Jordan mendengus, masih marah, tapi ia tahu dirinya terpojok.
“Aku bisa laporin ke Nyonya Jesica sekarang dan telepon polisi,” ancam Tigar dengan raut muka garang.
“Pergi dari sini! Dan jangan deket-deket Sarah lagi!” Tanpa sadar Radit menyebut nama mama sahabat karibnya itu dengan panggilan nama saja.
Dengan satu gerakan kasar, dia meraih kemejanya yang setengah terbuka, lalu melangkah keluar dari kamar, mendorong Jordan ke samping dengan kasar. "Cepat pergi! Jauh-jauh dari Sarah!"
"Kamu beruntung aku nggak bikin ribut," kata Jordan dengan suara rendah sebelum pergi dan sepasang netra membola berpancar amarah, meninggalkan Adit, Tigar, dan Sarah di kamar itu.
Adit menghela napas panjang, merasa lega namun tetap cemas. Dia berjalan mendekati Sarah yang masih terbaring di tempat tidur. "Sarah, kamu baik-baik aja?" tanyanya dengan lembut, meski ia tahu Sarah tidak benar-benar sadar untuk menjawab.
Tigar, yang kini berdiri di samping Adit, menepuk pundaknya dengan lembut. "Kamu barusan nyelametin dia, Dit. Kalo nggak, entah apa yang bakal terjadi."
Adit hanya mengangguk, masih merasa tegang. "Aku nggak bisa tinggal diam," katanya pelan.
“Memang dia siapa?” tanya Tigar jadi penasaran. “Temen satu kampus?”
Adit menggeleng. “Bukan. Dia mamanya temen ku.”
Tigar terkesiap. Menatap wajah Sarah yang memerah karena alkohol. “Astaga, dia mamanya temen kamu? Gila ... kenapa bisa awet muda banget. Kupikir dia seumuran kita.”
Adit menggelengkan kepalanya lagi.
“Eh, mbak ini kan yang tadi ngobrol sama nyonya Jesica kan?” tanya Tigar pada Adit dan juga pada dirinya sendiri. “Gue harus laporin ke Nyonya Jesica kalau begitu.”
“Iya, ide bagus, Gar. Mendingan semua kejadian ini kita laporin sama Nyonya Jesica. Kemungkinan Nyonya Jesica pasti kenal sama cowok tadi.” Adit mengangguk pelan kepada Tigar, yang dengan sigap berbalik dan segera melangkah keluar dari kamar, mencari Jesica di kerumunan tamu pesta.
Kini, Adit dan Sarah sendirian di kamar yang hening. Detak jantung Adit masih berdetak cepat setelah konfrontasi tadi.
Dia melirik Sarah yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur, wajahnya kemerahan karena pengaruh alkohol yang menguasai tubuhnya. Tubuhnya begitu lemah, seolah-olah dia sudah menyerah pada dunia sekitar.
Adit mendekat perlahan, hatinya penuh kebingungan. Dia tahu, dalam situasi seperti ini, dia tidak bisa meninggalkan Sarah sendirian.
Jordan mungkin sudah pergi, tapi ancaman bahaya bisa datang kapan saja, terlebih dari tamu lain yang tidak tahu apa-apa tentang keadaan Sarah.
Ketika Adit mendekati tempat tidur, matanya tak sengaja tertuju pada pakaian Sarah yang sudah setengah terbuka.
Jordan, dalam usahanya yang menjijikkan, telah membuka beberapa kancing bagian atas bajunya. Belahan dada Sarah terlihat jelas, dan bra hitam yang dikenakannya hanya menambah perasaan canggung yang membebani hati Adit.
Namun, dia menepis pikiran-pikiran yang tak pantas itu dari benaknya. ‘Ini bukan saatnya berpikir macam-macam!’ seru Adit pada dirinya sendiri dan kemudian mengambil napas dalam-dalam, mengendalikan emosinya, lalu perlahan mendekati tubuh Sarah.
Tangannya sedikit gemetar saat ia mulai merapikan pakaian Sarah, mencoba menutupi tubuhnya yang terbuka.
Adit mulai mendekatkan jarinya ke kancing baju Sarah, mengancingkan satu demi satu. Tapi saat ia mencapai kancing teratas, jantungnya berdebar semakin keras.
Bra Sarah terlihat jelas di balik bajunya, menonjolkan bentuk tubuh yang sempurna meskipun usianya tidak lagi muda belia. Memandanginya membuat darah Adit berdesir, menimbulkan konflik dalam hatinya.
Dia menelan ludah, berusaha keras untuk tetap fokus pada tujuannya, menjaga Sarah dan memastikan dia baik-baik saja. Namun, semakin lama dia berada di dekat Sarah, semakin sulit baginya untuk menahan perasaan yang campur aduk ini.
Adit menunduk sedikit, menatap wajah Sarah yang tertidur lemah. Wajah yang biasa tersenyum anggun kini tampak kusut dan tidak berdaya. Rambut hitamnya yang tergerai di atas bantal menambah kesan lembut yang begitu menggoda di matanya.
Tanpa sadar, Adit duduk di tepi tempat tidur, menunduk sedikit lebih dekat. Detak jantungnya yang semula hanya berdegup cepat, kini terasa seperti genderang yang ditabuh dengan keras di dadanya.
Dia merapikan rambut Sarah yang terserak di wajahnya, dengan gerakan pelan dan hati-hati.
Saat jemari Adit menyentuh kulit Sarah yang halus, sesuatu dalam dirinya berkecamuk. Ia menunduk lebih dekat, matanya terfokus pada bibir Sarah yang sedikit terbuka, bernapas pelan.
Sensasi panas mulai mengalir ke tubuh Adit, seolah-olah atmosfer kamar itu menghangat dalam beberapa detik.
Namun, dengan sekuat tenaga, Adit berusaha untuk menjaga pikirannya tetap jernih. Ini bukan waktu yang tepat untuk merasa tergoda. Ia tahu ada batas yang tidak boleh dia lewati, meskipun situasinya membuatnya sulit berpikir dengan kepala dingin.
Apa daya Adit hanya seorang pria dewasa normal pada umumnya.
Akhirnya Adit mendekatkan kepalanya pada bibir Sarah lagi. Lalu bibirnya dan bibir Sarah bertemu. Ia mencium lembut.
“Aku nggak boleh,” gumam Adit tiba-tiba pada dirinya sendiri, hampir seperti peringatan. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu segera menjauhkan diri dari Sarah dan kembali mengancingkan sisa kancing yang belum terpasang dengan benar.
Namun, semakin lama dia berada di sana, semakin sulit baginya untuk mengabaikan perasaan yang muncul. Suara napas Sarah, harum tubuhnya, dan pemandangan lembut di hadapannya membuat Adit merasa seperti berada dalam perang batin.
Adit memaksakan diri untuk berdiri. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak kencang. Dia melangkah ke dekat jendela, berharap angin malam bisa sedikit mendinginkan perasaannya yang berkecamuk.
Namun, ketika ia kembali menatap Sarah yang terbaring di tempat tidur, ada dorongan lain yang muncul di dalam dirinya. Dorongan yang tidak bisa ia tolak. Seolah-olah ada magnet yang menariknya untuk mendekat lagi.
Adit berjalan perlahan ke arah tempat tidur, kali ini lebih dekat. Sarah masih terpejam, tidak sadar akan segala hal yang terjadi di sekitarnya. Jarak antara mereka semakin sempit.
Dia bisa merasakan napasnya sendiri semakin berat. Tangannya kembali terangkat, kali ini tanpa ia sadari, menuju wajah Sarah.
Namun, sebelum Adit bisa lebih jauh tenggelam dalam godaan yang membebaninya, sepasang mata Sarah mulai terbuka. Mata indah itu menatap wajah Adit yang sedang terarah padanya. “A ... dit ...,” panggilnya dengan suara parau dan nyawa yang setengah sadar.
Adit membelalakan netranya. Terkesiap setengah mata. “Sarah ...!” serunya lirih. “Mm ... maksudku ... Tante Sarah sudah sadar?” sambungnya gugup.
Sarah tersenyum. Sepasang matanya berbinar lembut dan air muka lesu. Ia terlihat masih di bawah pengaruh alkohol. “Hei sayang ...,” ujarnya lirih sembari jari telunjuknya menyapu pelipis Adit. Lalu turun ke hidungnya yang mancung dan kemudian berhenti di bibirnya yang maskulin.
Jantung Radit benar-benar berdebar tidak karuan. Di dalam tubuh Radit sudah mulai perang antara reaksi hasrat normal seorang pria dengan pikiran jernih mengingatkan diri bila ia harus menjaga dan menghormati Sarah – mama temannya!
'Dit inget, Sarah itu mamanya Hardian!' batinnya berteriak memperingatkan.
Bersambung ....
"Dia emosi waktu itu, Dit. Aku nggak mau cari pembenaran buat dia, tapi ... mungkin Hardian juga nggak cerita karena dia bingung. Serba salah. Karena walau bagaimana pun, Damar itu papanya kan.”Adit terdiam. Ia mengatupkan rahangnya, menahan amarah yang menggelegak di dadanya. Tapi ia tahu Sarah benar. Di satu sisi, Damar adalah sosok yang semakin membingungkan. Di sisi lain, Hardian tetaplah anak dari pria itu. Posisi Hardian sungguh tidak mudah. Jadi Adit berusaha mengerti.Adit menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Lalu ia kembali berbaring, menatap Sarah. "Kalau dia ... sampai nyakitin kamu lagi, kamu janji sama aku, kamu langsung kasih tahu aku. Jangan tutupin apa pun, oke?"Sarah menatap Adit lekat. Ada haru yang menggantung di pelupuk matanya. "Aku janji."Adit tersenyum tipis, lalu menarik wajah Sarah mendekat. Mereka kembali berciuman, kali ini lebih pelan, lebih penuh rasa sayang yang mendalam. Tak terburu-buru. Tak tergesa-gesa. Hanya ingin memastikan bahwa satu s
Adit memosisikan tubuh Sarah untuk sedikit menungging.Ia pun mengatur posisi yang pas untuk tongkat ajaibnya tenggelam dalam lembah. Sarah kembali mendesah ketika ia merasakan bagian paling rahasia dan pribadi pada tubuhnya itu telah dimasuki sesuatu yang kekar, besar dan panjang. Sampai ia sendiri merasa penuh."Adit ...," pekik Sarah lirih. Suara itu serasa seperti keluar begitu saja tanpa terencana."Apaan sih ...?" sahut Adit dengan suara gemetar. Sembari bermain dengan pinggulnya yang maju mundur, tangan kanan Adit meraih sebelah bukit dari belakang dan meremasnya lembut. Sedangkan tangan kirinya, menepuk-nepuk bokong Sarah yang kecil tapi penuh dan bulat.Beberapa waktu kemudian, setelah semua hasrat dan rindu tuntas mereka bayar dengan pelukan dan ciuman yang penuh kejujuran, Sarah menyandarkan kepalanya di bahu Adit. Jemarinya menggambar lingkaran kecil di dada pria itu, seolah mencari ketenangan dalam gerakan yang berulang.“Aku sayang banget sama kamu,” ucap Adit pada Sara
Adit mengangkat Sarah ke dalam pelukannya, tubuh perempuan itu ringan seolah memang hanya ditakdirkan untuk berada di dalam genggamannya. Sarah tertawa kecil, lalu menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Adit. Aroma parfum dari kulit Adit dan kehangatan tubuhnya membungkus Sarah dengan rasa aman yang sudah lama ia rindukan.Adit meletakkan Sarah perlahan di atas ranjang, lalu menyusul berbaring di sampingnya. Mereka tak langsung bicara. Hanya menatap satu sama lain dalam diam yang nyaman, tangan saling menggenggam dan wajah hanya berjarak beberapa jari. Tak butuh kata, karena rindu mereka sudah menjelaskan segalanya.Sarah melingkarkan lengannya di sepanjang leher Adit yang berada di atasnya. Mereka bertatapan dengan penuh makna.Lalu Adit mendaratkan bibirnya di atas kening Sarah yang licin. Usia Sarah memang terpaut 14 tahun darinya. Namun wajah Sarah seperti teman sebaya. Tanpa kerut-kerutan halus. Dia benar-benar awet muda.Sarah seperti selalu berendam dengan formalin. Bibir A
"Kenapa belum ada kabar juga sih, Sarah …," gumam Adit pelan, nyaris seperti keluhan yang ditujukan ke dinding kosong. "Udah hampir dua jam loh. Apa dia kejebak? Apa Damar tahu?" Ia kembali membuka layar ponselnya, menatap kolom percakapan mereka. Pesan terakhir dari Sarah masih tertulis di sana: “Dit, maaf. Aku masih usaha cari celah bisa keluar. Tunggu aku ya, aku pasti datang. Kita janjian di lobi Five Hotel. Jamnya nanti aku kabari lagi.” Adit lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan, bersandar ke dinding. Rasanya seperti sedang menunggu kabar hidup dan mati. Campuran cemas, rindu, dan rasa bersalah berputar-putar dalam dadanya seperti arus pusaran air yang tak pernah memberi ruang untuk napas panjang. Dan saat ia membuka mata lagi, layar ponselnya menyala. Getaran pendek menyertai notifikasi yang muncul di atas layar. Sarah: Sekarang ya Dit. Aku udah pesen kamar incognito. Kamar nomer 82. Kalau kamu duluan yang datang ke sana, bilang saja sama resepsionisnya. Ambil saja
Di ruang tengah, Damar tengah duduk sambil membaca tablet. Tampilannya santai, tapi ekspresinya tidak sepenuhnya lepas. Ia terlihat awas—siaga, seolah tahu kapan pun Sarah bisa membuat langkah berani lagi.Meri masuk dengan langkah ringan, tapi wajahnya dibuat sedikit tegang. Ia berhenti beberapa meter dari tempat Damar duduk.“Mar,” panggilnya pelan. Memanggil santai dan akrab karena memang Meri juga sudah kenal lama dengan suaminya Sarah itu.Damar mengangkat kepala. “Hmm?”“Aku ... aku mau minta tolong. Sarah bisa temenin aku gak? Aku harus ke rumah sakit,” ucap Meri, mencoba terdengar sungguh-sungguh.Damar mengernyit. “Kenapa ke rumah sakit? Kamu sakit?”Meri menggigit bibir bawahnya, lalu menunduk, seolah malu.“Kayaknya aku ... aku hamil.”Damar langsung membeku. Tablet di tangannya ia letakkan perlahan ke meja. Wajahnya sulit dibaca. Antara bingung, kaget, dan sinis.“Kamu ... hamil?” ulang Damar perlahan.Meri mengangguk kecil. “Iya. Aku belum pasti sih. Tapi aku telat cukup
Sarah melirik jam tangan tipis di pergelangan kirinya. Jarumnya sudah melaju mendekati angka empat. Langit di luar teras mulai meredup. Angin sore bergerak lamban, membawa bau tanah dan sedikit aroma melati dari pot gantung di sudut tiang. Ia menghela napas, lalu mengajak Meri duduk di teras samping rumah. Bangku kayu panjang yang biasa digunakan Damar untuk merokok kini menjadi saksi bisu konspirasi kecil yang sedang dirancang."Mer, duduk sini bentar, yuk," ajak Sarah dengan nada pelan namun tegas.Meri mengikuti. Ia menarik kakinya naik ke bangku, duduk bersila seperti anak kecil. Bahunya menempel pada bahu Sarah. Posisi mereka sangat dekat, seperti dua sahabat yang saling mencari hangat di tengah dinginnya udara."Kamu sadar gak sih," gumam Sarah, memulai, "Kamu tuh kalau mampir ke rumah aku, selalu dadakan. Dan pasti ... selalu minta numpang kamar mandi. Keluar-keluar dari kamar mandi pasti bikin aku kaget.”Meri terkekeh, lalu menyandarkan kepalanya ke pundak Sarah. "Iya ya? Ga