Share

Teori yang Salah

Masa pengenalan Damar dengan lingkungan tempat dia akan bekerja selesai sudah, hari sudah berganti malam waktunya semua beristirahat.

Netra Damar mengedar memperhatikan suasana kamar, memang sedikit berbeda dengan ruang tidurnya di rumah keluarga. Tapi dia tidak mempermasalahkan hal itu, namanya juga merantau pasti ada fase harus belajar menerima dan beradaptasi dengan keadaan. Lagipula disana tempatnya nyaman dan segar karena daerah dataran tinggi.

"Bro, kamu mau tidur di ranjang atas atau bawah?"

Sebuah pertanyaan membuyarkan lamunan Damar. Dia menoleh pada sumber suara, dimana suara tersebut berasal dari Danu, satu-satunya pegawai di perkebunan yang dia kenal.

"Dimana saja bolehlah," sahut Damar dengan santai.

Mendengar jawaban Damar membuat Danu terkekeh. Dia paham betul ini adalah hal baru bagi seorang Damar yang terbiasa hidup di kota dengan berbagai fasilitas cukup mewah. Jangankan ranjang tingkat seperti sekarang ini, berbagi kamar saja pastinya belum pernah.

"Udah, kamu di bawah saja. Biar aku yang di atas," lanjut Danu seraya menukar bantal yang biasa dia gunakan dengan bantal baru di ranjang atas.

Disana ada dua pekerja lainnya juga karena setiap satu kamar diisi oleh empat orang pekerja. Hanya saja dua orang tersebut begitu pendiam dan membuat Damar sungkan untuk bertegur sapa. Mungkin karena masih baru.

"Tidur. Besok kita harus bangun pagi," titah Danu yang sudah bertengger di ranjang atas.

Damar pun mengangguk patuh, lagipula sudah malam begitu tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain tidur dan mengistirahatkan badan.

Menakjubkan. Meskipun itu hari pertama Damar tidur di mes, tapi dia langsung bisa terlelap tanpa drama susah tidur, tidak kerasan ataupun yang lainnya.

Kring…kring…

Damar tersentak kaget saat tiba-tiba terdengar suara yang begitu berisik dari nakas di sampingnya. Masing-masing tempat tidur memang terdapat nakas guna meletakkan barang-barang, mengingat ranjangnya susun, nakasnya pun dibuat susun. Sehingga bagi yang mendapatkan tempat tidur di atas, tetap memiliki tempat untuk meletakkan segala macam benda.

"Aish! Berisik banget sih."

Damar mengeluh sambil mengambil jam weker yang masih berbunyi. Dia menyipitkan mata dan memastikan jarum jam mengarah ke angka berapa.

"Jam lima? Danu memasang alarm sepagi ini?"

Dengan malas Damar turun dari kasur dan menaiki tangga ranjang. "Dan…bangun! Ini jamnya sudah bunyi," ucapnya sambil mengguncang tubuh Danu.

Seketika Danu menggeliat dan meregangkan tubuhnya. "Hoaaammm… ada apa sih Mar?"

"Ada apa? Jam kamu ganggu banget nih. Baru jam lima udah berisik."

"Apa! jam lima?" Seketika Danu terduduk kaget.

Pria berkulit sawo matang itu pun segera turun dari ranjang dan membuat Damar yang masih bertengger di tangga akhirnya ikut turun juga. Danu bergegas mengambil handuk dan pakaian ganti.

"Ayo kita harus siap-siap. Jam enam nanti sudah mulai persiapan untuk menyirami tanaman," ucap Danu yang kemudian membangunkan dua teman lain di ranjang susun sebelah.

Damar yang masih orang baru hanya mengikuti saja. Dia pun mengambil perlengkapan mandi dan pakaian ganti juga, mengingat akan bekerja di perkebunan, Damar mengenakan celana panjang dan juga kaos lengan panjang. Bukan takut panas atau takut hitam, lebih berjaga-jaga karena masih pagi pasti masih banyak nyamuk dan jenis serangga lainnya.

Beruntung Damar dan Danu keluar lebih dulu sehingga di kamar mandi belum terlalu antri. Mereka berdua menjadi orang pertama yang menggunakan kamar mandi.

Setengah jam berlalu, Damar dan Danu sudah siap. Dengan mengenakan sepatu boots, rompi pekerja dan juga topi lebar mereka berdua siap untuk menyirami tanaman sebelum sinar matahari menyapa.

"Kita nggak sarapan dulu? Atau ngopi kek?" bisik Damar saat mereka berjalan melewati dapur umum.

Danu terkekeh. "Disini kamu harus siap sarapan siang, Mar. Kamu nggak lihat yang jadwal masak saja baru siap-siap?"

Netra Damar menoleh mengikuti arah yang ditunjuk oleh Danu, dimana disana terlihat ada beberapa orang yang sedang bergotong royong memasak. Setiap harinya jadwal memasak gonta-ganti orang, Damar pun tentunya akan mendapatkan giliran masak nantinya, tentu setelah paham dengan sistem kerja di perkebunan.

Damar hanya mengangguk patuh. Dia memang terbiasa mengisi perut dahulu sebelum beraktivitas, kini dia haru mulai merubah kebiasaan tersebut.

"Siang? Sampai jam berapa kita baru sarapan?"

"Ya jam delapan-an lah kita baru bisa sarapan nanti."

Jemari Damar bergerak menghitung waktu menuju sarapan. "Ah, cuma dua jam. Masih bisa nahan lah," sahutnya tersenyum puas.

Mereka berdua kini berjalan menuju kebun sayur. Sudah menjadi jadwal wajib, bahwa yang pertama disiram adalah sayuran, baru berikutnya tanaman buah. Ada beberapa pohon buah juga yang sudah menggunakan alat penyiram otomatis, akan tetapi mengingat begitu luas dan banyak, sehingga tidak semua diberi. Sisanya harus disiram secara manual.

"Pekerjaan kita selain nyiram-nyiram gini apa lagi, Nu?"

Damar begitu telaten dalam menyirami sayuran, dia merasa benar-benar menemukan dunia yang dia cari selama ini.

"Banyak. Setelah ini kita kasih pupuk. Agak siangan nanti kita mencabuti rerumputan itu yang sudah banyak. Terus sore kita memanen sayur atau buah yang siap dipanen."

Mendengar penjelasan Danu membuat Damar sedikit tertegun. "Kasih pupuknya setiap hari, Nu?"

"Ya iya dong. Kalau tidak dipupuk setiap hari nanti tanamannya tidak subur dan tidak menghasilkan."

Damar geleng-geleng kepala. Kini dia menemukan alasan kenapa perkebunan sebesar dan seluas itu sering gagal panen dan tidak imbang hasil panennya.

"Ini teori dari siapa dikasih pupuk setiap hari Danu? Anak SD saja tahu kalau kasih pupuk tidak boleh setiap hari."

Danu sebagai pegawai kebun yang cukup lama pun terkejut. Dia memang tidak begitu paham dalam ilmu tanaman, dia hanya mengikuti instruksi dari bosnya saat pertama kali dulu. Sehingga dia mengajarkan teman-teman barunya pun demikian.

"Aku hanya mengikuti ajaran Pak Laksono waktu awal perkebunan dulu. Namanya juga pekerja, ya tinggal nurut aja," sahut Danu seraya menggaruk tengkuk lehernya yang sebenarnya tidak gatal.

"Pak Laksono?"

"Iya…

Danu menjelaskan bahwa Pak Laksono adalah mantan suami Bu Eliana, bos perkebunan itu. Awal mula perkebunan dibuat, ada campur tangan Pak Laksono. Sayangnya sebagai seorang suami bukannya membantu mengembangkan bisnis, malah membuat rugi dengan memakai uang hasil panen.

Hingga akhirnya Pak Laksono dan Bu Eliana itu terjerat pertengkaran yang begitu hebat yang mengakibatkan hubungan mereka berdua kandas.

Disaat Danu sedang menjelaskan tentang Pak Laksono dan Bu Eliana. Tiba-tiba datanglah seorang wanita berambut keriting gantung dengan kulitnya yang putih. Tubuhnya yang seksi membuat setiap mata yang memandang sampai tak berkedip, termasuk Damar sendiri.

"Sejak kapan di perkebunan ini ada bidadari, Nu?" tanya Damar masih fokus menatap wanita yang semakin lama semakin dekat itu.

Danu yang semula sedang menerangkan sambil memandangi tanaman pun menoleh ke arah yang ditatap Damar.

****

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status