Selesai mengucapkan hal itu, Hara tak sanggup menahan air matanya untuk tak tumpah. Kekesalahan tadi sinar, berganti dengan kesediyan. Dia memanglah gadis cengeng. Dengan kepekaan tingkat tinggi Ardhan langsung mengusap air mata itu. Hara masih memalingkan wajahnya, tak sanggup melihat ibunya juga menangis. Apa lagi itu karenanya.
Mirna tersenyum melihat interaksi itu. Keperdulian Ardhan adalah salah satu alasan ia yakin Hara akan baik-baik saja bila bersamanya. "Lihatlah! Apa kamu tak merasakan kasih sayang Om Ardhan untukmu?"
Saat menoleh mata keduanya bertemu. Netra cokelat milik Hara menatap lekat netra hitam elang milik Ardhan. Ia semakin menangis. Membuat Ardhan spontan memeluknya. Membiarkan Hara menangis di dada bidangnya yang terbalut stelan jas berwarna hitam.
"Ibu harap kamu tidak menolaknya. Ini permintaan terakhir Ibu, Sayang," ucapan Mirna membuat Hara menangis lebih kencang. Terlihat dari punggungnya yang bergetar dalam dekapan Ardhan.
Tak tega Mirna melihatnya, tetapi itulah kenyataan yang harus dihadapi Hara. Kenyataan ia akan segera hidup sendirian. Cepat atau lambat penyakit yang diderita Mirna akan merenggut nyawa perempuan dengan wajah teduh itu.
Ardhan memandang Mirna dan mengedipkan matanya perlahan sembari memberikan senyum tipis. Mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
***
"Pikirkan ibu kamu, Hara. Jangan pikirkan yang lainnya."
Saat ini Hara berada di dalam mobil Ardhan dan sedang menuju ke rumahnya. Ia harus pulang untuk menenangkan diri sejenak setelah meluapkan emosinya.
"Kamu ingat, kan apa kata dokter kemarin?"
Hara menoleh menatap Ardhan yang sedang menyetir. Ia dapat melihat jelas wajah serius Ardhan meski dari samping.
Ia mengingatnya jelas. Ucapan dokter bahwa usia ibunya tak akan lama lagi karena penyakitnya sudah parah dan menyebar ke bagian tubuh lainnya. Bahkan ia tak tahu apakah esok ibunya masih bernapas atau tidak, tetapi bagaimanapun ini hal diluar kendalinya. Seberapa keras ia ingin ibunya tetap hidup, ia tak mampu mengubah kehendak Tuhan.
"Tapi, Om. Bagaimana kita bisa menikah? Aku sudah menganggap Om sebagai keluargaku. Meski kita sudah dekat, bukan berarti aku bisa menyetujui untuk menjadi istri Om."
Bagaimana bisa sang ibu berpikir untuk menikahkan gadis berusia dua puluh tahun dengan pria matang berusia tiga puluh tujuh tahun? Apa nanti kata orang jika melihatnya. Pasti ia akan dianggap hanya ingin mendapatkan harta Ardhan saja.
Ardhan menoleh sejenak lalu kembali menatap jalanan. "Mengapa tidak bisa? Bukankah harusnya lebih mudah? Saya sudah mengenal kamu sejak berusia sepuluh tahun. Kita mengenal baik diri masing-masing."
Hara tak abis pikir dengan ucapan Ardhan. Memang benar ia mengenal baik Ardhan. Namun, berpikir untuk menjadi istri? Tentu saja tidak. Ia tak mau merusak hubungan baiknya. Apalagi ia tumbuh dalam pengamatan Ardhan.
"Ini berbeda, Om. Bukan karena kita sudah saling mengenal lalu bisa menjadi suami istri. Seperti kata Om di rumah sakit, pernikahan bukan lelucon. Dan bagiku pernikahan itu sekali seumur hidup," ucap Hara dengan nada naik satu tingkat. Ia tak menginginkan pernikahan ini.
"Pernikahan kita akan seumur hidup, Hara. Saya tidak akan meninggalkanmu atau menikah lagi dengan perempuan lain. Hanya akan ada kamu dalam sisa hidup saya." Kali ini Ardhan menoleh dan menatapnya lebih lama sebelum kembali berfokus pada jalanan kota.
Hara hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Matanya hampir keluar karena hal itu. Ia terdiam dan mencerna. Hara berpikir apakah Ardhan selama ini menyukainya? Ia memandang lekat Ardhan dengan dahi berkerut.
"Om enggak paham kenapa aku menolak?"
Ardhan menggeleng sebagai respon.
Hara menghela napas panjang sebelum memulai perkataannya. "Aku menolak karena ini bukan pernikahan impianku. Aku punya impian tentang sebuah pernikahan."
"Saya bisa mewujudkan impian pernikahan kamu. Coba jelaskan agar saya bisa mewujudkannya."
Hara menatap Ardhan sinis. Sungguh pria ini tak mudah dikalahkan.
"Aku bermimpi menikah dengan orang yang aku cintai. Yang mau mengerti dan menerima segala kekuranganku. Membangun rumah tangga dengan sabar menghadapi keras kepalaku, membesarkan anak-anak bersama, dan menikmati hari tua dengan bahagia. Dan yang jelas umur kami tak jauh berbeda."
Mendengar kata umur disebut, Ardhan sontak menoleh. Keduanya saling menatap. "Memang kenapa jika kamu menikah dengan jarak umur yang cukup jauh? Bukankah akan lebih baik? Karena jelas dia lebih dewasa, dan yang jelas bisa lebih mapan daripada lelaki sebayamu," jelas Ardhan karena tak suka Hara membawa-bawa soal usia.
"Bukannya akan lebih sulit?" tanya Hara membuat Ardhan mengerutkan keningnya.
Sadar Ardhan tak paham ucapannya. Ia menjelaskan sudut pandang miliknya. "Jika hanya berbeda lima sampai sepuluh tahun mungkin tak akan masalah. Namun, jika kasusnya seperti Om dan Aku. Yang jaraknya tujuh belas tahun bisa jadi masalah. Kita lahir di kebiasaan masyarakat yang berbeda. Bisa dikatakan aku anak zaman sekarang dan Om zaman dahulu. Jelas akan banyak perbedaan pendapat dan sudut pandang nantinya. Pasti menimbulkan keributan. Jadi harusnya Om menikah dengan wanita seusia Om saja."
Alasan Hara hanyalah alasan yang mengada-ada. Karena ia sungguh tak mau menikah dengan Ardhan. Sudah mengenalnya lama tentu membuat Hara tahu sifat dan sikap Ardhan. Dan itu adalah masalahnya. Ia tak mampu hidup bersama dengan pria dingin dan sedikit otoriter. Ia ingin menikah dengan pria seperti mendiang ayahnya. Hangat, dan sangat mengerti dirinya.
Langit gelap mulai dipenuhi bintang. Hara yang akan ke rumah sakit terpaksa mau dijemput oleh Ardhan. Padahal, ia berniat menghindarinya sekarang. Setelah berdebatan panjang, kemenangan ada di pihak Ardhan. Sebab Hara hanya mengatakan alasan konyol yang tidak kuat dasarnya."Bisakah kamu memakai pakaian yang lebih tertutup, Hara?"Baru saja mobil berjalan, tetapi Ardhan sudah mengacaukan emosinya. Padahal ia memakai rok selutut dengan atasan baju panjang. Di mana sisi terbukanya? Bukankah roknya juga masih wajar? Bahkan pahanya sama sekali tak terlihat."Saya sudah memilih beberapa pasang gaun untuk pernikahan. Semoga saja ada yang kamu suka."Ardhan menyodorkan ponselnya. Hara hanya menatap dan tak mengambilnya."Untuk apa gaun pernikahan? Kita tidak akan menikah. Aku tidak setuju," ucapnya dengan nada kesal."Setuju atau tidak kita akan menikah, Hara. Itu kemauan ibumu. Jadi saya harap kamu bisa menjadi anak yang be
"Kamu sudah memilih gaun pernikahan?"Matahari baru beranjak keluar. Matanya baru terbuka, bahkan ia belum sempat mencuci wajahnya, tetapi sang ibu sudah melontarkan kalimat yang merusak pagi harinya.Hara membiarkannya. Ia memilih ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan mandi. Kemarin ia kembali malam hari setelah perdebatan panjang dengan Ardhan.Saat menggosok gigi, ia menyentuh bibirnya. Bibir yang sebelumnya suci, kini sudah terkotori. Meskipun itu hanya kecelakaan tetap saja sudah berciuman dan ia menikmatinya. Mengingat hal itu membuat perasaan Hara semakin kesal, bagaimana bisa ia menikmati hal itu.Memikirkan kejadian dan ucapan Ardhan memuatnya kesal dan malu. Ia menggelengkan kepalanya mengusir pemikiran itu. Memilih mencuci wajah dan mandi adalah hal terbaik.Saat keluar dari kamar mandi ia melihat sang ibu memegang ponselnya. Hal itu sudah biasa terjadi, tetapi entah perasaannya tak enak melihat sang ibu memegang
Awan mendung tengah menyelimuti Hara. Pagi ini dokter mengatakan kondisi sang ibu memburuk saat pemeriksaan pagi, karena hal itu ibunya perlu penanganan lebih serius. Ia menunggu di luar ruangan dengan cemas. Tak henti-hentinya bibir mungil itu merapal doa. Berharap sang ibu bisa bertahan lebih lama.Ia tak dapat berpikir jernih. Setelah mengirim pesan kepada Ardhan, ia menaruh ponselnya dan tak mengeceknya lagi. Hara butuh Ardhan sekarang. Ia butuh dada bidangnya untuk menangis.Suara-suara percakapan ia dan ibunya semalam terputar di otaknya. Apalagi senyuman sang ibu saat mengatakan bahagia akan melihat putrinya menikah.Suara pintu terbuka menyita perhatiannya. Langsung Hara berdiri dan menghampiri suster yang keluar. Ia tak mengatakan banyak hal, hanya memberi tahu bahwa sang ibu akan dipindahkan ke ruang ICU.Dokter serta suster lain keluar bersama sang ibu untuk dibawa ke ruang ICU. Saat melihat sang ibu, Hara langsung menan
"Apa tidak bisa diselamatkan, Dok? Lakukan apapun caranya. Berapapun biayanya akan saya bayar," ucap Ardhan menggebu-gebu. Ia tahu selama ini sudah memberikan yang terbaik untuk perawatan Mirna, tetapi ia berharap masih mungkin untuk menyelamatkannya.Dokter menghela napas sebelum menjawabnya. "Sebagus apapun penanganan dan semahal apapun biayanya, jika sudah waktunya, saya sebagai dokter tak mampu berbuat banyak."Ardhan kembali terdiam. Hara tersenyum getir. Ia tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya sekarang. Ketakutan terbesarnya sudah datang. Kehilangan paling menyakitkan sudah menantinya.Tak tega melihat Hara, sebelum pergi ia mengatakan ucapan penenang. "Doakan saja yang terbaik. Kita lihat satu jam kedepan bagaimana." Dokter berbalik dan meninggalkan Ardhan.Ardhan tak mampu berkata-kata. Ia memejamkan matanya sebentar dengan menghadap tembok. Keningnya tertempel di tembok, sementara itu tangan kanannya mengepal dan tangan kiri
"Ayo kita pulang." Ardhan berjongkok di samping Hara. Ia mengucapkan itu dengan lembut sembari memegang kedua lengan Hara. Air mata masih membasahi pipi tirusnya.Dengan tubuh yang lemas dan perasaan sedih yang mendalam. Hara pingsan saat akan pulang. Ardhan sigap menangkap tubuh kurus itu dan membawanya ke mobil. Ditarunya di kursi depan dan dipasangkan sabuk pengaman. Ardhan bergegas mengendarai mobil untuk kembali ke rumah Hara.Sesampainya di rumah ia menaruh Hara di kamar, membiarkannya berbaring. Lalu mengambil minyak angin dan menaruhnya di dekat hidung. Namun, Hara tak kunjung siuman. Ia membiarkan Hara, mungkin gadis kecil itu butuh istirahat.Ardhan ke belakang untuk memeriksa para pelayat yang masih ada. Mereka memasak makanan untuk kenduri nanti malam. Ardhan meminta maaf karena Hara tak dapat membantu dikarenakan pingsan. Meski tak terlalu menyukai keluarga Hara, para tetangga yang melayat paham.Ardhan ingin kembali ke kama
"Saya tidak memiliki niat lain." Ditatap tajam oleh Hara saat ia ikut masuk ke dalam kamar membuat Ardhan paham pemikiran istri kecilnya itu."Terus? Ngapain? Keluar sana. Aku mau tidur," ucap Hara mengusir Ardhan dari kamarnya.Ardhan terdiam sejenak. Lalu berucap, "saya tidur di mana?"Hara lupa bahwa hanya kamarnya yang bisa digunakan sekarang. Kamar almarhum ibunya tentunya cukup berdebu, sebab cukup lama ibunya di rumah sakit dan ia pun tak banyak waktu untuk membereskan rumah.Hanya ada tiga kamar di rumah Hara. Satu kamar di belakang dekat dapur digunakan untuk tempat penyimpanan. Satu kamar untuk almarhum ibunya dan satu kamar untuknya. Yang layak untuk dipakai tidur sekarang hanya kamarnya."Oke. Om bisa tidur di sini. Tapi jangan macam-macam. Awas aja kalau berani," ancam Hara dan membiarkan Ardhan tidur bersamanya.Ardhan berjalan dan duduk di tempat tidur. Saat itu Hara membawa pakaian dan hendak kel
"Kya ...."BugSuara teriakan itu dibarengi dengan suara seperti benda jatuh. Padahal hari masih pagi, tetapi sudah ada kericuhan yang terjadi.Seorang pria yang belum sepenuhnya sadar dari tidur nyenyaknya terpaksa terbangun akibat badan atletisnya menyentuh lantai. Ia meringis, dan rasa sakit langsung membuat nyawanya terkumpul."Badan kamu kurus tapi tendangan kamu kuat juga, ya," keluh Ardhan sembari berdiri dan mengelus bagian tubuhnya yang terbentur lantai."Lagian kenapa Om tidur ngelewatin batas dan peluk-peluk aku, hah." Hara menutupi tubuhnya dengan selimut."Apa jangan-jangan," ucapnya penuh selidik dan melihat pada tubuhnya.'Baju aku masih lengkap. Enggak ada tanda-tanda dibuka.'Ardhan menatap tak percaya istri kecilnya. "Kamu enggak saya apa-apakan. Enggak usah berpikir negatif, ini masih pagi," ujar Ardhan menyadarkan Hara yang tengah menilik pakaian yang ia pakai.
Suasana setelah kejadian Ardhan menggoda Hara cukup hening. Ardhan sibuk menonton TV dan Hara yang sibuk dengan rasa malunya. Sadari habis mandi ia tak keluar kamar dan hanya diam dengan umpatan-umpatan.Ardhan tak ambil pusing. Ia mengerti perasaan Hara. Istri kecilnya itu memang akan seperti itu jika sedang malu. Sudah lama mengenal, tampaknya memberi banyak keuntungan bagi Ardhan.Hari mulai siang, suara gesekan kayu pintu dan lantai terdengar. Ardhan menoleh, ia mendapati Hara yang sedang mengeluarkan kepalanya. Mungkin untuk melihat situasi. Saat tatapan mereka bertemu. Hara dengan cepat menutup pintu dengan keras sehingga menimbulkan suara. Ardhan terkekeh melihat tingkah Hara. Sementara Hara terus merutuki dirinya."Ayo, Hara. Kamu bisa. Kalau gini terus, dia bisa mikir kamu mulai suka," gumamnya menyemangati dirinya sendiri.Kemudian ia keluar dan ikut duduk untuk menonton. Meski begitu, ia duduk di kursi lainnya. Ardhan fo