Pagi itu, matahari menyorot redup di balik jendela kamar Sarah. Lehernya masih terasa perih setiap kali menelan ludah. Malam yang penuh ancaman itu terus berputar di kepalanya, bayangan Damar yang bengis, dan cekikan kuat yang hampir menghabisi nyawanya. Tapi ada satu hal yang membuatnya tetap bisa berdiri: rekaman yang kini tersimpan rapi di ponselnya.Jesica duduk di ruang tamu, wajahnya lelah karena semalaman tidak tidur. Ketika Sarah keluar dengan kemeja sederhana dan syal tipis melingkari lehernya, Jesica langsung menatapnya penuh cemas.“Kamu yakin kuat, Sar? Lehermu masih merah …,” suara Jesica lirih.Sarah menegakkan bahu, meski tubuhnya gemetar kecil. “Kalau aku diam, Adit dan Tigar bisa mati di dalam sel itu. Aku nggak bisa tinggal diam, Jes. Kita harus bergerak.”Tak lama kemudian Bondan datang. Pengacara paruh baya itu masuk dengan langkah terburu, jas hitamnya sedikit kusut, tapi matanya menyalak penuh tekad. Ia langsung duduk dan menatap kedua wanita itu.Sedangkan Hardi
Sarah masih terbatuk di lantai, rasa perih di lehernya menusuk setiap tarikan napas. Tapi matanya tetap menusuk ke arah Damar. “Kamu pikir … dengan semua ini aku akan diam?” suaranya parau, namun tegas.Damar mendengus, lalu mengibaskan tangannya seolah gusar dengan keberadaan Sarah. “Keluar. Pulanglah sebelum aku benar-benar menghabisimu. Anggap saja kamu masih bernapas karena belas kasihku.” Ia melangkah ke arah pintu, lalu berbalik menatap Sarah dengan tatapan menukik. “Adit memang pantas ditangkap. Bocah itu sudah kelewat batas. Sama halnya dengan Tigar. Mereka berdua sampah yang harus tahu tempat.”Sarah bangkit perlahan, tangannya menekan dinding untuk menopang tubuh. “Kamu benar-benar keji. Adit dan Tigar bukan sampah. Mereka jauh lebih manusiawi dari pada kamu, Damar! Setidaknya mereka punya hati dan munafik!”Ucapan itu bagai cambuk. Wajah Damar menegang, urat di pelipisnya menonjol. “Apa katamu?!” Ia kembali maju, tangannya terangkat, tapi Darius buru-buru menyambar lengan S
Damar membuka pintu lebih lebar, matanya menyipit, seolah menikmati detik-detik tegang di antara mereka. “Masuklah. Kamu ingin bicara kan? Biar lebih nyaman di dalam.”Sarah mengangkat dagu, sorotnya tajam. Ia tahu undangan itu penuh jebakan, tapi mundur bukan pilihan. Ia melangkah masuk dengan langkah mantap.Begitu pintu menutup di belakangnya, aroma alkohol dan asap rokok menusuk hidung. Apartemen itu tidak serapi bayangan Sarah. Botol kosong berjejer di meja, dan di sofa, Darius duduk santai dengan kaos abu-abu longgar.Ketika mendengar suara langkah masuk, Darius menoleh cepat. “Oh, pesanan makanan sudah—” ucapannya terhenti begitu melihat Sarah. Matanya melebar. “Sarah?”Sarah menatapnya dingin. Ia tidak mengucapkan salam, hanya berjalan lurus ke ruang tengah.“Kenapa kamu ke mari?” tanya Darius, suaranya ragu bercampur terkejut.Damar menutup pintu, lalu menyahut dengan nada ringan. “Katanya, dia punya hal yang sangat penting. Makanya malam-malam begini datang.”Darius menoleh
Udara malam terasa semakin dingin menusuk tulang, namun dada Sarah justru terbakar panas. Ia berdiri kaku di depan gerbang kantor polisi, menatap lurus pada Abriptu yang berjaga. Mata Sarah berkaca-kaca, tapi sorotnya menyala penuh perlawanan.“Mbak, saya sudah bilang … jam segini bukan jam besuk tahanan. Tolong pulang. Kalau mau ketemu, besok datang di jam yang sudah ditentukan,” suara polisi itu terdengar kaku, mencoba tetap tenang meski jelas rautnya terguncang oleh keberanian Sarah.Sarah melangkah maju, nadanya meninggi. “Besok? Bagaimana kalau besok sudah terlambat?! Bagaimana kalau kalian sudah habisi dia malam ini juga?! Aku tahu kalian intimidasi Adit dan Tigar, aku tahu kalian pukuli mereka supaya mereka ngaku! Jangan pikir aku bodoh!”Polisi itu tersentak, wajahnya tegang. “Mbak, hati-hati dengan ucapanmu. Kami hanya menjalankan aturan!”“Apa kalian sebut aturan itu dengan menyiksa orang tak bersalah?!” sergah Sarah, dadanya naik-turun. “Aku tidak akan pergi sebelum lihat k
Bondan menatap Sarah dan Jesica dengan wajah berat. Napasnya terdengar jelas, panjang dan penuh tekanan.“Sebaiknya kita ajukan masalah ini ke pengawas kepolisian. Ada divisi propam yang seharusnya bisa mengawasi perilaku aparat. Tapi …” ia menahan kalimatnya sesaat, “… prosesnya panjang, berbelit, dan rawan dihambat. Kalian harus siap kalau hasilnya tidak instan.”Sarah menelan ludah. “Berarti, Adit akan tetap di sel?” suaranya parau, hampir pecah.“Dan Tigar juga?” Jesica menambahi dengan wajah merah padam karena emosi.Bondan mengangguk pelan. “Untuk sementara, iya. Tapi percayalah, saya akan pakai semua jalur yang ada. Kita tidak bisa menyerah.”Jesica mendesah keras, tangannya menutup wajah. “Ya Tuhan … kenapa harus mereka?”Sarah mengusap air matanya dengan punggung tangan. Lalu, dengan suara serak ia berkata, “Bondan, kami percayakan semuanya padamu. Kau orang yang paling kami andalkan saat ini. Aku mohon … jangan biarkan Adit hancur di sana.”“Aku juga,” timpal Jesica cepat. “
Bondan menggeleng, wajahnya tetap dingin. “Maaf, Pak Kompol. Itu bukan bukti kuat. Identitas visual harus jelas, dan tidak ada satupun barang bukti lain yang mendukung tuduhan itu. Menurut KUHAP, penahanan seseorang harus berdasarkan bukti yang cukup, bukan asumsi. Oleh karena itu, kami ajukan penangguhan penahanan.”Ia menggeser map, mengeluarkan berkas-berkas resmi yang sudah ditandatangani. “Di sini ada jaminan, baik materi maupun pribadi, yang siap bertanggung jawab jika mereka benar-benar terbukti bersalah. Namun saat ini, menahan mereka jelas tindakan yang sewenang-wenang.”Sarah menatap penuh harap. Jesica mengepalkan tangan di pangkuannya, menahan gejolak.Namun Sambo hanya terkekeh pelan. Ia mengambil sebatang rokok dari saku, menyalakannya santai, lalu menghembuskan asap tepat ke udara.“Maaf, Pak Bondan …” ia menekankan kata ‘maaf’ dengan nada sarkastis, “tidak ada penangguhan penahanan untuk kasus ini. Kami sudah sesuai prosedur. Mereka memang kriminal.”“Tapi hak klien s