Share

Bab 2 Pesta

Penulis: Risya Petrova
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-18 06:08:18

Tiba-tiba, suara keras dan lantang menghentikan pikirannya seketika.

Suara Hardian yang bertanya telah memecah keheningan.

"Aku ... aku kebelet buang air kecil!" jawab Adit terburu-buru sambil mencoba menjaga nada suaranya agar terdengar biasa.

Hardian mengernyit. "Buang air kecil? Ya buang air kecil aja lah ke kamar mandi sana! Kenapa malah berdiri di sini?"

“Ssstttt … Suara kamu … pelanin ….”

"Ada apa sih, malam-malam ribut banget?"

Lidah Adit seketika kelu. Matanya menatap sosok yang dari tadi ia takutkan. Rentetan perasaan bersalah dan malu menyelimuti hatinya.

Sarah keluar dari kamar dengan mengenakan pakaian tidur yang sudah rapi, lengkap dengan cardigan tipis yang ia buru-buru kenakan untuk menutupi tubuhnya.

Matanya tampak sedikit gelisah, tapi ia tetap mencoba menjaga ketenangannya. Dengan alis terangkat.

Dalam sepersekian detik, Adit menyadari bahwa Sarah mungkin sudah menyadari sesuatu.

Hardian menoleh ke arah mamanya, wajahnya tampak santai, seolah tak terjadi apa-apa. "Nggak ada apa-apa, Ma. Ini Adit lagi kebelet buang air kecil aja," jawab Hardian dengan nada datar.

Sarah memandang Adit dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara curiga dan waspada.

Adit berusaha menjaga wajahnya agar tetap tenang, meskipun dalam hatinya ia ingin menghilang dari situ. Ia bisa merasakan hawa panas menyelubungi tubuhnya, dan jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

Sarah, si wanita dewasa yang berwajah cantik, manis dan memiliki tubuh sensual – pinggang ramping, payudara yang tidak terlalu besar tapi terlihat penuh, juga kaki jenjang yang indah itu tetap berdiri di depan pintu, menatap Adit tajam.

Adit buru-buru mencari cara untuk melarikan diri dari situasi canggung ini. "Ah iya, aku ke kamar mandi dulu ya," katanya cepat, sebelum ada yang sempat menjawab.

Tanpa menunggu reaksi dari Hardian atau Sarah, ia langsung melangkah cepat menuju kamar mandi, meninggalkan mereka berdua di belakang.

Setelah menutup pintu kamar mandi di belakangnya, Adit bersandar pada pintu, menarik napas panjang. Tubuhnya masih gemetar akibat ketegangan yang tadi terjadi.

Suara detak jantungnya terdengar begitu jelas di telinganya. Rasa panik dan bersalah bercampur aduk di dalam dirinya.

Dia berjalan ke wastafel, membuka keran, dan menyiramkan air dingin ke wajahnya. Tapi air dingin itu tidak mampu mendinginkan pikirannya yang bergejolak.

Bayangan apa yang baru saja dilihatnya—Sarah, mamanya Hardian, tengah bermain dengan dirinya sendiri itu terus menghantui pikirannya.

Bayangan itu semakin jelas, seolah-olah baru saja terjadi beberapa detik lalu.

'Ini gila,' pikirnya sambil memandangi dirinya sendiri di cermin. Bayangan Sarah, dengan tubuhnya yang bergerak penuh gairah, terus menghantui. Bagaimana mungkin seorang wanita yang terpaut belasan tahun darinya, bisa membuat pikirannya seperti ini?

Dia tak bisa mengabaikan betapa cantiknya Sarah, dengan wajah anggun yang selalu terlihat tenang, kini berubah menjadi wajah yang penuh gairah dan sensual di dalam pikirannya.

***

Keesokan malamnya di tempat Adit magang.

“Adit! Jangan lupa gelas winenya yang harus yang ada kakinya ya!” seru salah seorang rekan kerja Adit di paruh waktu ini.

“Oke, tenang aja. Aku tahu kok. Cuma gak bisa bedain aja gelas wine yang kakinya pakai sepatu apa? Si gelas wine ini pakai sepatu kets atau high heels? Hahahaha,” sahut Adit melucu.

“Aku serius, Dit!” seru Tigar dengan wajah datar.

Senyuman mengambang di wajah Adit dan tawanya itu langsung menghilang.

“Aku serius ... Kita lagi jadi pramusaji pestanya orang-orang tajir, Bro. Jangan sampai salah, kalau gak si Bos marah. Lihat aja ini rumah gede banget udah ke istana. Satu RT kali ini luas tanahnya. Jadi kerjanya jangan cengengesan begitu.”

Adit mengangguk-angguk. Ia kini lebih serius dari pada sebelumnya. “Sorry ... aku gak kepikiran kalau orang kaya bakalan cari masalah sama orang miskin.”

“Mereka gak akan cari masalah. Cuman kalau kamu salah, bisa diaduin ke manager, kamu bakalan tamat. The end! Kan kerjaan ini lumayan buat bantuin bayar kebutuhan kuliah.” Tigar masih menasehati.

“Iya. Thanks sudah sadarin,” kata Adit sembari menghela nafas pelan dan diakhir senyum simpul.

“Nggak apa-apa,” jawab Tigar sembari menepuk bahu Adit. “Ada tamu lagi tuh! Dua tante-tante cantik! Layani dengan baik. Service bro! Bawain minuman dan cemilannya!” sambungnya sembari menyodorkan nampan yang dipegang.

Spontan Adit mengambil nampan tersebut sembari netranya menatap ke arah mana sepasang mata Tigar melihat. “Mamanya Hardian?” pekiknya lirih pada diri sendiri. Sepasang matanya tak bisa berkedip saat memandang Sarah yang sangat begitu cantik malam ini.

Sarah mengenakan kemeja casual berbahan katun polos berwarna dusty dan bawahan rok span bermodel line A dengan belahan di samping hingga ke paha. Kaki jenjangnya yang bersih, mulus itu terekspos. Rambutnya yang ikal tergerai bergelombang alami.

Sarah dan Meri sedang berbincang-bincang dengan sang pemilik pesta.

“Pesta ini dibuat buat seneng-seneng aja,” ucap Jesica, teman dekat Meri.

“Ya, suaminya kaya, beb,” bisik Meri pada Sarah. “Dia lagi ngurus perceraian sama suaminya beberapa bulan yang lalu. Tapi belum ketuk palu. Semisal janda, dia janda tanpa anak, tapi udah pasti dapat harta gono gini sampai ratusan milyar,” sambungnya dengan suara yang amat lirih. "Menang banyak dia."

Sarah mengatupkan bibirnya, sedikit menunduk dan mengangguk-angguk pelan sembari jarinya mencubit pelan lengan Meri agar sahabatnya itu diam. Ia takut Jesica mendengar kata-kata barusan.

Namun, Jesica tipe orang yang super cuek dengan omongan orang. Ia tidak peduli. “Kalian nikmatin pestanya yah! Bakalan ada bintang DJ keren dan penyanyi terkenal yang nemenin kita.

Sembari tunggu penyanyi ngaret itu dateng, kalian minum aja dulu,” ujarnya sembari melambaikan tangan pada pramusaji yang pertama kali dilihatnya. “Waiters, come here!”

Netra Adit melihat si Bos yang memakai jasa event organizer di agennya melambai padanya. “Sa-saya?” tanyanya sembari menganggukkan kepala.

“Sini!”

Adit menurut. Ia segera menghampiri. Melangkahkan kaki dengan pasti dan sepasang mata yang tak lepas dari wajah Sarah.

“Sa, ini minum,” ujar Meri sembari mengambil dua gelas wine dari nampan yang dipegang oleh Adit.

“Maka- ....” Suara Sarah yang hendak mengucapkan terima kasih tersangkut di kerongkongannya sendiri. Netranya bertemu tatap dengan mata Adit yang juga menatap ke arahnya. “A-Adit?”

“Hai Tante ...,” sapa Adit dengan suara nyaris gemetar. Ia berusaha mati-matian menyembunyikan kecanggungan yang terpatri di hatinya karena apa yang dilihatnya semalam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
metty lie
pembuka plot aj ud seru . lanjut bacany dulu ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Menggerebek markas Damar

    Ketukan di pintu itu terdengar lagi — dua kali, cepat, seperti peringatan.Sarah langsung menjauh, matanya membulat panik. Adit juga refleks melepas genggamannya, nafas mereka masih saling bersentuhan di udara yang kini terasa jauh lebih panas daripada sebelumnya.“Ya Tuhan …,” bisik Sarah sambil buru-buru merapikan rambutnya yang acak-acakan. Ia menarik nafas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang seperti gendang perang.Adit ikut menarik kerah bajunya, berusaha menutupi noda lipstik samar di bawah rahangnya.Belum sempat mereka berkata apa-apa, pintu terbuka perlahan. “Sarah,” suara berat itu terdengar duluan, sebelum sosok Indra muncul bersama Arif Pratama.Keduanya berdiri di ambang pintu, pandangan Arif cepat menyapu keadaan ruangan. Sementara Indra menatap Adit dan Sarah bergantian dengan tatapan sulit dijelaskan — antara lega dan canggung.Sarah segera berdiri tegak. “Hai …,” ucapnya cepat, berusaha menutupi kegugupan. “Ada apa? Kok masuknya tiba-tiba?”Indra menghel

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Ciuman di sel

    Hujan baru saja reda, tapi udara di ruang khusus itu masih menyimpan dingin. Suara tetesan air di luar jendela terdengar samar, bersahut dengan detak jam di dinding. Lampu neon di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke wajah Adit yang tampak lebih pucat dari terakhir kali Sarah melihatnya.“Aku hampir nggak percaya kamu benar-benar di sini,” ucap Sarah pelan. Suaranya bergetar, seperti menahan sesuatu yang sudah terlalu lama ditahan.Adit tersenyum tipis. “Aku juga nggak yakin ini nyata,” jawabnya lirih. “Setiap malam aku cuma bisa bayangin kamu datang … dan sekarang kamu beneran datang. Aku pikir, setelah aku keluar dari sel dan menjadi tahanan Kota sementara, aku nggak akan kembali ke sini lagi. Tapi nyatanya ….”Sarah melangkah mendekat, pelan-pelan, seolah takut kalau gerakan terlalu cepat akan membuat Adit lenyap. Bau antiseptik dan lembap ruangan itu seketika kalah oleh aroma samar parfum Sarah yang menenangkan.Ia berhenti hanya beberapa langkah di depan Adit, menatap waja

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Cari aman

    Suara dering telepon memecah kesunyian ruang kerja Damar yang remang. Jarum jam dinding menunjukkan nyaris pagi hari. Di luar, hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang menyengat. Damar duduk di kursi kulit hitamnya, masih mengenakan kemeja yang belum sempat dibuka kancing atasnya. Matanya tajam menatap layar ponsel yang terus bergetar. Nama yang muncul di sana membuat rahangnya mengeras — Sambo.Ia menarik napas panjang sebelum menekan tombol hijau. “Sudah selesai?” suaranya rendah tapi menusuk. Di seberang sana, Sambo tidak langsung menjawab. Hanya terdengar helaan napas berat dan suara gesekan korek api.“Jawab, Sambo. Adit sudah dihabisi atau belum?” tanya Damar lebih tegas, suaranya naik setingkat.Hening beberapa detik. Sambo akhirnya berkata pelan, “Belum.” Damar menegakkan tubuh, matanya langsung membulat. “Belum? Maksudmu apa belum?” “Rencana tadi gagal.”“GAGAL?!” Damar membentak, suaranya menggelegar di ruangan. Ia bangkit berdiri, menepis gelas kop

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Janji pembusukan

    Ruang kerja Kompol Sambo dipenuhi asap rokok yang menebal. Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari, tapi matanya masih tajam, menatap layar monitor CCTV di depannya. Ada lima tampilan kamera yang menunjukkan berbagai sudut lapas sektor barat. Salah satunya menampilkan sel tempat Adit sempat ditahan.Pintu ruangan terbuka cepat. Seorang pria berseragam masuk dengan langkah tergesa. “Izin melapor, Komandan!”Sambo menoleh tajam. “Cepat bicara. Ada apa?”“Barusan saya dapat laporan langsung dari lapas, Komandan. Ada pejabat dari pusat datang malam ini. Pangkatnya AKBP. Namanya Arif Pratama.”Nama itu membuat Sambo langsung menegakkan tubuh. “Arif Pratama?” suaranya rendah, tapi bergetar menahan marah. “Apa katanya dia datang di dini hari hanya buat inspeksi biasa?”“Tidak, Komandan,” jawab anak buahnya cepat. “Beliau langsung menuju ke ruang sel di mana tahanan bernama Adit ditempatkan. Katanya, dia memarahi sipir karena lalai hingga terjadi perkelahian antar napi.”Sambo mengerutka

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Putra yang hampir hilang lagi

    Langkah sepatu hitam terdengar mantap di koridor panjang yang redup. Sosok berseragam dengan pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) di dada melangkah cepat mendekati sel. Cahaya lampu neon di atas kepala memantul di papan nama kecil di dadanya—ARIF PRATAMA.“Buka pintunya,” perintahnya tajam, suaranya dalam dan tegas.Dua sipir saling pandang, ragu. Salah satunya mencoba bicara, “Pak … tapi perintah Kompol Sambo—”“Saya bilang buka, sekarang juga!” potong Arif tanpa memberi ruang debat. Suaranya bergema di lorong.Besi pintu sel terdengar berderit berat. Dua sipir akhirnya membuka dan menarik paksa pria bertato keluar. Pria itu meludah ke lantai sambil menatap Adit penuh kebencian. “Kita belum selesai, bocah. Belum,” desisnya sebelum dibawa pergi.Adit berdiri tegak, napasnya berat. Matanya menatap Arif waspada, tubuhnya masih menegang. Ia tidak tahu siapa pria berpangkat tinggi ini. Bisa jadi jebakan lain.Arif melangkah mendekat pelan, berhenti tepat di hadapan Adit. Lalu dengan

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Malam yang seharusnya tak terjadi

    Indra menginjak pedal gas lebih dalam, matanya fokus pada jalanan kosong. Ponselnya bergetar di dasbor. Ia menekan tombol speaker tanpa melepas pandangan dari jalan. “Sarah?” suaranya parau tapi lugas. “Ndra … aku di rumah, tapi aku nggak bisa diam. Aku mau nyusul ke kantor polisi,” jawab Sarah cepat, terdengar dari seberang. “Jangan ke tempat lain. Kita ketemu langsung di kantor polisi,” tegas Indra. “Aku juga udah telepon orang dalam yang lebih tinggi pangkatnya ketimbang Sambo. Aku mau pastikan Adit tidak akan terluka sedikit pun!” Sarah menarik napas panjang. “Oke. Aku berangkat sekarang. Semoga saja kita tidak terlambat. Aku sungguh tidak tenang …,” ucapnya dengan suara gemetar. Panggilan terputus. Dalam sekejap, Sarah berlari menuju ruang tamu, meraih jaket dan kunci mobil. Tapi langkahnya terhenti ketika suara berat terdengar dari arah selasar. “Mama?” Sarah menoleh cepat. Ia sedikit mendongak melihat tepian selasar di lantai dua, Hardian berdiri di sana. Wajahnya pucat,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status