Share

Tiba di Desa Pendul

Penulis: Riri Rimausa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-11 10:46:02

"Kita langsung berangkat?" tanya seorang pria yang mengendarai kuda besi yang mirip dengan punya Damar, hanya saja beda merek dan warna.

"Terserah, yang penting aku keluar dulu dari rumah. Sebelum ayahku berubah pikiran."

Damar menyahut sambil terburu-buru naik di jok belakang. Seketika itu juga kuda besi melesat keluar pekarangan kediaman Adiwangsa. Sedikit tercubit hati Damar karena pergi dari tempat dimana dia lahir dan dibesarkan. Tapi kepergiannya ini memiliki maksud dan tujuan yang tidak kalah penting untuk sejarah hidupnya kedepan.

Mengingat waktu sudah malam dan jalur yang akan dilalui cukup jauh dan sepi, Damar tidak langsung pergi ke Desa Pendul. Dia menginap dulu di kost Guntur satu malam.

"Kamu udah yakin dan pikirin ini mateng-mateng, Bro? Setelah ini kita tidak bisa bertemu untuk jarak yang lama dong? Bahkan komunikasi pun bakalan susah."

Keesokan paginya, disaat Damar dan Guntur tengah bersiap untuk keberangkatan menuju Desa Pendul, Guntur meyakinkan lagi keputusan sang sahabat. Bukan apa-apa, jika tiba-tiba saja Damar nanti menyesal, tidak ada yang bisa menolong karena ponselnya sudah dikembalikan ke orang tua.

Fiiiuuhhh…

Terdengar helaan nafas yang cukup panjang dari Damar, tak lama kemudian pria beralis tebal itu menerbitkan senyum semangatnya.

"Aku pastikan tidak akan menyesal, Bro. Justru jika tidak mengambil kesempatan ini, aku akan menyesal," sahutnya mantap.

Tidak ada yang bisa Guntur lakukan lagi selain mengangguk dan berusaha percaya. Sebagai teman sedari kecil, dia sudah paham betul bagaimana karakter Damar. Pria berkulit putih itu hanya bisa berharap semoga sang sahabat benar-benar menemukan apa yang dicari selama ini, hingga rela menentang keluarga yang jelas-jelas sudah mapan.

"Tapi kamu beneran nggak papa nganter aku sampai sana, Gun? Nanti pekerjaan kamu bagaimana?"

Ya. Guntur sudah bersedia mengantar Damar sampai ke tujuan, mengingat sahabatnya itu tidak memegang uang. Ditambah lagi Damar juga tidak mau menerima bantuan dari Guntur baik berupa uang maupun ponsel Unu sekedar alat komunikasi.

Damar sudah bertekad akan membuktikan, melalui usahanya di perkebunan nanti bisa mendapatkan semua itu. Akhirnya hanya tawaran diantar hingga tujuan yang Damar terima.

"Santai. Aku sudah absen dulu kok, sudah izin juga."

Tak ingin membuang waktu, setelah sarapan dan menyesap secangkir kopi, mereka berdua pun memulai perjalan jauh mereka. Melewati jalanan besar, perbatasan kota, hingga memasuki jalur hutan dimana itu adalah satu-satunya jalan menuju Desa Pendul.

Mereka hampir tidak beristirahat karena tidak ingin terjebak di jalanan hutan terlalu lama. Untuk jaga-jaga Guntur pun membawa bahan bakar sendiri guna persediaan jika di tengah jalan hutan nanti kehabisan bensin.

Setelah setengah hari perjalanan, akhirnya mereka tiba di perbatasan hutan dan desa. Disana berdiri seorang pria muda seumuran dengan Damar dan Guntur di tepi jalan, tepatnya di bawah pohon besar.

Rupanya sebelumnya Damar sudah mencatat nomor ponsel Danu dan menghubungi pria desa itu melalui ponsel Guntur.

"Akhirnya sampai juga kau, Mas. Tak pikir nyasar ke hutan lagi," canda Danu menyambut dua pria yang baru saja turun dari motor.

"Hahaha…tidak mungkin lah. Biarpun sudah lama, setidaknya aku pernah kesini," sahut Damar tidak ingin diremehkan.

Setelah mengobrol cukup lama sembari melepas lelah, Danu mengajak Damar dan Guntur menuju mes. Berhubung Danu juga berasal dari desa seberang, dia tinggal di mes perkebunan. Di mes tersebut para pegawai bebas mengajak tamu ataupun saudara untuk berkunjung, tapi jika untuk menginap harus lapor dulu tujuan menginapnya apa.

Disana terdapat beberapa pekerjaan lain juga, jadi Danu bukanlah satu-satunya teman Damar yang akan bekerja bersama di perkebunan. Jadi, sudah jelas seberapa luas perkebunan tersebut hingga mengerahkan banyak pekerja.

"Mar, aku cabut sekarang aja ya. Takut kemalaman nanti di hutan," sela Guntur.

"Loh, Mas Guntur mau kemana? Tak kira mau ikut kerja di perkebunan juga," tanya Danu bingung.

Damar terkekeh, membayangkan Guntur yang terbiasa lalu lalang memakai kemeja dan jas, membawa laptop seta berkas, tiba-tiba banting stir menjadi tukang kebun.

"Nggak, Dan. Dia kesini cuma nganterin aku."

"Mau pulang ke kota?"

"Ya iyalah, kemana lagi?"

Mendengar Guntur mau pulang ke kota, Danu teringat ada salah satu temannya yang ingin pulang juga, hanya saja belum ada yang mengantarkan sampai perbatasan hutan mengingat bus yang biasa lewat sudah berangkat.

Akhirnya Danu meminta izin untuk temannya itu ikut. Jujur saja hal itu membuat Damar merasa lega. Setidaknya selama perjalanan nanti Guntur tidak sendirian.

"Aku pulang dulu ya, Bro. Buktikan kamu bisa membawa desa ini menjadi sukses dan maju. Buat aku bangga padamu," bisik Guntur saat berpamitan.

"Siap. Aku akan berusaha sekuat tenaga."

Selepas mengantar kepulangan Guntur dan salah satu pegawai kebun, Danu mengajak Damar untuk berkeliling. Mula-mula mereka melihat-lihat daerah sekitar mes.

Mes tersebut bisa dibilang cukup baik, karena terdapat banyak kamar dan setiap kamar diisi oleh empat orang dengan dua dipan susun. Bisa dibilang mirip dengan kamar-kamar di pondok pesantren atau panti asuhan dan semacamnya. Kamar mandi di luar, tetapi tersedia enam kamar mandi. Jadi bisa dipastikan antrinya tidak terlalu panjang.

Disana ada dapur umum juga, jadi akan ada jadwal masak bagi mereka para pria yang biasanya hanya terima beres. Untuk bahan-bahan sudah disediakan oleh pemilik perkebunan.

"Ternyata cukup rapi juga operasionalnya ya? Aku pikir karena di kampung pasti akan serba terbatas. Soalnya pas aku KKN dulu belum ada beginian deh."

Damar berucap sembari mengedarkan pandangannya, terlihat jelas dia kagum dengan penataan tempat serapi itu di desa terpencil.

"Jangan salah, yang punya perkebunan ini orangnya cukup gaul kok. Ya walaupun sudah janda tiga kali si," sahut Danu sambil membekap mulutnya.

Sontak saja Damar menautkan kedua alisnya. "Janda tiga kali? Udah tuwir dong. Hahaha…"

"Hush, jangan salah. Umur boleh tua, status boleh janda tiga kali, tapi kalau lihat orangya pasti kamu bakalan kagum, cantik dia."

Mendengar Danu memuji calon bosnya itu, membuat Damar tersenyum mengejek. Dalam benaknya tidak bisa membayangkan seperti apa bos yang sedang mereka bicarakan itu.

"Ah, nggak percaya aku. Mana ada janda udah tiga kali masih cantik. Mana orang kampung lagi," sahut Damar meremehkan.

Pria berambut ikal itu memilih berjalan lagi daripada terus-menerus membahas bosnya yang katanya masih cantik menurut pandangan Danu.

Mereka kini berkeliling perkebunan yang tidak jauh dari mes. Disana ada kebun buah, sayur dan tanaman obat. Masing-masing memiliki luas yang sama.

Sejauh ini kebun-kebun tersebut baru menghasilkan sedikit. Dibandingkan dengan jumlah tanamannya, hasil panennya masih jauh , sehingga sang bos merasa rugi. Hingga dia membutuhkan orang-orang yang paham tentang ilmu pertanian.

'Tuh, kan. Katanya masih cantik dan gaul, tapi tidak memiliki relasi orang-orang yang bisa membuat tanaman ini jadi lebih maju. Gimana sih?' batin Damar mengejek.

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjerat Pesona Nyonya Bos    Rencana Licik Laksono

    “El-Eliana?” ucap Sono dengan suara yang cukup gemetar.Sepertinya kehadiran sang mantan istri cukup memberikan rasa takut pada pria bertubuh tambun itu. Percuma saja berlagak sok berkuasa di depan para pegawai, tapi giliran sang pemilik perkebunan aslinya datang nyalinya langsung ciut.“Apa yang membuatmu tiba-tiba datang kesini lagi, Mas? Urusan kita sudah selesai, bahkan sejak perceraian itu.”Suasana mendadak tegang saat tiba-tiba Eliana datang dan meluapkan segala emosinya pada sang mantan suami. Sungguh di luar nalar. Laksono sudah lama tidak datang ke kediaman Eliana dan juga perkebunan, bahkan sejak ketok palu sidang perceraian. Jika dia mendadak mendekati mantan istrinya lagi, itu artinya ada maksud dan tujuan tertentu.“Eliana, Sayang. Ayolah. Kita berdamai. Aku tau kita sudah bercerai, tapi bukan berarti kita tidak bisa bekerja sama dalam bisnis pertanian ini bukan?”Laksono berjalan mendekati wanita cantik yang pernah dia miliki itu. Mungkin rasa penyesalan menghinggapi be

  • Terjerat Pesona Nyonya Bos    Laksono Mulai Berulah

    Detik jam terus bergulir, tanpa terasa waktu sudah semakin sore. Tapi Damar dan para pekerja kebun lainnya masih sibuk mengolah perkebunan untuk menjadi lebih baik lagi.Begitu pula dengan Danu dan rekan-rekannya, masih sibuk menyelesaikan pembaharuan tembok keliling dan juga pintu tembusan dari perkebunan menuju rumah nyonya bos.“Apa-apaan ini? Kenapa tembok kelilingnya dijebol? Terus ini pupuk apa yang digunakan? Kok beda sama yang aku berikan dulu?”Sebuah suara membuat Damar, Danu dan para pekerja lainnya berhenti dari kegiatan. Mereka dengan kompak menoleh ke arah sumber suara.“Juragan Sono?”Sontak Damar menoleh pada Danu yang memanggil pria berbadan gempal dengan tas pinggang yang melekat di tubuhnya itu. “Juragan Sono?” ulang Damar dengan mengernyitkan dahi.Beberapa hari yang lalu Damar memang melihat Laksono saat berkunjung ke rumah nyonya bos pagi hari, hanya saja karena saat itu terlalu singkat waktunya, Damar tidak begitu memperhatikan dan lupa dengan sosok mantan suami

  • Terjerat Pesona Nyonya Bos    Kredibilitas yang diragukan

    Ketika tiba di Desa Pendul, suasana sudah begitu sore. Terpaksa pekerjaan dilanjutkan besok hari. Beruntung saat Damar dan Imron pergi belanja tadi Danu bisa menghandle teman-temannya melakukan pekerjaan lain.“Sorry ya, Nu. Aku masih lupa jika jarak dari sini ke kota membutuhkan waktu hampir seharian,” ucap Damar merasa tidak enak.Wajar saja, Damar terbiasa hidup di kota dimana jarak dari tempat satu ke tempat lain cukup dekat dan bisa ditempuh dalam waktu hanya hitungan jam atau bahkan menit.Sementara tinggal di Desa Pendul masih baru dan belum merasakan bolak-balik, jadi dia masih belum terbiasa. Hal itu memaksa Damar harus membuat jadwal kerja dan belanja tidak bersamaan, agar tidak terulang kembali hari yang kurang produktif.“Udah, nggak usah dipikirkan. Kamu belum terbiasa pulang pergi disini,” sahut Danu dengan entengnya.Dia pria yang kini merupakan rekan kerja itu bercerita sambil berjalan menuju kamar mereka, sebelum akhirnya antri untuk mandi. Saat makan malam pun Damar

  • Terjerat Pesona Nyonya Bos    Dihina Mantan

    Disaat Damar masih mencerna dan mengingat mobil siapa yang ada di depan sana. Imron sudah turun duluan dengan emosi yang meluap-luap. Bahkan Damar baru tersadar akibat dirinya terlalu fokus dengan pikirannya, dia tidak mendengar Imron meracau apa saja saat masih di dalam mobil tadi.Brakkk!!!“Woy! Keluar kalian! Bisa bawa mobil nggak sih? Bisa lihat jalan nggak sih!” seru Imron sambil menunjuk-nunjuk dua ora di dalam mobil.Terlihat seorang pria dengan pakaian setelan tuxedo keluar dari pintu kemudi. Wajahnya tak kalah emosinya dengan Imron. Kini dua pria yang tidak saling kenal itu saling berhadapan. Tak sempat dengar apa yang mereka ucapkan karena tidak sekeras sebelumya, tiba-tiba saja Imron menarik kerah baju pria berseragam kantoran itu.Damar yang semula masih mengandalkan Imron untuk mengatasi masalah cukup sepele tersebut, kini terpaksa ikut turun demi melerai perdebatan yang terlihat semakin keruh.Tanpa disadari seseorang yang duduk di kursi kemudi mobil depan juga ikut tur

  • Terjerat Pesona Nyonya Bos    Menjalankan Misi

    Damar dan Danu baru saja tiba di perkebunan pasca menyampaikan idenya pada sang nyonya. Jalan yang harus memutar membuat jarak yang sebenarnya begitu dekat terasa cukup jauh.“Maling! Maling!”Baru saja dua pemuda itu akan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda, tiba-tiba saja mendengar teriakan maling. Sontak saja Damar dan Danu saling berpandangan dan sepersekian detik berlari ke arah sumber suara.“Itu seperti suaranya Nyonya Bos ya?” ucap Damar.Danu hanya menganggukkan kepala sambil terus berlari. Begitu tiba di gerbang kediaman Eliana, langkah mereka terhenti karena berpapasan dengan Laksono yang mengendarai motor cukup kencang.“Juragan?” Danu terkejut karena melihat mantan bosnya ada di kediaman Eli.Siapa itu, Nu?” tanya Damar masih menatap pria paruh baya yang berlalu dengan kuda besinya.“Juragan Sono. Mantan suaminya Nyonya Bos.”Mendengar jawaban Danu sontak saja membuat Damar terbelalak. Dia geleng-geleng kepala karena tidak menduga mantan suami Eliana setua itu. Bel

  • Terjerat Pesona Nyonya Bos    Parasit

    "Juragan?""Mas Sono?"Ucapan serentak nan kompak tersebut tentunya berasal dari dua wanita yang sedang terkejut dengan kedatangan pria bertubuh tambun. Pria yang sejak tadi sedang mengganggu pikiran Eli hingga membuat wanita berambut keriting gantung itu menjatuhkan gelas.Rasa penasaran dan berbagai pertanyaan tentu menghinggapi benak Eli dan Mbok Sumi hingga mereka berdua saling beradu pandang. Seakan berinteraksi lewat sorot mata masing-masing, dua wanita itu hanya diam lalu kembali menatap pria yang baru saja turun dari kuda besinya.Tanpa beban, Pria bernama Laksono itu berjalan seolah masih menjadi tuan rumah di tempat tersebut, tidak ada canggung sedikitpun. Hingga hal itu membuat Eliana mengernyitkan dahi."Mbok, bikinkan kopi ya," titahnya sambil menunjuk wanita paruh baya yang sedang berdiri di samping Eliana.Sungguh tidak punya adab dan etika. Meskipun dia pernah menjadi tuan rumah di kediaman tersebut, akan tetapi sekarang dia hanyalah orang lain yang jika berkunjung ada

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status