Terjerat Pesona CEO Kesepian

Terjerat Pesona CEO Kesepian

last updateLast Updated : 2025-08-20
By:  Aries grilsUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
6Chapters
10views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Stefani Sauvone, gadis berusia 21 tahun yang harus melewati lika-liku kehidupan yang rumit, sejak lulus sekolah Stefani harus melawan kerasnya dunia, hidup mandiri untuk memenuhi tuntutan keluarga. Hingga akhinya ia mulai bekerja di sebah perusahaan property, tuntutan kerja semakin membuatnya tertekan. Bahkan membuatnya harus rela melakukan segala hal yang tak pernah ia perbuat. Keaadaan itu membawa Stefani bertemu dengan Albert Wiliams, seorang laki-laki dewasa yang sudah mempunyai seorang istri. Niat awal Stefani mendekati laki-laki itu murni untuk pekerjaan, namun siapa sangka, sikap Albert Wiliams yang lemah lembut dan penuh perhatian menumbuhkan benih cinta dalam hati Stefani. Lantas bagaimanakah kisah hubungan beda usia dan status tersebut? Akankah Stefani mengubur perasaannya, atau justru semakin terjerat oleh Pesoan CEO kesepian itu!?

View More

Chapter 1

Bab 1. Tantangan

Cuaca pagi itu memang cerah, tetapi tak ada sinar yang mampu menembus mendung yang menyelimuti hati Stefani, gadis berambut panjang yang bekerja sebagai sales villa mewah. Langkahnya gontai, seakan tiap tapak menghitung mundur detik-detik keputusasaan yang menari dalam benaknya.

Stefani memasuki gedung megah tempat ia bekerja, sebuah konstruksi batu yang terasa seperti penjara bagi ambisinya yang layu. Bibirnya masih dapat menyunggingkan senyum, semburat merah muda yang dipaksakan sebagai topeng profesionalisme.

Dengan kepala tertunduk, ia memberikan sapaan hormat kepada para senior, yang hanya membalasnya dengan lirikan sepi, seperti ombak yang enggan menyapa pantai.

"Selamat pagi, Bu," gumamnya lembut, suara yang tenggelam dalam hiruk pikuk pagi.

Stefani menarik napas dalam, merasa tercekik oleh label "hanya seorang sales" yang terasa makin menggenggam erat statusnya. Tangannya yang halus menekan tombol lift, sebuah simbol lain dari naik turunnya harapan yang makin lama makin memudar. Ah, betapa pahitnya nasib yang terjebak dalam siklus yang monoton dan tanpa pengakuan.

Pintu lift sempat tertahan sebelum berhasil tertutup sempurna, namun tiba-tiba kembali terbuka. Beberapa karyawan perusahaan itu langsung membanjiri ruang sempit itu, memenuhi setiap sudut lift, yang wajar saja mengingat ini adalah jam kedatangan mereka.

"Luar biasa, mbak Gisel sungguh beruntung sekali, bisa menjual tiga properti dalam satu pekan saja, sementara aku yang hanya ingin menjual satu saja sudah kesulitan, ajarin dong mbak caranya!" ucap seorang sales yang cukup Stefani kenali.

Wanita bernama Gisel yang terkenal sebagai sales senior ulung itu hanya tersenyum simpul. Kecantikan wajahnya serta penampilan yang selalu mempesona membuatnya menjadi magnet tersendiri dalam dunia sales.

Stefani yang mendengar percakapan mereka hanya bisa terdiam di pojok lift, menyembunyikan perasaan iri yang menggebu. Ia tak berkata apa-apa, bahkan saat pintu lift terbuka di lantai yang dituju, pikirannya masih melayang-layang mengingat keberhasilan Gisel. Hatinya menyimpan sedikit rasa iri yang mendalam, meski hanya sekilas terlihat.

Jangankan bisa menjual tiga properti dalam satu bulan, setengah tahun terakhir ini ia hanya berhasil menjual satu villa itupun yang biasa saja. Menemukan konsumen tampak seperti berlayar di tengah badai. Persaingan di antara rekan penjualan begitu sengit, di mana teman bisa berubah menjadi lawan dalam sekejap, membuat Stefani enggan memiliki sahabat di kantor itu.

Saat ia baru saja meletakkan handbagnya dan bersiap untuk duduk, suara tajam asisten manajer menembus kesunyian. "Stefani, Pak Danil meminta kamu segera ke ruangannya!"

Tidak ada ruang untuk membantah atau mengeluh, Stefani hanya bisa menarik nafas panjang dan mengukir senyuman pahit. "Baik, Bu," sahutnya lemah.

Hatinya berdebar, Stefani mengerti bahwa setiap panggilan dari Pak Danil hampir pasti berarti serangkaian tekanan baru akan dilontarkan kepadanya. Apa lagi yang bisa dilakukan oleh gadis sepertinya, yang kian terjepit, selain menyusuri koridor menuju pintu bercat kurma itu sambil menelan setiap cacian dan tekanan yang harus dia hadapi.

Dia mengambil napas dalam, menyiapkan diri menghadapi apa yang akan terjadi, sebelum akhirnya mengetuk pintu yang akan membawanya bertemu dengan sang atasan.

Tok.. Tok.. Tok..

"Masuk!" Suara garang Danil bergema, menggema hingga ke sudut ruangan, membuat Stefani tergopoh-gopoh membuka pintu.

"Permisi, Bapak memanggil saya?" suaranya bergetar saat matanya tidak berani menatap langsung.

Kaki Danil berderap mendekati Stefani, matanya tajam memeriksa sosok di hadapannya. "Sudah berapa lama kamu bekerja di sini, Stefani?" suaranya menusuk, membawa otoritas yang tak terbantahkan.

Jantung Stefani berdebar seakan ingin meledak, ia menelan ludah berat, berusaha mengumpulkan keberanian. "E... Enam bulan, Pak," jawabnya terbata, suara hampir tak terdengar.

Bruak!

Danil menggebrak meja di sampingnya dengan keras, menghancurkan keheningan yang menyelimuti ruangan itu. Stefani menunduk lebih dalam, matanya terpejam, tubuhnya bergetar.

"Setengah tahun, Stefani! Setengah tahun tapi hasilmu hanya satu villa terjual? Lihat teman-temanmu," Danil menunjuk sinis ke arah pintu.

"Mereka sudah membeli apartemen, bahkan mobil dari hasil penjualan. Sementara kamu, apa yang kamu miliki?" Sinisme Danil tumpul tapi menusuk, meninggalkan Stefani merasa kecil dan tertekan. Sebuah perasaan gagal menjerat, membelenggu harapannya hingga membuatnya nyaris tak bisa Berkata-kata..

"Kamu itu memang memiliki kemampuan atau tidak?" suara Danil memotong angkasa, menyentak Stefani sampai ke tulang sumsum. Meski ini bukan perlakuan baru baginya, entah kenapa kali ini terasa menghunjam lebih dalam di hati.

"Kalau kamu benar-benar tak sanggup, lebih baik angkat kaki saja dari sini!" nada Danil kian meninggi.

Dalam situasi menghimpit, Stefani refleks mengangkat kepala, matanya menatap lekat pada Danil, seakan mencari setitik belas kasihan.

"Tolong Pak, pekerjaan ini sangat berarti bagi saya," rayunya dengan nada memelas.

Danil, dengan tatapan dingin dan tangan terlipat di dada, menyampirkan kekecewaan dalam tiap katanya. "Setiap bulan kamu menerima gaji, namun tidak ada hasil nyata yang kamu torehkan untuk perusahaan. Apa gunanya aku mempertahankanmu?" kata-katanya seperti petir yang menyambar hati Stefani.

"Saya mohon, Pak. Beri saya satu kesempatan lagi, saya berjanji akan membuktikan diri," suara Stefani bergetar, penuh harapan.

Danil, merenung sejenak dalam diam yang mencengkam, lalu meraih sebuah kartu nama dari atas meja. Dia mengulurkannya pada Stefani, mata mereka bertemu, dalam tatapan yang sarat ketegangan..

"Albert Williams?" Stefani bergumam sambil memandang kartu nama itu, matanya memancarkan ketidakpastian.

"Dia adalah CEO Williams Group. Kabarnya, ia tengah mencari villa mewah untuk hadiah pernikahan ke-15 untuk istrinya," ungkap Danil, suaranya serius.

"Tugas kamu adalah menemui dia, pikat dia untuk membeli villa dari perusahaan kita. Lakukan apapun yang diperlukan, Stefani. Ini adalah kesempatan emas yang tak boleh kamu sia-siakan!" tegasnya.

Stefani terdiam, pikirannya melayang pada tanggung jawab besar yang kini menggelayut di pundaknya. Ia sadar betul, tidak ahli dalam memikat hati konsumen elite, tapi karena ini adalah satu-satunya jalan untuk menjaga masa depannya.

Mengingat dirinya hanya lulus sekolah menengah atas, dengan pendidikan yang ia miliki, mencari pekerjaan lain bukanlah pilihan. Kini, segalanya bergantung pada bagaimana ia bisa mengatasi rasa gentar di hatinya dan mengambil langkah berani untuk menghadapi Albert Williams.

"Baik Pak, saya akan berusaha. Terima kasih atas kesempatannya," ujar Stefani dengan nada berat.

Danil menatapnya tajam, suaranya dingin memecah keheningan. "Aku memberimu waktu sampai akhir bulan ini. Jika kamu tidak bisa mendapatkan kepastian, maka siapkan dirimu untuk meninggalkan tempat ini. Apa kamu mengerti, Stefani?"

Stefani menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam untuk menstabilkan detak jantungnya yang berpacu. Dengan kepala yang masih tertunduk, ia mengangguk pelan. "Baik Pak," jawabnya, sebelum ia berlalu dengan langkah gontai.

Duduk kembali di mejanya, Stefani mengarahkan pandangan kosongnya pada kartu nama yang tergeletak di atas meja. Di sana tertera alamat dan nomor yang bisa dihubungi. Ia merenung sejenak, penuh keraguan, sebelum akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menelepon nomor tersebut.

Satu kali, dua kali, bahkan lebih dari lima kali ia mendial tanpa jawaban, meningkatkan rasa frustrasinya. Namun ketika ponselnya akhirnya berdering kembali, Stefani segera menjawab dengan nada yang tergesa-gesa.

"Selamat pagi, maaf mengganggu. Bisa saya bicara dengan Tuan Albert?" suaranya bergetar, mencerminkan campuran harapan dan ketakutan dalam hatinya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
6 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status