Langit gelap mulai dipenuhi bintang. Hara yang akan ke rumah sakit terpaksa mau dijemput oleh Ardhan. Padahal, ia berniat menghindarinya sekarang. Setelah berdebatan panjang, kemenangan ada di pihak Ardhan. Sebab Hara hanya mengatakan alasan konyol yang tidak kuat dasarnya.
"Bisakah kamu memakai pakaian yang lebih tertutup, Hara?"
Baru saja mobil berjalan, tetapi Ardhan sudah mengacaukan emosinya. Padahal ia memakai rok selutut dengan atasan baju panjang. Di mana sisi terbukanya? Bukankah roknya juga masih wajar? Bahkan pahanya sama sekali tak terlihat.
"Saya sudah memilih beberapa pasang gaun untuk pernikahan. Semoga saja ada yang kamu suka."
Ardhan menyodorkan ponselnya. Hara hanya menatap dan tak mengambilnya.
"Untuk apa gaun pernikahan? Kita tidak akan menikah. Aku tidak setuju," ucapnya dengan nada kesal.
"Setuju atau tidak kita akan menikah, Hara. Itu kemauan ibumu. Jadi saya harap kamu bisa menjadi anak yang berbakti. Cepat pilih," perintah Ardhan dengan nada tegas.
Kali ini Hara merasakan aura yang berbeda. Ia takut dengan Ardhan. Selain karena lebih tua, ada beberapa waktu Ardhan terlihat menakutkan baginya, seperti sekarang salah satunya.
Dengan terpaksa ia melihat-lihat gaun itu. Matanya hampir copot salah melihat gaun yang dipilih Ardhan. Ia tak habis pikir dengan pria tua itu. Memakai rok selutut saja dikatakan terbuka, tetapi apa ini. Gaun yang menjadi pilihan semuanya memperlihatkan bentuk tubuh dengan bagian dada rendah dan punggung terbuka.
"Ini apa, Om? Kenapa seperti ini?" tanya Hara dengan sedikit emosi.
"Itu gaun untuk resepsi kita nanti. Bagaimana? Ada yang kamu suka?" tanya Ardhan tanpa merasa bersalah.
"Om bilang pakain aku harus lebih tertutup. Tapi gaun yang dipilih Om semuanya memperlihatkan bentuk tubuh dengan bagian dada rendah dan punggung terbuka. Bukan kah ini berlebihan?"
Ardhan menoleh, menatap Hara yang melihatnya marah. "Bukankah tidak masalah? Tubuhmu tak begitu padat. Dadamu juga, em ... tidak menggoda? Lalu, punggungmu juga tidak terlalu membuat pria lain tertarik. Saya rasa gaun itu wajar," jawab Ardhan membuat wajah Hara memerah. Ia merasa marah sekaligus malu. Mengapa pria tua ini mengatakan hal yang tak seharusnya.
"Kalau Om tahu aku tidak menggoda mengapa memaksa menikah? Bukankah di luar sana banyak wanita yang tubuhnya bagus. Mereka akan lebih memuaskan Om di ranjang daripada aku," ujar Hara dengan marah dan suara cukup tinggi.
Tiba-tiba Ardhan menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang cukup sepi.Membuat Hara bertanya-tanya mengapa berhenti.
Lalu Ardhan melepas sabuk pengamannya. Ia mendekati Hara. Sontak Hara memundurkan badannya dan terhimpit antara pintu mobil dan tubuh Ardhan yang kian mendekat.
Wajah dengan kumis tipis dan sedikit keriput di ujung mata begitu jelas terlihat oleh netra cokelat Hara. Napasnya tak beraturan dan ia merasa ketakutan sekarang.
"Om mau apa? Mundur! Mundur!" perintah Hara dengan suara bergetar karena takut. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa.
Wajah itu semakin mendekat, membuat Hara memalingkan wajah ke kanan dan menutup mata. Ia sangat takut sekarang. Dalam otaknya ia memikirkan hal yang tidak-tidak.
Hara sedikit merinding saat merasakan embusan napas di telinga kirinya. Matanya semakin memejam.
"Alasan saya mau menikah dengan kamu bukan soal urusan ranjang. Tapi karena saya berhutang budi pada keluargamu. Mungkin dengan ini saya bisa membayar impas utang itu," ucap Ardhan tepat di telinga Hara. Dengan suara kecil, tetapi sangat mengandung ketegasan di tiap katanya.
Setelah mengucapkan itu Ardhan menoleh ke kanan. Melihat mata Hara yang terbuka setelah mendengar ucapannya. Belum sempat ia memundurkan kepalanya, Hara sudah menengok, mungkin karena terkejut atas pengakuan Ardhan.
Namun, yang terjadi adalah kedua bibir itu bertemu. Hara membulatkan matanya karena terkejut. Ardhan sebenarnya juga terkejut, tetapi ia justru melumatnya, netra hitamnya membuat Hara terdiam. Ardhan tak sampai disitu, ia merasakan bibir Hara yang manis semakin memperdalam ciuman itu.
Entah apa yang dirasakan Hara sekarang, ia justru menutup matanya. Menikmati sensasi menggelikan yang baru pertama kali ia rasakan. Ardhan tak puas, karena bibir Hara masih tertutup, Ardhan menggigit bibir Hara, membuatnya terkejut sehingga membuka bibir itu.
Hara masih terpejam meski terkejut, ia tak mau membuka matanya sekarang. Membiarkan Ardhan semakin memperdalam ciuman mereka. Entah setan dari mana, Hara menggerakkan bibirnya, meski baru kali pertama. Ia mengikuti nalurinya. Kedua tangan Ardhan memegang kepala Hara. Ia berusaha memperdalam lumatannya, meski begitu ia tak brutal dalam melakukannya.
Keduanya saling menikmati. Ardhan melumatnya dengan lembut, ia ingin lebih, tetapi dengan Hara membalas perbuatan bibirnya sudah cukup bagi Ardhan. Saat napas keduanya hampir habis. Mereka baru melepaskan kesenangan itu.
Ardhan langsung kembali ke kursi kemudi dan menggenakan sabuk pengaman. Sementara itu, Hara juga membenarkan posisi duduknya. Namun, ia tak berani menoleh ataupun melirik ke arah Ardhan. Ia memilih menatap jalanan.
Jantungnya berdetak lebih kencang. Entah perasaan apa yang dirasakan sekarang. Hara merutuki dirinya yang bodoh ini. Bukannya mendorong, justru ia membalas perbuatan itu, bahkan menikmatinya. Membuat semburat merah tercipta di pipi tirusnya.
Ardhan hanya melirik, lalu diam. Ia masih tak menyangka apa yang ia lakukan. Entah dorongan darimana ia melumat bibir mungil itu. Namun, ia tak menyesal. Bibir merah muda itu sangat manis menurutnya, dan ia menginginkan lagi lain kali.
"Saya suka bibir kamu, Hara ... manis," ucap Ardhan membuat Hara semakin malu dan ingin menghilang saja dari bumi.
"Untuk orang yang pertama kali melakukannya. Kamu cukup mahir," sambung Ardhan. Kali ini ia menoleh dan menatap Hara yang tetap bungkam. Ia tersenyum kecil saat menyadari Hara sedang malu saat ini.
"Kamu sudah memilih gaun pernikahan?"Matahari baru beranjak keluar. Matanya baru terbuka, bahkan ia belum sempat mencuci wajahnya, tetapi sang ibu sudah melontarkan kalimat yang merusak pagi harinya.Hara membiarkannya. Ia memilih ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan mandi. Kemarin ia kembali malam hari setelah perdebatan panjang dengan Ardhan.Saat menggosok gigi, ia menyentuh bibirnya. Bibir yang sebelumnya suci, kini sudah terkotori. Meskipun itu hanya kecelakaan tetap saja sudah berciuman dan ia menikmatinya. Mengingat hal itu membuat perasaan Hara semakin kesal, bagaimana bisa ia menikmati hal itu.Memikirkan kejadian dan ucapan Ardhan memuatnya kesal dan malu. Ia menggelengkan kepalanya mengusir pemikiran itu. Memilih mencuci wajah dan mandi adalah hal terbaik.Saat keluar dari kamar mandi ia melihat sang ibu memegang ponselnya. Hal itu sudah biasa terjadi, tetapi entah perasaannya tak enak melihat sang ibu memegang
Awan mendung tengah menyelimuti Hara. Pagi ini dokter mengatakan kondisi sang ibu memburuk saat pemeriksaan pagi, karena hal itu ibunya perlu penanganan lebih serius. Ia menunggu di luar ruangan dengan cemas. Tak henti-hentinya bibir mungil itu merapal doa. Berharap sang ibu bisa bertahan lebih lama.Ia tak dapat berpikir jernih. Setelah mengirim pesan kepada Ardhan, ia menaruh ponselnya dan tak mengeceknya lagi. Hara butuh Ardhan sekarang. Ia butuh dada bidangnya untuk menangis.Suara-suara percakapan ia dan ibunya semalam terputar di otaknya. Apalagi senyuman sang ibu saat mengatakan bahagia akan melihat putrinya menikah.Suara pintu terbuka menyita perhatiannya. Langsung Hara berdiri dan menghampiri suster yang keluar. Ia tak mengatakan banyak hal, hanya memberi tahu bahwa sang ibu akan dipindahkan ke ruang ICU.Dokter serta suster lain keluar bersama sang ibu untuk dibawa ke ruang ICU. Saat melihat sang ibu, Hara langsung menan
"Apa tidak bisa diselamatkan, Dok? Lakukan apapun caranya. Berapapun biayanya akan saya bayar," ucap Ardhan menggebu-gebu. Ia tahu selama ini sudah memberikan yang terbaik untuk perawatan Mirna, tetapi ia berharap masih mungkin untuk menyelamatkannya.Dokter menghela napas sebelum menjawabnya. "Sebagus apapun penanganan dan semahal apapun biayanya, jika sudah waktunya, saya sebagai dokter tak mampu berbuat banyak."Ardhan kembali terdiam. Hara tersenyum getir. Ia tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya sekarang. Ketakutan terbesarnya sudah datang. Kehilangan paling menyakitkan sudah menantinya.Tak tega melihat Hara, sebelum pergi ia mengatakan ucapan penenang. "Doakan saja yang terbaik. Kita lihat satu jam kedepan bagaimana." Dokter berbalik dan meninggalkan Ardhan.Ardhan tak mampu berkata-kata. Ia memejamkan matanya sebentar dengan menghadap tembok. Keningnya tertempel di tembok, sementara itu tangan kanannya mengepal dan tangan kiri
"Ayo kita pulang." Ardhan berjongkok di samping Hara. Ia mengucapkan itu dengan lembut sembari memegang kedua lengan Hara. Air mata masih membasahi pipi tirusnya.Dengan tubuh yang lemas dan perasaan sedih yang mendalam. Hara pingsan saat akan pulang. Ardhan sigap menangkap tubuh kurus itu dan membawanya ke mobil. Ditarunya di kursi depan dan dipasangkan sabuk pengaman. Ardhan bergegas mengendarai mobil untuk kembali ke rumah Hara.Sesampainya di rumah ia menaruh Hara di kamar, membiarkannya berbaring. Lalu mengambil minyak angin dan menaruhnya di dekat hidung. Namun, Hara tak kunjung siuman. Ia membiarkan Hara, mungkin gadis kecil itu butuh istirahat.Ardhan ke belakang untuk memeriksa para pelayat yang masih ada. Mereka memasak makanan untuk kenduri nanti malam. Ardhan meminta maaf karena Hara tak dapat membantu dikarenakan pingsan. Meski tak terlalu menyukai keluarga Hara, para tetangga yang melayat paham.Ardhan ingin kembali ke kama
"Saya tidak memiliki niat lain." Ditatap tajam oleh Hara saat ia ikut masuk ke dalam kamar membuat Ardhan paham pemikiran istri kecilnya itu."Terus? Ngapain? Keluar sana. Aku mau tidur," ucap Hara mengusir Ardhan dari kamarnya.Ardhan terdiam sejenak. Lalu berucap, "saya tidur di mana?"Hara lupa bahwa hanya kamarnya yang bisa digunakan sekarang. Kamar almarhum ibunya tentunya cukup berdebu, sebab cukup lama ibunya di rumah sakit dan ia pun tak banyak waktu untuk membereskan rumah.Hanya ada tiga kamar di rumah Hara. Satu kamar di belakang dekat dapur digunakan untuk tempat penyimpanan. Satu kamar untuk almarhum ibunya dan satu kamar untuknya. Yang layak untuk dipakai tidur sekarang hanya kamarnya."Oke. Om bisa tidur di sini. Tapi jangan macam-macam. Awas aja kalau berani," ancam Hara dan membiarkan Ardhan tidur bersamanya.Ardhan berjalan dan duduk di tempat tidur. Saat itu Hara membawa pakaian dan hendak kel
"Kya ...."BugSuara teriakan itu dibarengi dengan suara seperti benda jatuh. Padahal hari masih pagi, tetapi sudah ada kericuhan yang terjadi.Seorang pria yang belum sepenuhnya sadar dari tidur nyenyaknya terpaksa terbangun akibat badan atletisnya menyentuh lantai. Ia meringis, dan rasa sakit langsung membuat nyawanya terkumpul."Badan kamu kurus tapi tendangan kamu kuat juga, ya," keluh Ardhan sembari berdiri dan mengelus bagian tubuhnya yang terbentur lantai."Lagian kenapa Om tidur ngelewatin batas dan peluk-peluk aku, hah." Hara menutupi tubuhnya dengan selimut."Apa jangan-jangan," ucapnya penuh selidik dan melihat pada tubuhnya.'Baju aku masih lengkap. Enggak ada tanda-tanda dibuka.'Ardhan menatap tak percaya istri kecilnya. "Kamu enggak saya apa-apakan. Enggak usah berpikir negatif, ini masih pagi," ujar Ardhan menyadarkan Hara yang tengah menilik pakaian yang ia pakai.
Suasana setelah kejadian Ardhan menggoda Hara cukup hening. Ardhan sibuk menonton TV dan Hara yang sibuk dengan rasa malunya. Sadari habis mandi ia tak keluar kamar dan hanya diam dengan umpatan-umpatan.Ardhan tak ambil pusing. Ia mengerti perasaan Hara. Istri kecilnya itu memang akan seperti itu jika sedang malu. Sudah lama mengenal, tampaknya memberi banyak keuntungan bagi Ardhan.Hari mulai siang, suara gesekan kayu pintu dan lantai terdengar. Ardhan menoleh, ia mendapati Hara yang sedang mengeluarkan kepalanya. Mungkin untuk melihat situasi. Saat tatapan mereka bertemu. Hara dengan cepat menutup pintu dengan keras sehingga menimbulkan suara. Ardhan terkekeh melihat tingkah Hara. Sementara Hara terus merutuki dirinya."Ayo, Hara. Kamu bisa. Kalau gini terus, dia bisa mikir kamu mulai suka," gumamnya menyemangati dirinya sendiri.Kemudian ia keluar dan ikut duduk untuk menonton. Meski begitu, ia duduk di kursi lainnya. Ardhan fo
Napas keduanya menderu, seperti orang yang habis lari maraton. Hara memalingkan wajah dengan pipi yang merona. Sementara Ardhan tersenyum, ia juga merasa salah tingkah. Seketika ruangan yang awalnya terasa panas, kini terasa canggung."Em, saya akan tidur sofa depan TV saja. Saya takut kelepasan," ucap Ardhan membelah keheningan dan segera keluar dari sana. Ia takut akan lepas kendali dan memangsa Hara jika malam ini tidur bersama.Hara diam tak menjawab. Ia masih sibuk menetralkan degub jantungnya. Ia tak menyangka bisa berbuat begitu. Apalagi yang terakhir dirinya lah yang memulai."Apa yang barusan lo lakuin, Hara. Ceroboh banget, sih. Om Ardhan bisa berpikir macam-macam tentang kamu kedepannya," ucapnya lirih sembali memegang kepalanya.Sebelum kembali ke kamarnya, Hara menyelesaikan merapikan barang mendiang sang ibu sembari mencoba agar tidak gugup nanti di depan Ardhan. Ia tak menangis lagi karena kepergian sang ibu, kini Ha