"Mahasiswi baru? Silahkan perkenalkan dirimu!"
Sebenarnya, tidak bertanya pun Revan sudah tahu jika Adnessa adalah mahasiswi baru disini. Dan hal ini hanyalah alasan untuknya agar memiliki kesempatan untuk mendekati Adnessa.
"Baik, pak!" seketika, Adnessa dapat bernafas dengan lega.
"Pak Revan, saya tidak sekalian bapak suruh untuk maju ke depan?" tanya Laluna.
Revan menaikkan sebelah alisnya, ia sudah hafal sekali dengan sifat mahasiswinya itu yang sering menggodanya, "Kamu mau gantikan saya mengajar disini? Kalau memang begitu, saya persilahkan!"
"Boro-boro, kalau beneran gue yang ngajar, mungkin generasi gen z akan semakin berantakkan," gumam Laluna seraya menelan salivanya dengan kasar.
"Pfffttttttt. Katanya dengan senang hati, pak!" sahut Fransisca dengan lantang, seraya menertawai sahabatnya.
"ya ampun, Sis. Apa-apaan sih, Lo?" keluh Laluna yag membuatnya mendapat sorakan dari teman yang lain.
Sebenarnya, hal seperti ini sudah hal yang biasa untuk Revan. Karena di kampus ini, tidak hanya satu atau dua mahasiswi saja yang setiap hari menganggunya. Tapi, setiap kali dirinya mengajar di kelas ini, memang Laluna tidak pernah absen untuk menggodanya.
"Sudah-sudah, kalian tenang! Biarkan teman baru kalian ini memperkenalkan diri dulu, sebelum kita mulai kegiatan belajar hari ini. Silahkkan, kamu memperkenalkan diri!" ucap Revan mempersilahkan Adnessa.
"Bowleh sayang," sahut Laluna lirih dengan mata berbinar menatap ke arah Revan.
Gugup? Tentu saja Adnessa gugup. Apa lagi, saat ini semua mata menatap ke arahnya, "Ehemm, selamat pagi! Saya Adnessa Aisy, mahasiswi pindahan dari universitas x kota sebelah! kalian bisa memanggil saya Nessa! "
"Nama yang indah," gumam Revan setelah mendengar Adnessa menyebutkan namanya.
"Pak, sudah selesai. Apa saya sudah boleh duduk?"
"Sebentar. Saya minta kamu kemari, dan tolong kamu lengkapi data diri kamu dulu!" ucap Revan meminta Adnessa untuk datang ke mejanya.
"Baik, pak!" Adnessa segera melangkahkan kakinya menuju meja Revan dan mengisi semua biodata miliknya, agar tidak terlalu membuang-buang waktu.
"Sudah, pak!"
Revan mengambil lembaran yang baru saja di isi oleh Revan. Semuanya sudah oke, hanya saja ... "08 berapa?" tanya Revan to the poin.
Apa ada yang terlewatkan? Adnessa segera menatap kembali ke arah lembaran kertas yang tadi baru saja ia isi.
'Tidak ada,' karena seingatnya tadi, ia sudah cukup teliti mengisinya dan tidak ada yang terlewat.
"Boleh saya meminta nomor ponsel kamu?" tanya Revan.
Adnessa terdiam, mencerna apa yang baru saja di katakan oleh Revan, "Untuk apa, pak?"
"Tentunya untuk kepentingan kampus!" sahut Revan beralibi.
Adnessa mengangguk, dan segera mengeluarkan ponselnya.
Revan tersenyum senang setelah mendapat nomor ponsel gadis yang di incarnya, "Baiklah, kamu boleh kembali!"
"Gila. itu pak Revan beneran tersenyum?" ucap Laluna yang keheranan melihat dosen kulkasnya itu tersenyum.
"Eh, iya, ya?!" sahut Fransisca yang ikut keheranan.
"Ness, tadi kenapa pak Revan bisa tersenyum?" tanya Laluna setelah Adnessa kembali ke bangkunya.
"Iya, Ness?" Fransisca yang biasanya cuek dalam segala hal, kini ikut penasaran.
"Tersenyum?" memangnya, tadi pak Revan ada senyum? Adnessa yang mendapat pertanyaan itu sedikit binggung, karena memang dirinya tadi tidak terlalu memperhatikan Revan. Justru, yang ada di otaknya hanyalah ingin segera kembali ketempatnya.
"Kamu tidak lihat, Ness?" tanya Laluna.
Dengan polosnya, Adnessa menggeleng, "Memangnya kenapa kalau pak Revan tersenyum?"
"Itu hal langka, Ness. Biar pun pak Revan adalah dosen Favorit sejuta umat, tapi beliau itu masuk katagori dosen killer dan juga jarang sekali terlihat senyum," jelas Fransisca.
"Ehemmm. Kalian bertiga ... Apa sudah bosan dengan mata kuliah saya? Kalau bosan, kalian bisa keluar!" tanya Revan yang menunjuk ke arah Laluna, Fransisca, dann Adnessa.
"Tukan, Ness," lirih Laluna seraya menatap ke arah Adnessa.
Setelah mendapat teguran dan terancam keluar dari kelas, Akhirnya Laluna, Fransisca, dan Adnessa tidak lagi sibuk dengan dirinya sendiri, bahkan ketiga gadis itu terlihat fokus dengan apa yang Revan ajarkan.
"Akhhhhhh, akhirnya selesai juga!" girang Fransisca seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku.
Lain halnya dengan Laluna, walaupun kapasitas otaknya yang kecil dan susah untuk menerima banyak pelajaran. Namun, gadis itu selalu mengeluh ketika jam mengajar Revan telah habis dikelasnya, "Yah. Luna sedih, Luna sedih banget."
"Gaya Lo, sedih. Memangnnya semua pelajaran tadi masuk di otak, Lo?" tanya Fransisca.
"Tentu ... Tidak!" sahut laluna.
"Pffffttttttt," melihat kerandoman dua teman barunya itu membuat Adnessa nyaman dan merasa tidak kesepian lagi berada di kota ini.
"Ness, ke kantin, yuk!" Ajak Fransisca.
"Boleh!" dengan senang hati, Adnessa menerima ajakan Fransisca.
"Ness, lu punya cowok, nggak, sih?" tanya Laluna di sela langkah mereka menuju kantin.
"Ah kebiasaan, lo. Kepo," sahut Fransisca.
"Jomblo diam!" balas Laluna tidak kalah menohok dari Fransisca.
"Pffffttttttt. Entahlah, sepertinya sih akan segera berakhir!" sahut Adnessa miris, mengingat kekasihnya yang berhianat dengan sahabatnya sendiri.
"Eh, Loh, maksudnya bagaimana?" tanya Fransisca.
"Apa tidak masalah gue bercerita?"
"Biarpun itu 24 jam, gue lebih memilih untuk dengerin Lo bercerita daripada harus lihat lo ikut trend terjun bebas seperti yang lagi Viral di tok-tok," sahut Laluna.
"Anjay, kelas?!" sahut Fransisca yang mendengar sahabatnya itu tiba-tiba saja berkata bijak.
Sudah berapa kali Adnessa tertawa lepas melihat tingkah Laluna dan Fransisca yang random, 'Ternyata, pilihan ku untuk pindah ke kota ini adalah keputusan yang paling tepat.'
Dengan senang hati, Adnessa mulai menceritakan ayang yang terjadi kepadanya. Anggap saja, ini sebagai salah satu cara untuk dirinya mengurangi beban di hatinya.
***
"Kemana gadis itu?" hampir dua jam lamanya Axcel menunggu Adnessa, namun gadis yang di tunggunya itu tidak kunjung terlihat.
Saat Axcel berniat untuk masuk kedalam kampus untuk mencari keberadaan adik tirinya, tidak sengaja ia bertemu dengan Revan.
"Bro. Ngapain?" tanya Revan.
"Lo ngelihat adek gue, nggak?"
"Adek Lo? bukannya sudah pulang dari tadi? Tadi gue sempat nawarin tumpangan, tapi dia nolak. Katanya udah Lo jemput," sahut Revan.
"Gue jemput?" tapi, selama ia menunggu Adnessa di depan, tadi. Sama sekali ia tidak melihat betang hidung adek tirinya itu.
"Apa jangan-jangan?" seketika fikiran buruk melintas di kepala Axcel, membuat pria itu tergesa-gesa kembali menuju mobilnya.
"Apa ada yang tidak beres?" gumam Revan yang ikut panik.
***
Sore itu, Adnessa berdiri di teras kediaman Hansel, menatap mobil Revan yang kian menjauh, menelan kesepian yang tiba-tiba menyeruak setelah kepergian pria itu."Anak ini milik saya!"Adnessa terperagah, jantungnya mencelos mendengar suara berat yang tiba-tiba membisikkan kalimat itu tepat di belakangnya. Sebuah tangan kekar melingkari pinggangnya, menariknya mendekat hingga punggungnya membentur dada bidang seorang pria."Axcel?!" lirih Adnessa, terkejut bukan kepalang. Spontan ia meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman itu. Namun, tangan Axcel justru mengerat, memeluknya seolah tak ingin melepaskan.Axcel menghela napas panjang, aroma maskulinnya menusuk indra penciuman Adnessa. "Apa saya seperti hantu? Kenapa kamu begitu ketakutan melihatku?" tanyanya datar, perlahan membalikkan tubuh Adnessa hingga tatapan mereka bertemu. "Jangan lagi menghindariku, jangan lagi mencari alasan untuk menjauh. Aku sudah mengetahui semuanya, Ness. Jika... ini adalah darah dagingku!" lanjutny
Adnessa menghela napas, bayangan dirinya di cermin pagi itu tak ubahnya hantu pucat. Mata sayunya, lingkar hitam di bawahnya, saksi bisu malam tanpa lelap. Kata-kata Axcel semalam berputar-putar di kepalanya, racun yang menggerogoti ketenangannya."Dari mana dia tahu?" bisiknya, dahinya berkerut dalam.Gemericik air dari wastafel kamar mandi menjadi latar sunyi lamunannya. Namun, ketenangan itu pecah saat sepasang tangan kekar melingkar posesif di perutnya, membuatnya tersentak keras."Axcel!" serunya, mendorong tubuh itu menjauh. Matanya menyala marah, suaranya bergetar. "Apa yang kau lakukan di sini?!"Perlahan, Axcel mengulurkan tangannya, meraih jemari Adnessa dengan cengkeraman penuh keyakinan. "Menikahlah denganku, Ness," ucapnya, suaranya serak namun tegas. Mata elangnya, yang biasa memancarkan dominasi, kini redup, penuh permohonan."Kau gila!" Adnessa mendesis, menarik tangannya dengan kasar. "Di saat tunanganmu mengandung anakmu, kau malah mengajakku menikah? Lucu sekali!""
Mata Axcel terbelalak setelah membaca laporan yang baru saja diberikan oleh kaki tangannya beberapa saat lalu. Tangannya bergetar, mata dan wajahnya memerah seperti menahan sebuah rasa yang tiba-tiba saja menggebu. "Adnessa hamil?!" lirihnya.Axcel terdiam, menatap beberapa lembar kertas di tangannya. Baru kali ini ia tahu alasan kenapa Adnessa beberapa saat lalu tiba-tiba ingin bersekolah di luar negeri dan sekarang justru ingin menikah, ternyata gadis itu tengah mengandung. Mengetahui fakta ini, masih ada sedikit pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Siapa ayah anak ini?!"Jangan-jangan ayah anak ini..." Axcel segera melangkahkan kakinya terburu-buru menuju kamar Adnessa, memastikan siapa sebenarnya ayah dari anak yang dikandungnya. Jika di lihat dari laporan ini, mungkin saja anak itu miliknya.Pria tampan bermata biru dengan postur tubuh atletis itu melangkahkan kakinya lebar, seluruh tubuhnya berdesir merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan, membayangkan kenyataan ini. Ia memoho
"Aku memilih..." Adnessa menatap ke arah Revan dengan perasaan ragu. "Aku lebih memilih Pak Revan," ucapnya mantap. Dari semua pilihan yang ada di dalam otaknya, sepertinya ini adalah pilihan yang terbaik. Mengingat Axcel yang telah bertunangan dan bahkan segera memiliki keturunan dari Erika. Untuk apa lagi dirinya bimbang? Sudah jelas, jika bersama Revan jauh lebih baik.Revan tersenyum. Kebahagiaan di wajahnya, tidak bisa lagi disembunyikan. "Terima kasih karena sudah percaya dengan saya, sayang!" sahutnya seraya menggenggam tangan Adnessa erat."Tidak mungkin," lirih Axcel, tidak percaya. Perlahan ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Adnessa. Menatap kearah Adnessa dan Revan dengan tatapan sulit di jelaskan."Gue harap, ini yang terakhir kalinya lo ganggu Adnessa seperti ini, Xel!" ucap Revan datar, suaranya terdengar tegas memperingatkan Axcel. Pelukannya juga terlihat posesif kepada Adnessa, seolah memberitahu jika Adnessa telah menjadi miliknya. "Sebentar lagi, kami juga
Mobil yang dikendarai oleh Revan telah berhenti di pelataran kediaman Hansel. Seulas senyuman tersungging menghiasi wajah tampannya melihat Adnessa yang masih tertidur pulas, bersandar di bahunya.Revan yang tadinya ingin membangunkan Adnessa, mengurungkan niatnya. Ia memutuskan untuk menunggu sampai gadis itu terbangun sendiri. "Apakah hari ini begitu melelahkan, sayang?" lirih Revan, merapikan anak rambut Adnessa yang sedikit berantakan dengan lembut. Dengan hati-hati, Revan membenarkan jas miliknya yang ia gunakan untuk menyelimuti Adnessa, tidak ingin mengganggu tidur gadis itu."Sudah bangun, sayang?" tanya Revan, ketika melihat Adnessa mengerjap.Dengan mata memerah khas bangun tidur, Adnessa terlihat bingung. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah sekitar."Sudah sampai dari tadi?""Hmmm," sahut Revan dengan lembut.Adnessa menegakkan tubuhnya, "Kenapa tidak membangunkan ku?!""Kamu terlihat begitu lelah, sayang. Saya tidak tega untuk membangunkanmu!" sahut Revan.Adnessa m
'Adnessa?' batin Axcel bimbang, melihat siluet yang sangat mirip dengan Adnessa. Apakah yang ia lihat tadi benar-benar Adnessa atau hanya orang yang mirip saja dengan gadis itu?Tanpa sadar Axcel melangkah, mengikuti gadis yang terlihat mirip dengan Adnessa, membuat Erika yang tengah bersamanya menatap bingung ke arah Axcel yang tiba-tiba pergi."Axcel? Ada apa denganmu?" Erika, yang merasa diabaikan, menatap Axcel dengan kesal. Sedari tadi ia berbicara, namun Axcel hanya diam, dan sekarang justru meninggalkannya.Axcel tersadar, ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Erika yang tergopoh-gopoh mengikuti langkahnya. "Tidak ada. Saya hanya ingin mencari ruang untuk merokok!" sahutnya beralasan.Erika menatapnya curiga, tapi kemudian mengangguk. "Ya sudah, tapi cepat kembali! Sebentar lagi giliranku dan kamu harus menemaniku, Axcel!"Axcel mengangguk, ia segera melangkahkan kakinya keluar, mencari jejak gadis yang sangat mirip dengan Adnessa tadi.Sesampainya di depan rumah sakit