Suasana yang awalnya biasa saja menjadi berbeda bagi Hara. Entahlah, ada hal-hal baru yang ia sendiri bingung dalam menanggapi dan mencernanya. Apalagi tentang respon tubuh dan perasaannya. Ia hanya bisa merasakan dan belum mampu menjelaskan. Suara TV nampaknya kalah keras dibandingkan suara detak jantung Hara. Ardhan yang menyadarinya menahan tawa. Istri kecilnya sangat lucu. Padahal dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama, tetapi setelah menikah seperti orang asing saja. Dulu mereka banyak menghabiskan waktu sebagai om dan keponakan. Dulu rasanya nyaman-nyaman saja. Bahkan waktu kebersamaan mereka terasa cepat padahal sudah menghabiskan berjam-jam. Namun, sekarang semuanya berbeda. Entah hanya karena keadaan atau perasaan sudah naik tingkat menjadi rasa suka. Dengan ide jahilnya. Ardhan menggoda Hara. Ia mencodongkan badannya ke telinga Hara. "Hara, apa kamu mendengarnya?" tanya Ardhan sembari seperti mencari sesuatu. Dengan wajah polosnya. Hara mengerutkan dahi. Ia tak me
Ardhan yang merasa salah mencoba meminta maaf. "Maaf, Hara. Maafkan saya, saya tidak bermaksud demikian." Ucapan Ardhan dihiraukan Hara. Dengan rasa sakit akibat jatuh ke lantai. Ardhan mengejar Hara sampai ke kamar. Mendapati pintu yang tertutup Ardhan menduga bahwa Hara menguncinya. Saat mengetuk ternyata benar. Pintu itu dikunci dari dalam. Ardhan mencoba memikirkan cara yang pas agar Hara membukakan pintu, tetapi tak membuatnya tambah marah. Kemudian, sebuah ide cemerlang terlintas di kepalanya. Dengan senyum Ardhan membayangkan ide itu akan berhasil. Tok, tok. Ardhan mengetuk pintu diiringi suara dehamannya. "Hara, kenapa kamu kunci pintunya? Saya minta maaf Hara. Saya tidak bermaksud membuat kamu marah." Di dalam, Hara mendengkus mendengarnya. 'Apanya yang engga bermaksud buat aku marah. Jelas-jelas dia ngeledek. Mana ngeledeknya kesannya aku yang pengen banget dicium lagi. Salah sendiri sikapnya bikin pikiran ke mana-mana.' Hara mendiamkan Ardhan. Ia merasa kesal dan malu.
Ardhan bingung sesampainya di depan pintu kamar mereka. Suara tangis Hara membuatnya tak dapat berpikir dengan tenang. Khawatir dan cemas yang ia rasakan. "Hara, kamu tidak apa-apa di dalam? Tenang, Hara. Saya di sini, kamu tidak sendirian," ucap Ardhan mencoba menenangkan Hara karena ia tidak bisa masuk. Tidak ada pencahayaan untuknya bisa mencari kunci cadangan. Di dalam, Hara mencoba menenangkan dirinya setelah mendengar suara sang suami. Meskipun tadi ia marah, sekarang ada rasa sedikit lega karena ia tidak sendirian. Mencoba meredam suara tangis yang ia keluarkan karena tau ada orang yang mengkhawatirkannya di luar pintu. "Tenang, Hara. Jangan takut, saya di sini, " ucap Ardhan lagi, sebab Hara tak menjawab, hanya terdengar isak tangis dan sesenggukan. "Gelap, Om. Aku takut," ucap Hara lirih dengan isak tangis yang masih terdengar. Ardhan hanya bisa pasrah dan berharap listrik segera menyala. Dan benar, tak lama setelah itu listrik kembali menyala. Ardhan mengambil kunci
"Apa? Ibu mau aku menikah dengannya?" Pupil matanya membesar karena terkejut dan tidak percaya atas apa yang baru saja ia dengar. Bahkan ia tak habis pikir dengan permintaan aneh sang ibu yang tiba-tiba."Bu, aku sama dia beda tujuh belas tahun! Bagaimana kami bisa menikah? Terlebih aku sudah menganggapnya sebagai omku sendiri."Suara keras terdengar ke seluruh ruangan.Marah, kecewa, dan sedih menjadi satu. Kamar rawat inap yang kecil itu menangkap suara yang keluar dari mulut mungilnya. Sementara lawan bicaranya hanya memejamkan mata, menikmati setiap kemarahan putrinya. Karena putrinya berhak merasa begitu.Mencoba tidak terlihat lemah, sang ibu Kembali berkata, "apa salahnya? Dia baik untuk kamu. Dia dewasa, cocok untuk kamu yang masih kekanak-kanakan. Dia kaya, cocok untuk kita yang tidak memiliki apa-apa," ucap Mirna ketus. Terdengar decakan sebal dari bibir mungil merah muda itu. "Usia kami berbeda jauh, Bu. Mana mungkin kami bisa menikah?""Memangnya kenapa usia kalian? Hanya
Selesai mengucapkan hal itu, Hara tak sanggup menahan air matanya untuk tak tumpah. Kekesalahan tadi sinar, berganti dengan kesediyan. Dia memanglah gadis cengeng. Dengan kepekaan tingkat tinggi Ardhan langsung mengusap air mata itu. Hara masih memalingkan wajahnya, tak sanggup melihat ibunya juga menangis. Apa lagi itu karenanya.Mirna tersenyum melihat interaksi itu. Keperdulian Ardhan adalah salah satu alasan ia yakin Hara akan baik-baik saja bila bersamanya. "Lihatlah! Apa kamu tak merasakan kasih sayang Om Ardhan untukmu?"Saat menoleh mata keduanya bertemu. Netra cokelat milik Hara menatap lekat netra hitam elang milik Ardhan. Ia semakin menangis. Membuat Ardhan spontan memeluknya. Membiarkan Hara menangis di dada bidangnya yang terbalut stelan jas berwarna hitam."Ibu harap kamu tidak menolaknya. Ini permintaan terakhir Ibu, Sayang," ucapan Mirna membuat Hara menangis lebih kencang. Terlihat dari punggungnya yang bergetar dalam dekapan Ardhan.
Langit gelap mulai dipenuhi bintang. Hara yang akan ke rumah sakit terpaksa mau dijemput oleh Ardhan. Padahal, ia berniat menghindarinya sekarang. Setelah berdebatan panjang, kemenangan ada di pihak Ardhan. Sebab Hara hanya mengatakan alasan konyol yang tidak kuat dasarnya."Bisakah kamu memakai pakaian yang lebih tertutup, Hara?"Baru saja mobil berjalan, tetapi Ardhan sudah mengacaukan emosinya. Padahal ia memakai rok selutut dengan atasan baju panjang. Di mana sisi terbukanya? Bukankah roknya juga masih wajar? Bahkan pahanya sama sekali tak terlihat."Saya sudah memilih beberapa pasang gaun untuk pernikahan. Semoga saja ada yang kamu suka."Ardhan menyodorkan ponselnya. Hara hanya menatap dan tak mengambilnya."Untuk apa gaun pernikahan? Kita tidak akan menikah. Aku tidak setuju," ucapnya dengan nada kesal."Setuju atau tidak kita akan menikah, Hara. Itu kemauan ibumu. Jadi saya harap kamu bisa menjadi anak yang be
"Kamu sudah memilih gaun pernikahan?"Matahari baru beranjak keluar. Matanya baru terbuka, bahkan ia belum sempat mencuci wajahnya, tetapi sang ibu sudah melontarkan kalimat yang merusak pagi harinya.Hara membiarkannya. Ia memilih ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan mandi. Kemarin ia kembali malam hari setelah perdebatan panjang dengan Ardhan.Saat menggosok gigi, ia menyentuh bibirnya. Bibir yang sebelumnya suci, kini sudah terkotori. Meskipun itu hanya kecelakaan tetap saja sudah berciuman dan ia menikmatinya. Mengingat hal itu membuat perasaan Hara semakin kesal, bagaimana bisa ia menikmati hal itu.Memikirkan kejadian dan ucapan Ardhan memuatnya kesal dan malu. Ia menggelengkan kepalanya mengusir pemikiran itu. Memilih mencuci wajah dan mandi adalah hal terbaik.Saat keluar dari kamar mandi ia melihat sang ibu memegang ponselnya. Hal itu sudah biasa terjadi, tetapi entah perasaannya tak enak melihat sang ibu memegang
Awan mendung tengah menyelimuti Hara. Pagi ini dokter mengatakan kondisi sang ibu memburuk saat pemeriksaan pagi, karena hal itu ibunya perlu penanganan lebih serius. Ia menunggu di luar ruangan dengan cemas. Tak henti-hentinya bibir mungil itu merapal doa. Berharap sang ibu bisa bertahan lebih lama.Ia tak dapat berpikir jernih. Setelah mengirim pesan kepada Ardhan, ia menaruh ponselnya dan tak mengeceknya lagi. Hara butuh Ardhan sekarang. Ia butuh dada bidangnya untuk menangis.Suara-suara percakapan ia dan ibunya semalam terputar di otaknya. Apalagi senyuman sang ibu saat mengatakan bahagia akan melihat putrinya menikah.Suara pintu terbuka menyita perhatiannya. Langsung Hara berdiri dan menghampiri suster yang keluar. Ia tak mengatakan banyak hal, hanya memberi tahu bahwa sang ibu akan dipindahkan ke ruang ICU.Dokter serta suster lain keluar bersama sang ibu untuk dibawa ke ruang ICU. Saat melihat sang ibu, Hara langsung menan