Share

Tiba di Desa Pendul

"Kita langsung berangkat?" tanya seorang pria yang mengendarai kuda besi yang mirip dengan punya Damar, hanya saja beda merek dan warna.

"Terserah, yang penting aku keluar dulu dari rumah. Sebelum ayahku berubah pikiran."

Damar menyahut sambil terburu-buru naik di jok belakang. Seketika itu juga kuda besi melesat keluar pekarangan kediaman Adiwangsa. Sedikit tercubit hati Damar karena pergi dari tempat dimana dia lahir dan dibesarkan. Tapi kepergiannya ini memiliki maksud dan tujuan yang tidak kalah penting untuk sejarah hidupnya kedepan.

Mengingat waktu sudah malam dan jalur yang akan dilalui cukup jauh dan sepi, Damar tidak langsung pergi ke Desa Pendul. Dia menginap dulu di kost Guntur satu malam.

"Kamu udah yakin dan pikirin ini mateng-mateng, Bro? Setelah ini kita tidak bisa bertemu untuk jarak yang lama dong? Bahkan komunikasi pun bakalan susah."

Keesokan paginya, disaat Damar dan Guntur tengah bersiap untuk keberangkatan menuju Desa Pendul, Guntur meyakinkan lagi keputusan sang sahabat. Bukan apa-apa, jika tiba-tiba saja Damar nanti menyesal, tidak ada yang bisa menolong karena ponselnya sudah dikembalikan ke orang tua.

Fiiiuuhhh…

Terdengar helaan nafas yang cukup panjang dari Damar, tak lama kemudian pria beralis tebal itu menerbitkan senyum semangatnya.

"Aku pastikan tidak akan menyesal, Bro. Justru jika tidak mengambil kesempatan ini, aku akan menyesal," sahutnya mantap.

Tidak ada yang bisa Guntur lakukan lagi selain mengangguk dan berusaha percaya. Sebagai teman sedari kecil, dia sudah paham betul bagaimana karakter Damar. Pria berkulit putih itu hanya bisa berharap semoga sang sahabat benar-benar menemukan apa yang dicari selama ini, hingga rela menentang keluarga yang jelas-jelas sudah mapan.

"Tapi kamu beneran nggak papa nganter aku sampai sana, Gun? Nanti pekerjaan kamu bagaimana?"

Ya. Guntur sudah bersedia mengantar Damar sampai ke tujuan, mengingat sahabatnya itu tidak memegang uang. Ditambah lagi Damar juga tidak mau menerima bantuan dari Guntur baik berupa uang maupun ponsel Unu sekedar alat komunikasi.

Damar sudah bertekad akan membuktikan, melalui usahanya di perkebunan nanti bisa mendapatkan semua itu. Akhirnya hanya tawaran diantar hingga tujuan yang Damar terima.

"Santai. Aku sudah absen dulu kok, sudah izin juga."

Tak ingin membuang waktu, setelah sarapan dan menyesap secangkir kopi, mereka berdua pun memulai perjalan jauh mereka. Melewati jalanan besar, perbatasan kota, hingga memasuki jalur hutan dimana itu adalah satu-satunya jalan menuju Desa Pendul.

Mereka hampir tidak beristirahat karena tidak ingin terjebak di jalanan hutan terlalu lama. Untuk jaga-jaga Guntur pun membawa bahan bakar sendiri guna persediaan jika di tengah jalan hutan nanti kehabisan bensin.

Setelah setengah hari perjalanan, akhirnya mereka tiba di perbatasan hutan dan desa. Disana berdiri seorang pria muda seumuran dengan Damar dan Guntur di tepi jalan, tepatnya di bawah pohon besar.

Rupanya sebelumnya Damar sudah mencatat nomor ponsel Danu dan menghubungi pria desa itu melalui ponsel Guntur.

"Akhirnya sampai juga kau, Mas. Tak pikir nyasar ke hutan lagi," canda Danu menyambut dua pria yang baru saja turun dari motor.

"Hahaha…tidak mungkin lah. Biarpun sudah lama, setidaknya aku pernah kesini," sahut Damar tidak ingin diremehkan.

Setelah mengobrol cukup lama sembari melepas lelah, Danu mengajak Damar dan Guntur menuju mes. Berhubung Danu juga berasal dari desa seberang, dia tinggal di mes perkebunan. Di mes tersebut para pegawai bebas mengajak tamu ataupun saudara untuk berkunjung, tapi jika untuk menginap harus lapor dulu tujuan menginapnya apa.

Disana terdapat beberapa pekerjaan lain juga, jadi Danu bukanlah satu-satunya teman Damar yang akan bekerja bersama di perkebunan. Jadi, sudah jelas seberapa luas perkebunan tersebut hingga mengerahkan banyak pekerja.

"Mar, aku cabut sekarang aja ya. Takut kemalaman nanti di hutan," sela Guntur.

"Loh, Mas Guntur mau kemana? Tak kira mau ikut kerja di perkebunan juga," tanya Danu bingung.

Damar terkekeh, membayangkan Guntur yang terbiasa lalu lalang memakai kemeja dan jas, membawa laptop seta berkas, tiba-tiba banting stir menjadi tukang kebun.

"Nggak, Dan. Dia kesini cuma nganterin aku."

"Mau pulang ke kota?"

"Ya iyalah, kemana lagi?"

Mendengar Guntur mau pulang ke kota, Danu teringat ada salah satu temannya yang ingin pulang juga, hanya saja belum ada yang mengantarkan sampai perbatasan hutan mengingat bus yang biasa lewat sudah berangkat.

Akhirnya Danu meminta izin untuk temannya itu ikut. Jujur saja hal itu membuat Damar merasa lega. Setidaknya selama perjalanan nanti Guntur tidak sendirian.

"Aku pulang dulu ya, Bro. Buktikan kamu bisa membawa desa ini menjadi sukses dan maju. Buat aku bangga padamu," bisik Guntur saat berpamitan.

"Siap. Aku akan berusaha sekuat tenaga."

Selepas mengantar kepulangan Guntur dan salah satu pegawai kebun, Danu mengajak Damar untuk berkeliling. Mula-mula mereka melihat-lihat daerah sekitar mes.

Mes tersebut bisa dibilang cukup baik, karena terdapat banyak kamar dan setiap kamar diisi oleh empat orang dengan dua dipan susun. Bisa dibilang mirip dengan kamar-kamar di pondok pesantren atau panti asuhan dan semacamnya. Kamar mandi di luar, tetapi tersedia enam kamar mandi. Jadi bisa dipastikan antrinya tidak terlalu panjang.

Disana ada dapur umum juga, jadi akan ada jadwal masak bagi mereka para pria yang biasanya hanya terima beres. Untuk bahan-bahan sudah disediakan oleh pemilik perkebunan.

"Ternyata cukup rapi juga operasionalnya ya? Aku pikir karena di kampung pasti akan serba terbatas. Soalnya pas aku KKN dulu belum ada beginian deh."

Damar berucap sembari mengedarkan pandangannya, terlihat jelas dia kagum dengan penataan tempat serapi itu di desa terpencil.

"Jangan salah, yang punya perkebunan ini orangnya cukup gaul kok. Ya walaupun sudah janda tiga kali si," sahut Danu sambil membekap mulutnya.

Sontak saja Damar menautkan kedua alisnya. "Janda tiga kali? Udah tuwir dong. Hahaha…"

"Hush, jangan salah. Umur boleh tua, status boleh janda tiga kali, tapi kalau lihat orangya pasti kamu bakalan kagum, cantik dia."

Mendengar Danu memuji calon bosnya itu, membuat Damar tersenyum mengejek. Dalam benaknya tidak bisa membayangkan seperti apa bos yang sedang mereka bicarakan itu.

"Ah, nggak percaya aku. Mana ada janda udah tiga kali masih cantik. Mana orang kampung lagi," sahut Damar meremehkan.

Pria berambut ikal itu memilih berjalan lagi daripada terus-menerus membahas bosnya yang katanya masih cantik menurut pandangan Danu.

Mereka kini berkeliling perkebunan yang tidak jauh dari mes. Disana ada kebun buah, sayur dan tanaman obat. Masing-masing memiliki luas yang sama.

Sejauh ini kebun-kebun tersebut baru menghasilkan sedikit. Dibandingkan dengan jumlah tanamannya, hasil panennya masih jauh , sehingga sang bos merasa rugi. Hingga dia membutuhkan orang-orang yang paham tentang ilmu pertanian.

'Tuh, kan. Katanya masih cantik dan gaul, tapi tidak memiliki relasi orang-orang yang bisa membuat tanaman ini jadi lebih maju. Gimana sih?' batin Damar mengejek.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status