Share

Bab 2.

Author: Ria Purnama
last update Last Updated: 2022-02-12 15:16:23

Selesai mengucapkan hal itu, Hara tak sanggup menahan air matanya untuk tak tumpah. Kekesalahan tadi sinar, berganti dengan kesediyan. Dia memanglah gadis cengeng. Dengan kepekaan tingkat tinggi Ardhan langsung mengusap air mata itu. Hara masih memalingkan wajahnya, tak sanggup melihat ibunya juga menangis. Apa lagi itu karenanya. 

Mirna tersenyum melihat interaksi itu. Keperdulian Ardhan adalah salah satu alasan ia yakin Hara akan baik-baik saja bila bersamanya. "Lihatlah! Apa kamu tak merasakan kasih sayang Om Ardhan untukmu?"

Saat menoleh mata keduanya bertemu. Netra cokelat milik Hara menatap lekat netra hitam elang milik Ardhan. Ia semakin menangis. Membuat Ardhan spontan memeluknya. Membiarkan Hara menangis di dada bidangnya yang terbalut stelan jas berwarna hitam. 

"Ibu harap kamu tidak menolaknya. Ini permintaan terakhir Ibu, Sayang," ucapan Mirna membuat Hara menangis lebih kencang. Terlihat dari punggungnya yang bergetar dalam dekapan Ardhan. 

Tak tega Mirna melihatnya, tetapi itulah kenyataan yang harus dihadapi Hara. Kenyataan ia akan segera hidup sendirian. Cepat atau lambat penyakit yang diderita Mirna akan merenggut nyawa perempuan dengan wajah teduh itu. 

Ardhan memandang Mirna dan mengedipkan matanya perlahan sembari memberikan senyum tipis. Mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. 

***

"Pikirkan ibu kamu, Hara. Jangan pikirkan yang lainnya." 

Saat ini Hara berada di dalam mobil Ardhan dan sedang menuju ke rumahnya. Ia harus pulang untuk menenangkan diri sejenak setelah meluapkan emosinya. 

"Kamu ingat, kan apa kata dokter kemarin?" 

Hara menoleh menatap Ardhan yang sedang menyetir. Ia dapat melihat jelas wajah serius Ardhan meski dari samping. 

Ia mengingatnya jelas. Ucapan dokter bahwa usia ibunya tak akan lama lagi karena penyakitnya sudah parah dan menyebar ke bagian tubuh lainnya. Bahkan ia tak tahu apakah esok ibunya masih bernapas atau tidak, tetapi bagaimanapun ini hal diluar kendalinya. Seberapa keras ia ingin ibunya tetap hidup, ia tak mampu mengubah kehendak Tuhan. 

"Tapi, Om. Bagaimana kita bisa menikah? Aku sudah menganggap Om sebagai keluargaku. Meski kita sudah dekat, bukan berarti aku bisa menyetujui untuk menjadi istri Om."

Bagaimana bisa sang ibu berpikir untuk menikahkan gadis berusia dua puluh tahun dengan pria matang berusia tiga puluh tujuh tahun? Apa nanti kata orang jika melihatnya. Pasti ia akan dianggap hanya ingin mendapatkan harta Ardhan saja. 

Ardhan menoleh sejenak lalu kembali menatap jalanan. "Mengapa tidak bisa? Bukankah harusnya lebih mudah? Saya sudah mengenal kamu sejak berusia sepuluh tahun. Kita mengenal baik diri masing-masing." 

Hara tak abis pikir dengan ucapan Ardhan. Memang benar ia mengenal baik Ardhan. Namun, berpikir untuk menjadi istri? Tentu saja tidak. Ia tak mau merusak hubungan baiknya. Apalagi ia tumbuh dalam pengamatan Ardhan. 

"Ini berbeda, Om. Bukan karena kita sudah saling mengenal lalu bisa menjadi suami istri. Seperti kata Om di rumah sakit, pernikahan bukan lelucon. Dan bagiku pernikahan itu sekali seumur hidup," ucap Hara dengan nada naik satu tingkat. Ia tak menginginkan pernikahan ini. 

"Pernikahan kita akan seumur hidup, Hara. Saya tidak akan meninggalkanmu atau menikah lagi dengan perempuan lain. Hanya akan ada kamu dalam sisa hidup saya." Kali ini Ardhan menoleh dan menatapnya lebih lama sebelum kembali berfokus pada jalanan kota. 

Hara hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Matanya hampir keluar karena hal itu. Ia terdiam dan mencerna. Hara berpikir apakah Ardhan selama ini menyukainya? Ia memandang lekat Ardhan dengan dahi berkerut. 

"Om enggak paham kenapa aku menolak?"

Ardhan menggeleng sebagai respon. 

Hara menghela napas panjang sebelum memulai perkataannya. "Aku menolak karena ini bukan pernikahan impianku. Aku punya impian tentang sebuah pernikahan."

"Saya bisa mewujudkan impian pernikahan kamu. Coba jelaskan agar saya bisa mewujudkannya."

Hara menatap Ardhan sinis. Sungguh pria ini tak mudah dikalahkan. 

"Aku bermimpi menikah dengan orang yang aku cintai. Yang mau mengerti dan menerima segala kekuranganku. Membangun rumah tangga dengan sabar menghadapi keras kepalaku, membesarkan anak-anak bersama, dan menikmati hari tua dengan bahagia. Dan yang jelas umur kami tak jauh berbeda."

Mendengar kata umur disebut, Ardhan sontak menoleh. Keduanya saling menatap. "Memang kenapa jika kamu menikah dengan jarak umur yang cukup jauh? Bukankah akan lebih baik? Karena jelas dia lebih dewasa, dan yang jelas bisa lebih mapan daripada lelaki sebayamu," jelas Ardhan karena tak suka Hara membawa-bawa soal usia. 

"Bukannya akan lebih sulit?" tanya Hara membuat Ardhan mengerutkan keningnya. 

Sadar Ardhan tak paham ucapannya. Ia menjelaskan sudut pandang miliknya. "Jika hanya berbeda lima sampai sepuluh tahun mungkin tak akan masalah. Namun, jika kasusnya seperti Om dan Aku. Yang jaraknya tujuh belas tahun bisa jadi masalah. Kita lahir di kebiasaan masyarakat yang berbeda. Bisa dikatakan aku anak zaman sekarang dan Om zaman dahulu. Jelas akan banyak perbedaan pendapat dan sudut pandang nantinya. Pasti menimbulkan keributan. Jadi harusnya Om menikah dengan wanita seusia Om saja."

Alasan Hara hanyalah alasan yang mengada-ada. Karena ia sungguh tak mau menikah dengan Ardhan. Sudah mengenalnya lama tentu membuat Hara tahu sifat dan sikap Ardhan. Dan itu adalah masalahnya. Ia tak mampu hidup bersama dengan pria dingin dan sedikit otoriter. Ia ingin menikah dengan pria seperti mendiang ayahnya. Hangat, dan sangat mengerti dirinya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Om-Om   Bab 36

    Ardhan bingung sesampainya di depan pintu kamar mereka. Suara tangis Hara membuatnya tak dapat berpikir dengan tenang. Khawatir dan cemas yang ia rasakan. "Hara, kamu tidak apa-apa di dalam? Tenang, Hara. Saya di sini, kamu tidak sendirian," ucap Ardhan mencoba menenangkan Hara karena ia tidak bisa masuk. Tidak ada pencahayaan untuknya bisa mencari kunci cadangan. Di dalam, Hara mencoba menenangkan dirinya setelah mendengar suara sang suami. Meskipun tadi ia marah, sekarang ada rasa sedikit lega karena ia tidak sendirian. Mencoba meredam suara tangis yang ia keluarkan karena tau ada orang yang mengkhawatirkannya di luar pintu. "Tenang, Hara. Jangan takut, saya di sini, " ucap Ardhan lagi, sebab Hara tak menjawab, hanya terdengar isak tangis dan sesenggukan. "Gelap, Om. Aku takut," ucap Hara lirih dengan isak tangis yang masih terdengar. Ardhan hanya bisa pasrah dan berharap listrik segera menyala. Dan benar, tak lama setelah itu listrik kembali menyala. Ardhan mengambil kunci

  • Terjerat Pesona Om-Om   Bab 35

    Ardhan yang merasa salah mencoba meminta maaf. "Maaf, Hara. Maafkan saya, saya tidak bermaksud demikian." Ucapan Ardhan dihiraukan Hara. Dengan rasa sakit akibat jatuh ke lantai. Ardhan mengejar Hara sampai ke kamar. Mendapati pintu yang tertutup Ardhan menduga bahwa Hara menguncinya. Saat mengetuk ternyata benar. Pintu itu dikunci dari dalam. Ardhan mencoba memikirkan cara yang pas agar Hara membukakan pintu, tetapi tak membuatnya tambah marah. Kemudian, sebuah ide cemerlang terlintas di kepalanya. Dengan senyum Ardhan membayangkan ide itu akan berhasil. Tok, tok. Ardhan mengetuk pintu diiringi suara dehamannya. "Hara, kenapa kamu kunci pintunya? Saya minta maaf Hara. Saya tidak bermaksud membuat kamu marah." Di dalam, Hara mendengkus mendengarnya. 'Apanya yang engga bermaksud buat aku marah. Jelas-jelas dia ngeledek. Mana ngeledeknya kesannya aku yang pengen banget dicium lagi. Salah sendiri sikapnya bikin pikiran ke mana-mana.' Hara mendiamkan Ardhan. Ia merasa kesal dan malu.

  • Terjerat Pesona Om-Om   Bab 34

    Suasana yang awalnya biasa saja menjadi berbeda bagi Hara. Entahlah, ada hal-hal baru yang ia sendiri bingung dalam menanggapi dan mencernanya. Apalagi tentang respon tubuh dan perasaannya. Ia hanya bisa merasakan dan belum mampu menjelaskan. Suara TV nampaknya kalah keras dibandingkan suara detak jantung Hara. Ardhan yang menyadarinya menahan tawa. Istri kecilnya sangat lucu. Padahal dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama, tetapi setelah menikah seperti orang asing saja. Dulu mereka banyak menghabiskan waktu sebagai om dan keponakan. Dulu rasanya nyaman-nyaman saja. Bahkan waktu kebersamaan mereka terasa cepat padahal sudah menghabiskan berjam-jam. Namun, sekarang semuanya berbeda. Entah hanya karena keadaan atau perasaan sudah naik tingkat menjadi rasa suka. Dengan ide jahilnya. Ardhan menggoda Hara. Ia mencodongkan badannya ke telinga Hara. "Hara, apa kamu mendengarnya?" tanya Ardhan sembari seperti mencari sesuatu. Dengan wajah polosnya. Hara mengerutkan dahi. Ia tak me

  • Terjerat Pesona Om-Om   Bab 33

    Indra penciuman Ardhan aktif kala memasuki rumah. Biasanya ia pulang saat langit sudah gelap, tetapi kali ini langit masih dihiasi taburan warna orange ia sudah ada di rumah. Langkahnya tanpa sadar membawanya ke sumber darimana aroma wangi itu berasal.Seorang gadis tengah asik memasak di depan kompor dengan celemek berwarna biru muda yang terlihat sedikit kebesaran. Ardhan tersenyum, pemandangan asing yang kini mulai terbiasa ia lihat. Hara tak menyadari kedatangan Ardhan dan masih sibuk dengan alat penggorengan serta masakan yang sedang ia masak. Tiba-tiba sebuah suara berat mengejutkannya. "Kamu masak apa? Aromanya dari ruang tamu sudah tercium. Sepertinya sangat lezat." Hara yang terkejut refleks menoleh ke sumber suara dengan kelopak mata yang terbuka cukup lebar. "Ngagetin aja, ih, Om," kesal Hara dengan wajah memberengut. Sementara Ardhan tersenyum lebar karena melihat senyuman itu. "Apa suara saya membuat kamu terkejut? Maaf jika begitu. Kamu pasti terlalu asyik memasak sam

  • Terjerat Pesona Om-Om   Bab 32

    Ada rasa aneh yang menyapanya. Detak jantungnya berdetak lebih kencang. Tubuhnya seolah membeku, otaknya mencoba mencerna apa yang terjadi. "Nah, sudah," ucapnya dengan senyum tersungging. Menyadari Hara yang diam tidak merespon membuatnya menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Dengan cepat ia meminta maaf. "Maaf, Hara. Saya tidak bermaksud lancang. Sekali lagi saya minta maaf." Radit dengan tulus meminta maaf. Hara langsung mencoba bersikap normal dan sealami mungkin, tetapi tetap saja ia merasa terkejut. Hara tersenyum dengan agak dipaksakan agar suasana kembali mencair dan memilih langsung masuk ke rumah. Radit mengikuti Hara. Melihat tubuh mungil itu entah mengapa membuat Radit tersenyum. Tingkah Hara terlihat lucu di matanya. Padahal perempuan itu adalah istri dari bos sekaligus orang yang ia anggap sebagai kakak. Sembari menunggu Hara yang sedang membersihkan diri. Radit menunggu di ruang tamu dengan memainkan ponselnya. Dengan baju formal Radit terlihat tampan. Pri

  • Terjerat Pesona Om-Om   Bab 31

    Setelah pernyataan Ardhan, Hara berubah. Bukan menjadi lebih dekat, ia membentangkan jarak. Meski tidur bersama, bukan berarti Hara menerima pernikahan itu dengan ikhlas.Aroma masakan yang keluar dari dapur membuat Ardhan yang sedang menuruni tangga tersenyum kecil. Ia sadar semalam setelah pernyataannya Hara memberi jarak, tetapi setidaknya ada kelegaan dalam dirinya. Ia tak mau munafik, setelah satu bulan menikah perasaan nyaman mulai muncul, bukan memandang Hara sebagai keponakan atau adik, tetapi sebagai seorang istri.Hara terlihat pandai memasak, tangannya dengan cekatan memasukkan bahan-bahan masakan ke dalam wajan dan mengaduknya, sembari makanan itu matang ia bergegas menyiapkan meja. Pagi tadi ia mengatakan kepada Mbok Sur bahwa sekarang soal memasak dirinya yang akan mengambil alih. Awalnya Mbok Sur menolak, tetapi Hara memaksa dan mengatakan Ardhan menyetujuinya."Kamu terlihat seperti istri yang sempurna, Hara," ucap Ardhan saat m

  • Terjerat Pesona Om-Om   Bab 30.

    Mata Hara berbinar saat melihat benda apa yang dibawakan Ardhan untuknya. Ia tak menyangka akan mendapatkan hal seperti itu. Meski ia tahu Ardhan menyandang status sebagai suami, ia tak berharap banyak untuk diperlakukan layaknya istri."Kamu suka, Hara?" tanya Ardhan senang saat melihat binar dalam mata Hara. "Ini saya memilihnya sendiri. Saya tidak terlalu paham soal hal-hal seperti ini. Tapi, semoga kamu menyukainya."Hara menatap Ardhan. Ia tersenyum senang. "Aku suka, Om." Matanya menilik lebih dekat sebuah kalung yang berada di kotak merah yang berada di tangan Ardhan. Senyumnya luntur saat menyadari itu bukan sembarang kalung. "Tapi ini jelas bukan barang murah. Kelihatannya cukup mahal," ujarnya dengan ringisan.Ardhan terkekeh. "Memangnya kenapa jika harganya tidak murah? Kan ini hadiah untuk istri saya, mana mungkin saya pilihkan yang murahan," kelakar Ardhan. Namun, setelah Hara menatapnya ia menyadari, bahwa dalam kalimatnya ia menggunaka

  • Terjerat Pesona Om-Om   Bab 29

    "Gimana? Memangnya kenapa harus tidur bersama? Apa kamu takut?" tanya Ardhan melihat Hara masih diam.Hara bimbang. Ia menggigit kecil bibirnya. "Aku enggak bisa tidur sendirian. Aku takut. Kamarnya terlalu besar, dan di sini aku masih baru," ujar Hara penuh kebohongan. Mana mungkin ia akan jujur tak bisa tidur bila tidak dengan Ardhan.Ardhan terkekeh lalu mengacak pucuk rambut Hara. "Kamu sudah besar tetapi masih penakut." Saat Hara mengangkat kepalanya yang tertunduk, netranya disambut dengan kekehan yang membuat hatinya berdesir. Entah mengapa saat ini ia melihat Ardhan semakin tampan saja."Baik, lah. Saya akan menemanimu tidur. Saya berjanji akan menjaga diri," ucapnya dengan senyum manis. Membuat sebuah dimple terlihat.***Malam yang biasanya terasa biasa saja, kali ini entah mengapa waktu terasa sangat lambat. Lampu dimatikan oleh Ardhan, tetapi ia tak bisa langsung terpejam. Begitupun dengan Hara. Matanya menerjab

  • Terjerat Pesona Om-Om   Bab 28

    Hara yang hendak makan malam terkejut saat melihat ke arah meja makan. Di sana Ardhan tampak akrab dengan Radit. Bahkan keduanya saling tertawa sekarang. Hal itu menyebabkan senyum di wajah Hara ikut terbit juga.'Astaga, kenapa aku senyum gini. Kalau ada orang seneng, senengnya nular kali, ya.'"Ekhem," deham Hara menyadarkan Ardhan dan Radit. Keduanya menjadi diam dan tersenyum kaku."Kalian akrab banget, ya?" tanya Hara saat mengambil makanan untuk mengisi piring kosongnya."Dia sudah saya anggap seperti adik sendiri, Hara. Kami tumbuh bersama. Ah, bukan, tepatnya saya melihatnya tumbuh dewasa sementara saya semakin menua," jawab Ardhan menjelaskan siapa Radit di matanya.Hara menatap lekat keduanya secara bergantian. "Iya, sih, keliatan. Radit masih seger gitu, Om udah layu," gumamnya membuat Ardhan melotot, sementara Radit menahan tawanya.Radit sama seperti Hara yang hidupnya dibantu oleh Ardhan. Bedanya R

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status