Lorong panjang menuju ruang tahanan terasa sepi, tapi setiap langkah Sarah terdengar seperti dentuman di telinganya. Ia berjalan cepat, Bondan di sisinya, sampai akhirnya mereka dihentikan oleh seorang polisi berbadan besar yang berdiri di depan pintu besi.“Maaf, Bu. Tidak bisa masuk sekarang. Jam besuk tahanan sudah lewat,” katanya datar, tanpa sedikit pun empati.Sarah terbelalak. “Apa maksudmu?! Aku bukan mau besuk biasa. Aku mau ketemu Adit, yang ditahan tanpa alasan jelas!”Polisi itu menegakkan tubuh, berusaha tetap formal. “Aturan tetap aturan, Bu. Kalau ingin bertemu tahanan, harus ada izin tertulis dari atasan. Besok pagi baru bisa diurus.”Sarah hampir meledak. Nafasnya tersengal, matanya berkilat marah. “Besok pagi?! Kamu kira aku bisa tenang semalaman, sementara Adit terkunci sendirian di dalam sana, dituduh sesuatu yang bukan kesalahannya?!”Bondan segera maju setapak, menengahi. Suaranya tenang tapi tajam. “Pak, kami tidak bicara soal kunjungan biasa. Klien saya punya h
Mobil Sarah berhenti mendadak di pelataran parkiran kantor polisi. Ban mobil nyaris berdecit, menandakan betapa paniknya ia membawa kendaraan sepanjang jalan. Tanpa menunggu sedetik pun, ia langsung membuka pintu dan berlari keluar.Tumit sepatunya beradu dengan lantai semen, langkahnya tergesa penuh amarah. Nafasnya tersengal, rambutnya berantakan ditiup angin malam, namun matanya hanya fokus pada satu hal—Adit.Begitu masuk ke ruang utama kantor polisi, matanya langsung tertumbuk pada sosok yang membuat darahnya mendidih: Bripka Surya.Polisi korup itu berdiri dengan tangan di saku celana, wajahnya santai seolah sedang menonton sandiwara yang sengaja diciptakan. Senyumnya miring, penuh ejekan.“Surya!!” teriak Sarah dengan suara bergetar karena amarah.Semua orang di ruangan itu sontak menoleh. Sarah melangkah cepat, hampir menerjang. Tangannya sudah terangkat, nyaris menghantam dada Surya, namun sebuah genggaman kuat menarik lengannya dari belakang.“Sarah, jangan!” suara berat dan
Begitu membaca chat dari Erni, Sarah tidak berpikir panjang. Kursi kerjanya langsung berderit ketika ia berdiri dengan tergesa. Jantungnya berdegup begitu keras, seakan menghantam dinding dada.Ia hampir berlari menuju lift, menekan tombol turun berulang-ulang dengan jemari yang gemetar. Setiap detik terasa seperti siksaan.Begitu pintu terbuka, Sarah melangkah masuk, menekan tombol Lantai Dasar. Nafasnya terengah, kedua tangannya saling meremas. “Adit … apa yang terjadi sama kamu …,” bisiknya lirih, matanya mulai berair.***Sesampainya di lobi, Sarah langsung terhenti. Suasana masih dipenuhi bisik-bisik karyawan yang tidak jadi buru-buru pulang. Beberapa berdiri bergerombol, wajah mereka menyiratkan rasa penasaran sekaligus ketegangan.Erni, yang berdiri dekat pilar marmer, begitu melihat Sarah langsung menghampiri. “Bu Sarah!” panggilnya.Sarah berbalik cepat, wajahnya pucat. “Erni, apa betul … Adit … dibawa polisi barusan?”Erni mengangguk panik. “Iya, Bu. Tadi ada empat orang pol
Suasana kantor MIMPI MEDIA kembali normal secara kasat mata, namun hawa tegang yang menggantung seolah tak mau bubar. Para karyawan memang sudah mulai merapikan barang-barang di meja kerja mereka, menunggu hitungan menit menuju jam pulang. Tetapi, bagi Adit, detik-detik itu justru terasa lambat, terlalu lambat, hingga pikirannya bekerja jauh lebih keras daripada tangannya yang mengetik di laptop.Ketika Yuli kembali ke meja sekretariat, pandangan Adit langsung terpaku. Dari balik layar monitornya, ia mengawasi langkah Yuli yang masuk dengan wajah masih sedikit pucat. Yuli duduk seperti biasa, menyibukkan diri dengan lembaran berkas. Namun tatapan mata mereka bertemu sepersekian detik.Tatapan itu tajam. Ada sesuatu di balik sorot Yuli, seakan ia membawa beban rahasia besar yang tak boleh diketahui orang lain. Adit bisa merasakannya.Tanpa berkata sepatah kata pun, Yuli buru-buru memalingkan wajah, bersikap seolah baru saja kembali dari toilet. Ia menyalakan komputer, membuka file, me
Sekitar pukul tiga sore, suasana kantor MIMPI MEDIA mulai sedikit lengang. Beberapa karyawan tampak bersiap menutup laptop, ada pula yang mulai merapikan meja kerjanya, menunggu hitungan jam menuju pulang. Namun aura tegang dari siang tadi masih belum sepenuhnya hilang.Di meja depan ruang direktur, Yuli duduk dengan raut wajah yang tidak bisa disembunyikan. Tatapannya tajam ke arah jarum jam dinding, seolah sedang menghitung detik yang berjalan. Sesekali ia mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan meja, menandakan hatinya yang gelisah.Hingga akhirnya, ia bangkit dari kursinya. Kursi itu bergeser pelan menimbulkan bunyi berderit.Erni, rekan sekretaris yang duduk di sebelahnya, menoleh penasaran. “Yul, ke mana?” tanyanya ringan.“Ke toilet,” jawab Yuli singkat, sembari merapikan sedikit blazer ketatnya. Senyum samar terbit di wajahnya, seolah ingin menyembunyikan sesuatu.Erni hanya mengangguk. “Oke, jangan lama-lama ya, jam pulang tinggal sebentar.”“Ya,” sahut Yuli sambil melangkah
Beberapa jam kemudian, suasana di lantai kerja MIMPI MEDIA kembali tampak kondusif. Karyawan-karyawan bekerja dengan wajah fokus, meski aura tegang masih tersisa tipis-tipis. Seolah semuanya berusaha menutup kuping atas keributan yang sempat terjadi tadi siang.Di meja depan ruang direktur, Yuli duduk kaku. Wajahnya pucat namun berlapis make up tebal, bibirnya dipoles lipstik merah menyala, dan jemarinya sibuk mengetik di laptop meski jelas pikirannya melayang. Harga dirinya telah ditekan setipis mungkin oleh Sarah, tapi di balik sorot matanya yang kosong, ada nyala api penuh dendam.Sesekali, ia melirik ke arah pintu ruang direktur dengan tatapan penuh benci. Di sudut bibirnya terbit senyum tipis, senyum kemenangan. ‘Tunggu saja, Sarah. Kau kira kau bisa seenaknya mempermalukanku? Hari ini akan jadi akhir kariermu.’Tak jauh dari sana, Anton duduk di kursinya, pura-pura sibuk memeriksa berkas. Tapi dari sorot matanya, terlihat jelas betapa ia menahan tawa sinis. Bibirnya terangkat ke