Albert berdiri di sisi mobilnya, merogoh saku celana mencari kunci. Hanya kantong kosong yang dia temukan. “Ah… kuncinya tadi kutaruh di meja,” gumamnya pelan sambil menepuk dahi. Dengan langkah agak tergesa, ia berbalik menuju rumah Stefani. Namun dari jarak beberapa meter, keningnya langsung berkerut. Pintu rumah Stefani terbuka lebar. Bukan seperti saat ia tinggalkan barusan. Semakin dekat, telinganya menangkap suara samar, jeritan lirih minta tolong. Albert refleks menghentikan langkah sejenak. Jantungnya langsung berdegup kencang. Ia menoleh sekitar, tapi orang-orang di gang itu hanya melirik sekilas lalu kembali ke urusan masing-masing. Tak ada yang peduli. “Kenapa tidak ada yang perduli?!” desis Albert kesal, lalu segera mempercepat langkahnya. Begitu memasuki rumah, matanya langsung menangkap kekacauan. Gelas teh pecah di lantai, kursi kayu terguling, tirai tersibak tak beraturan. Semua tampak berbeda dari beberapa menit lalu yang rapi bersih. “Stefani!” seru Alber
Albert menyesap sedikit teh di cangkir yang disuguhkan Stefani. Rasanya… tidak biasa. Terlalu pahit, atau mungkin terlalu hambar, ia sendiri tak bisa memastikan. Tapi bukan itu yang mengusiknya. Pria itu perlahan bangkit, melangkah pelan menyusuri ruang kecil yang nyaris kosong namun bersih. Setiap sudut rumah ia perhatikan, lantai yang disapu rapi, rak sederhana yang tersusun teratur, dan aroma sabun pembersih yang samar tercium.“Tidak layak dihuni… tapi setidaknya dia rajin,” gumam Albert dalam hati. Ada sesuatu dalam kesederhanaan ini yang membuat dadanya terasa hangat sekaligus… gugup.Suara pintu kamar mandi berderit. Albert menoleh spontan, dan matanya langsung membesar.Stefani berdiri di ambang pintu, hanya berbalut handuk putih yang membungkus tubuh mungilnya. Tetes air masih mengalir dari rambutnya yang basah, membentuk garis tipis di leher jenjangnya. Gadis itu sama kagetnya, matanya membulat, tangan refleks merapatkan handuk di dadanya.“Pak Albert?!—” seru Stefani nyaris
“Kenapa… kenapa Anda lakukan ini untuk saya?”Albert menghela napas dalam, sorot matanya tampak lebih gelap dari biasanya. Tanpa sepatah kata pun, ia meraih pergelangan tangan Stefani dengan tegas namun tidak kasar, lalu menuntun gadis itu menjauh dari pelataran gedung. Stefani sempat tersentak, tetapi tatapan Albert yang dingin membuatnya tak berani melawan. “Pak… saya bisa jalan sendiri—” suara Stefani pelan tertahan di tenggorokan ketika Albert hanya menoleh sekilas, tatapannya cukup untuk membuatnya terdiam. Boby yang berdiri tak jauh memperhatikan tingkah atasannya itu dengan wajah sulit dibaca. Ada ketidaksukaan yang jelas di sorot matanya, namun ia memilih bungkam. Saat Albert membuka pintu mobil dan mempersilakan Stefani masuk, Boby maju setapak, seolah ingin protes. Albert meliriknya sambil duduk di kursi kemudi. “Selesaikan tugas yang tadi, Bob. Aku ada urusan sebentar,” ucapnya datar, sebelum melajukan mobil keluar dari pelataran. Boby mengepalkan tangan di sisinya,
"Ayo ikut kami pulang, kami sudah menjodohkan kamu dengan seseorang, dia rela membayar mahar yang banyak agar kamu mau menjadi istrinya." Robert langsung meraih pergelangan tangan Stefani dengan kasar. "Ayo ikut, jangan banyak bicara!" suaranya rendah tapi penuh amarah. Stefani meronta sekuat tenaga, napasnya memburu. "Lepaskan aku, Robert! Aku nggak mau ikut!" Pegangan Robert justru makin keras. Wajahnya mengeras, rahangnya menegang. Stefani panik, tubuhnya berusaha memutar untuk melepaskan diri, tapi sia-sia. Dalam kepanikan, gadis itu nekat membungkuk dan menggigit tangan kakaknya sekuat tenaga. "Aaargh!" Robert mengerang kesakitan dan spontan mendorong tubuh Stefani keras-keras. Gadis itu tak sempat menahan diri, tubuhnya terhuyung lalu tersungkur ke lantai pelataran yang keras. "Dasar anak nggak tahu diuntung!" Robert mengibaskan tangannya yang merah bekas gigitan, napasnya tersengal penuh emosi. "Berani-beraninya kamu melawan kakakmu sendiri!" Stefani menahan perih di te
Langkah Stefani baru saja menapaki lantai marmer mengilap lobi Williams Group ketika suara dingin memanggilnya lebih dulu. “Ikut saya, Nona Stefani.” Boby, asisten pribadi Albert yang terkenal tegas, berdiri tegak tidak jauh dari resepsionis. Tanpa basa-basi, pria itu segera melangkah menuju lift, dan Stefani terpaksa mengikutinya sambil menggenggam erat map cokelat di tangannya. Di dalam lift, suasana begitu hening hingga suara detik jarum jam di panel digital terdengar jelas. Wajah Boby terpantul di dinding logam, serius, kaku, dan dingin. Stefani menunduk, jantungnya berdetak kencang. Saat angka di panel terus naik, Boby tiba-tiba angkat bicara tanpa menoleh. “Saya sudah terlalu sering melihat sifat macam-macam wanita yang mencoba mendekati Pak Albert.” Suara itu datar, tapi mengandung peringatan yang jelas. Stefani menahan napas, menunggu kelanjutan kalimat itu. Boby melirik sekilas ke arahnya, tatapannya tajam seperti pisau. “Jangan punya niat macam-macam, Nona. Pak Albert
Pagi itu di kantornya, langkah Stefani terasa sedikit berat. Perubahan penampilannya, rambut lebih rapi, setelan yang tampak lebih berkelas, membuat beberapa pasang mata menatapnya penuh selidik. Ada yang kagum, ada pula yang berbisik-bisik, namun Stefani hanya menarik napas panjang dan pura-pura tak mendengar. Begitu sampai di lantai ruangannya, asisten Pak Danil sudah berdiri di depan pintu. “Stefani, Pak Danil minta kamu ke ruangannya sekarang.” Stefani tersenyum tipis, sekadar basa-basi, lalu mengangguk. “Baik, saya ke sana.” Jantungnya berdetak sedikit lebih kencang saat melangkah ke ruangan atasan itu. Ada firasat tidak enak, seperti biasa, jika Danil memanggil tiba-tiba, pasti ada tekanan baru. Ia mengetuk pintu pelan. “Masuk!” Suara berat Danil terdengar dari dalam. Stefani membuka pintu perlahan, melangkah dengan sopan ke hadapan pria itu. Seperti dugaan, Danil tidak membuang waktu. “Bagaimana dengan Pak Albert?” Danil langsung menatap tajam. “Kabar tentang vila itu?”