Adit buru-buru mencari cara untuk melarikan diri dari situasi canggung ini. "Ah iya, aku ke kamar mandi dulu ya," katanya cepat, sebelum ada yang sempat menjawab.
Tanpa menunggu reaksi dari Hardian atau Sarah, ia langsung melangkah cepat menuju kamar mandi, meninggalkan mereka berdua di belakang.
Setelah menutup pintu kamar mandi di belakangnya, Adit bersandar pada pintu, menarik napas panjang. Tubuhnya masih gemetar akibat ketegangan yang tadi terjadi.
Suara detak jantungnya terdengar begitu jelas di telinganya. Rasa panik dan bersalah bercampur aduk di dalam dirinya.
Dia berjalan ke wastafel, membuka keran, dan menyiramkan air dingin ke wajahnya. Tapi air dingin itu tidak mampu mendinginkan pikirannya yang bergejolak.
Bayangan apa yang baru saja dilihatnya—Sarah, mamanya Hardian, tengah meracap dengan dirinya sendiri itu terus menghantui pikirannya.
Bayangan itu semakin jelas, seolah-olah baru saja terjadi beberapa detik lalu.
'Ini gila,' pikirnya sambil memandangi dirinya sendiri di cermin. Bayangan Sarah, dengan tubuhnya yang bergerak penuh gairah, terus menghantui. Bagaimana mungkin seorang wanita yang terpaut belasan tahun darinya, bisa membuat pikirannya seperti ini?
Dia tak bisa mengabaikan betapa cantiknya Sarah, dengan wajah anggun yang selalu terlihat tenang, kini berubah menjadi wajah yang penuh gairah dan sensual di dalam pikirannya.
Adit menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran itu. "Ini salah, Dit. Kamu nggak bisa kayak gini," bisiknya pada dirinya sendiri. Tapi semakin dia mencoba mengalihkan perhatian, semakin kuat bayangan itu muncul.
Tangannya menggenggam wastafel erat, mencoba menenangkan diri dengan mengatur nafas teratur.
Dia merasa terjebak dalam dilema moral. Rasa bersalah menggerogoti dirinya, tapi di sisi lain, ada perasaan aneh yang sulit ia tolak.
Bayangan Sarah dengan pakaian tidurnya yang tipis, leguhan yang keluar dari mulutnya, gerakan tubuhnya yang sensual, semuanya membuat Adit tak bisa berpikir jernih.
“Kenapa aku nggak langsung pergi tadi?” Adit mengutuk dirinya sendiri. Dia tahu dia seharusnya menutup pintu kamar itu dan segera pergi.
Tapi rasa penasaran yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya terlalu kuat untuk diabaikan. “Kalau saja tadi aku langsung pergi, gak bakalan jadi keinget terus sama Mamanya Hardian!”
Adit menatap ke cermin sekali lagi, wajahnya masih basah oleh air. Di balik tatapan yang terlihat tenang, ia tahu bahwa pikirannya kini dipenuhi oleh gambaran Sarah. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi—sebuah fantasi terlarang yang kini telah tertanam di dalam kepalanya.
Sambil menarik napas dalam-dalam, Adit berusaha mengumpulkan kekuatan untuk keluar dari kamar mandi, meninggalkan semua pikiran itu di belakang. Namun ia tahu, tidak akan semudah itu.
Ia kembali menarik napas dalam-dalam, berharap udara dingin dari kamar mandi bisa mengusir panas yang tiba-tiba muncul di tubuhnya.
'Kamu nggak bisa kayak gini, Dit,' pikirnya, berusaha keras mengendalikan dirinya. Tapi semakin keras ia mencoba, semakin kuat bayangan itu menghantuinya.
Ketukan pintu kamar mandi membuat Adit tersentak. "Dit, lama banget sih, kamu tuh ngapain?" Suara Hardian terdengar dari balik pintu. “Aku juga kebelet, pengen pipis nih! Cepetan napa!”
Adit menghela napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar kencang. "Iya, bentar lagi!" jawabnya dengan suara bergetar. Ia tahu ia harus keluar dari kamar mandi, tapi bagaimana ia bisa menghadapi Hardian, apalagi Sarah, setelah apa yang dilihatnya tadi?
***
Keesokan malamnya di tempat Adit magang.
“Adit! Jangan lupa gelas winenya yang harus yang ada kakinya ya!” seru salah seorang rekan kerja Adit di paruh waktu ini.
“Oke, tenang aja. Aku tahu kok. Cuma gak bisa bedain aja gelas wine yang kakinya pakai sepatu apa? Si gelas wine ini pakai sepatu kets atau high heels? Hahahaha,” sahut Adit melucu.
“Aku serius, Dit!” seru Tigar dengan wajah datar.
Senyuman mengambang di wajah Adit dan tawanya itu langsung menghilang.
“Aku serius ... Kita lagi jadi pramusaji pestanya orang-orang tajir, Bro. Jangan sampai salah, kalau gak si Bos marah. Lihat aja ini rumah gede banget udah ke istana. Satu RT kali ini luas tanahnya. Jadi kerjanya jangan cengengesan begitu.”
Adit mengangguk-angguk. Ia kini lebih serius dari pada sebelumnya. “Sorry ... aku gak kepikiran kalau orang kaya bakalan cari masalah sama orang miskin.”
“Mereka gak akan cari masalah. Cuman kalau kamu salah, bisa diaduin ke maneger, kamu bakalan tamat. The end! Kan kerjaan ini lumayan buat bantuin bayar kebutuhan kuliah.” Tigar masih menasehati.
“Iya. Thanks sudah sadarin,” kata Adit sembari menghela nafas pelan dan diakhir senyum simpul.
“Ra popo,” jawab Tigar sembari menepuk bahu Adit. “Ada tamu lagi tuh! Dua tante-tante cantik! Layani dengan baik. Service bro! Bawain minuman dan cemilannya!” sambungnya sembari menyodorkan nampan yang dipegang.
Spontan Adit mengambil nampan tersebut sembari netranya menatap ke arah mana sepasang mata Tigar melihat. “Mamanya Hardian?” pekiknya lirih pada diri sendiri. Sepasang matanya tak bisa berkedip saat memandang Sarah yang sangat begitu cantik malam ini.
Sarah mengenakan kemeja casual berbahan katun polos berwarna dusty dan bawahan rok span bermodel line A dengan belahan di samping hingga ke paha. Kaki jenjangnya yang bersih, mulus itu terekspos. Rambutnya yang ikal tergerai bergelombang alami.
Sarah dan Meri sedang berbincang-bincang dengan sang pemilik pesta.
“Pesta ini dibuat buat seneng-seneng aja,” ucap Jesica, teman dekat Meri.
“Ya, lakiknya kaya, beb,” bisik Meri pada Sarah. “Dia lagi ngurus perceraian sama suaminya beberapa bulan yang lalu. Tapi belum ketuk palu. Semisal janda, dia janda tanpa anak, tapi udah pasti dapat harta gono gini sampai ratusan milyar,” sambungnya dengan suara yang amat lirih. "Menang banyak doi."
Sarah mengatupkan bibirnya, sedikit menunduk dan mengangguk-angguk pelan sembari jarinya mencubit pelan lengan Meri agar sahabatnya itu diam. Ia takut Jesica mendengar kata-kata barusan. Masa ngeghibah di depan orangnya sih.
Namun, Jesica tipe orang yang super cuek dengan omongan orang. Ia tidak peduli. “Kalian nikmatin pestanya yah! Bakalan ada bintang DJ keren dan penyanyi terkenal yang nemenin kita.
Sembari tunggu penyanyi ngaret itu dateng, kalian minum aja dulu,” ujarnya sembari melambaikan tangan pada pramusaji yang pertama kali dilihatnya. “Waiters, come here!”
Netra Adit melihat si Bos yang memakai jasa even organizer di agennya melambai padanya. “Sa-saya?” tanyanya sembari menganggukkan kepala.
“Sini!”
Adit menurut. Ia segera menghampiri. Melangkahkan kaki dengan pasti dan sepasang mata yang tak lepas dari wajah Sarah.
“Sa, ini minum,” ujar Meri sembari mengambil dua gelas wine dari nampan yang dipegang oleh Adit.
“Maka- ....” Suara Sarah yang hendak mengucapkan terima kasih tersangkut di kerongkongannya sendiri. Netranya bertemu tatap dengan mata Adit yang juga menatap ke arahnya. “A-Adit?”
“Hai Tante ...,” sapa Adit dengan suara nyaris gemetar. Ia berusaha mati-matian menyembunyikan kecanggungan yang terpatri di hatinya karena apa yang dilihatnya semalam.
Silvi mengendarai mobilnya dengan cepat, pandangannya fokus pada jalan di depan, namun pikirannya berputar-putar, tidak tenang.Rasa cemas terus membayangi dirinya sepanjang perjalanan pulang. Hatinya berkecamuk, penuh dengan perasaan takut dan malu yang tak tertahankan."Aku mabok di depan Adit," gumamnya pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri. "Kalau dia cerita ke Hardian ... Apa yang akan anak aku pikir tentang Mamanya ini? Apa lagi kalau sampai Adit cerita ... aku hampir aja ditidurin sama laki-laki lain?!”Bayangan Hardian, putra satu-satunya, muncul jelas di benaknya. Sebagai seorang ibu, Sarah tahu bahwa dia tidak sempurna. Ada banyak kesalahan yang ia perbuat, tapi dia selalu berusaha agar Sarah tidak melihat kekurangannya secara langsung.Ia hanya ingin menjadi contoh yang baik, walau kenyataan ia sendiri masih jauh dari kata sempurna.Hardian adalah segalanya bagi Sarah, dan membayangkan anaknya mengetahui sisi lemahnya membuatnya takut dan merasa bersalah.Setiap deti
Esok harinya, sinar matahari pagi masuk dengan lembut melalui celah-celah tirai, menyelimuti kamar dengan cahaya yang hangat. Sarah terbangun perlahan, merasakan berat di kepalanya yang berdenyut nyeri, sisa dari malam yang penuh alkohol membuat kepalanya agak sakit.Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangannya dengan cahaya yang masuk. Rasa pusing yang menghantamnya membuat tubuhnya enggan untuk bergerak, tapi instingnya memberitahu bahwa ada sesuatu yang aneh.Kamar ini tidak terlihat familiar. Sarah menatap sekelilingnya, memperhatikan detail ruangan yang tampak mewah namun asing.Perabotan mahal, lukisan-lukisan di dinding, dan aroma bunga yang segar memenuhi udara. Ini bukan kamarnya. Dia mencoba bangun, meskipun kepalanya masih berdenyut, berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Fragmen-fragmen ingatan mulai kembali, tapi semuanya kabur. Tidak teringat dengan jelas.Ia mengingat pesta, tamu-tamu yang datang, dan gelas demi gelas minuman yang ia teguk. Sarah
Jordan mendengus, masih marah, tapi ia tahu dirinya terpojok.“Aku bisa laporin ke Nyonya Jesica sekarang dan telepon polisi,” ancam Tigar dengan raut muka garang.“Pergi dari sini! Dan jangan deket-deket Sarah lagi!” Tanpa sadar Radit menyebut nama mama sahabat karibnya itu dengan panggilan nama saja.Dengan satu gerakan kasar, dia meraih kemejanya yang setengah terbuka, lalu melangkah keluar dari kamar, mendorong Jordan ke samping dengan kasar. "Cepat pergi! Jauh-jauh dari Sarah!""Kamu beruntung aku nggak bikin ribut," kata Jordan dengan suara rendah sebelum pergi dan sepasang netra membola berpancar amarah, meninggalkan Adit, Tigar, dan Sarah di kamar itu.Adit menghela napas panjang, merasa lega namun tetap cemas. Dia berjalan mendekati Sarah yang masih terbaring di tempat tidur. "Sarah, kamu baik-baik aja?" tanyanya dengan lembut, meski ia tahu Sarah tidak benar-benar sadar untuk menjawab.Tigar, yang kini berdiri di samping Adit, menepuk pundaknya dengan lembut. "Kamu barusan n
Adit berlari menaiki tangga, hatinya dipenuhi perasaan cemas dan marah yang semakin memuncak. Ia tak peduli dengan orang-orang yang sibuk menikmati pesta di bawah, alunan musik, atau gelak tawa tamu-tamu yang asyik dengan dunianya masing-masing. Fokusnya hanya tertuju pada satu hal: menyelamatkan Sarah sebelum terlambat.Saat mencapai puncak tangga, Adit melihat Jordan sudah beberapa langkah di depan, membopong tubuh Sarah yang tak lagi berdaya. Sarah terlihat semakin tak sadar, kepalanya terkulai lemah di bahu Jordan. Dia terlihat pasrah.Jelas sekali bahwa Jordan berniat membawa Sarah ke salah satu kamar di lantai atas, jauh dari keramaian. Pemandangan itu memicu amarah Adit."Hei berhenti!" seru Adit dengan suara lantang, namun musik yang masih berdentum membuat suaranya hampir tak terdengar.Jordan menoleh sekilas, seolah tidak peduli, lalu terus berjalan menuju pintu kamar terdekat. Adit semakin panik.Dia tahu, jika dia tidak segera bertindak, sesuatu yang buruk bisa terjadi. Ta
Sarah dan Meri sedikit lelah, mereka berjalan ke arah sofa dan duduk santai di sana.Meri menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan lega, menarik napas panjang setelah menghabiskan waktu di lantai dansa. Sarah, yang duduk di sebelahnya, masih tersenyum, meski peluh kecil terlihat di dahinya.Ada kesan lega yang terpancar di wajahnya, seakan beban hidup yang selalu menyertainya untuk sesaat lenyap."Aku lihat malam ini kamu beda banget," Meri membuka percakapan. Dia melirik Sarah dengan tatapan penuh selidik. "Serius deh, kamu bersinar. Kamu kelihatan lebih bahagia. Mungkin kamu udah lama banget nggak seneng-seneng kayak gini, ya?"Sarah hanya mengangguk pelan sambil menyeka keringat dari lehernya. "Iya, sih ... mungkin aku emang butuh ini. Kadang aku lupa gimana rasanya bebas kayak gini."Meri mengeluarkan suara tawa kecil. "Bukan cuma itu, Sarah ... Kamu tahu apa yang bisa bikin hidup kamu lebih berwarna lagi?"Sarah mengerutkan kening, menatap Meri dengan penuh tanya. "Maksud kamu apa?"
“Kalian saling kenal?” Meri dan Jesica terlihat heran.“Ya, kami saling kenal,” jawab Sarah jujur. Seulas senyuman mengambang ramah di wajahnya.Adit merasa dadanya menghangat mendengar jawaban Sarah yang tidak malu mengakui mengenalnya, padahal saat ini ia mengenakan seragam pramusaji.Bahkan senyuman Sarah yang anggun terpancar seperti biasa.Adit masih berusaha mengendalikan detak jantungnya yang berdebar lebih kencang dari biasanya. Menatap Sarah seraya memandang bidadari."Dia temennya Hardian, anak aku.""Anak?" Jesica terlihat heran."Ya, Sarah udah punya anak bujang. Namanya Hardian." Meri membantu menjelaskan.“Oh, jadi dia temannya Hardian?” Jesica yang berdiri di sebelah Meri tampak terkejut. Ia menatap Sarah dengan takjub, seolah baru saja mengetahui rahasia besar.“Wah, nggak nyangka banget kamu sudah punya anak bujang segede dia, Sar! Kamu awet muda banget!” puji Jesica sambil menatap Sarah dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kamu kalau ngaku umur 25 tahun juga orang m
Adit buru-buru mencari cara untuk melarikan diri dari situasi canggung ini. "Ah iya, aku ke kamar mandi dulu ya," katanya cepat, sebelum ada yang sempat menjawab.Tanpa menunggu reaksi dari Hardian atau Sarah, ia langsung melangkah cepat menuju kamar mandi, meninggalkan mereka berdua di belakang.Setelah menutup pintu kamar mandi di belakangnya, Adit bersandar pada pintu, menarik napas panjang. Tubuhnya masih gemetar akibat ketegangan yang tadi terjadi.Suara detak jantungnya terdengar begitu jelas di telinganya. Rasa panik dan bersalah bercampur aduk di dalam dirinya.Dia berjalan ke wastafel, membuka keran, dan menyiramkan air dingin ke wajahnya. Tapi air dingin itu tidak mampu mendinginkan pikirannya yang bergejolak.Bayangan apa yang baru saja dilihatnya—Sarah, mamanya Hardian, tengah meracap dengan dirinya sendiri itu terus menghantui pikirannya.Bayangan itu semakin jelas, seolah-olah baru saja terjadi beberapa detik lalu.'Ini gila,' pikirnya sambil memandangi dirinya sendiri d
“Ah ....”Seketika langkah Adit terhenti di depan pintu kamar yang tertutup.Malam ini Adit menginap di rumah Hardian. Ia dan Hardian adalah teman satu jurusan di Universitas yang sama. Beberapa bulan belakangan ini mereka menjadi teman karib karena merasa klop dan cocok satu sama lain.Beberapa kali pula, Adit yang merupakan anak rantau di Jakarta, menginap di rumah Hardian.Dari numpang makan, menghindari omelan ibu kos yang menagih tunggakan.Tapi dari beberapa kali menginap, baru kali ini ia mendengar suara desau aneh yang membuat penasaran. Suara yang ia dengar terdengar manja tapi seperti butuh pertolongan. Susah menjelaskannya.Akhirnya niat ingin pipis di malam hari, malah jadi pengen ngintip.Suara ‘horror’ itu kembali terdengar. Membuat jantung Adit semakin berdebar.Kerongkongan Adit tetiba menjadi kering. Rasa ingin tahunya semakin menggebu.‘Papanya Hardi udah pulang dari luar kota kali ya?’ tanyanya di dalam hati.Adit berdiri terpaku di depan pintu kamar itu, mencoba me