Share

Bab 5 Perang batin

Author: Risya Petrova
last update Last Updated: 2025-05-18 18:18:52

Adit berlari menaiki tangga, hatinya dipenuhi perasaan cemas dan marah yang semakin memuncak. Ia tak peduli dengan orang-orang yang sibuk menikmati pesta di bawah, alunan musik, atau gelak tawa tamu-tamu yang asyik dengan dunianya masing-masing. Fokusnya hanya tertuju pada satu hal: menyelamatkan Sarah sebelum terlambat.

Saat mencapai puncak tangga, Adit melihat Jordan sudah beberapa langkah di depan, membopong tubuh Sarah yang tak lagi berdaya. Sarah terlihat semakin tak sadar, kepalanya terkulai lemah di bahu Jordan. Dia terlihat pasrah.

Jelas sekali bahwa Jordan berniat membawa Sarah ke salah satu kamar di lantai atas, jauh dari keramaian. Pemandangan itu memicu amarah Adit.

"Hei berhenti!" seru Adit dengan suara lantang, namun musik yang masih berdentum membuat suaranya hampir tak terdengar.

Jordan menoleh sekilas, seolah tidak peduli, lalu terus berjalan menuju pintu kamar terdekat. Adit semakin panik.

Dia tahu, jika dia tidak segera bertindak, sesuatu yang buruk bisa terjadi. Tanpa berpikir panjang, Adit mempercepat langkahnya, mengejar Jordan dengan sekuat tenaga.

Namun, langkah Adit terhenti tiba-tiba ketika suara yang familiar memanggil namanya.

"Adit! Kamu mau ke mana?" Teriak Tigar dari bawah tangga. Suara Tigar terdengar lantang, jelas, dan penuh kekhawatiran.

Adit menoleh sejenak ke arah Tigar, yang tampak kebingungan melihat Adit berlari ke atas tangga.

Tigar juga sempat melihat meja yang ditinggalkan Jordan penuh botol minuman keras. Dan ia pun melihat Adit melempar nampan kosong yang dibawanya ke lantai dengan sembarangan, lalu mengejar Jordan, seolah tidak peduli dengan keadaan sekitar.

Kekacauan kecil yang ditinggalkan Jordan itu membuat Tigar curiga, terutama melihat perubahan sikap Adit yang biasanya selalu profesional saat bekerja.

"Adit!" panggil Tigar lagi, kali ini lebih keras.

Namun, Adit tidak punya waktu untuk menjelaskan. Dia tahu, satu detik pun yang terbuang bisa memperburuk situasi. Tanpa menjawab panggilan Tigar, Adit kembali mengejar Jordan, yang sudah hampir membuka pintu kamar di ujung lorong.

Sesampainya di depan pintu, Adit melihat Jordan mulai menurunkan Sarah ke tempat tidur di dalam kamar. Sarah tampak tak berdaya, wajahnya merah padam karena pengaruh alkohol, dan matanya setengah tertutup.

Jordan, dengan senyum licik di wajahnya, mulai membuka kancing bajunya, seolah-olah tidak ada yang bisa menghentikannya.

Adit tidak bisa menahan diri lagi. Dengan cepat, dia menerobos masuk ke dalam kamar, menendang pintu hingga terbuka lebar.

“Braaak!” Pintu kamar terbuka keras.

"Hei! Apa yang kamu lakuin?!" teriak Adit dengan napas tersengal-sengal.

Jordan terkejut, wajahnya berubah dari ekspresi santai menjadi marah. Dia berdiri tegak, menatap Adit dengan tatapan tajam. "Kamu ngapain di sini? Ini urusan aku, bukan urusan kamu!" Jordan mendesis.

"Tapi ini juga bukan hak kamu buat ngambil kesempatan dari orang yang nggak sadar!" Adit menjawab dengan tegas, meski dadanya berdegup kencang.

Dia tidak peduli dengan apa yang mungkin dilakukan Jordan padanya. Yang penting saat ini adalah memastikan Sarah aman.

Jordan mendekati Adit dengan wajah marah, tangannya terkepal seakan siap memukul. "Kamu pikir kamu siapa, pramusaji sialan? Aku bisa hancurin kamu sekarang juga!" ancam Jordan. "Pergi dari sini! Jangan ikut campur!"

Adit tetap teguh, meski dia tahu posisinya berisiko. Dia melirik Sarah yang masih terbaring lemah di tempat tidur, lalu menatap Jordan dengan penuh keberanian. "Kalau kamu punya harga diri, kamu nggak bakal ngelakuin ini. Dia nggak sadar, dan kamu cuma pengecut kalo mau manfaatin dia!"

Jordan tampak terdiam sejenak, wajahnya merah karena marah. Namun sebelum dia bisa bereaksi lebih jauh, terdengar suara langkah-langkah mendekat. Tigar muncul di pintu, terengah-engah setelah mengejar Adit.

"Adit! Apa yang kamu—" Tigar berhenti ketika melihat situasi di depan matanya. Mata Tigar beralih dari Adit ke Jordan, lalu ke Sarah yang terbaring tak berdaya. Dengan cepat, Tigar memahami apa yang sedang terjadi. Ekspresi santainya berubah serius.

"Bro, kamu nggak mau masalah, kan? Lepasin aja dia," kata Tigar kepada Jordan dengan nada lebih tenang tapi penuh ancaman tersirat. "Kamu nggak mau bikin ribut di pesta ini, kan?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Detik kematian Damar

    Langkah-langkah kecil terdengar di lantai marmer yang dingin. Bela, dengan rambut panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya, berjalan menuju dispenser di sudut dapur.Gelas kaca di tangannya bergetar ringan, hampir tak terkendali. Ia menempelkan jarinya ke tombol dingin, dan suara gemericik air mengalir mengisi ruang sunyi.Namun keheningan itu segera menjadi gaduh. Karena suara tawa.Bukan sembarang tawa.Tawa itu dalam, berat, penuh kesombongan. Tawa yang bagi orang lain mungkin terdengar biasa, tapi bagi Bela, suara itu adalah cambuk neraka yang merobek kembali luka lamanya.Tawa Damar!Gelas kaca di tangan Bela berhenti bergetar. Ia terdiam, tubuh kaku. Lalu, tanpa ia sadari, matanya memicing, sorotnya tajam seakan menembus dinding yang memisahkan ia dengan ruang kerja sang Tuan rumah. Tawa itu semakin keras, menggema di kepalanya, bercampur dengan jeritan masa kecil yang selama ini ia pendam.— "Ayo, jangan nangis. Kalau nangis, tambah seru rasanya." "Diam! Jangan cerita ke s

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Permainan licik

    “Jangan!"Damar tertegun. Ia mengangkat alis, setengah tak percaya dengan yang baru saja didengarnya. “Jangan?” tanyanya ulang, nada suaranya dipenuhi heran. Ia berpikir Sambo sedang menolak uangnya. Dan itu hal yang tak masuk akal. Sejak kapan sahabat lamanya itu berubah jadi abdi negara yang jujur?Namun Sambo buru-buru melanjutkan kalimatnya. Suaranya kali ini lebih pelan, licin, penuh kalkulasi. “Jangan transfer ke rekeningku. Cari mati namanya. Cepat sekali itu bisa dilacak. Nanti aku justru terjebak. Transfer saja ke rekening sopirku. Namanya Syahroni. Nanti aku kirimkan nomor rekeningnya ke kamu.”Sejenak keheningan, lalu Sambo terkekeh. “Kalau misalnya pihak bank mengusut kenapa tiba-tiba sopirku mendapat transferan uang begitu besar, gampang. Dia akan menjawab kalau itu pinjaman modal dari seorang pengusaha sukses, konglomerat kaya yang baik hati … Pak Damar.”Ucapan terakhir itu ia selipkan dengan tawa licik.Di seberang, Damar tak bisa menahan tawanya. Ia tergelak, keras,

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Hukum

    Udara di ruangan itu mendadak semakin berat. Sarah bisa merasakan bulu kuduknya berdiri, seakan hawa dingin dari AC bercampur dengan tekanan yang tak kasat mata.Bondan melirik Sarah, seolah memberi kode untuk berhati-hati dalam menjawab. Tapi sebelum ia sempat bicara, Sarah sudah lebih dulu membuka suara.“Punya,” ucapnya cepat.Kompol Sambo mengangkat wajahnya, tatapannya menusuk. “Ya sudah, mana?” suaranya tegas, mengandung nada perintah.Sarah menelan ludah. “Tidak saya bawa, Pak. Ada di handphone Adit.”Sejenak suasana hening. Sambo mengetuk meja dengan jarinya, satu, dua kali. Bondan segera maju selangkah, mengambil alih.“Kami juga menginginkan Adit dibebaskan, Pak Sambo. Kenapa pelapor malah ditahan? Apa-apaan ini? Klien saya datang untuk mencari keadilan, malah diperlakukan seperti tersangka. Tidak masuk akal.”Sambo menoleh perlahan, menimbang kata-kata Bondan dengan wajah tanpa ekspresi.Bondan tak berhenti di situ. “Dan satu lagi. Saya ingin Anda memperlihatkan rekaman CCT

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Kepala polisi

    Suasana ruang tunggu kembali terasa berat, seperti udara yang mengendap di antara dinding tebal kantor polisi. Denting jam dinding terdengar lebih jelas, setiap detiknya seakan menghantam dada Sarah. Ia menggenggam erat ujung blazer yang dikenakan, mencoba menahan kegelisahan yang mendidih.Bripka Surya akhirnya mengembuskan napas keras. Ia berdiri, tangannya bertumpu di meja seakan menyalurkan sisa wibawa yang masih ia genggam. “Baik,” ucapnya singkat, suara dalamnya terdengar agak bergetar. “Saya akan antar kalian menghadap atasan saya. Tapi kalian tunggu di sini dulu. Jangan buat keributan.”Bondan menautkan alisnya, menilai tiap kata dengan hati-hati. “Baik, kami tunggu,” jawabnya tenang, meski sorot matanya menusuk.Surya hanya mengangguk kaku, lalu berbalik meninggalkan ruangan. Suara langkah sepatunya menggema di koridor panjang yang menuju ruang pimpinan. Pintu kayu berlapis kaca buram bergoyang pelan ketika ia melewatinya, lalu hening kembali.Sarah menoleh cepat ke arah Bond

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   Lagu lama

    Satu setengah jam kemudian, suasana ruang tunggu kantor polisi masih panas. Sarah berdiri kaku, air matanya mulai kering, berganti dengan keteguhan hati. Beberapa polisi yang tadinya ikut menahan Adit kini kembali ke meja mereka, namun tatapan mereka masih penuh kewaspadaan.Di tengah ketegangan itu, pintu depan terbuka. Seorang pria tinggi berkacamata, dengan jas hitam sederhana, masuk sambil membawa map cokelat di tangannya. Wajahnya tegas, langkahnya mantap. Dialah Bondan, pengacara yang sekaligus sahabat lama Sarah.“Sarah!” panggilnya, nada suaranya cemas. Ia segera menghampiri. “Kamu nggak apa-apa? Aku dapat teleponmu barusan, langsung ke sini.”Sarah mengangguk cepat. “Aku nggak apa-apa, Dan. Tapi Adit … mereka jeblosin dia ke sel tanpa alasan jelas. Semua gara-gara laporan kita yang dihilangkan. Yang tadi udah aku ceritain di telepon!”Bondan menatap sekeliling dengan pandangan tajam, lalu menancapkan matanya pada Bripka Surya. “Jadi kamu yang namanya Surya?” tanyanya, suarany

  • Terjerat Pesona Mama Temanku   "Dasar Kon!"

    Pagi menjelang siang, jalanan menuju kantor polisi mulai ramai. Motor-motor berdesakan, mobil saling klakson, dan suara pedagang kaki lima bersahutan. Namun di balik hiruk pikuk itu, langkah Adit dan Sarah justru berat.Mereka memasuki gedung kantor polisi yang berbau khas, campuran kertas, kopi, dan aroma rokok yang samar. Beberapa petugas tampak sibuk di meja resepsionis, mengetik laporan, atau sekadar bercanda sesama rekan kerja.Adit menggenggam erat ponselnya. Di dalam ponsel itu, ia masih menyimpan salinan video bukti yang dulu mereka serahkan. Tapi hatinya tidak tenang. Dari awal ada firasat buruk, seolah laporan mereka sengaja dilenyapkan.Sarah menyikut lengan Adit pelan. “Tenang, Dit. Kita tinggal minta kejelasan. Nggak ada salahnya kita datang lagi.” Adit mengangguk singkat. “Iya. Semoga memang cuma salah administrasi.”Mereka mendekati meja seorang petugas muda berseragam lengkap, namanya tertera jelas di dada: Ahmad. Wajahnya teduh, matanya jernih, berbeda dari bayangan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status