“Mr. Alejandro!”
Mobil balap Alejandro menabrak pengaman di pinggir sirkuit, asap mengepul menutupi bagian depan dan belakang. Tanpa pikir panjang, Carlos dan Xaviera berlari sekencang-kencangnya menghampiri. Tak hanya mereka berdua, namun juga para staf datang sambil membawa berbagai peralatan. “Tolong jangan mendekat!” Salah satu staf dengan pakaian safety yang menutup tubuhnya, melebarkan tangannya ke samping, tak membiarkan Carlos dan Xaviera mendekati mobil. “Saya ingin melihat Mr. Alejandro.” Xaviera, yang wajahnya nampak sangat cemas dan takut, mencoba menerobos, namun lagi dan lagi langkahnya dihadang. “Saya mengerti dengan kekhawatiran kalian, tapi ini terlalu berbahaya. Biarkan kami yang mengurus masalah ini. Kalian tolong berdiri dengan jarak yang jauh!” Pria, yang wajahnya tertutup masker itu menggiring Carlos dan Alejandro ke pinggir sirkuit. “Dia benar. Terlalu beresiko jika kita nekat.” Carlos menyetujui ucapan pria itu. Melihat kepulan asap yang semakin banyak, ditambah adanya cairan yang mulai menetes dari bawah mobil, tentu Carlos mengerti bahaya yang bisa mereka dapatkan. Kini, Carlos dan Xaviera hanya bisa memperhatikan beberapa orang pria itu mencoba membuka pintu mobil yang entah mengapa terlihat begitu sulit. Suasana tegang pun semakin terasa di setiap detiknya, terlebih lagi kondisi mobil yang ringsek pada bagian depan. Hingga semua orang dibuat menahan napas mereka ketika pintu mobil tiba-tiba saja terbuka. Tak lama kemudian, sosok yang sejak tadi diharapkan kehadirannya, akhirnya menampakkan dirinya. Alejandro keluar dengan pakaian dan helm balap yang masih terpasang pada tubuhnya. Bruk! Alejandro melepaskan helmnya dan membanting alat pelindung kepala tersebut ke aspal. Rintik hujan membasahi kepala dan wajah Alejandro yang tegas seperti biasanya. Dada yang naik turun, menandakan Alejandro sedang mengatur napasnya yang terengah-engah. “Mr. Alejandro!” Carlos dan Xaviera dang kompak memanggil, lalu berlari menghampiri Alejandro. “Anda baik-baik saja?” Keduanya kembali menunjukkan kekompakan mereka. Alejandro tak menjawab, melainkan mencengkram pakaian Carlos dan sedikit mengangkatnya dari aspal. “Kau mau membunuh, hah?!” Wajah dan mata Alejandro terlihat merah, menandakan dirinya sedang marah. “Ti–tidak, Mr.” Saking takutnya Alejandro yang bisa saja mengambil nyawanya sewaktu-waktu, membuat Carlos sampai terbata-bata. “Kenapa kau tidak mengecek mobil ini sebelum aku pakai?” Masih di posisi yang sama, Alejandro kembali membentak Carlos, hingga Carlos reflek menutup matanya. “Sudah saya lakukan, Mr. Saya sudah mengecek seluruh bagian mobil, dan semuanya aman, tidak ada kekurangan apalagi rusak. Kecelakaan ini terjadi mungkin disebabkan karena aspal yang licin akibat hujan.” Alejandro mengalihkan satu tangannya pada leher Carlos, dan mencengkramnya hingga membuat Carlos kesulitan bernapas. “Jadi, kau mau menyalahkanku karena nekat drifting di tengah hujan seperti ini?” Meski nada bicara Alejandro tidak lagi sekencang sebelumnya, namun justru suara beratnya ini yang lenih menakutkan. “Ti–tidak, Mr. Sa–saya yang sa–salah.” Akibat lehernya yang masih dicekik, membuat suara Carlos serasa di ujung tenggorokan. Bugh! Alejandro bukan hanya melepaskan Carlos, namun juga membanting ke aspal pria yang sudah bekerja dengannya selama bertahun-tahun itu. Tanpa berucap apa pun lagi setelahnya, Alejandro berjalan meninggalkan Carlos yang sedang berusaha mengatur napasnya. “Kau baik-baik saja?” Xaviera menunduk, meletakkan satu tangannya pada bahu Carlos. Kekhawatiran jelas terlihat di matanya. “Aku baik. Jangan pedulikan aku! Lebih baik kau ikuti dia. Jangan sampai dia marah lagi dan berakhir melakukan hal yang sama padamu. Sana, pergilah!” Carlos melepaskan tangan Xaviera. Sejujurnya Xaviera ingin sekali menolong Carlos, setidaknya membawanya ke tempat berteduh. Namun, tolakan dan ucapan Carlos, membuatnya harus mengurungkan niatnya dan segera berlari mengikuti jejak Alejandro yang semakin jauh. Tanpa ada yang tahu bahwa kecelakaan itu hanyalah sandiwara Alejandro untuk membuat Xaviera berhenti mengobrol dengan Carlos. Meski yang Alejandro lakukan taruhannya adalah nyawa, namun ia cukup puas, karena rencananya berhasil. Xaviera, yang sibuk menyiapkan keperluan Alejandro, sampai melupakan tentang dirinya sendiri. Lihatlah pakaian dan rambutnya yang basah kuyup akibat kucuran hujan, tak ia hiraukan. “Nona, ini pakaian ganti untuk Anda.” Di tengah kesibukannya Xaviera mendengar suara pria. Sontak saja hal tersebut membuatnya langsung membalikkan badannya. “Di mana Mr. Alejandro?” tanya Xaviera, sambil mengulurkan tangannya. “Mr. Alejandro sedang berganti pakaian, Nona. Saya sarankan agar Anda juga segera berganti pakaian. Pakaian basah seperti itu tidak bagus untuk kesehatan Anda.” Xaviera menunduk, menyisir dirinya sendiri yang cukup berantakan. “Baiklah. Terima kasih. Jika nanti Mr. Alejandro sudah selesai dan mencariku, tolong katakan aku sedang berganti pakaian.” “Baik, Nona. Kalau begitu saya pergi.” Sepeninggalnya pria tersebut, Xaviera tak pergi ke tempat lain, melainkan memasuki sebuah ruang ganti yang masih berada di ruangan yang sama. “Ya Tuhan, bos-ku memang sangat menyusahkan.” Xaviera melepaskan pakaian basah yang melekat di tubuhnya sambil berucap kesal. Ceklek! Hingga tiba-tiba saja pintu terbuka. Keadaan Xaviera memang membelakangi pintu, namun ia belum sempat mengenakan sepotong pakaian pun, sehingga sontak saja membuatnya langsung menoleh ke belakang. Melihat Alejandro yang merupakan sosok pembuka pintu tersebut, membuat Xaviera berteriak kencang “Aakhh!” Suara melengking Xaviera memenuhi seisi ruangan. Dan detik itu pula Alejandro langsung menutup kembali pintu tersebut. Keterkejutan itu membuat Xaviera langsung terduduk di lantai sambil memegangi dadanya yang berdebar kencang. Pandangan Xaviera masih tertuju pada pintu. “Sial. Aku lupa mengunci pintu,” ucapnya kesal dengan kebodohannya sendiri. Buru-buru Xaviera mengenakan pakaian dan sepatunya. Baru saja melangkahkan kakinya keluar, Xaviera dibuat mematung di tempat, karena ternyata Alejandro tidak pergi seperti perkiraannya, melainkan tetap berada di sana. Bayangan kejadian sebelumnya membuat Xaviera menunduk malu, tak berani memandang wajah Alejandro. “Maaf.” Satu kata itu terucap dari bibir Alejandro, membuat Xaviera membelalakkan matanya tak percaya. Karena ini adalah kali pertama ia mendengar Alejandro berucap kata tersebut. “Aku sembarang membuka pintu. Aku tidak tahu kau ada di sana.” Xaviera memberanikan dirinya rinya mengangkat kepalanya. “I–iya, Mr. Saya mengerti.”“Kau semakin berani ya, Xaviera?” Alejandro berucap pelan, sambil dirinya bertumpu kedua tangannya. Tatapan Alejandro tertuju pada Xaviera yang terekam sedang berada di salah satu ruangan. “Kau tidak membalas pesan-ku, kau menolak telepon-ku, dan kau tidak mempedulikan ancaman-ku. Dari mana kau dapat keberanian sebesar itu, Xaviera?”Alejandro merasa kesal dengan tindakan yang Xaviera pilih. Alejandro paling tidak suka diabaikan, terlebih lagi oleh Xaveria, namun Xaviera justru melakukannya. “Mari kita lihat apa kau juga akan melakukan hal yang sama kali ini?” Alejandro, dengan seringai khasnya, mengambil selembar foto yang kemudian ia masukkan di dalam sebuah amplop putih beserta selembar kertas tulisan tangannya.Keluar meninggalkan ruangan kegemarannya, Alejandro menemui sopir pribadinya. “Antarkan ini. Ingat, kau hanya perlu meletakkannya di depan pintunya dan jangan sampai ada satu orang pun yang mengetahui kedatanganmu!”“Baik, Mr. Alejandro.” Pria berusia lanjut yang sudah be
Xaviera menutup matanya, menikmati kenyamanan yang disajikan untuknya. Bukan hanya karena udara pagi hari yang terasa menghangatkan tubuhnya, namun juga pelukan Gabriel yang sangat menenangkan. Saking nyaman dengan posisinya, Xaviera sampai menutup mata. Semua masalah dan beban berat yang akhir-akhir ini dipikulnya seorang diri, sejenak Xaviera lupakan. Di sana, di balkon kamar, hanya ada Gabriel dan Xaviera, ditemani dengan cinta yang setiap harinya semakin tumbuh. “Mi amor, ada yang ingin aku tanyakan padamu,” ujar Gabriel, sambil mengecup lembut dahi Xaviera. “Hem, tanyakanlah.” Xaviera memang merespon, namun tidak mengubah posisinya sedikit pun. “Ini tentang rencanamu yang ingin berhenti dari pekerjaanmu. Apa bos-mu itu setuju?” Padahal Xaviera berusaha sekuat tenaga melupakan nama Alejandro dan segala hal yang berhubungan dengannya, namun Gabriel justru bertanya. Terkejut, Xaviera sontak membuka matanya. “Apa ada kompensasi yang harus kau ganti karena melanggar kontra
Xaviera duduk memeluk lututnya seorang diri di kamarnya. Setelah siang tadi meninggalkan NOWZ COMPANY dengan tanpa memberikan Alejandro jawaban, Xaviera masih merenungi pilihan yang ditawarkan padanya. Tidak ada yang lebih baik dari kedua pilihan itu, keduanya sama-sama menjerumuskan dan menyakitkan Xaviera. Bingung, takut, cemas dirasakannya dalam waktu yang bersamaan. Xaviera tidak menyadari berapa lamanya ia diam seperti patung seperti itu. Bahkan hingga malam harinya ketika Gabriel pulang, kedua telinga Xaviera seperti tertutup, sehingga tidak mendengar seruan Gabriel. “Mi amor ...” Panggilan lembut dan usapan di kepala yang Gabriel lakukan, membuat Xaviera gelagapan. “Kenapa kau terkejut sekali? Seperti melihat hantu saja.” Gabriel terkekeh pelan karena respon Xaviera. “Atau jangan-jangan kau mengira aku hantu, ya? Mana ada hantu setampan diriku.” Gabriel kembali bergurau, namun Xaviera tetap pada diamnya. Bola mata Xaviera yang jernih bergerak mengikuti langkah Gab
Kedua netra Xaviera yang berkaca-kaca masih terpaku pada layar tablet Alejandro. Meski video tersebut minim penerangan, namun Xaviera sangat mengenali kamarnya, tata letak dan barang-barang di kamarnya. “Ke–kenapa Anda bisa ada di sana?” ujar Xaviera dengan suara bergetar. “Kau tidak mengingatnya, Xaviera?” Alejandro balik bertanya. Ekspresi Xaviera membuatnya tersenyum licik. “Anda hanya perlu menjawabnya! Kapan ini terjadi?” Sesaat Xaviera terdiam, mencoba mengingat kejadian tersebut. Xaviera mencoba menyangkalnya. Jangankan bercinta, Xaviera bahkan tidak memiliki perasaan sedikit pun untuk Alejandro. Bagaimanapun juga Xaviera selama ini menganggap Alejandro hanya sebagai atasannya. Namun video itu? Bagaimana mungkin bisa terjadi? Dalam hati Xaviera merutuki dirinya. Semakin lama menyaksikan video tersebut, membuat Xaviera merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. 'Bagaimana mungkin aku bisa bercinta dengannya, tapi aku sama sekali tidak mengingatnya.' Xaviera bergumam
Xaviera yang duduk di depan meja riasnya, tiada bosannya memandang pantulan wajah Gabriel dari kaca di depannya. Pria yang menyandang sebagai tunangannya itu dengan sangat perhatian membantu mengeringkan rambutnya. “Kenapa melihatku seperti itu, hm?” ujar Gabriel, tentu ia menyadari tatapan Xaviera dan baru berani bertanya sekarang. “Kenapa kau mencintaiku?” Bukannya menjawab, Xaviera justru memberikan pertanyaan lain, yang membuat tangan Gabriel seketika berhenti bergerak. “Pertanyaan macam apa itu?” Xaviera menggeleng pelan. “Aku hanya penasaran,” jawabnya dengan senyum yang tak lekang di wajah cantiknya. Gabriel meletakkan hairdryer yang sudah dimatikannya tersebut, lalu berlutut di hadapan Xaviera. “Aku tidak butuh alasan khusus untuk mencintai ciptaan Tuhan seindah dirimu.” Gabriel menatap mata Xaviera yang berbinar, penuh rasa penasaran yang tulus. “Setiap kali aku melihatmu, hatiku terasa hangat, seperti ada sinar matahari yang selalu mengikutiku,” ucap Gabriel dengan le
“Akh, kepalaku sakit.” Xaviera melenguh, tangannya merambat memijat pangkal hidungnya, berharap dapat mengurangi rasa tak nyaman yang menyerang kepalanya. “Gabi ...” Xaviera menatap pintu kamarnya, berharap dapat melihat sosok Gabriel di sana, namun pria itu tak menunjukkan tanda-tanda akan kembali. Ponselnya yang berbunyi menandakan panggilan masuk, memecah keheningan kamar. Buru-buru Xaviera mengambilnya. Melihat nama Gabriel tertera di sana, membuat sudut bibir Xaveria terangkat.“Halo, Sayang.” Xaviera menyapa gembira, namun yang terdengar dari ponselnya bukanlah suara hangat Gabriel yang amat sangat disukainya, melainkan suara bising hingga membuat telinganya berdengung.“Sayang, apa kau masih di tempat kerjamu?” Perlahan senyuman Xaviera menghilang, ketika Gabriel mengatakan ia tidak bisa pulang cepat, lantaran pekerjaannya membutuhkannya. Diam-diam Xaviera menoleh ke arah balkon, melihat langit yang sudah gelap. “Ya sudah, tidak masalah. Kau selesaikan saja pekerjaanmu. Fok