Adit berlari menaiki tangga, hatinya dipenuhi perasaan cemas dan marah yang semakin memuncak. Ia tak peduli dengan orang-orang yang sibuk menikmati pesta di bawah, alunan musik, atau gelak tawa tamu-tamu yang asyik dengan dunianya masing-masing. Fokusnya hanya tertuju pada satu hal: menyelamatkan Sarah sebelum terlambat.
Saat mencapai puncak tangga, Adit melihat Jordan sudah beberapa langkah di depan, membopong tubuh Sarah yang tak lagi berdaya. Sarah terlihat semakin tak sadar, kepalanya terkulai lemah di bahu Jordan. Dia terlihat pasrah.
Jelas sekali bahwa Jordan berniat membawa Sarah ke salah satu kamar di lantai atas, jauh dari keramaian. Pemandangan itu memicu amarah Adit.
"Hei berhenti!" seru Adit dengan suara lantang, namun musik yang masih berdentum membuat suaranya hampir tak terdengar.
Jordan menoleh sekilas, seolah tidak peduli, lalu terus berjalan menuju pintu kamar terdekat. Adit semakin panik.
Dia tahu, jika dia tidak segera bertindak, sesuatu yang buruk bisa terjadi. Tanpa berpikir panjang, Adit mempercepat langkahnya, mengejar Jordan dengan sekuat tenaga.
Namun, langkah Adit terhenti tiba-tiba ketika suara yang familiar memanggil namanya.
"Adit! Kamu mau ke mana?" Teriak Tigar dari bawah tangga. Suara Tigar terdengar lantang, jelas, dan penuh kekhawatiran.
Adit menoleh sejenak ke arah Tigar, yang tampak kebingungan melihat Adit berlari ke atas tangga.
Tigar juga sempat melihat meja yang ditinggalkan Jordan penuh botol minuman keras. Dan ia pun melihat Adit melempar nampan kosong yang dibawanya ke lantai dengan sembarangan, lalu mengejar Jordan, seolah tidak peduli dengan keadaan sekitar.
Kekacauan kecil yang ditinggalkan Jordan itu membuat Tigar curiga, terutama melihat perubahan sikap Adit yang biasanya selalu profesional saat bekerja.
"Adit!" panggil Tigar lagi, kali ini lebih keras.
Namun, Adit tidak punya waktu untuk menjelaskan. Dia tahu, satu detik pun yang terbuang bisa memperburuk situasi. Tanpa menjawab panggilan Tigar, Adit kembali mengejar Jordan, yang sudah hampir membuka pintu kamar di ujung lorong.
Sesampainya di depan pintu, Adit melihat Jordan mulai menurunkan Sarah ke tempat tidur di dalam kamar. Sarah tampak tak berdaya, wajahnya merah padam karena pengaruh alkohol, dan matanya setengah tertutup.
Jordan, dengan senyum licik di wajahnya, mulai membuka kancing bajunya, seolah-olah tidak ada yang bisa menghentikannya.
Adit tidak bisa menahan diri lagi. Dengan cepat, dia menerobos masuk ke dalam kamar, menendang pintu hingga terbuka lebar.
“Braaak!” Pintu kamar terbuka keras.
"Hei! Apa yang kamu lakuin?!" teriak Adit dengan napas tersengal-sengal.
Jordan terkejut, wajahnya berubah dari ekspresi santai menjadi marah. Dia berdiri tegak, menatap Adit dengan tatapan tajam. "Kamu ngapain di sini? Ini urusan aku, bukan urusan kamu!" Jordan mendesis.
"Tapi ini juga bukan hak kamu buat ngambil kesempatan dari orang yang nggak sadar!" Adit menjawab dengan tegas, meski dadanya berdegup kencang.
Dia tidak peduli dengan apa yang mungkin dilakukan Jordan padanya. Yang penting saat ini adalah memastikan Sarah aman.
Jordan mendekati Adit dengan wajah marah, tangannya terkepal seakan siap memukul. "Kamu pikir kamu siapa, pramusaji sialan? Aku bisa hancurin kamu sekarang juga!" ancam Jordan. "Pergi dari sini! Jangan ikut campur!"
Adit tetap teguh, meski dia tahu posisinya berisiko. Dia melirik Sarah yang masih terbaring lemah di tempat tidur, lalu menatap Jordan dengan penuh keberanian. "Kalau kamu punya harga diri, kamu nggak bakal ngelakuin ini. Dia nggak sadar, dan kamu cuma pengecut kalo mau manfaatin dia!"
Jordan tampak terdiam sejenak, wajahnya merah karena marah. Namun sebelum dia bisa bereaksi lebih jauh, terdengar suara langkah-langkah mendekat. Tigar muncul di pintu, terengah-engah setelah mengejar Adit.
"Adit! Apa yang kamu—" Tigar berhenti ketika melihat situasi di depan matanya. Mata Tigar beralih dari Adit ke Jordan, lalu ke Sarah yang terbaring tak berdaya. Dengan cepat, Tigar memahami apa yang sedang terjadi. Ekspresi santainya berubah serius.
"Bro, kamu nggak mau masalah, kan? Lepasin aja dia," kata Tigar kepada Jordan dengan nada lebih tenang tapi penuh ancaman tersirat. "Kamu nggak mau bikin ribut di pesta ini, kan?"
Ketukan di pintu itu terdengar lagi — dua kali, cepat, seperti peringatan.Sarah langsung menjauh, matanya membulat panik. Adit juga refleks melepas genggamannya, nafas mereka masih saling bersentuhan di udara yang kini terasa jauh lebih panas daripada sebelumnya.“Ya Tuhan …,” bisik Sarah sambil buru-buru merapikan rambutnya yang acak-acakan. Ia menarik nafas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang seperti gendang perang.Adit ikut menarik kerah bajunya, berusaha menutupi noda lipstik samar di bawah rahangnya.Belum sempat mereka berkata apa-apa, pintu terbuka perlahan. “Sarah,” suara berat itu terdengar duluan, sebelum sosok Indra muncul bersama Arif Pratama.Keduanya berdiri di ambang pintu, pandangan Arif cepat menyapu keadaan ruangan. Sementara Indra menatap Adit dan Sarah bergantian dengan tatapan sulit dijelaskan — antara lega dan canggung.Sarah segera berdiri tegak. “Hai …,” ucapnya cepat, berusaha menutupi kegugupan. “Ada apa? Kok masuknya tiba-tiba?”Indra menghel
Hujan baru saja reda, tapi udara di ruang khusus itu masih menyimpan dingin. Suara tetesan air di luar jendela terdengar samar, bersahut dengan detak jam di dinding. Lampu neon di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke wajah Adit yang tampak lebih pucat dari terakhir kali Sarah melihatnya.“Aku hampir nggak percaya kamu benar-benar di sini,” ucap Sarah pelan. Suaranya bergetar, seperti menahan sesuatu yang sudah terlalu lama ditahan.Adit tersenyum tipis. “Aku juga nggak yakin ini nyata,” jawabnya lirih. “Setiap malam aku cuma bisa bayangin kamu datang … dan sekarang kamu beneran datang. Aku pikir, setelah aku keluar dari sel dan menjadi tahanan Kota sementara, aku nggak akan kembali ke sini lagi. Tapi nyatanya ….”Sarah melangkah mendekat, pelan-pelan, seolah takut kalau gerakan terlalu cepat akan membuat Adit lenyap. Bau antiseptik dan lembap ruangan itu seketika kalah oleh aroma samar parfum Sarah yang menenangkan.Ia berhenti hanya beberapa langkah di depan Adit, menatap waja
Suara dering telepon memecah kesunyian ruang kerja Damar yang remang. Jarum jam dinding menunjukkan nyaris pagi hari. Di luar, hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang menyengat. Damar duduk di kursi kulit hitamnya, masih mengenakan kemeja yang belum sempat dibuka kancing atasnya. Matanya tajam menatap layar ponsel yang terus bergetar. Nama yang muncul di sana membuat rahangnya mengeras — Sambo.Ia menarik napas panjang sebelum menekan tombol hijau. “Sudah selesai?” suaranya rendah tapi menusuk. Di seberang sana, Sambo tidak langsung menjawab. Hanya terdengar helaan napas berat dan suara gesekan korek api.“Jawab, Sambo. Adit sudah dihabisi atau belum?” tanya Damar lebih tegas, suaranya naik setingkat.Hening beberapa detik. Sambo akhirnya berkata pelan, “Belum.” Damar menegakkan tubuh, matanya langsung membulat. “Belum? Maksudmu apa belum?” “Rencana tadi gagal.”“GAGAL?!” Damar membentak, suaranya menggelegar di ruangan. Ia bangkit berdiri, menepis gelas kop
Ruang kerja Kompol Sambo dipenuhi asap rokok yang menebal. Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari, tapi matanya masih tajam, menatap layar monitor CCTV di depannya. Ada lima tampilan kamera yang menunjukkan berbagai sudut lapas sektor barat. Salah satunya menampilkan sel tempat Adit sempat ditahan.Pintu ruangan terbuka cepat. Seorang pria berseragam masuk dengan langkah tergesa. “Izin melapor, Komandan!”Sambo menoleh tajam. “Cepat bicara. Ada apa?”“Barusan saya dapat laporan langsung dari lapas, Komandan. Ada pejabat dari pusat datang malam ini. Pangkatnya AKBP. Namanya Arif Pratama.”Nama itu membuat Sambo langsung menegakkan tubuh. “Arif Pratama?” suaranya rendah, tapi bergetar menahan marah. “Apa katanya dia datang di dini hari hanya buat inspeksi biasa?”“Tidak, Komandan,” jawab anak buahnya cepat. “Beliau langsung menuju ke ruang sel di mana tahanan bernama Adit ditempatkan. Katanya, dia memarahi sipir karena lalai hingga terjadi perkelahian antar napi.”Sambo mengerutka
Langkah sepatu hitam terdengar mantap di koridor panjang yang redup. Sosok berseragam dengan pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) di dada melangkah cepat mendekati sel. Cahaya lampu neon di atas kepala memantul di papan nama kecil di dadanya—ARIF PRATAMA.“Buka pintunya,” perintahnya tajam, suaranya dalam dan tegas.Dua sipir saling pandang, ragu. Salah satunya mencoba bicara, “Pak … tapi perintah Kompol Sambo—”“Saya bilang buka, sekarang juga!” potong Arif tanpa memberi ruang debat. Suaranya bergema di lorong.Besi pintu sel terdengar berderit berat. Dua sipir akhirnya membuka dan menarik paksa pria bertato keluar. Pria itu meludah ke lantai sambil menatap Adit penuh kebencian. “Kita belum selesai, bocah. Belum,” desisnya sebelum dibawa pergi.Adit berdiri tegak, napasnya berat. Matanya menatap Arif waspada, tubuhnya masih menegang. Ia tidak tahu siapa pria berpangkat tinggi ini. Bisa jadi jebakan lain.Arif melangkah mendekat pelan, berhenti tepat di hadapan Adit. Lalu dengan
Indra menginjak pedal gas lebih dalam, matanya fokus pada jalanan kosong. Ponselnya bergetar di dasbor. Ia menekan tombol speaker tanpa melepas pandangan dari jalan. “Sarah?” suaranya parau tapi lugas. “Ndra … aku di rumah, tapi aku nggak bisa diam. Aku mau nyusul ke kantor polisi,” jawab Sarah cepat, terdengar dari seberang. “Jangan ke tempat lain. Kita ketemu langsung di kantor polisi,” tegas Indra. “Aku juga udah telepon orang dalam yang lebih tinggi pangkatnya ketimbang Sambo. Aku mau pastikan Adit tidak akan terluka sedikit pun!” Sarah menarik napas panjang. “Oke. Aku berangkat sekarang. Semoga saja kita tidak terlambat. Aku sungguh tidak tenang …,” ucapnya dengan suara gemetar. Panggilan terputus. Dalam sekejap, Sarah berlari menuju ruang tamu, meraih jaket dan kunci mobil. Tapi langkahnya terhenti ketika suara berat terdengar dari arah selasar. “Mama?” Sarah menoleh cepat. Ia sedikit mendongak melihat tepian selasar di lantai dua, Hardian berdiri di sana. Wajahnya pucat,