Suasana bangsal anak berubah ramai. Tawa dan suara riuh bocah-bocah memenuhi ruangan. Alva berada di tengah-tengah lingkaran anak-anak yang lebih besar darinya. Ia tak terlihat canggung. Justru dengan keberanian polosnya, ia menjadi penengah ketika dua anak mulai beradu argumen soal giliran bermain.“Enggak boleh rebutan gitu! Kalau kamu marah, temen kamu juga jadi sedih,” kata Alva sambil memegang lengan masing-masing anak.Anak-anak itu tampak terkejut—mereka lebih tinggi, lebih besar, tapi tetap menurut. Salah satu mengangguk malu, dan yang lain langsung minta maaf.Leon yang menyaksikan dari kejauhan hanya bisa menahan napas. Matanya tak beralih sedetik pun dari sosok kecil itu. Sekali lagi, Alva menunjukkan bahwa ia dibesarkan dengan prinsip—meskipun tubuhnya mungil, hatinya besar.Namun detik berikutnya, seorang anak laki-laki yang tampaknya sedang kesal mendorong Alva cukup keras hingga bocah itu jatuh terduduk.Leon sontak berdiri, tubuhnya refleks menegang. Sorot matanya beru
Udara pagi itu cerah, dengan langit biru pucat yang bersih dan angin sejuk yang menyapa setiap dedaunan. Di halaman belakang mansion, Alva sedang bermain gelembung sabun bersama Rafael yang, meskipun berpakaian serba hitam seperti biasa, kini lebih terlihat seperti “om favorit” daripada bodyguard yang ditakuti.“Lihat, Om Rafael! Gelembungku sampai ke langit!” seru Alva sambil tertawa, mengejar gelembung-gelembung yang beterbangan.Rafael hanya tersenyum kecil. “Awas jangan sampai jatuh, Komandan.”Sementara itu, dari dalam rumah, Elera memperhatikan mereka dari balik jendela dapur sambil menyuap sesendok yogurt ke mulut. Wajahnya damai, mata masih mengantuk, tapi bibirnya melengkung dalam senyum.“Ini yang namanya hidup,” gumamnya pelan, sebelum Leon melingkarkan lengan dari belakang dan mencium bahunya.“Kamu kelihatan cantik bahkan pas belum cuci muka,” bisik Leon.Elera mendengus tertawa, “Bohongmu pagi-pagi udah aktif ya.”“Bukan bohong, itu afirmasi,” jawab Leon, menarik wajahny
Hujan gerimis turun membasahi halaman depan mansion Santiago, membentuk pola-pola kecil di atas batu alam yang mengilap. Elera duduk di ruang keluarga bersama Alva, membacakan buku cerita sambil bersandar pada sofa empuk, jari-jarinya membelai rambut anak itu lembut. Leon baru saja naik ke lantai atas untuk mengganti pakaian setelah pulang dari rumah sakit cabangnya yang bermasalah.Semua tampak tenang. Terlalu tenang.Lalu…BRAK!Suara keras dari gerbang utama mengguncang seluruh rumah.Elera langsung berdiri, meraih Alva ke dalam pelukannya. Beberapa detik kemudian, Rafael dan dua bodyguard lainnya sudah berlari ke arah sumber suara. Melalui layar monitor di ruang kontrol, terlihat jelas—sebuah mobil tak dikenal dengan pelat nomor palsu menabrak gerbang depan dan berhenti begitu saja.Leon yang mendengar kegaduhan langsung turun, kini sudah berganti pakaian dan memasukkan pistol kecil ke balik pinggangnya. Matanya mencari Elera dan Alva dengan gelisah, dan sedikit lega saat melihat
Setelah situasi di ruang bermain mereda, Alva menggenggam tangan Rafael dengan semangat. “Om Rafael, yuk kita bawa mainan ini ke bangsal anak-anak! Biar mereka juga bisa main,” ujarnya penuh antusias.Rafael tersenyum hangat, menuruti permintaan si kecil itu. Bersama-sama, mereka mengangkut kotak-kotak mainan penuh strategi dan permainan perang yang sebelumnya dibawa Maya dan Kai. Ketika mereka sampai di bangsal anak-anak, Alva langsung menyebarkan mainan dengan cekatan, mengajak anak-anak yang sedang dirawat untuk bergabung bermain.“Lihat nih, mainan baru!” seru Alva sambil menunjuk ke arah para pasien kecil yang mulai tersenyum dan bersemangat.Para perawat yang mengawasi bangsal itu ikut tersenyum, melihat betapa Alva mampu membawa keceriaan di tengah ruang perawatan yang biasanya sunyi. Bahkan beberapa anak yang biasanya pemalu mulai berani bermain dan tertawa bersama.~~~Sementara itu, di rumah, Leon baru saja selesai berbicara dengan salah satu staf cabangnya yang mengabarkan
Malam itu, rumah Santiago terasa sunyi setelah tawa dan riuh Family Day menghilang. Elera dan Leon duduk berdampingan di ruang keluarga, lampu temaram menebar kehangatan di antara mereka. Mata Leon menatap dalam ke mata Elera, penuh rasa syukur dan kasih yang tak terucap.“Alva sudah tidur, akhirnya,” bisik Elera sambil tersenyum lelah.Leon mengangguk, lalu meraih tangan Elera, menggenggamnya erat. “Hari ini aku lihat kamu jadi ibu yang luar biasa. Aku… bangga padamu.”Elera merasa hangat merambat dari ujung jari sampai ke dada. Ia menyandarkan kepala pada bahu Leon, merasakan detak jantungnya yang tenang dan pasti.Tanpa kata, Leon membelai rambut Elera perlahan, lalu bibirnya menyentuh pelipisnya, lembut dan penuh cinta. Sentuhan itu mengundang getar halus di tubuh Elera, seperti percikan api kecil yang menari di antara mereka.Malam menjadi saksi bisu saat mereka saling mengungkapkan rindu yang selama ini tersembunyi di balik kesibukan dan tawa sehari-hari. Leon merangkul Elera de
Udara malam mulai terasa lebih sejuk ketika Elera dan Leon masih duduk di teras belakang mansion, menikmati ketenangan setelah hari yang penuh tawa. Di pangkuan Leon, Alva masih tertidur lelap, meskipun tubuh mungilnya sesekali bergerak gelisah.“Kalau bisa aku bekukan waktu,” bisik Leon pelan, “aku ingin saat ini bertahan selamanya.”Elera menoleh pelan, menatap wajah suaminya yang sedang menatap anak mereka. Wajah sang mantan raja bisnis abu-abu itu terlihat damai, nyaris polos. “Kau sudah melindungi terlalu banyak hal, Leon. Sudah saatnya kau juga menikmati hasilnya.”“Kau, Alva… kalian hasil terbaik dalam hidupku.”Belum sempat Elera membalas, suara lirih keluar dari mulut Alva yang masih terpejam.“Jangan lupakan suara rakyat… presiden dinosaurus harus kasih es krim gratis tiap hari…”Elera menahan tawa, Leon mengangkat alis sambil menahan diri agar tak tertawa terbahak. “Dia kampanye dalam mimpi?”“Sepertinya dia sedang menyusun kabinet impian,” gumam Elera geli. “Semoga Rafael
Langit sore perlahan memudar ke jingga keemasan saat mobil hitam mengantar Elera, Alva, dan Rafael kembali ke mansion. Alva tertidur dengan senyum di wajahnya, kepalanya bersandar pada lengan Elera, bibir mungilnya masih menggumam kata-kata tentang “operasi serangan rahasia” dan “komandan Rafael.”Elera membelai rambut putranya dengan lembut. Hari ini... terasa seperti mimpi yang dijemput paksa dari kenyataan. Jauh dari luka. Jauh dari rasa bersalah. Sejenak, dia hanyut dalam keheningan indah itu.Namun saat mereka tiba di mansion—dengan lampu-lampu taman mulai menyala perlahan—Elera melihat siluet Leon berdiri di balkon lantai atas. Matanya menatap lurus ke arah mobil mereka, tubuhnya tegak namun bayangan di wajahnya... tidak tenang.Seolah dunia lain telah mulai menagih kehadirannya kembali.~~~Leon berdiri membelakangi jendela besar, memandangi kegelapan luar. Hanya segelas bourbon yang belum tersentuh di meja kayu di depannya. Dante muncul dari lorong gelap, tanpa suara.“Dia sud
Pagi itu dimulai dengan aroma kopi dan roti panggang dari dapur mansion Santiago.Alva sudah bangun lebih dulu dan berseru dari ruang makan, “Mamaaa, Papa, cepat! Alva sudah bikin misi pagi ini!”Elera muncul dari kamar masih dengan piyama panjang dan rambut dikuncir asal, sementara Leon—meski baru selesai mandi—masih menyibak dasi yang belum sempat dipasang.“Jadi hari ini kita dipanggil oleh Jenderal lagi?” gumam Leon, setengah tertawa.Alva berdiri di kursinya, menunjuk ke kertas gambar besar penuh coretan warna-warni dan sketsa yang bisa jadi markas militer, atau mungkin taman bermain versi perang.“Misi hari ini… menyusup ke halaman belakang dan rebut gudang permen! Rafael yang jaga!”Rafael, yang baru masuk membawa tablet laporan keamanan pagi, hanya bisa tertawa lemas. “Tuan muda, saya minta izin cuti dari posisi penjaga gudang hari ini…”Leon menyambar kopi sambil mengangguk puas. “Kamu jangan macam-macam, Raf. Kalau kalah dari bocah umur empat tahun lagi, malu kita satu mansi
Leon berdiri lama di ambang pintu kamar, memandangi Elera yang sedang tertidur dengan damai. Lampu tidur menyinari wajah istrinya yang tenang, tapi Leon tahu... ketenangan itu mudah pecah. Kabar yang ia terima tadi bukan sesuatu yang bisa ditunda. Dia ingin melindunginya, tapi juga tak mau menyembunyikan kebenaran.Dengan hati-hati, ia duduk di sisi ranjang dan menyentuh pelan bahu Elera."Elera… sayang."Elera menggeliat pelan, membuka mata. "Hm? Leon...? Sudah selesai kerja?" gumamnya mengantuk.Leon mengangguk pelan. "Aku perlu bicara. Ini... penting."Mata Elera langsung terbuka sepenuhnya. Dia duduk, wajahnya berubah tegang.Leon menatap matanya, dan menghela napas berat sebelum berkata, "Aku tahu siapa yang menabrakmu waktu itu. Yang... menyebabkan kita kehilangan calon anak kita."Elera membeku. Suasana mendadak hening, waktu seolah melambat. Napasnya terasa tertahan, dan wajahnya pucat seketika."Apa... itu bukan kecelakaan?" tanyanya nyaris berbisik.Leon menggeleng. "Tidak.