Mag-log inHari itu berjalan seperti biasa.Kai duduk di ruang tengah bersama si kembar yang sibuk bermain balok warna-warni. Elera memperhatikan dari dapur, sementara Leon berbicara dengan seseorang melalui panggilan terenkripsi di ruang kerjanya.“Ayah!” suara kecil Alvar terdengar, diikuti tawa renyah. “Lihat, menara aku tinggi!”Kai tersenyum, mencondongkan tubuh. “Wah, tinggi banget… tapi jangan dorong, nanti—”Brak.Balok-balok itu runtuh.Elera menoleh cepat, tapi justru tertawa kecil saat melihat wajah cemberut si kembar.“Pelan-pelan, kalian dua,” katanya lembut. “Bangun lagi, ya.”Suasana ringan itu sempat membuat Kai lupa bahwa ia masih menyimpan rasa was-was sejak kemarin.Tapi saat ia menoleh ke meja kecil di sebelah sofa, layar kecil di sana menyala sebentar.Notifikasi.System notice: connection restored — sector 3B.Kai menatap layar itu diam.“Restored?” gumamnya pelan. “Tapi… aku nggak minta reset…”Elera menyadarinya. “Kenapa? Ada yang aneh?”Kai hanya menggeleng cepat, berusa
Malam itu turun perlahan seperti kabut.Lampu-lampu luar mansion Santiago redup, hanya menyisakan cahaya lembut di taman dan kolam.Elera sudah tertidur dengan bayi kembar di sisinya. Alva juga, meringkuk di kamar sebelah sambil memeluk boneka singa kecilnya.Kai terjaga.Entah kenapa, matanya menolak tertutup.Dia duduk di sofa ruang tamu, secangkir teh dingin di tangan, sementara layar hologram di sudut ruangan menampilkan peta keamanan mansion. Semuanya tampak normal. Tapi… tidak terasa normal.“Kenapa aku punya firasat jelek, ya?” gumamnya pelan.Langkah kaki terdengar pelan dari koridor. Leon muncul dengan piyama hitamnya, rambut sedikit berantakan.“Belum tidur juga?” tanyanya.Kai menatapnya. “Kau juga belum.”Leon mendengus kecil, lalu duduk di seberang Kai. “Kau pikir aku bisa tidur dengan tenang di dunia seperti ini?”Keheningan menelan mereka sejenak.Dari jauh, suara angin menerpa jendela kaca, lembut tapi menggema.Kai menatap layar hologram lagi. “Aku cuma… punya perasaa
Matahari pagi menembus sela pepohonan di taman belakang mansion Santiago, menumpahkan cahaya lembut ke atas rerumputan yang masih basah. Udara terasa damai. Seekor burung kecil hinggap di pagar besi, berkicau pelan seolah ikut menikmati keheningan itu.Kai duduk di kursi taman dengan tongkat penyangga di sebelahnya. Kakinya sudah jauh lebih kuat, dan pagi ini dia berusaha berjalan tanpa bantuan.Elera datang membawa cangkir teh, menatapnya dengan senyum lembut.“Kau bandel lagi,” ujarnya sambil meletakkan cangkir di meja.Kai tertawa kecil. “Kalau aku nggak bandel, aku nggak akan pulih secepat ini.”“Kalau jatuh lagi, aku yang repot, Kai,” balasnya sambil mengangkat alis.Leon yang sedang di balkon atas hanya tersenyum melihat keduanya. Ia memandang mereka seperti seorang kepala keluarga yang baru saja menemukan makna damai yang lama hilang. Tapi damai itu... selalu menipis di matanya.Di halaman depan, Alva sedang menggandeng kedua bayi kembar yang mulai bisa berjalan kecil.“Pelan-p
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya.Udara di mansion pegunungan masih sejuk, tapi entah kenapa, rasanya seperti ada sesuatu yang menggantung di antara kabut.Leon duduk di ruang makan, segelas kopi hitam mengepul di tangannya.Di ujung meja, Elera sedang menyuapi bayi kembar yang kini mulai berceloteh — suara mereka seperti lagu kecil yang memecah keheningan.Kai duduk di sofa, masih dalam jaket tipis, mencoba menulis sesuatu di catatan medisnya.“Sepertinya paru-paruku akhirnya berhenti protes,” gumamnya sambil tersenyum kecil.“Bagus,” sahut Elera tanpa menoleh. “Berarti kamu bisa mulai kerja ringan — lipat popok bayi, misalnya.”Kai menatapnya, pura-pura terkejut. “Aku dokter trauma bedah, bukan—”“—pahlawan rumah tangga?” potong Elera cepat.Kai mengangkat tangan menyerah. “Oke, kau menang. Tapi aku hanya lipat, bukan cuci.”Leon menatap mereka berdua dengan tatapan hangat. Untuk sejenak, suasana itu membuat pikirannya lupa pada pesan Ramos semalam.Namun tawa kecil dari Al
Matahari mulai turun perlahan di balik pegunungan. Cahaya keemasan menyapu jendela besar mansion itu, membuat seluruh ruang keluarga terasa hangat dan damai. Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari penuh kewaspadaan, suasana di rumah itu tampak… normal.Kai duduk di teras belakang, selimut menutupi kakinya, sementara Alva duduk di sebelahnya dengan papan strategi kecil di pangkuan. Di hadapan mereka, bayi kembar tertidur pulas di kereta dorong, wajah mereka tenang seperti tak ada dunia di luar sana yang bisa menyentuh.“Kau tahu,” kata Kai sambil tersenyum, “kalau mereka besar nanti, aku yakin mereka akan jadi lebih cerdas dari ayahnya.” Alva terkikik. “Tapi nggak bisa ngalahin Papa main strategi!” Kai mencondongkan tubuh, pura-pura berbisik, “Kalau kau di timku, kita pasti menang.”Alva menatapnya penuh semangat, lalu berlari ke dalam rumah sambil berteriak, “Papa! Paman Kai ngajak latihan perang lagi!”Elera muncul dari dapur, membawa nampan teh. Rambutnya dibiarkan terurai so
Udara pegunungan terasa segar pagi itu. Kabut tipis menari di sela pepohonan pinus, dan cahaya matahari menembus lembut jendela besar mansion baru keluarga Santiago.Aroma kopi hangat dan roti panggang memenuhi dapur yang luas.Elera berdiri di meja dapur, rambutnya diikat asal dengan celemek bergambar singa kecil di depan dada. Di kursi bar, Kai duduk santai—atau lebih tepatnya berusaha santai—dengan perban masih melingkari pinggangnya.“Kau tahu, pasien pascaoperasi seharusnya tidak ikut bikin sarapan,” kata Elera tanpa menoleh.Kai meneguk kopinya dengan gaya paling tak berdosa di dunia. “Aku tidak bikin sarapan. Aku cuma mencicipi. Untuk memastikan gizinya seimbang.”“Untuk memastikan gula darahku naik karena kesal, maksudmu.”Elera melemparkan potongan roti ke arahnya. Kai dengan refleks menangkis—dan langsung meringis. Luka di perutnya masih belum sepenuhnya sembuh.Dari ruang tengah, tawa kecil menggema. Alva sedang berlarian dengan pakaian tempur mini, membawa pedang mainan da







