna tajam, membuat wanita itu makin menciut takut.

“Tidak bisakah kau…” Edgar mendesah frustasi, sepertinya tidak sanggup melanjutkan kalimatnya karena terlalu emosi dengan hal-hal ceroboh yang dilakukan oleh Kalun sepuluh menit belakangan.

Mulai dari nyaris terjatuh saat akan pergi ke kamar mandi, sampai akhirnya benar-benar terjatuh saat akan meninggalkan kamar mandi. Edgar benar-benar tak habis pikir.

Tiga orang perawat yang sudah tak asing bagi Kaluna akhirnya datang dengan perlengkapan yang dibutuhkan. Kaluna bisa bernapas dengan benar saat Edgar memberikan ruang bagi para perawat untuk menanganinya. Meskipun begitu, Kaluna bisa merasakan tatapan tajam Edgar masih terus mengawasi gerak-geriknya.

Seorang perawat memberinya obat anti nyeri dan mengatakan kalau kondisinya baik-baik saja, tidak ada luka tambahan selain karena selang infus yang terlepas.

“Mungkin ada baiknya ada seseorang yang membantu menemani Ibu Kaluna sampai sehat dan diperbolehkan pulang, Pak Edgar. Dengan begitu ke depannya diharapkan tidak akan terjadi kejadian seperti ini lagi,” seorang perawat menyarankan sebelum pamit undur diri.

Mendapat saran begitu, Edgar langsung mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. “Siapkan seseorang untuk merawat Kaluna selama di rumah sakit, prioritaskan yang sudah berpengalaman. Saya tunggu kedatangannya besok pagi.”

Edgar bahkan tidak repot-repot mengucapkan salam dan menunggu jawaban orang di dihubunginya, ia langsung mematikan sambungan setelah selesai berbicara.

Kaluna hanya bisa melongo. Bisa dibayangkannya orang yang dihubungi Edgar pasti sudah asyik menyumpahi pria itu di tempatnya. Kaluna jadi sedikit merasa tak enak pada orang itu, gara-gara dirinya orang itu tidak bisa melanjutkan istirahat dan malah menjalankan perintah Edgar.

Tatapan bersalah itu ditangkap oleh Edgar, mengira jika Kaluna merasa bersalah pada dirinya.

Padahal sih, bukan.

Edgar mendekat, memperbaiki letak selimut wanita yang berhasil membuat emosinya nyaris meledak di tengah malam begini. “Istirahatlah.”

Kaluna memperhatikan sosok Edgar yang melangkah keluar kamar. Matanya terus mengikuti punggung tegap itu sampai hilang di balik pintu. Kaluna menghela nafas, benar-benar hari yang melelahkan, bahkan sampai dini hari seperti ini.

Sikap Edgar terasa baru dalam pandangan Kaluna. Pria itu, yang dalam w*****n, selalu menjaga jarak dan tidak pernah peduli pada sosok Kaluna, terlihat cukup perhatian padanya selama ia berada di rumah sakit.

Edgar memang tidak mengunjunginya setiap waktu, hari ini saja merupakan kali ketiga Edgar berkunjung ke rumah sakit. Meski tidak berkunjung, Edgar hampir setiap hari mengirimkan buah persik, yang baru diketahui Kaluna kalau itu buah kesukaannya, melalui salah satu supir pribadi keluarga Mahawira.

Pria itu juga seakan memiliki mata-mata di rumah sakit yang melaporkan segala tingkah laku Kaluna, dan jika buah persik kirimannya telah habis maka akan datang sekotak buah persik yang baru sesegera mungkin.

Malas menduga-duga dan memikirkan sikap Edgar lebih lanjut karena obat yang mulai membuatnya mengantuk, Kaluna menyamankan posisinya dan memejamkan mata. Dalam hitungan detik ia sudah terlelap.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status