Wanhan memandang mata Anggara dengan sedikit terkejut. "Maksud Kakek apa?"Anggara menghela napas kesal. "Kakek melihat dengan mata kepala sendiri! Arumi membicarakan kandungannya dengan lelaki lain."Wanhan mengernyitkan dahi. "Apakah dia tinggi dan pakaiannya kemeja motif?"Seingat Wanhan, lelaki yang sok baik dan akrab dengan Arumi hanya Rehan seorang. "Bagaimana kamu bisa tahu?" Anggara terlihat kaget karena cucu sendiri malah tahu.Helaan napas Wanhan pun terdengar berat. Sudah dia duga, kalau hanya Rehan yang dekat dengan Arumi. Sementara Anggara justru terlihat makin marah."Kamu kenal lelaki itu, tapi kamu malah diam saja dan merelakan Arumi!"Wanhan hanya diam saja. Sekali pun tangan dia mengepal karena kesal, mendengar ada yang tahu soal kehamilan Arumi selain keluarga. Terlebih orangnya lelaki yang menyukai istri dia."Berhubung Kakek baik saja dan ditangani dokter, aku akan kembali pulang," Wanhan langsung pamit.Anggara kaget mendengar omongan dari cucu kesayangan."Eh!
"Jadi, Luna dijemput oleh kak Airin dan diajak pergi?"Setelah suasana tenang, Arumi duduk di ruang tengah dengan Luna di pelukannya. Wanhan yang duduk di depan mereka berdua mengangguk pelan.Arumi memandang sembari mengusap kepala Luna dengan lembut. "Luna dipaksa atau ikut sendiri?""Ikut sendiri," sahut Luna sembari bersembunyi di tubuhnya."Maaf ya, Bunda."Jemari Arumi masih mengusap. "Tidak apa. Tapi, lain kali harus tunggu bibi atau paman sopir kalau mau ikut sama tante, ya."Kepala Luna mengangguk pelan. Wanhan memandang padanya yang bisa dengan tenang saat bicara. "Ayah sudah minta maaf sama Luna? Begitu pun sebaliknya.""Sudah," sahut Luna dan Wanhan hampir bersamaan.Pandangan Arumi dan Wanhan saling bertemu. Menurutnya Airin berhak jika ingin bertemu dengan Luna, toh wanita itu ibu kandung dari Luna. Bedanya Airin pasti ada tujuan tertentu sampai menemui Luna, seperti halnya menginginkan uang lebih banyak. Arumi paham kenapa Wanhan bisa sampai marah."Nah, sekarang Lun
Matahari yang mulai bersiap untuk tenggelam satu jam lagi, terlihat Arumi memasuki mobil milik Wanhan yang terparkir cukup jauh dari kantor.Namun, Arumi merasa ada yang tidak beres dengan suaminya. Biarpun Wanhan mulai mengemudikan mobil, suaminya ini terlihat diam membisu dengan raut wajah yang menahan amarah."Ada apa, Mas? Apa di kantor sedang ada masalah?" Arumi langsung bertanya.Wanhan menoleh. "Tidak ada."Jawaban singkat dan raut wajah yang masih belum berubah membuat Arumi yakin, kalau suaminya ini sedang kesal."Apa aku yang buat masalah?""Kamu tidak buat masalah apa pun."Arumi jadi heran. "Kalau bukan masalah di kantor, bukan karena aku juga. Terus kenapa Mas kelihatan kesal begini?"Wanhan pun melirik wajah sendiri di spion. Memang kemarahan dia tidak bisa disembunyikan. Wanhan menarik napas dan berusaha untuk menenangkan diri."Aku tidak kesal atau marah kok, Arumi."Kepala Arumi mengangguk. "Baiklah."Meski penasaran, tapi Arumi tidak mungkin terus mendesak Wanhan unt
"Ya?" Wanita tersebut berusaha mencerna ucapan dari Wanhan. "Maksud Bapak, Arumi bersuami dan sudah menikah?" Kepala Wanhan mengangguk membenarkan. Pandangan wanita tersebut tertuju pada Wanhan dengan pemikiran yang buruk. "Arumi sedang mengandung dan sudah bersuami, lalu Bapak masih mendekatinya?" Wanita tersebut bertanya dengan hati-hati. "Itu anakku." Pengakuan itu berhasil membuat ketua divisi Arumi menahan napas sejenak. Merasa dugaan yang buruk ternyata benar adanya. Arumi wanita yang murahan. Sudah tahu bersuami, tapi masih berselingkuh dengan atasan sendiri di kantor. Melihat karyawan dia yang hanya diam, tak memberikan reaksi terkejut membuat Wanhan berbicara lagi. "Sepertinya kamu masih belum paham ya." "Soal apa, Pak?" Wanhan menarik napas. "Aku suami Arumi itu, jadi sangat wajar kalau aku yang menghamilinya." Begitu mendengar pengakuan lagi, wanita tersebut barulah membulatkan mata dengan menunjukkan raut wajah yang terkejut luar biasa. Bahkan tangan sempa
"Bapak sudah tidak waras, ya?"Datang-datang Dani langsung mengeluhkan kelakuan Wanhan. Sampai Wanhan yang semula sibuk bekerja, terpaksa mengalihkan pandangan pada sang sekretaris."Kamu punya adab, kan? Sekali pun pintu terbuka, kamu wajib mengetuknya dahulu," protes Wanhan.Bukannya mendengarkan dan intropeksi, Dani justru menghela napas kemudian mengeluarkan ponsel."Bapak minta saya untuk bertemu lagi dengan kakaknya Arumi dan memberinya uang.""Bagaimana mungkin saya ingat untuk mengetuk pintu?"Wanhan sepenuhnya berhenti dari kegiatan dia membuka halaman demi halaman dokumen. "Aku hanya menyuruh kamu seperti biasanya, kenapa masih saja mengeluh?"Dani langsung menarik napas panjang. "Masalahnya, uang yang Bapak berikan itu besar. Hampir 200 juta, sebenarnya apa yang sudah dia lakukan sampai Bapak seloyal ini?" keluh Dani panjang lebar.Mulut Wanhan membisu sejenak. Dia tatap sekretaris yang mungkin seharusnya tahu."Dia sudah tahu soal hubunganku dengan kak Valdi," sahut Wanh
"Kalau bukan perumpamaan, sudah saya tambah beras supaya tidak jadi bubur," sahut Dani membuat Wanhan melirik. "Oh ya, hari ini jangan lupa ada jadwal makan dengan pak Anggara." Dani tiba-tiba saja mengingatkan hal yang ingin Wanhan lupakan. Wanhan menarik napas kesal. "Kenapa kamu harus mengatakannya sekarang sih?" Dani mengerutkan dahi, melihat atasan yang malah marah diingatkan. "Kalau saya tidak bicara sekarang, saat Bapak sibuk justru lebih tidak mendengarkan." Lirikan Wanhan menjadi tajam. Sekretaris dia benar-benar butuh pendamping yang memikat hati pria lain sekali pun hanya diam, supaya Dani ikut merasakan seperti apa kesalnya hati dia. ** Wanhan makan malam bersama sang kakek dengan mulut membisu, kalau ditanya baru sesekali jawab. "Sebenarnya kamu kenapa sih? Seperti wanita yang lagi haid saja," sindir Anggara saking herannya. Wanhan melirik sejenak, kemudian meletakkan alat makan karena sudah selesai. "Aku sedang sibuk-sibuknya di kantor, Kakek malah m