Sarah berdehem, lalu berkata pelan, "Aku nggak tahu, Jes ... Aku cuma takut kalau Adit menganggap semuanya bisa selesai begitu saja dengan permintaan maaf. Sementara di sisi lain, Hardian masih syok karena Adit main ngasih tau dia kalau bapaknya itu gay. Dia belum bisa menerima kenyataan ini. Adit nggak paham betapa beratnya dampak yang dia tinggalkan untuk kami.”Jesica mengangguk, mencoba memahami. “Aku bisa ngerti. Dan aku yakin Adit pun mulai menyadari kesalahannya. Tapi kalau kalian terus menghindar satu sama lain, masalah ini nggak akan pernah selesai. Berilah kejelasan pada Adit. Dia menghubungimu gak pernah kamu angkat, chatnya gak pernah kamu bales. Nomernya kamu blokir ya?"Sarah memandang ke luar jendela, menyadari kebenaran di balik kata-kata Jessica. Selama ini ia hanya ingin melindungi Hardian dari dampak buruk atas semua pengkhianatan dan kebohongan yang terjadi.Tapi sekarang dengan semua yang ia dengar hari ini, ia menyadari bahwa Hardian tak hanya butuh perlindungan,
Sarah duduk bersama Jessica dan Meri di sudut sebuah kafe, tampak lelah dan tak banyak bicara. Wajahnya sedikit pucat, menunjukkan betapa berat beban yang sedang ia pikul. Dengan suara lirih dan lemas, Sarah akhirnya membuka percakapan, "Ada apa manggil aku ke sini, Jes?" Suaranya nyaris tenggelam dalam riuhnya suasana kafe. “Padahal aku lagi gak mood ....”Jessica menatap Sarah dengan penuh perhatian. Ia tak bisa menutupi rasa simpati melihat kondisi sahabatnya itu. "Sarah, aku cuma mau memastikan kamu baik-baik aja," jawabnya, lalu mengarahkan pandangannya ke Meri, yang turut hadir di sana setelah diajak oleh Sarah untuk menemani."Sebenernya ada hal penting yang harus aku sampaikan," lanjut Jesica dengan hati-hati, berusaha merangkai kata demi kata agar tidak membuat Sarah semakin terpukul. "Adit dan Tigar tadi datang ke rumahku. Mereka cerita tentang apa yang sebenarnya terjadi."Sarah menatap Jessica dengan pandangan nanar, ekspresi kecewa tergambar jelas di wajahnya. Tubuhnya se
Sepulang kerja, Adit segera menelepon Tigar, rekannya yang bersedia mengantarnya ke rumah Jessica.Di dalam mobil Tigar, pikiran Adit tak henti berkecamuk. Seharian ia mencoba menghubungi Sarah, namun panggilannya tak diangkat, dan pesan-pesan yang ia kirimkan hanya dibaca tanpa balasan.Rasa cemas terus menghantui, seolah-olah kesalahan yang ia buat semalam telah memburukkan semuanya."Lo yakin, Dit, mau ke rumah Jessica? Gimana kalau Sarah bener-bener marah sama lo?" tanya Tigar, sambil melirik Adit dengan cemas."Jessica satu-satunya harapan gue buat ngomong sama Sarah," Adit berujar pelan. "Gue harus jelasin semuanya. Kayanya Sarah marah karena Hardian tahu tentang kita dan juga aku ngasih tahu Papanya itu seorang gay. Gue nggak bisa biarin ini berlalu gitu aja, Tig. Gue juga khawatir dengan keadaan Sarah. Dia mungkin saja juga sakit, karena hari ini nggak masuk kerja.”Tigar menyimak cerita Adit sembari tetap fokus netranya memandangi jalan di depannya.Setelah beberapa waktu men
Pagi itu, suasana di kantor masih sibuk seperti biasa, tapi ada yang berbeda pada Adit. Dia masuk dengan wajah sedikit lebam di pipi kiri, membuat beberapa pegawai yang melihatnya bertukar pandang heran.Adit berusaha menyembunyikan bekas pukulan itu, tetapi upayanya sia-sia. Lebam yang tampak jelas di wajahnya tak bisa disembunyikan, dan tatapan orang-orang yang memperhatikan jelas menimbulkan rasa canggung.Yuli dan Erni, yang meja kerjanya bersebelahan dengan Adit, memandangnya dengan ekspresi khawatir.“Kamu kenapa, Dit?” Yuli langsung bertanya dengan nada penasaran namun prihatin. “Kok lebam begitu?”Adit memasang senyum canggung, berusaha terlihat tenang. “Oh, ini? Nggak kok. Tadi malam aku jatuh dari motor,” jawabnya singkat sambil memaksakan senyum.Erni punya sifat mudah percaya, mengangguk sambil tersenyum penuh simpati. “Hati-hati dong, Dit. Kamu suka kebut-kebutan sih kalau naik motor. Makanya bisa jatuh.”Adit tertawa kecil agar cerita yang ia buat-buat itu terdengar meya
Damar menggeleng pelan, air mata mulai membasahi pipinya. “Aku nggak pernah berpura-pura, Sarah. Aku menyayangimu ... aku mencintaimu. Dari dulu ... dan bahkan sampai sekarang, aku tetap mencintaimu. Tapi perasaan itu ... perasaan yang lain, aku nggak bisa mengendalikannya. Aku sendiri bingung. Aku nggak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Aku itu memang nggak normal. Mungkin kamu pasti menganggapku manusia aneh ...."Sarah tertawa kecil di antara tangisnya, suara yang dipenuhi dengan kepahitan. “Kamu nggak tahu bagaimana ini bisa terjadi?” ulangnya. “Rasanya enggak mungkin! Damar, kamu menikahiku agar terlihat seperti orang normal pada umumnya kan?! Aku dijadikan alat untuk menutupi penyimpanganmu, tanpa kamu sendiri peduli bagaimana jadi aku yang selalu kamu abaikan ... jadi aku yang selalu merasa menjadi istri yang selalu merasa nggak pernah menarik di mata suaminya!”“Aku gak pernak abai atau cuek ya sama kamu! Aku berusaha selalu ada untuk kamu dan Hardian,” sahut Damar membela diri.
Damar berdiri diam, tubuhnya sedikit gemetar saat pertanyaan Hardian terus menggantung di udara. Hujan yang terus mengguyur di luar hanya memperkuat suasana tegang di dalam rumah. Hardian, masih berdiri basah kuyup dengan napas terengah-engah, menanti jawaban yang tak kunjung datang dari mulut ayahnya.Damar menelan ludah, kemudian menarik napas panjang. Suaranya serak ketika dia akhirnya berbicara. "Hardian, kamu basah kuyup. Ganti baju dulu, Nak. Mandi dan ganti pakaian yang kering. Nanti kita bicara."Hardian menatap ayahnya dengan tatapan penuh amarah. “Aku gak peduli soal itu sekarang!” serunya dengan nada tajam. “Aku cuma mau tahu yang sebenarnya!”Damar tetap tenang meski wajahnya tampak lelah. Dia berjalan pelan mendekati Hardian. "Dengar, Nak, kita akan bicarakan semua ini. Tapi sekarang kamu butuh mandi, ganti pakaian yang kering. Kamu gak akan bisa berpikir jernih kalau dalam keadaan seperti ini. Papa janji setelah itu akan jelasin semuanya."Hardian kembali terdiam, giginy