Tiba-tiba, suara keras dan lantang menghentikan pikirannya seketika.
Suara Hardian yang bertanya telah memecah keheningan.
"Aku ... aku kebelet buang air kecil!" jawab Adit terburu-buru sambil mencoba menjaga nada suaranya agar terdengar biasa.
Hardian mengernyit. "Buang air kecil? Ya buang air kecil aja lah ke kamar mandi sana! Kenapa malah berdiri di sini?"
“Ssstttt … Suara kamu … pelanin ….”
"Ada apa sih, malam-malam ribut banget?"
Lidah Adit seketika kelu. Matanya menatap sosok yang dari tadi ia takutkan. Rentetan perasaan bersalah dan malu menyelimuti hatinya.
Sarah keluar dari kamar dengan mengenakan pakaian tidur yang sudah rapi, lengkap dengan cardigan tipis yang ia buru-buru kenakan untuk menutupi tubuhnya.
Matanya tampak sedikit gelisah, tapi ia tetap mencoba menjaga ketenangannya. Dengan alis terangkat.
Dalam sepersekian detik, Adit menyadari bahwa Sarah mungkin sudah menyadari sesuatu.
Hardian menoleh ke arah mamanya, wajahnya tampak santai, seolah tak terjadi apa-apa. "Nggak ada apa-apa, Ma. Ini Adit lagi kebelet buang air kecil aja," jawab Hardian dengan nada datar.
Sarah memandang Adit dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara curiga dan waspada.
Adit berusaha menjaga wajahnya agar tetap tenang, meskipun dalam hatinya ia ingin menghilang dari situ. Ia bisa merasakan hawa panas menyelubungi tubuhnya, dan jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
Sarah, si wanita dewasa yang berwajah cantik, manis dan memiliki tubuh sensual – pinggang ramping, payudara yang tidak terlalu besar tapi terlihat penuh, juga kaki jenjang yang indah itu tetap berdiri di depan pintu, menatap Adit tajam.
Adit buru-buru mencari cara untuk melarikan diri dari situasi canggung ini. "Ah iya, aku ke kamar mandi dulu ya," katanya cepat, sebelum ada yang sempat menjawab.
Tanpa menunggu reaksi dari Hardian atau Sarah, ia langsung melangkah cepat menuju kamar mandi, meninggalkan mereka berdua di belakang.
Setelah menutup pintu kamar mandi di belakangnya, Adit bersandar pada pintu, menarik napas panjang. Tubuhnya masih gemetar akibat ketegangan yang tadi terjadi.
Suara detak jantungnya terdengar begitu jelas di telinganya. Rasa panik dan bersalah bercampur aduk di dalam dirinya.
Dia berjalan ke wastafel, membuka keran, dan menyiramkan air dingin ke wajahnya. Tapi air dingin itu tidak mampu mendinginkan pikirannya yang bergejolak.
Bayangan apa yang baru saja dilihatnya—Sarah, mamanya Hardian, tengah bermain dengan dirinya sendiri itu terus menghantui pikirannya.
Bayangan itu semakin jelas, seolah-olah baru saja terjadi beberapa detik lalu.
'Ini gila,' pikirnya sambil memandangi dirinya sendiri di cermin. Bayangan Sarah, dengan tubuhnya yang bergerak penuh gairah, terus menghantui. Bagaimana mungkin seorang wanita yang terpaut belasan tahun darinya, bisa membuat pikirannya seperti ini?
Dia tak bisa mengabaikan betapa cantiknya Sarah, dengan wajah anggun yang selalu terlihat tenang, kini berubah menjadi wajah yang penuh gairah dan sensual di dalam pikirannya.
***
Keesokan malamnya di tempat Adit magang.
“Adit! Jangan lupa gelas winenya yang harus yang ada kakinya ya!” seru salah seorang rekan kerja Adit di paruh waktu ini.
“Oke, tenang aja. Aku tahu kok. Cuma gak bisa bedain aja gelas wine yang kakinya pakai sepatu apa? Si gelas wine ini pakai sepatu kets atau high heels? Hahahaha,” sahut Adit melucu.
“Aku serius, Dit!” seru Tigar dengan wajah datar.
Senyuman mengambang di wajah Adit dan tawanya itu langsung menghilang.
“Aku serius ... Kita lagi jadi pramusaji pestanya orang-orang tajir, Bro. Jangan sampai salah, kalau gak si Bos marah. Lihat aja ini rumah gede banget udah ke istana. Satu RT kali ini luas tanahnya. Jadi kerjanya jangan cengengesan begitu.”
Adit mengangguk-angguk. Ia kini lebih serius dari pada sebelumnya. “Sorry ... aku gak kepikiran kalau orang kaya bakalan cari masalah sama orang miskin.”
“Mereka gak akan cari masalah. Cuman kalau kamu salah, bisa diaduin ke manager, kamu bakalan tamat. The end! Kan kerjaan ini lumayan buat bantuin bayar kebutuhan kuliah.” Tigar masih menasehati.
“Iya. Thanks sudah sadarin,” kata Adit sembari menghela nafas pelan dan diakhir senyum simpul.
“Nggak apa-apa,” jawab Tigar sembari menepuk bahu Adit. “Ada tamu lagi tuh! Dua tante-tante cantik! Layani dengan baik. Service bro! Bawain minuman dan cemilannya!” sambungnya sembari menyodorkan nampan yang dipegang.
Spontan Adit mengambil nampan tersebut sembari netranya menatap ke arah mana sepasang mata Tigar melihat. “Mamanya Hardian?” pekiknya lirih pada diri sendiri. Sepasang matanya tak bisa berkedip saat memandang Sarah yang sangat begitu cantik malam ini.
Sarah mengenakan kemeja casual berbahan katun polos berwarna dusty dan bawahan rok span bermodel line A dengan belahan di samping hingga ke paha. Kaki jenjangnya yang bersih, mulus itu terekspos. Rambutnya yang ikal tergerai bergelombang alami.
Sarah dan Meri sedang berbincang-bincang dengan sang pemilik pesta.
“Pesta ini dibuat buat seneng-seneng aja,” ucap Jesica, teman dekat Meri.
“Ya, suaminya kaya, beb,” bisik Meri pada Sarah. “Dia lagi ngurus perceraian sama suaminya beberapa bulan yang lalu. Tapi belum ketuk palu. Semisal janda, dia janda tanpa anak, tapi udah pasti dapat harta gono gini sampai ratusan milyar,” sambungnya dengan suara yang amat lirih. "Menang banyak dia."
Sarah mengatupkan bibirnya, sedikit menunduk dan mengangguk-angguk pelan sembari jarinya mencubit pelan lengan Meri agar sahabatnya itu diam. Ia takut Jesica mendengar kata-kata barusan.
Namun, Jesica tipe orang yang super cuek dengan omongan orang. Ia tidak peduli. “Kalian nikmatin pestanya yah! Bakalan ada bintang DJ keren dan penyanyi terkenal yang nemenin kita.
Sembari tunggu penyanyi ngaret itu dateng, kalian minum aja dulu,” ujarnya sembari melambaikan tangan pada pramusaji yang pertama kali dilihatnya. “Waiters, come here!”
Netra Adit melihat si Bos yang memakai jasa event organizer di agennya melambai padanya. “Sa-saya?” tanyanya sembari menganggukkan kepala.
“Sini!”
Adit menurut. Ia segera menghampiri. Melangkahkan kaki dengan pasti dan sepasang mata yang tak lepas dari wajah Sarah.
“Sa, ini minum,” ujar Meri sembari mengambil dua gelas wine dari nampan yang dipegang oleh Adit.
“Maka- ....” Suara Sarah yang hendak mengucapkan terima kasih tersangkut di kerongkongannya sendiri. Netranya bertemu tatap dengan mata Adit yang juga menatap ke arahnya. “A-Adit?”
“Hai Tante ...,” sapa Adit dengan suara nyaris gemetar. Ia berusaha mati-matian menyembunyikan kecanggungan yang terpatri di hatinya karena apa yang dilihatnya semalam.
Langkah-langkah kecil terdengar di lantai marmer yang dingin. Bela, dengan rambut panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya, berjalan menuju dispenser di sudut dapur.Gelas kaca di tangannya bergetar ringan, hampir tak terkendali. Ia menempelkan jarinya ke tombol dingin, dan suara gemericik air mengalir mengisi ruang sunyi.Namun keheningan itu segera menjadi gaduh. Karena suara tawa.Bukan sembarang tawa.Tawa itu dalam, berat, penuh kesombongan. Tawa yang bagi orang lain mungkin terdengar biasa, tapi bagi Bela, suara itu adalah cambuk neraka yang merobek kembali luka lamanya.Tawa Damar!Gelas kaca di tangan Bela berhenti bergetar. Ia terdiam, tubuh kaku. Lalu, tanpa ia sadari, matanya memicing, sorotnya tajam seakan menembus dinding yang memisahkan ia dengan ruang kerja sang Tuan rumah. Tawa itu semakin keras, menggema di kepalanya, bercampur dengan jeritan masa kecil yang selama ini ia pendam.— "Ayo, jangan nangis. Kalau nangis, tambah seru rasanya." "Diam! Jangan cerita ke s
“Jangan!"Damar tertegun. Ia mengangkat alis, setengah tak percaya dengan yang baru saja didengarnya. “Jangan?” tanyanya ulang, nada suaranya dipenuhi heran. Ia berpikir Sambo sedang menolak uangnya. Dan itu hal yang tak masuk akal. Sejak kapan sahabat lamanya itu berubah jadi abdi negara yang jujur?Namun Sambo buru-buru melanjutkan kalimatnya. Suaranya kali ini lebih pelan, licin, penuh kalkulasi. “Jangan transfer ke rekeningku. Cari mati namanya. Cepat sekali itu bisa dilacak. Nanti aku justru terjebak. Transfer saja ke rekening sopirku. Namanya Syahroni. Nanti aku kirimkan nomor rekeningnya ke kamu.”Sejenak keheningan, lalu Sambo terkekeh. “Kalau misalnya pihak bank mengusut kenapa tiba-tiba sopirku mendapat transferan uang begitu besar, gampang. Dia akan menjawab kalau itu pinjaman modal dari seorang pengusaha sukses, konglomerat kaya yang baik hati … Pak Damar.”Ucapan terakhir itu ia selipkan dengan tawa licik.Di seberang, Damar tak bisa menahan tawanya. Ia tergelak, keras,
Udara di ruangan itu mendadak semakin berat. Sarah bisa merasakan bulu kuduknya berdiri, seakan hawa dingin dari AC bercampur dengan tekanan yang tak kasat mata.Bondan melirik Sarah, seolah memberi kode untuk berhati-hati dalam menjawab. Tapi sebelum ia sempat bicara, Sarah sudah lebih dulu membuka suara.“Punya,” ucapnya cepat.Kompol Sambo mengangkat wajahnya, tatapannya menusuk. “Ya sudah, mana?” suaranya tegas, mengandung nada perintah.Sarah menelan ludah. “Tidak saya bawa, Pak. Ada di handphone Adit.”Sejenak suasana hening. Sambo mengetuk meja dengan jarinya, satu, dua kali. Bondan segera maju selangkah, mengambil alih.“Kami juga menginginkan Adit dibebaskan, Pak Sambo. Kenapa pelapor malah ditahan? Apa-apaan ini? Klien saya datang untuk mencari keadilan, malah diperlakukan seperti tersangka. Tidak masuk akal.”Sambo menoleh perlahan, menimbang kata-kata Bondan dengan wajah tanpa ekspresi.Bondan tak berhenti di situ. “Dan satu lagi. Saya ingin Anda memperlihatkan rekaman CCT
Suasana ruang tunggu kembali terasa berat, seperti udara yang mengendap di antara dinding tebal kantor polisi. Denting jam dinding terdengar lebih jelas, setiap detiknya seakan menghantam dada Sarah. Ia menggenggam erat ujung blazer yang dikenakan, mencoba menahan kegelisahan yang mendidih.Bripka Surya akhirnya mengembuskan napas keras. Ia berdiri, tangannya bertumpu di meja seakan menyalurkan sisa wibawa yang masih ia genggam. “Baik,” ucapnya singkat, suara dalamnya terdengar agak bergetar. “Saya akan antar kalian menghadap atasan saya. Tapi kalian tunggu di sini dulu. Jangan buat keributan.”Bondan menautkan alisnya, menilai tiap kata dengan hati-hati. “Baik, kami tunggu,” jawabnya tenang, meski sorot matanya menusuk.Surya hanya mengangguk kaku, lalu berbalik meninggalkan ruangan. Suara langkah sepatunya menggema di koridor panjang yang menuju ruang pimpinan. Pintu kayu berlapis kaca buram bergoyang pelan ketika ia melewatinya, lalu hening kembali.Sarah menoleh cepat ke arah Bond
Satu setengah jam kemudian, suasana ruang tunggu kantor polisi masih panas. Sarah berdiri kaku, air matanya mulai kering, berganti dengan keteguhan hati. Beberapa polisi yang tadinya ikut menahan Adit kini kembali ke meja mereka, namun tatapan mereka masih penuh kewaspadaan.Di tengah ketegangan itu, pintu depan terbuka. Seorang pria tinggi berkacamata, dengan jas hitam sederhana, masuk sambil membawa map cokelat di tangannya. Wajahnya tegas, langkahnya mantap. Dialah Bondan, pengacara yang sekaligus sahabat lama Sarah.“Sarah!” panggilnya, nada suaranya cemas. Ia segera menghampiri. “Kamu nggak apa-apa? Aku dapat teleponmu barusan, langsung ke sini.”Sarah mengangguk cepat. “Aku nggak apa-apa, Dan. Tapi Adit … mereka jeblosin dia ke sel tanpa alasan jelas. Semua gara-gara laporan kita yang dihilangkan. Yang tadi udah aku ceritain di telepon!”Bondan menatap sekeliling dengan pandangan tajam, lalu menancapkan matanya pada Bripka Surya. “Jadi kamu yang namanya Surya?” tanyanya, suarany
Pagi menjelang siang, jalanan menuju kantor polisi mulai ramai. Motor-motor berdesakan, mobil saling klakson, dan suara pedagang kaki lima bersahutan. Namun di balik hiruk pikuk itu, langkah Adit dan Sarah justru berat.Mereka memasuki gedung kantor polisi yang berbau khas, campuran kertas, kopi, dan aroma rokok yang samar. Beberapa petugas tampak sibuk di meja resepsionis, mengetik laporan, atau sekadar bercanda sesama rekan kerja.Adit menggenggam erat ponselnya. Di dalam ponsel itu, ia masih menyimpan salinan video bukti yang dulu mereka serahkan. Tapi hatinya tidak tenang. Dari awal ada firasat buruk, seolah laporan mereka sengaja dilenyapkan.Sarah menyikut lengan Adit pelan. “Tenang, Dit. Kita tinggal minta kejelasan. Nggak ada salahnya kita datang lagi.” Adit mengangguk singkat. “Iya. Semoga memang cuma salah administrasi.”Mereka mendekati meja seorang petugas muda berseragam lengkap, namanya tertera jelas di dada: Ahmad. Wajahnya teduh, matanya jernih, berbeda dari bayangan