Home / Urban / Terjerat Pesona Mama Temanku / Bab 1 Suara aneh dari dalam kamar

Share

Terjerat Pesona Mama Temanku
Terjerat Pesona Mama Temanku
Author: Risya Petrova

Bab 1 Suara aneh dari dalam kamar

Author: Risya Petrova
last update Last Updated: 2025-05-14 20:46:26

“Ah ....”

Seketika langkah Adit terhenti di depan pintu kamar yang tertutup.

Malam ini Adit menginap di rumah Hardian. Ia dan Hardian adalah teman satu jurusan di Universitas yang sama. Beberapa bulan belakangan ini mereka menjadi teman karib karena merasa klop dan cocok satu sama lain.

Beberapa kali pula, Adit yang merupakan anak rantau di Jakarta, menginap di rumah Hardian.

Dari numpang makan, menghindari omelan ibu kos yang menagih tunggakan.

Tapi dari beberapa kali menginap, baru kali ini ia mendengar suara desau aneh yang membuat penasaran. Suara yang ia dengar terdengar manja tapi seperti butuh pertolongan. Susah menjelaskannya.

Akhirnya niat ingin buang air kecil di malam hari, berubah menjadi acara ‘mengintip’.

Suara menggoda itu kembali terdengar. Membuat jantung Adit semakin berdebar.

‘Papanya Hardi udah pulang dari luar kota kali ya?’ tanyanya di dalam hati.

Adit berdiri terpaku di depan pintu kamar itu, mencoba menenangkan dirinya. Suara aneh yang baru saja ia dengar membuatnya bimbang.

Tapi suara itu … suara itu seolah terus memanggilnya.

Ia pun mendekatkan telinganya ke pintu, mendengar dengan lebih saksama. Lagi-lagi suara desahan itu terdengar, kali ini sedikit berbeda, lebih intens.

Jantung Adit berdebar semakin cepat. Tangannya mulai bergerak menuju kenop pintu, meskipun otaknya berusaha menahan.

Tubuhnya seakan bergerak di luar kendali. Dengan ragu, ia memutar kenop pintu perlahan. Pintu itu ternyata tidak terkunci.

Perlahan, Adit membuka pintu sedikit demi sedikit, cukup untuk mengintip ke dalam kamar tanpa menarik perhatian.

Adit membelalakkan matanya. Sarah, yang ia tahu adalah mamanya Hardi itu tengah berada di sana, tetapi bukan dalam situasi yang ia bayangkan sebelumnya.

Sebelumnya, ia pikir mama dan papanya Hardian sedang bermain panas. Namun, dugaan Adit salah.

Di hadapannya, Sarah membiarkan malam menyelimutinya, jari-jarinya menari dalam sunyi, seakan mencari sesuatu yang tak bernama namun begitu akrab.

Adit menelan ludah. Pandangannya tetap terfokus pada tubuh Sarah yang bergerak pelan di atas kasur, bermain bersama 'mainannya'.

Wanita cantik berusia tiga puluh tujuh tahun itu, mengikuti ritme yang ia ciptakan sendiri.

Adit seharusnya menutup pintu dan pergi, tapi kakinya terpaku. Ada sesuatu dalam dirinya yang menahannya untuk berpaling.

Ia mulai merasa tubuhnya memanas, seiring dengan setiap detik yang ia habiskan menyaksikan pemandangan yang tak seharusnya dilihat.

Sekilas senyum muncul di wajahnya. ‘Ini gila!’ tegasnya pada diri sendiri. ‘Cepat pergi, tolol!’

Jantung Adit semakin berdetak lebih cepat tatkala Sarah semakin tenggelam dalam permainannya sendiri. Sepasang kaki Adit gemetar dan mulutnya ternganga. Ia benar-benar terhipnotis pada apa yang ia lihat saat ini.

Namun, tiba-tiba, Sarah berhenti.

“Eh …”

Adit menahan napas, takut jika pergerakannya atau deru nafasnya yang tak terkendali telah menarik perhatian Sarah. Ia takut Sarah menoleh!

Tapi bukan itu. Sarah, masih dalam posisinya.

Adit kembali menghembuskan nafas pelan. Lega keberadaannya tidak diketahui.

Namun Sarah tiba-tiba merasa seolah ada yang memperhatikannya. Seperti ada sesuatu yang tak beres. Ia menoleh ke arah pintu, matanya menyapu ruangan dengan cepat.

Adit panik.

Ia segera menarik kembali tubuhnya dari celah pintu, menutupnya dengan cepat, namun cukup pelan agar tidak menimbulkan suara mencolok.

Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai membasahi dahinya. 'Sial ... Mamanya Hardian ngeliat aku nggak ya?!’ serunya bertanya pada diri sendiri.

Ia menunggu beberapa detik dalam keheningan, mendengarkan apakah ada suara dari dalam kamar. Namun, tak ada. Kamar itu kembali hening.

Adit menghela napas lega, meski tubuhnya masih gemetar akibat apa yang baru saja ia lakukan. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, mencoba menenangkan debaran jantungnya.

Kepalanya dipenuhi oleh rasa bersalah dan campuran emosi yang membingungkan. Di satu sisi, ia merasa perbuatannya tadi salah, sangat salah.

Namun di sisi lain, ada perasaan yang tak ia pahami yang membuatnya tersenyum tipis, mengingat kembali apa yang baru saja dilihatnya tadi.

Adit masih menyandarkan tubuhnya ke dinding, mencoba menenangkan degup jantung yang tak kunjung mereda. Otaknya berkecamuk antara perasaan bersalah dan kenikmatan terlarang dari apa yang baru saja dilihat oleh kedua matanya.

"Adit! Ngapain di sini malam-malam?"

Risya Petrova

Hai ... Aku author pendatang baru di Good Novel. Kalau berkenan follow aku ya, dan tambahkan cerita ini ke rak buku kalian. Makasih ^^

| 71
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Detik kematian Damar

    Langkah-langkah kecil terdengar di lantai marmer yang dingin. Bela, dengan rambut panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya, berjalan menuju dispenser di sudut dapur.Gelas kaca di tangannya bergetar ringan, hampir tak terkendali. Ia menempelkan jarinya ke tombol dingin, dan suara gemericik air mengalir mengisi ruang sunyi.Namun keheningan itu segera menjadi gaduh. Karena suara tawa.Bukan sembarang tawa.Tawa itu dalam, berat, penuh kesombongan. Tawa yang bagi orang lain mungkin terdengar biasa, tapi bagi Bela, suara itu adalah cambuk neraka yang merobek kembali luka lamanya.Tawa Damar!Gelas kaca di tangan Bela berhenti bergetar. Ia terdiam, tubuh kaku. Lalu, tanpa ia sadari, matanya memicing, sorotnya tajam seakan menembus dinding yang memisahkan ia dengan ruang kerja sang Tuan rumah. Tawa itu semakin keras, menggema di kepalanya, bercampur dengan jeritan masa kecil yang selama ini ia pendam.— "Ayo, jangan nangis. Kalau nangis, tambah seru rasanya." "Diam! Jangan cerita ke s

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Permainan licik

    “Jangan!"Damar tertegun. Ia mengangkat alis, setengah tak percaya dengan yang baru saja didengarnya. “Jangan?” tanyanya ulang, nada suaranya dipenuhi heran. Ia berpikir Sambo sedang menolak uangnya. Dan itu hal yang tak masuk akal. Sejak kapan sahabat lamanya itu berubah jadi abdi negara yang jujur?Namun Sambo buru-buru melanjutkan kalimatnya. Suaranya kali ini lebih pelan, licin, penuh kalkulasi. “Jangan transfer ke rekeningku. Cari mati namanya. Cepat sekali itu bisa dilacak. Nanti aku justru terjebak. Transfer saja ke rekening sopirku. Namanya Syahroni. Nanti aku kirimkan nomor rekeningnya ke kamu.”Sejenak keheningan, lalu Sambo terkekeh. “Kalau misalnya pihak bank mengusut kenapa tiba-tiba sopirku mendapat transferan uang begitu besar, gampang. Dia akan menjawab kalau itu pinjaman modal dari seorang pengusaha sukses, konglomerat kaya yang baik hati … Pak Damar.”Ucapan terakhir itu ia selipkan dengan tawa licik.Di seberang, Damar tak bisa menahan tawanya. Ia tergelak, keras,

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Hukum

    Udara di ruangan itu mendadak semakin berat. Sarah bisa merasakan bulu kuduknya berdiri, seakan hawa dingin dari AC bercampur dengan tekanan yang tak kasat mata.Bondan melirik Sarah, seolah memberi kode untuk berhati-hati dalam menjawab. Tapi sebelum ia sempat bicara, Sarah sudah lebih dulu membuka suara.“Punya,” ucapnya cepat.Kompol Sambo mengangkat wajahnya, tatapannya menusuk. “Ya sudah, mana?” suaranya tegas, mengandung nada perintah.Sarah menelan ludah. “Tidak saya bawa, Pak. Ada di handphone Adit.”Sejenak suasana hening. Sambo mengetuk meja dengan jarinya, satu, dua kali. Bondan segera maju selangkah, mengambil alih.“Kami juga menginginkan Adit dibebaskan, Pak Sambo. Kenapa pelapor malah ditahan? Apa-apaan ini? Klien saya datang untuk mencari keadilan, malah diperlakukan seperti tersangka. Tidak masuk akal.”Sambo menoleh perlahan, menimbang kata-kata Bondan dengan wajah tanpa ekspresi.Bondan tak berhenti di situ. “Dan satu lagi. Saya ingin Anda memperlihatkan rekaman CCT

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Kepala polisi

    Suasana ruang tunggu kembali terasa berat, seperti udara yang mengendap di antara dinding tebal kantor polisi. Denting jam dinding terdengar lebih jelas, setiap detiknya seakan menghantam dada Sarah. Ia menggenggam erat ujung blazer yang dikenakan, mencoba menahan kegelisahan yang mendidih.Bripka Surya akhirnya mengembuskan napas keras. Ia berdiri, tangannya bertumpu di meja seakan menyalurkan sisa wibawa yang masih ia genggam. “Baik,” ucapnya singkat, suara dalamnya terdengar agak bergetar. “Saya akan antar kalian menghadap atasan saya. Tapi kalian tunggu di sini dulu. Jangan buat keributan.”Bondan menautkan alisnya, menilai tiap kata dengan hati-hati. “Baik, kami tunggu,” jawabnya tenang, meski sorot matanya menusuk.Surya hanya mengangguk kaku, lalu berbalik meninggalkan ruangan. Suara langkah sepatunya menggema di koridor panjang yang menuju ruang pimpinan. Pintu kayu berlapis kaca buram bergoyang pelan ketika ia melewatinya, lalu hening kembali.Sarah menoleh cepat ke arah Bond

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Lagu lama

    Satu setengah jam kemudian, suasana ruang tunggu kantor polisi masih panas. Sarah berdiri kaku, air matanya mulai kering, berganti dengan keteguhan hati. Beberapa polisi yang tadinya ikut menahan Adit kini kembali ke meja mereka, namun tatapan mereka masih penuh kewaspadaan.Di tengah ketegangan itu, pintu depan terbuka. Seorang pria tinggi berkacamata, dengan jas hitam sederhana, masuk sambil membawa map cokelat di tangannya. Wajahnya tegas, langkahnya mantap. Dialah Bondan, pengacara yang sekaligus sahabat lama Sarah.“Sarah!” panggilnya, nada suaranya cemas. Ia segera menghampiri. “Kamu nggak apa-apa? Aku dapat teleponmu barusan, langsung ke sini.”Sarah mengangguk cepat. “Aku nggak apa-apa, Dan. Tapi Adit … mereka jeblosin dia ke sel tanpa alasan jelas. Semua gara-gara laporan kita yang dihilangkan. Yang tadi udah aku ceritain di telepon!”Bondan menatap sekeliling dengan pandangan tajam, lalu menancapkan matanya pada Bripka Surya. “Jadi kamu yang namanya Surya?” tanyanya, suarany

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   "Dasar Kon!"

    Pagi menjelang siang, jalanan menuju kantor polisi mulai ramai. Motor-motor berdesakan, mobil saling klakson, dan suara pedagang kaki lima bersahutan. Namun di balik hiruk pikuk itu, langkah Adit dan Sarah justru berat.Mereka memasuki gedung kantor polisi yang berbau khas, campuran kertas, kopi, dan aroma rokok yang samar. Beberapa petugas tampak sibuk di meja resepsionis, mengetik laporan, atau sekadar bercanda sesama rekan kerja.Adit menggenggam erat ponselnya. Di dalam ponsel itu, ia masih menyimpan salinan video bukti yang dulu mereka serahkan. Tapi hatinya tidak tenang. Dari awal ada firasat buruk, seolah laporan mereka sengaja dilenyapkan.Sarah menyikut lengan Adit pelan. “Tenang, Dit. Kita tinggal minta kejelasan. Nggak ada salahnya kita datang lagi.” Adit mengangguk singkat. “Iya. Semoga memang cuma salah administrasi.”Mereka mendekati meja seorang petugas muda berseragam lengkap, namanya tertera jelas di dada: Ahmad. Wajahnya teduh, matanya jernih, berbeda dari bayangan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status