Share

Terjerat Pesona Om-Om
Terjerat Pesona Om-Om
Penulis: Ria Purnama

Bab 1.

"Apa? Ibu mau aku menikah dengannya?" 

Pupil matanya membesar karena terkejut dan tidak percaya atas apa yang baru saja ia dengar. Bahkan ia tak habis pikir dengan permintaan aneh sang ibu yang tiba-tiba.

"Bu, aku sama dia beda tujuh belas tahun! Bagaimana kami bisa menikah? Terlebih aku sudah menganggapnya sebagai omku sendiri."

Suara keras terdengar ke seluruh ruangan.Marah, kecewa, dan sedih menjadi satu. Kamar rawat inap yang kecil itu menangkap suara yang keluar dari mulut mungilnya. Sementara lawan bicaranya hanya memejamkan mata, menikmati setiap kemarahan putrinya. Karena putrinya berhak merasa begitu.

Mencoba tidak terlihat lemah, sang ibu Kembali berkata, "apa salahnya? Dia baik untuk kamu. Dia dewasa, cocok untuk kamu yang masih kekanak-kanakan. Dia kaya, cocok untuk kita yang tidak memiliki apa-apa," ucap Mirna ketus. 

Terdengar decakan sebal dari bibir mungil merah muda itu. "Usia kami berbeda jauh, Bu. Mana mungkin kami bisa menikah?"

"Memangnya kenapa usia kalian? Hanya berbeda tujuh belas tahun. Tidak ada yang salah."

Apa katanya? Hanya berbeda tujuh belas tahun dan itu tidak masalah? Oh, ayolah. Bahkan yang berbeda sepuluh tahun saja sudah bisa menjadi gunjingan tetangga. Apalagi ini. Sungguh ia tak mengerti pemikiran ibunya itu. 

"Terserah pemikiran Ibu bagaimana. Yang jelas aku tidak akan menikah dengannya!"

Setelah mengucapkan itu. Ia segera keluar ruangan. Ia tak mau melampiaskan marahnya kepada sang ibu lebih banyak. Saat hendak ke luar, ia berpapasan dengan lelaki yang dimaksud sang ibu di pintu. Tatapannya tajam saat melihat pria itu menjenguk sang ibu. 

Tanpa banyak kata, ia memilih langsung pergi. Sementara lelaki itu menatap punggung gadis dengan rambut yang dikuncir kuda menjauh. Ia bisa merasakan kekesalan gadis yang sudah ia kenal sejak sepuluh tahun lalu. Bukan hal sulit menebak apa yang dirasakan gadis kecil itu. 

"Biarkan saja dia, Dhan. Gadis keras kepala itu butuh mendinginkan kepalanya."

Aradhana Dwisa Pradaya atau biasa dipanggil Ardhan oleh orang terdekatnya hanya diam dan mendekati Mirna. Ia menarik kursi di samping brankar. 

"Tante gimana keadaannya? Udah mendingan?" tanyanya dengan penuh perhatian. 

Alih-alih menjawab soal keadaannya Mirna justru bertanya soal pernikahan putrinya. "Kamu serius mau menikahi Hara?"

Ardhan menghela napas. "Saya sudah mendengarnya tadi. Saya rasa tidak baik memaksakan pernikahan ini," ujarnya diakhiri helaan napas. 

"Tante mohon sama kamu, Dhan. Tolong nikahi Hara. Tante gak tau lagi harus percayakan dia sama siapa. Hanya kamu satu-satunya harapan Tante."

Melihat wajah dengan bibir pucat, Ardhan tak tega. Sebenarnya ia sama sekali tak berminat menjadikan Hara sebagai istrinya karena sudah menganggapnya sebagai keponakan sendiri. Namun, mengingat umur Mirna yang tinggal sebentar lagi. Membuatnya harus menerima tanggungjawab itu. 

"Tapi kalau Hara menolak, saya bisa apa, Tante?

Mirna hening sejenak. Ia tahu Ardhan bukan tipikal pria yang suka memaksakan kehendaknya. Namun, ia tak punya pilihan lain. Ia tak akan meninggal dengan tenang kalau Hara tak menikah dengan Ardhan.

***

"Ibu enggak mau tahu. Kamu harus segera menikah dengan Ardhan. Jadi, sekarang pulang dan siapkan berkas yang diperlukan." Mirna berucap tegas kali ini. Meski wajahnya masih terlihat pucat, tetapi ekspresinya benar-benar serius. 

"Becandanya enggak lucu, Bu." Hara tertawa hambar di ujung kalimatnya. Ia muak dengan percakapan ini. Sejak awal masuk rumah sakit, sang ibu selalu membahasnya. 

"Tante Mirna serius, Ra. Jika kamu setuju kita akan segera menikah." 

Suara berat terdengar setelah pintu terbuka. Menyadari ada orang yang datang membuat Hara menengok dan memastikan suara yang ia dengar berasal dari orang yang dia kenal. Matanya bersitatap dengan pria yang tadi ia temui. Ia masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Bahkan pria itu sekarang ada di hadapannya. 

"Om sama Ibu kenapa, sih. Enggak lucu bercandanya," ujarnya kesal. Amarahnya kembali terpancing. Lagipula mana mungkin ia akan menikah di usia sekarang? Ia masih sangat muda dan masih ingin bebas tanpa beban mengurus rumah tangga. 

Pria itu berjalan ke arahnya, dengan stelan jas dan sepatu hitam membuatnya terlihat rapi. Ia berdiri di belakang kursi yang sedang di dudukki gadis muda itu. "Pernikahan bukan bahan lelucon, Hara. Saya dan Ibu kamu sudah sepakat."

Gadis itu diam dan mendengarkan sembari menyuapi sang ibu. Ia tak mau menatap mata pria yang sudah ia anggap sebagai omnya sendiri. Sebenarnya ia tak mau merasa terintimidasi lagi, karena tatapan pria itu sangat mematikan untuknya. 

"Yang sepakat kan, Om sama Ibu. Bukan aku!" ucapnya ketus dengan wajah kesal. 

"Sebenarnya saya tak membutuhkan persetujuanmu. Karena Ibumu sudah memberikan restunya. Hanya saja saya tak mau menjadi pria jahat dengan tak mempertimbangkan jawaban yang kamu berikan. Kamu tahu sendiri saya pria seperti apa," ucap pria itu lagi. 

Gadis itu masih diam. Ia membersihkan sudut bibir sang ibu yang ada sisa makanan dengan lembut. Lalu menaruh mangkuk bekas makanan di meja yang ada di sebelah ranjang pasien. 

"Hara." Digenggamnya tangan putri kesayangannya itu. Ia menatap penuh harap. "Kamu tahu, kan Ibu bisa pergi kapan saja. Ibu tak ingin membiarkan kamu sendirian di dunia ini." Kali ini Mirna mencoba menggunakan cara yang lebih lembut. Karena berdebat tak akan membuahkan hasil. Jadi, menyentuh hatinya adalah cara yang mungkin ampuh. 

Hara tak menatap mata sang ibu yang tengah menatapnya. Ia memilih memandang gorden rumah sakit sembari menahan matanya yang sudah berkaca-kaca. Ia tidak suka situasi sekarang. Ia benci dengan fakta bahwa ibunya tak akan bertahan lebih lama. Ia juga kesal. Mengapa pria itu menyetujui, harusnya ia menolak. Lagipula pria mana yang mau menikahi gadis muda cengeng yang keras kepala. 

"Dengarkan Ibu, Sayang. Ibu mau kamu menikah dengan Om Ardhan. Ibu mengenalnya dengan baik. Dia akan menjaga dan menyayangimu. Dia tak akan membiarkanmu sendirian dan menderita. Ibu mohon, Hara." 

Wajah dengan kerutan di beberapa tempat itu kini menitikan air mata. Ia tak kuasa menahannya. Namun, dengan cepat juga ia mengusapnya. Mirna tak mau menangis di depan putri kesayangannya. Dalam hatinya ia merasa bersalah karena menggunakan cara ini agar putrinya mau menuruti permintaannya. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Refi Mariska
baru bab 1 dah seru
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik nih ceritanya.. pengen follow akun sosmed nya tp ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status