Share

Ciuman Pertama Livy.

Tawanan Cinta Mafia Psikopat bab:4.

Satu minggu terlewati, Livy telah berhasil masuk ke D'Fantazio dan menjadi salah satu karyawan di sana. Hari-harinya berjalan seperti normal, Ia bekerja, pulang, tidur, kerja lagi, dan seterusnya. Arthur juga tidak pernah menghubunginya atau bahkan memberi perintah apapun.

Terbersit di pikiran Livy, mungkin Ia memiliki kesempatan untuk kabur dengan mudah.

"Jangan coba-coba untuk kabur. Aku akan tahu kemanapun Kau pergi." Pesan Arthur mendarat di layar handphone-nya.

Livy menggigit bibir, Arthur mungkin mengendus niatnya. Padahal keinginan itu baru terbersit di dalam hatinya saja. Livy memandang langit melalui jendela yang lebar. Posisi lantai apartemennya memiliki view yang sangat bagus. Ia bisa memandang bintang-bintang di langit sepuasnya selagi tidak mendung. Tiap sore, Ia juga bisa menikmati pemandangan matahari terbenam.

"Masih sayang ibumu?" Pesan Arthur kembali muncul.

Livy menghembuskan nafas kasar sembari melemparkan handphone-nya ke ranjang. Apa pedulinya? Toh, ibunya juga tidak terlalu peduli padanya. Ia sudah menyerah menghadapi kehidupan ini, tidak masalah baginya apapun yang akan dilakukan Arthur. Livy memejamkan mata.

"Ting"

Terdengar bel samar-samar, Livy mengerjap dan perlahan membuka matanya. Rupanya Ia tertidur. Ia pun langsung bergegas membukakan pintu apartemennya.

"Arthur?" gumam Livy tidak percaya dengan lelaki yang kini ada di hadapannya.

"Kau terkejut?" Arthur memiringkan wajahnya sembari menyeringai.

Livy melangkah mundur, sementara Arthur pun maju dan memaksa masuk ke dalam apartemen yang Livy tempati. Ia menghirup udara beraroma coklat manis dari pengharum ruangan. Livy memang sengaja mengganti pewangi pilihan Bryan karena Ia lebih suka aroma coklat.

"Mau apa, Kau?" tanya Livy memandang Arthur takut-takut.

"Hm, terserahlah. Kau lupa kalau ini apartemen milikku yang Kau tinggali?" ucap Arthur semakin mendekati Livy, sementara gadis itu terus mundur hingga menabrak tembok di belakangnya.

Arthur menyentuh dagu Livy dengan ujung jarinya, membuat Livy terpaksa mendongak. Pandangan mereka bertemu. Degup jantung Livy semakin kencang dan seketika isi kepalanya seperti kosong.

"Ternyata Kau manis juga," gumam Arthur.

Tanpa disangka-sangka, Arthur sedikit membungkukkan wajahnya lalu memagut bibir Livy yang tengah gemetar.

Livy terkesiap, pandangannya berkunang-kunang saking kagetnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang juga. Apakah menerima ciuman ini, atau? Ini adalah ciuman pertamanya.

"Kenapa Kau menggigit bibirku?" erang Arthur sembari memundurkan wajahnya.

Livy menggeleng melihat lelaki di hadapannya marah. Ia akan kabur tetapi pinggangnya dipegang lelaki itu.

"Kau menolakku?" Arthur bertanya dengan pelan namun tajam.

"Aku, kita tidak bisa," ujar Livy dengan gugup.

"Tidak bisa? Tentu saja bisa. Aku bisa melakukan apapun dan aku tidak menerima penolakan," tukas Arthur mengerutkan dahi. Ia rasa, Ia perlu menunjukkan bagaimana dirinya kepada gadis itu.

"Kau tidak bisa menolakku, Livy. Aku akan menghukummu," desis Arthur. Ia kembali memagut bibir Livy.

Livy hanya terdiam kaku membiarkan mulut Arthur bergerak di sana. Sesekali terdengar erangan kenikmatan dari bibir Arthur. Beberapa saat kemudian, Livy pun merasa bibirnya kebas.

"Ikuti aku, Kau harus terbiasa dengan ini," ucap Arthur dengan terengah-engah.

"Maksudnya?" Livy bingung karena Arthur masih saja merengkuh tubuhnya.

"Ketika aku menciummu, balas aku. Kau harus membalas ciumanku." Arthur menjelaskan dengan frustasi.

Lagi-lagi, Arthur pun memagut bibir gadis di hadapannya. Kali ini Livy mencoba membalasnya, Ia merasakan bagaimana bibirnya saling beradu dengan lelaki berwajah rupawan ini. Sayangnya, Ia adalah penjahat kelas kakap yang mungkin menjadi buronan negara.

"Aghh, mengapa Kau tidak bisa?" Arthur kesal. Tangannya meraih leher Livy dan menekannya.

"Am-ampun," gumam Livy. Sekarang Ia benar-benar takut jika lelaki itu membunuhnya.

Arthur membopong tubuh Livy dan menghempaskannya ke ranjang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Livy pun beringsut saat Arthur berusaha menindihnya.

"Aku tidak akan melakukan hal yang terlalu jauh jika Kau mematuhiku," ucap Arthur di depan wajah Livy.

Hanya anggukan yang bisa Livy lakukan, apa yang Arthur katakan tentang 'hal yang tidak terlalu jauh', mungkin adalah berhubungan badan. Atau mungkin membunuhnya dan keluarganya.

"Jawab dengan suaramu, Livy," desis Arthur sembari mencengkram dagu Livy.

"Ya," ucap Livy pelan.

"Bagus. Kau memang harus menuruti semua yang kuinginkan, tidak peduli Kau menyukainya atau tidak," ucap Arthur sembari bangkit dari ranjang.

Livy bernafas lega. Akhirnya Ia terbebas dari kungkungan lelaki itu. Di sudut ruangan, Arthur tengah membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral lalu menenggaknya. Wajahnya mengernyit karena merasakan hambar di mulutnya.

Biasanya Ia meminum cairan yang mengandung alkohol. Tetapi tentu saja Ia tidak bisa berharap jika tengah berada di tempat Livy.

"Aku tahu segala hal yang Kau lakukan disini ataupun di kantor, Livy," ujar Arthur menghentikan keheranan Livy kepadanya.

"Jadi, jangan coba-coba untuk kabur," lanjutnya.

Selalu itu ancaman yang Arthur lontarkan sampai Livy bosan, Livy tidak menanggapi apapun dan membiarkan lelaki itu melakukan apapun di kamarnya. Arthur menonton TV, mengotak-atik piano yang ada di kamar Livy. Hal yang cukup mencengangkan adalah Arthur pergi begitu saja tanpa pamit.

Livy memandang lorong apartemen yang kosong setelah punggung Arthur lenyap di belokan. Rasanya seperti ada yang hilang.

Tiba-tiba saja Ia merasa hampa setelah beberapa menit yang lalu ada hal yang membakar bibirnya. Livy menyentuh bibirnya sendiri, sekali lagi Ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa lelaki itu baru saja menciumnya.

Livy menutup pintu dan menghembuskan nafas sambil memejamkan matanya.

"1 folder delivered."

Livy mengerutkan dahi saat melihat notifikasi di layar handphone-nya. Notifikasi itu langsung lenyap setelah beberapa detik. Ini bukan pertama kalinya ada notifikasi aneh karena Livy tidak merasa mengirim file apapun kepada orang lain. Ketika Ia membuka pesan grup di tempat kerjanya, tidak ada data yang Ia kirimkan ataupun Ia terima.

"Livy, aku kangen sama kamu. Kenapa kamu harus pergi secepat ini sih?" Sebuah pesan dari Virgo masuk dan langsung terbaca olehnya.

Livy menghembuskan nafas, sebenarnya Ia juga sangat kangen dengan mantan kekasihnya itu. Tanpa persetujuan siapapun, Livy menyebutnya mantan karena mungkin sudah tidak bisa lagi bertemu. Andai Virgo tahu situasi ini, mungkin Virgo akan berhenti menghubunginya. Tetapi Livy tidak ingin membuat anak lelaki itu khawatir.

"Aku sudah tahu siapa kekasihmu itu. Jika Kau berpikir Ia bisa membantumu, maka Kau salah." Pesan lain mendarat di layarnya, Livy tidak perlu melihat siapa pengirimnya karena sudah pasti Arthur.

Pertanyaannya adalah darimana Arthur tahu segala hal tentangnya? Livy terkesiap teringat bahwa sebenarnya handphone yang kini ada di tangannya adalah pemberian Arthur. Motor yang Ia gunakan kemanapun Ia pergi, juga pemberian lelaki itu. Mungkin Arthur telah memasang penyadap dan pelacak di handphone dan motornya. Livy mendesah frustasi.

"Mengapa Ia merampas segalanya dariku?" erang Livy meremas selimut.

Sebenarnya Arthur peduli padanya karena meskipun Ia mengurungnya, Livy masih diberi makan dan tempat tinggal. Bahkan kini Livy bebas berbelanja apapun dari pakaian, make up, maupun makanan. Segalanya Arthur berikan. Tetapi tetap saja Ia berstatus tawanan Arthur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status