“Ah ....”
Seketika langkah Adit terhenti di depan pintu kamar yang tertutup. Malam ini Adit menginap di rumah Hardian. Ia dan Hardian adalah teman satu jurusan di Universitas yang sama. Beberapa bulan belakangan ini mereka menjadi teman karib karena merasa klop dan cocok satu sama lain. Beberapa kali pula, Adit yang merupakan anak rantau di Jakarta, menginap di rumah Hardian. Dari numpang makan, menghindari omelan ibu kos yang menagih tunggakan. Tapi dari beberapa kali menginap, baru kali ini ia mendengar suara desau aneh yang membuat penasaran. Suara yang ia dengar terdengar manja tapi seperti butuh pertolongan. Susah menjelaskannya. Akhirnya niat ingin buang air kecil di malam hari, malah jadi pengen ngintip. Suara ‘horror’ itu kembali terdengar. Membuat jantung Adit semakin berdebar. Kerongkongan Adit tetiba menjadi kering. Rasa ingin tahunya semakin menggebu. ‘Papanya Hardi udah pulang dari luar kota kali ya?’ tanyanya di dalam hati. Adit berdiri terpaku di depan pintu kamar itu, mencoba menenangkan dirinya. Suara aneh yang baru saja ia dengar membuatnya bimbang. Di satu sisi, ia merasa tak pantas untuk mengintip, tapi di sisi lain rasa penasaran yang kuat mendesak pikirannya. Suara desahan itu begitu menggoda dan membangkitkan rasa ingin tahunya. Suara tadi terdengar lagi, rintihan desah yang lebih pelan namun jelas, menggelitik keinginan Adit untuk tahu lebih banyak. 'Apa yang sedang terjadi di dalam sana?' pikirnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran-pikiran aneh yang mulai memenuhi benaknya. Tapi suara itu … suara itu seolah terus memanggilnya. 'Ini nggak bener,' gumam Adit dalam hati. Namun, seperti ada daya tarikkan kuat seperti magnet yang tak bisa ia lawan. Ia pun mendekatkan telinganya ke pintu, mendengar dengan lebih saksama. Lagi-lagi suara desahan itu terdengar, kali ini sedikit berbeda, lebih intens. Jantung Adit berdebar semakin cepat. Tangannya mulai bergerak menuju kenop pintu, meskipun otaknya berusaha menahan. ‘Apa yang kamu lakukan, Dit? Ini kamarnya Tante Sarah-mamanya sahabat kamu sendiri!’ pikirnya sendiri, tapi tubuhnya seakan bergerak di luar kendali. Dengan ragu, ia memutar kenop pintu perlahan. Pintu itu ternyata tidak terkunci. Perlahan, Adit membuka pintu sedikit demi sedikit, cukup untuk mengintip ke dalam kamar tanpa menarik perhatian. Sinar lampu redup dari dalam kamar menembus celah pintu yang semakin lebar. Di sudut kamar, di atas tempat tidur, ia melihat sosok perempuan. Bukan sepasang pasutri seperti yang ia bayangkan, melainkan hanya satu orang—Sarah. Adit membelalakkan matanya. Sarah, yang ia tahu adalah mamanya Hardi itu tengah berada di sana, tetapi bukan dalam situasi yang ia bayangkan sebelumnya. Sebelumnya, ia pikir mama dan papanya Hardian sedang bermain panas. Namun, dugaan Adit salah.Di hadapannya, Sarah membiarkan malam menyelimutinya, jari-jarinya menari dalam sunyi, seakan mencari sesuatu yang tak bernama namun begitu akrab.
Adit menelan ludah. Pandangannya tetap terfokus pada tubuh Sarah yang bergerak pelan di atas kasur, bermain bersama 'mainannya'. Wanita cantik berusia tiga puluh tujuh tahun itu, mengikuti ritme yang ia ciptakan sendiri.Adit seharusnya menutup pintu dan pergi, tapi kakinya terpaku. Ada sesuatu dalam dirinya yang menahannya untuk berpaling. Mulai merasa tubuhnya mulai memanas, seiring dengan setiap detik yang ia habiskan menyaksikan pemandangan yang tak seharusnya dilihat.
Sekilas senyum muncul di wajahnya. ‘Ini gila!’ tegasnya pada diri sendiri. ‘Cepat pergi, tolol!’ Tapi entah kenapa ia tak bisa menghentikan diri untuk menikmatinya. Matanya tak lepas dari setiap gerakan Sarah, yang seolah-olah sepenuhnya tenggelam dalam dunianya sendiri, tak menyadari kehadiran Adit di ambang pintu. Jantung Adit semakin berdetak lebih cepat tatkala Sarah semakin tenggelam dalam permainannya sendiri. Sepasang kaki Adit gemetar dan mulutnya ternganga. Ia benar-benar terhipnotis pada apa yang ia lihat saat ini. Namun, tiba-tiba, Sarah berhenti. Adit menahan napas, takut jika pergerakannya atau deru nafasnya yang tak terkendali telah menarik perhatian Sarah. Ia takut Sarah menoleh! Tapi bukan itu. Sarah, masih dalam posisinya. Adit kembali menghembuskan nafas pelan. Lega keberadaannya tidak diketahui. Namun Sarah tiba-tiba merasa seolah ada yang memperhatikannya. Seperti ada sesuatu yang tak beres. Ia menoleh ke arah pintu, matanya menyapu ruangan dengan cepat. Adit panik. Ia segera menarik kembali tubuhnya dari celah pintu, menutupnya dengan cepat, namun cukup pelan agar tidak menimbulkan suara mencolok. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai membasahi dahinya. 'Sial ... Mamanya Hardian ngeliat aku nggak ya?!’ serunya bertanya pada diri sendiri. Ia menunggu beberapa detik dalam keheningan, mendengarkan apakah ada suara dari dalam kamar. Namun, tak ada. Kamar itu kembali hening. Adit menghela napas lega, meski tubuhnya masih gemetar akibat apa yang baru saja ia lakukan. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Kepalanya dipenuhi oleh rasa bersalah dan campuran emosi yang membingungkan. Di satu sisi, ia merasa perbuatannya tadi salah, sangat salah. Namun di sisi lain, ada perasaan yang tak ia pahami yang membuatnya tersenyum tipis, mengingat kembali apa yang baru saja dilihatnya. Adit masih menyandarkan tubuhnya ke dinding, mencoba menenangkan degup jantung yang tak kunjung mereda. Otaknya berkecamuk antara perasaan bersalah dan kenikmatan terlarang dari apa yang baru saja dilihatnya. Tiba-tiba, suara keras dan lantang menghentikan pikirannya seketika. "Adit! Ngapain di sini malam-malam?" Suara Hardian memecah keheningan. Adit terkesiap, panik menyelimuti dirinya seketika. ‘Astaga, ketahuan!’ pikirnya dengan jantung semakin berdebar. ‘Kalau Hardian tau aku ngintip mamahnya, persahabatan kita jadi taruhannya!’ Ia berusaha berpikir cepat, mencari alasan yang masuk akal. "Aku ... aku kebelet buang air kecil!" jawab Adit terburu-buru sambil mencoba menjaga nada suaranya agar terdengar biasa. Hardian mengernyit. "Buang air kecil? Ya buang air kecil aja lah ke kamar mandi sana! Kenapa malah berdiri di sini?" Adit menelan ludah, berharap Hardian tidak menyadari kegugupannya. "Ehh ... iya. Tapi suara kamu pelanin dong! Ntar kebangun orang-orang!" Ia mencoba mengalihkan perhatian Hardian, berharap sahabatnya itu tidak mencurigai apa pun. Namun Hardian tetap berbicara dengan suara kencang, seolah tidak peduli. "Emang siapa yang bakal bangun? Kamu aneh banget, Dit. Di rumah ini kan cuma ada kita sama nyokap aku aja.” Adit semakin panik. Suara Hardian terlalu keras! Sebelum Adit bisa menghentikannya, suara itu jelas telah menarik perhatian dari dalam kamar. Ia bisa merasakan napasnya terhenti saat pintu kamar Sarah perlahan terbuka. Sarah keluar dari kamar dengan mengenakan pakaian tidur yang sudah rapi, lengkap dengan cardigan tipis yang ia buru-buru kenakan untuk menutupi tubuhnya. Matanya tampak sedikit gelisah, tapi ia tetap mencoba menjaga ketenangannya. Dengan alis terangkat, Sarah bertanya, "Ada apa sih, malam-malam ribut banget?" Adit terkesiap. Pandangannya langsung bertemu dengan sepasang mata Sarah. Wajahnya memucat, dan rasa bersalah kembali menyerang seiring dengan perasaan malu yang mendalam. Dalam sepersekian detik, Adit menyadari bahwa Sarah mungkin sudah menyadari sesuatu. Hardian menoleh ke arah mamanya, wajahnya tampak santai, seolah tak terjadi apa-apa. "Nggak ada apa-apa, Ma. Ini Adit lagi kebelet buang air kecil aja," jawab Hardian dengan nada datar. Sarah memandang Adit dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara curiga dan waspada. Adit berusaha menjaga wajahnya agar tetap tenang, meskipun dalam hatinya ia ingin menghilang dari situ. Ia bisa merasakan hawa panas menyelubungi tubuhnya, dan jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Sarah, si wanita dewasa yang berwajah cantik, manis dan memiliki tubuh sensual – pinggang ramping, payudara yang tidak terlalu besar tapi terlihat penuh, juga kaki jenjang yang indah itu tetap berdiri di depan pintu, menatap Adit tajam.Hai ... Aku author pendatang baru di Good Novel. Kalau berkenan follow aku ya, dan tambahkan cerita ini ke rak buku kalian. Makasih ^^
Adit membalikkan badan dan melihat Bela berdiri di hadapannya dalam keadaan tidak wajar. Dia telanjang bulat. Sepasang bukit kembarnya menggantung indah. Pinggangnya langsing. Namun terlalu kurus untuknya.Bela seperti kurang makan, atau seseorang yang memiliki masalah pikiran, tertekan. Kejantanan Adit memang mulai sedikit menegang karena ia adalah laki-laki normal. Beberapa kali Adit berusaha memalingkan muka, tak mau melihat tubuh indah Bela.Baginya, saat ini bukan waktunya mengagumi. Justru ini terasa ganjil.Wajah Bela datar, namun matanya berkilat seperti menyimpan kobaran tak terkendali.“Bela, tolong pakai bajumu kembali … ini nggak bisa begini,” kata Adit panik. Suaranya tercekat, jantungnya berdetak tak karuan. Bukan karena hasrat, tapi karena takut dan ngeri. Ia takut melakukan kesalahan fatal.Bela melangkah maju.“Aku nggak sanggup kehilangan kamu lagi, Arga … Aku nggak peduli kamu bilang bukan Arga, tapi aku tahu ini kamu!” bibir Bela bergetar. “Kita sudah cukup lama s
Suara knalpot motor sport terdengar pelan saat Adit mematikan mesinnya di pelataran kos sederhana itu. Malam itu langit seperti menyimpan sisa mendung. Sama sekali tidak ada bintang yang bertaburan di cakrawala.Ia turun dari motornya, melepaskan helm, dan menghela napas panjang.Langkahnya terasa berat hari ini.Pikirannya masih mengambang pada Sarah.“Apa dia sudah sampai dengan selamat ya di rumah sakit?” gumamnya lirih, berharap tidak terjadi apa-apa pada Sarah. Semuanya sesuai yang direncanakan sebelumnya.Adit semakin dekat melangkah ke pintu kosannya.Tigar belum juga terlihat. Motor RX-King sahabatnya itu tidak terparkir di tempat biasa.Adit merogoh saku, mengeluarkan kunci pintu.Namun baru saja kunci hampir masuk ke lubang, sebuah suara lirih, nyaris seperti bisikan membelah kesunyian dari kamar kos sebelah."Tolong …”Adit spontan menoleh. Itu suara dari kamar Bela. Tidak terlalu keras, tapi cukup membuat bulu kuduknya meremang.Tanpa pikir panjang, Adit melangkah cepat ke
“Damar … Please … Ini sakit,” ujar Sarah lirih, nyaris berbisik. Air mata mulai menggenang di pelupuk.Damar perlahan melonggarkan cengkeramannya. Tapi sebelum ia melepas Sarah, ia menunduk dan berkata di dekat telinga wanita yang masih berstatus menjadi istrinya itu, “Kita belum selesai. Kamu pikir kamu bisa kabur begitu aja dari aku?”Sarah tidak menjawab. Tapi air matanya jatuh.Bukan karena takut. Tapi karena perasaannya hari ini resmi runtuh. Batas kesabaran dan harga dirinya sudah dipaksa jebol berkali-kali.Meri menarik tubuh Sarah ke belakangnya. Melindungi.Meri yang semula terdiam, akhirnya bergerak maju.“Lepasin dia, Dam!” serunya tegas.Damar menoleh. Pandangannya menusuk.“Ini urusan suami istri. Jangan ikut campur,” katanya datar.Tapi Meri tidak gentar. “Kalau suami istri sehat, gak akan ada istri yang nyari nafas di luar rumah.”Wajah Damar langsung berubah. Sorot matanya menajam.Meri melangkah lebih dekat. “Gue udah temenan sama lu sejak lama ya. Tapi baru sekarang
Lift terus naik.Satu … dua … tiga detik terasa seperti menit panjang yang menggantung di ujung tebing.Sarah menunduk, kedua telapak tangannya dingin. Nafasnya tertahan, dan ia bisa merasakan denyut jantung yang berpacu terlalu kencang. Ia tidak takut jika ketahuan mendua. Tapi yang ia takutkan hanya keselamatan Adit dan juga kekerasan yang akan didapatkannya jika Damar emosi.Meri berdiri dengan posisi kaku. Biasanya dia bisa menggoda, bercanda, atau setidaknya menyela suasana. Tapi kali ini dia tahu, situasi sudah terlalu genting untuk main-main.Sedangkan Damar .…Masih berdiri di tengah, tegak, tapi seluruh tubuhnya seperti memancarkan tekanan. Matanya lurus menatap angka digital lantai di atas pintu lift, tapi pikirannya jelas terfokus pada dua perempuan di sekitarnya.“Tahu nggak,” suara Damar tiba-tiba terdengar datar, seperti sedang membaca cuaca buruk, “aku punya teman yang kerja di rumah sakit ini.”Meri langsung menelan ludah.Sarah hanya menegakkan tubuhnya sedikit.“Kepa
Ban mobil Meri berdecit pelan saat ia menghentikan kendaraan di area parkir belakang rumah sakit Medical Centre. Mesin dimatikan tergesa. Kedua perempuan itu langsung turun, sama-sama diliputi kecemasan.Sarah melirik jam di ponsel. “Kira-kira Damar sekarang ada di mana ya, Mer?”“Kalau aku jadi dia sih udah langsung capcus ke bagian poli kandungan,” jawab Meri sambil membetulkan tali tasnya. “Kan aku tadi bilang ke dia kamu lagi nemenin aku ke dokter kandungan. Logikanya sih ya, dia langsung ke sana.”Sarah menggigit bibir, lalu mengangguk cepat. “Ayo, kita ke poli kandungan. Mudah-mudahan Damar belum sampai. Poli kandungan ada di lantai dua kan?”Meri mengangguk. “Iya, ada di sana.”“Mer, kok aku jadi takut Damar udah sampe duluan ya. Masalahnya kalau aku ketahuan bohong. Aku pasti susah lagi cari alasan keluar.”“Tenang aja napa …,” ujar Meri berusaha menenangkan. “Kamu kan kerja. Di sela-sela waktu kerja kan bisa ketemu Adit.”“Tapi Mer … kamu nggak tau gimana Damar sebenarnya,” u
Pintu darurat lantai bawah terbuka. Sarah muncul lebih dulu, tergesa dengan langkah panjang, diikuti Adit yang menarik tudung jaketnya sedikit lebih rapat untuk menyamarkan wajah. Nafas mereka terengah, tapi mata mereka masih saling terpaut.Meri yang sudah berdiri di samping mobilnya langsung melambaikan tangan, menyuruh Sarah cepat masuk. "Sini! Cepet, Sar!"Tapi sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil, Sarah mendadak berhenti di depan Adit. Ia memeluk leher pemuda itu, lalu menarik wajahnya mendekat. Tanpa pikir panjang, mereka berciuman lagi.Tapi kali ini di tempat terbuka. Di parkiran. Di bawah langit malam dan tiupan angin kota yang semi kemarau.Ciuman mereka dalam. Cepat namun basah. Kecupan yang penuh arti.Meri mengerjap, lalu menyipitkan mata dari balik kemudi. “Ya ampun … dikira ini California kali,” gumamnya. Lalu membuka jendela mobil dan berteriak, “Eh! Romeo Juliet! Cepetan atuh! Ini bukan film Netflix! Nanti aja lagi cipokannya!”Sarah tersadar. Ia melepaskan ciuman