Share

Bab 2.

Selesai mengucapkan hal itu, Hara tak sanggup menahan air matanya untuk tak tumpah. Kekesalahan tadi sinar, berganti dengan kesediyan. Dia memanglah gadis cengeng. Dengan kepekaan tingkat tinggi Ardhan langsung mengusap air mata itu. Hara masih memalingkan wajahnya, tak sanggup melihat ibunya juga menangis. Apa lagi itu karenanya. 

Mirna tersenyum melihat interaksi itu. Keperdulian Ardhan adalah salah satu alasan ia yakin Hara akan baik-baik saja bila bersamanya. "Lihatlah! Apa kamu tak merasakan kasih sayang Om Ardhan untukmu?"

Saat menoleh mata keduanya bertemu. Netra cokelat milik Hara menatap lekat netra hitam elang milik Ardhan. Ia semakin menangis. Membuat Ardhan spontan memeluknya. Membiarkan Hara menangis di dada bidangnya yang terbalut stelan jas berwarna hitam. 

"Ibu harap kamu tidak menolaknya. Ini permintaan terakhir Ibu, Sayang," ucapan Mirna membuat Hara menangis lebih kencang. Terlihat dari punggungnya yang bergetar dalam dekapan Ardhan. 

Tak tega Mirna melihatnya, tetapi itulah kenyataan yang harus dihadapi Hara. Kenyataan ia akan segera hidup sendirian. Cepat atau lambat penyakit yang diderita Mirna akan merenggut nyawa perempuan dengan wajah teduh itu. 

Ardhan memandang Mirna dan mengedipkan matanya perlahan sembari memberikan senyum tipis. Mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. 

***

"Pikirkan ibu kamu, Hara. Jangan pikirkan yang lainnya." 

Saat ini Hara berada di dalam mobil Ardhan dan sedang menuju ke rumahnya. Ia harus pulang untuk menenangkan diri sejenak setelah meluapkan emosinya. 

"Kamu ingat, kan apa kata dokter kemarin?" 

Hara menoleh menatap Ardhan yang sedang menyetir. Ia dapat melihat jelas wajah serius Ardhan meski dari samping. 

Ia mengingatnya jelas. Ucapan dokter bahwa usia ibunya tak akan lama lagi karena penyakitnya sudah parah dan menyebar ke bagian tubuh lainnya. Bahkan ia tak tahu apakah esok ibunya masih bernapas atau tidak, tetapi bagaimanapun ini hal diluar kendalinya. Seberapa keras ia ingin ibunya tetap hidup, ia tak mampu mengubah kehendak Tuhan. 

"Tapi, Om. Bagaimana kita bisa menikah? Aku sudah menganggap Om sebagai keluargaku. Meski kita sudah dekat, bukan berarti aku bisa menyetujui untuk menjadi istri Om."

Bagaimana bisa sang ibu berpikir untuk menikahkan gadis berusia dua puluh tahun dengan pria matang berusia tiga puluh tujuh tahun? Apa nanti kata orang jika melihatnya. Pasti ia akan dianggap hanya ingin mendapatkan harta Ardhan saja. 

Ardhan menoleh sejenak lalu kembali menatap jalanan. "Mengapa tidak bisa? Bukankah harusnya lebih mudah? Saya sudah mengenal kamu sejak berusia sepuluh tahun. Kita mengenal baik diri masing-masing." 

Hara tak abis pikir dengan ucapan Ardhan. Memang benar ia mengenal baik Ardhan. Namun, berpikir untuk menjadi istri? Tentu saja tidak. Ia tak mau merusak hubungan baiknya. Apalagi ia tumbuh dalam pengamatan Ardhan. 

"Ini berbeda, Om. Bukan karena kita sudah saling mengenal lalu bisa menjadi suami istri. Seperti kata Om di rumah sakit, pernikahan bukan lelucon. Dan bagiku pernikahan itu sekali seumur hidup," ucap Hara dengan nada naik satu tingkat. Ia tak menginginkan pernikahan ini. 

"Pernikahan kita akan seumur hidup, Hara. Saya tidak akan meninggalkanmu atau menikah lagi dengan perempuan lain. Hanya akan ada kamu dalam sisa hidup saya." Kali ini Ardhan menoleh dan menatapnya lebih lama sebelum kembali berfokus pada jalanan kota. 

Hara hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Matanya hampir keluar karena hal itu. Ia terdiam dan mencerna. Hara berpikir apakah Ardhan selama ini menyukainya? Ia memandang lekat Ardhan dengan dahi berkerut. 

"Om enggak paham kenapa aku menolak?"

Ardhan menggeleng sebagai respon. 

Hara menghela napas panjang sebelum memulai perkataannya. "Aku menolak karena ini bukan pernikahan impianku. Aku punya impian tentang sebuah pernikahan."

"Saya bisa mewujudkan impian pernikahan kamu. Coba jelaskan agar saya bisa mewujudkannya."

Hara menatap Ardhan sinis. Sungguh pria ini tak mudah dikalahkan. 

"Aku bermimpi menikah dengan orang yang aku cintai. Yang mau mengerti dan menerima segala kekuranganku. Membangun rumah tangga dengan sabar menghadapi keras kepalaku, membesarkan anak-anak bersama, dan menikmati hari tua dengan bahagia. Dan yang jelas umur kami tak jauh berbeda."

Mendengar kata umur disebut, Ardhan sontak menoleh. Keduanya saling menatap. "Memang kenapa jika kamu menikah dengan jarak umur yang cukup jauh? Bukankah akan lebih baik? Karena jelas dia lebih dewasa, dan yang jelas bisa lebih mapan daripada lelaki sebayamu," jelas Ardhan karena tak suka Hara membawa-bawa soal usia. 

"Bukannya akan lebih sulit?" tanya Hara membuat Ardhan mengerutkan keningnya. 

Sadar Ardhan tak paham ucapannya. Ia menjelaskan sudut pandang miliknya. "Jika hanya berbeda lima sampai sepuluh tahun mungkin tak akan masalah. Namun, jika kasusnya seperti Om dan Aku. Yang jaraknya tujuh belas tahun bisa jadi masalah. Kita lahir di kebiasaan masyarakat yang berbeda. Bisa dikatakan aku anak zaman sekarang dan Om zaman dahulu. Jelas akan banyak perbedaan pendapat dan sudut pandang nantinya. Pasti menimbulkan keributan. Jadi harusnya Om menikah dengan wanita seusia Om saja."

Alasan Hara hanyalah alasan yang mengada-ada. Karena ia sungguh tak mau menikah dengan Ardhan. Sudah mengenalnya lama tentu membuat Hara tahu sifat dan sikap Ardhan. Dan itu adalah masalahnya. Ia tak mampu hidup bersama dengan pria dingin dan sedikit otoriter. Ia ingin menikah dengan pria seperti mendiang ayahnya. Hangat, dan sangat mengerti dirinya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status