Yara baru saja selesai berdandan. Ia merapikan rambutnya yang digerai sebahu, lalu mengambil tas dan kunci rumah. Sebelum keluar, sempat terlintas niat untuk menegur Bu Leha soal sikap Pak Budi semalam, tapi niat itu langsung menguap saat melihat Bu Leha sedang duduk bersama dua tetangga, sibuk bergosip dengan ekspresi antusias.Yara langsung mengurungkan niat. Ia tidak mau menimbulkan keributan atau membuat Bu Leha malu di depan orang lain."Eh, mau berangkat kerja, Mbak Yara?" sapa Bu Leha begitu melihatnya lewat.Yara menoleh sekilas, tersenyum sopan. "Iya, Bu. Permisi dulu, ya."Ia tidak berhenti lama. Langkahnya ringan meski hati masih menyisakan rasa tidak nyaman. Panggilan dari aplikasi ojol berbunyi — drivernya sudah tiba."Mbak Yara?""Iya, Mas. Ke Nathalie Clinic, ya.""Siap."Perjalanan hanya sekitar sepuluh menit. Setelah turun dan membayar sesuai tarif, Yara melangkah masuk ke klinik. Nathalie sudah berada di dalam, sedang mengecek daftar pasien dengan ekspresi fokus."Pa
Yara refleks menarik tubuhnya menjauh begitu ponsel Elvaro berdering. Ia cepat-cepat meraih selimut dan menutup tubuhnya, sementara Elvaro mengambil napas pelan sebelum menggeser ikon hijau di layar."Ya, Sayang?" suaranya berubah tenang, nada seorang ayah yang langsung siaga.Yara memperhatikan dari sela-sela selimut. Tatapan Elvaro langsung serius setelah mendengar suara di seberang."Oke, Papa pulang sekarang. Jangan takut, ya. Kunci pintunya rapat-rapat."Telepon ditutup. Keheningan sesaat menggantung di ruang sempit itu. Yara perlahan bangkit duduk, wajahnya menegang."Kenapa?" tanyanya hati-hati.Elvaro memasukkan napas berat. "Barusan di rumah… ada maling masuk. Satpam komplek yang nangkep."Yara mengernyit tak percaya. "Di komplek elit itu ada maling juga?""Entahlah, aneh banget." Elvaro sudah bangkit dari sofa, meraih kemejanya dan memakainya terburu. Gerakannya cepat, tangan sedikit gemetar—bukan karena takut, tapi karena panik ingin segera pulang."Runi gimana? Dia nggak a
Usai membeli hadiah untuk Arunika, Elvaro memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Sudah jelas, di sana ada Arunika. Ia tidak mungkin membawa Yara pulang bersamanya hanya untuk menimbulkan pertanyaan."Aku capek banget," keluh Yara begitu membuka pintu kontrakannya. Ia langsung menjatuhkan diri ke sofa, tangan mengurut betis yang pegal.Elvaro membawa masuk kantong belanjaan ke kamar, menaruhnya di samping ranjang, lalu menuju dapur. Kulkas ia buka, mengambil dua botol air mineral dan kembali ke ruang tengah."Minum dulu, Sayang," ucapnya sambil membukakan tutup botol.Yara menerimanya dan meneguk perlahan. Saat itu, Elvaro berjalan ke pintu dan menguncinya dari dalam.Tatapan Yara langsung menajam. "Mas, kamu nggak pulang? Kalau Runi nyariin gimana?"Elvaro duduk di sebelahnya, kemudian menyandarkan dagu di pundak Yara seolah enggan berjarak. "Aku nginep di sini malam ini. Nanti aku bilang ke Runi kalau aku nginep di kantor."Yara mengusap pipi Elvaro, ragu. "Apa kamu nggak k
“Mau apa, Lionel?” suara Yara terdengar ketus, dingin.Di seberang sana, Lionel menghela napas. “Mobil yang kamu tumpangi… kenapa berhenti di pinggir jalan?”Yara langsung menoleh ke kaca belakang, mencari keberadaan mobil Lionel. Elvaro ikut mengikuti arah pandangnya, sorot matanya langsung berubah tajam.“Kamu ngikutin aku?” nada suara Yara meninggi, penuh tidak percaya.“Enggak,” Lionel terdengar mengelak cepat. “Tadi aku mau putar balik, mau ngomong baik-baik sama kamu. Eh, kamu keburu masuk mobil duluan.”Yara mengepalkan tangannya. Kesal memuncak. “Maumu apa, sih, Lion! Kita udah putus. Aku gak peduli hidup kamu sekarang, jadi tolong—berhenti ngurusin aku!”Mobil Lionel terlihat berhenti beberapa meter di belakang mobil Elvaro. Jalannya sengaja pelan, seperti tak mau tertinggal.“Yar… please, kasih aku kesempatan kedua. Aku—”Yara langsung menekan tombol end call. “Sinting!” geramnya, melempar ponsel ke dalam tas.“Kenapa, sayang?” tanya Elvaro, ikut waspada.Yara menoleh, wajah
Yara baru saja selesai membereskan tasnya. Ia bersiap untuk pulang."Yara, jangan lupa periksa semua, lampu juga, ya," titah Dokter Nathalie sebelum melangkah keluar."Baik, Dok." Yara sempat melirik ke arah Nathalie yang sudah masuk ke dalam mobil mewahnya.Ia kembali memeriksa semua kabel, memastikan tidak ada yang tertinggal menyala sebelum mematikan lampu dan mengunci pintu klinik. Setelah itu, ia berjalan keluar, agak menjauh dari area klinik."Mau pulang, Mbak?" sapa Pak Tarjo, satpam yang berjaga di pos. Seperti biasa, ia menyelipkan basa-basi."Iya, Pak. Duluan, ya." Yara celingukan, mencari mobil Elvaro, lalu melirik jam di pergelangan tangannya.Namun semakin jauh ia melangkah, sosok yang ia tunggu tak juga muncul."Yara? Kamu di sini?"Yara hampir melompat kaget. Lionel baru saja keluar dari ATM di dekat minimarket.‘Mampus! Bisa bahaya kalau dia lihat aku sama papanya Runi.’ Yara menelan ludah. Wajahnya langsung pucat.Lionel mengernyit, memperhatikan ekspresi gugup Yara.
Yara bekerja dengan tekun. Hari ini klinik cukup ramai, beberapa pasien bahkan sudah membuat janji untuk esok hari. Meski lelah, ia tetap cekatan membantu di bagian administrasi.Saat jam istirahat tiba, Yara memilih menyendiri dan makan di restoran kecil tak jauh dari klinik. Rekannya memilih makan bersama pacarnya, jadi tak ada yang menemaninya.Baru saja ia hendak menyesap air putih, suara familiar memanggil.“Yara!”Yara menoleh dan langsung tersenyum saat melihat Dokter Nathalie mendekat.“Boleh saya gabung sama kamu?” tanya dokter itu ramah.“Tentu, Dok. Silakan.” Yara menggeser duduk, memberi ruang.Pesanannya belum datang, dan Dokter Nathalie langsung memanggil pelayan. “Steak ayam, minumnya orange jus, ya.” Setelah mencatat, pelayan pergi.Suasana sempat hening. Yara bukan tipe yang langsung akrab atau banyak bicara jika tidak ditanya.Dokter Nathalie menyandarkan tubuh, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Yara, kamu kayaknya dekat sekali ya sama Arunika?”Yara mengangguk sopan