Share

Ungkapan Cinta Sang Mafia

Tawanan Cinta Mafia Psikopat bab:5.

"Semua karyawan D'Fantazio Fuel hari ini dimohon untuk mengenakan pakaian hitam dalam rangka menghormati kematian Mr. Aleksander, Manajer Produksi." Begitulah inti pengumuman yang disampaikan melalui pesan kepada seluruh karyawan, termasuk kepada Livy.

Gedung pencakar langit D'Fantazio Fuel, salah satu anak cabang D'Fantazio Group, nampak hening. Semua orang mengenakan pakaian hitam. Livy keluar dari lift dan langsung ikut doa bersama di sebuah aula.

"Sayang sekali ya, padahal masih muda," ucap orang-orang di sekitar Livy.

Dari yang Livy dengar, Mr. Aleksander meninggal karena kecelakaan maut saat solo traveling ke luar kota. Mr. Aleksander mengambil jatah cutinya untuk jalan-jalan sendiri. Namun, betapa terkejutnya Livy ketika melihat foto yang terpajang di bagian depan tempat mereka doa bersama.

"Orang itu?" gumam Livy tidak percaya, untung saja suaranya sangat pelan sehingga hanya dirinya yang mendengar.

Wajah foto yang dipajang di sana tentu saja tidak asing bagi Livy. Itu adalah orang yang sama dengan yang ditangkap oleh komplotan Arthur. Lelaki buronan Arthur yang diperas informasinya dan tertembak karena berusaha kabur. Livy menahan nafasnya. Ia berusaha menyembunyikan mimik wajahnya supaya tidak mengundang perhatian orang lain.

"Padahal, Pak Aleks baik sekali orangnya," ujar teman Livy saat mereka bersama-sama kembali ke tempat kerja masing-masing.

"Pak Aleks sudah lama jadi manajer?" tanya Livy menanggapi ucapan Diana, teman akrabnya yang kebetulan usianya hanya dua tahun di atasnya.

"Baru, baru diangkat beberapa bulan yang lalu. Pas aku masuk sini, itu pas banget ada serah terima jabatan masal." Diana pun mulai bercerita tanpa diminta.

"Pak Aleks beberapa kali mampir kesini bawa makanan. Oh iya, aku sama Bu Sally juga pernah ditraktir lho," lanjut Diana dengan lancar menceritakan salah satu manajer mereka yang meninggal.

Sepanjang hari di beberapa sudut gedung, meninggalnya Mr. Aleksander pun menjadi topik hangat. Livy ingin sekali mengumpat.

Ia yakin lelaki itu bukan mati karena kecelakaan, melainkan dibunuh oleh Arthur dan komplotannya.

"Arthur send a video." Muncul notifikasi di layar handphone Livy saat istirahat tiba.

"Buka ketika Kau sendiri." Bunyi keterangan di bawah video itu. Livy pun langsung membukanya setelah Ia berpura-pura ke kamar kecil.

Di dalam video itu, beberapa orang bertopeng memaksa lelaki, yang ternyata bernama Alexander, supaya terus berjalan menaiki tangga dengan langkah terseok-seok. Mereka menuju rooftop dan ketika sampai langsung membuka penutup muka lelaki itu.

"Terima kasih atas informasi yang Kau berikan selama ini," seringai Arthur yang hanya terdengar dari suaranya saja. Livy tahu salah satu lelaki bertopeng itu adalah Arthur karena Ia sudah hafal suaranya.

"Aku sudah memberi dan melakukan apa yang Kau mau," ujar lelaki itu dengan suara ketakutan.

"Ya, tetapi itu tidak cukup untuk mengampunimu," sahut lelaki lain yang mungkin adalah Bryan.

"Aku mohon," rintihan pun terdengar dari bibir lelaki itu yang nampak sudah putus asa.

Wajah lelaki itu sudah babak belur, bajunya lusuh. Seperti ada tekanan mental yang diderita dari caranya berbicara. Tidak menutup kemungkinan Arthur menyiksanya dengan kejam.

"Bisa jadi informasi yang Kau berikan itu palsu bukan?" ujar yang lain.

"Tidak, itu benar. Setahuku memang begitu." Lelaki itu menggeleng.

"Sudahlah, langsung saja," seru Stefano tidak sabar.

Tiga orang bertopeng pun mendorong lelaki itu dari atas gedung bertingkat. Livy tidak bisa melihatnya dengan jelas berapa tinggi gedung itu. Setelahnya, video pun berakhir. Livy membekap mulutnya sendiri tidak menduga apa yang bakal dilakukan oleh Arthur. Lelaki itu berdarah dingin, Ia pembunuh yang tidak punya rasa belas kasihan. Setelah memeras informasi secara paksa dengan menyiksanya, Arthur membunuh lelaki itu.

"Livy, Kau tidak apa-apa?" tanya Diana saat melihat Livy keluar kamar mandi dengan mata kemerahan.

"Tidak apa-apa, aku hanya rindu ibuku," gumam Livy berbohong. Tetapi sebenarnya Ia tidak sepenuhnya berbohong, Ia memang merindukan ibunya, dan juga kebebasan dari Arthur.

"Ah, itu biasa terjadi disini. Aku juga pernah merasakannya," ujar Diana terkekeh pelan.

Livy menoleh dan berharap hanya kerinduan kepada keluarga yang terjadi pada Diana, bukan ketakutan karena menjadi tawanan mafia. Livy melanjutkan pekerjaannya dalam diam. Apa yang menimpa Mr. Aleksander sangat mengusik pikirannya. Arthur benar-benar jahat seperti iblis. Seandainya bisa, Livy pasti sudah pergi. Tetapi sayangnya Arthur memberitahu bahwa Ia tidak bisa pergi kemanapun.

"Hai."

Sapaan itu sangat mengejutkan Livy sampai membuatnya terlonjak. Tiba-tiba saja Arthur sudah ada di apartemennya saat Ia masuk. Arthur melambaikan tangan menunjukkan kartu akses sebelum Livy sempat bertanya darimana Arthur masuk. Lelaki itu, tentu saja bisa masuk tanpa perlu pemberitahuan.

"Kau jahat, Kau iblis!" Livy menudingkan jari telunjuknya kepada Arthur.

"Memang, tidak ada orang yang bilang aku baik," jawab Arthur sembari mengedikkan bahu tidak peduli.

"Kau pembunuh," teriak Livy tidak tahan lagi. Mendengar hal itu, Arthur tertawa terbahak-bahak.

"Jadi, Kau sudah menonton rekaman itu ya?" gumam Arthur. "Bagus."

Livy tidak menyangka akan reaksi Arthur, air matanya lolos dari pelupuk. Ia pun terduduk luruh ke lantai. Dalam hati Ia merutuki dirinya, mengapa harus memiliki hubungan dengan mafia psikopat seperti ini? Dulu, Ia mengira bahwa mafia dan psikopat hanya ada di film-film saja ataupun fiksi.

"Mengapa harus dengan jalan membunuh?" teriak Livy dengan frustasi.

"Hah, tentu saja harus. Kau seharusnya tahu kalau Ia dibebaskan begitu saja, akan berbahaya," papar Arthur dengan santainya.

Livy menghela nafas, Ia berusaha menjernihkan pikirannya. Tetapi tetap saja Ia tidak bisa membenarkan apa yang Arthur lakukan. Pembunuhan tetap saja merupakan kejahatan.

"Aku bisa melakukan apapun, dengan jalan apapun, demi mencapai apa yang kuinginkan. Termasuk membunuh," ucap Arthur pelan namun menusuk telinga Livy.

Begitu besar ambisi Arthur untuk menguasai D'Fantazio sampai membunuh karyawan yang tidak berdosa. Arthur sama sekali tidak punya hati.

"Sudah cukup informasi darinya 'kan? Pastinya Kau juga sudah bisa masuk ke D'Fantazio," ucap Lizy dengan sesenggukan.

"Hm?" Arthur mengangkat alisnya bingung.

"Lepaskan aku, aku ingin pulang," ucap Livy tanpa basa-basi lagi. Arthur pun terkejut dibuatnya.

"Tidak bisa," sahut Arthur kasar.

Livy menangis, Ia mencengkeram kemeja kerja yang masih dikenakannya erat-erat. tidak menyangka akan sesakit ini apa yang dialaminya.

"Oke, Kau bisa pulang. Tetapi Kau tidak bisa lepas dariku," ucap Arthur kemudian dengan suara lembut.

"Karena aku terkesan dengan sikapmu dan manisnya wajahmu. Aku memberimu waktu untuk bertemu keluargamu," bisik Arthur sembari meraih dagu Livy dan memaksanya untuk berhadapan dengannya.

"Benarkah?" tanya Livy seperti mimpi mendengar ucapan Arthur.

"Ya, aku menyukaimu," sahut Arthur secepat kilat.

"Maksudku, apa Kau akan memberiku kesempatan untuk bertemu ibuku?" tanya Livy sedikit frustasi karena Arthur membicarakan hal lain.

Arthur mengangguk, kali ini memandang Livy dengan tatapan yang sangat hangat. Ia menyeka air mata yang mengalir di pipi gadis itu dengan jarinya. Livy terpesona dibuatnya. Ia terharu entah karena kemurahan Arthur memberinya kesempatan untuk pulang atau ucapannya yang kali ini lembut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status