Ruth menelan salivanya dengan susah payah, terlalu tegang mengetahui sebuah fakta yang tidak mau ia percayai. Bagaimana bisa Max yang begitu dingin dan setia sampai tergoda oleh Jennifer? Selain itu, apa kurangnya Shada?Shada lebih cantik natural, karakter baik, pikiran selalu positif. Pokok Shada lebih baik dari Jennifer. Ya meskipun harus Ruth akui, ada sedikit kemiripan di antara keduanya yang belum bisa ia jelaskan. Selain warna mata mereka tentunya.Ruth langsung membeku dan merapatkan bibirnya selama rapat berlangsung. Oh, kenapa hanya dirinya saja yang tahu hal itu. Ruth jadi tertekan menyimpan rahasia besar seperti ini. Sialan.Ruth mengalihkan pandangannya, tak sudi melihat Max maupun Jennifer. Padahal di awal saja ia sudah sangat illfeel terhadap wanita ular tersebut. Sekarang lebih lagi. Ruth bahkan sudah hilang respect juga terhadap Max. Dasar lelaki bajingan! Umpat Ruth di dalam hati.Sesekali Ruth mencuri pandang ke arah Shada yang mendengarkan beberapa laporan dengan k
"Coba jelaskan padaku, apa yang sedang kau kerjakan ini?!" ujar Leo tajam kepada Shada yang berpaling menatap pria tersebut.Shada lalu berderap mendekat, memastikan apa yang dimaksudkan pria itu dengan menunjuk beberapa bagian dokumennya.Shada mengernyit tak mengerti. Bagian-bagian yang ditunjuk Leo tadi sudah ia teliti dan baca berkali-kali dengan baik. Shada berani menjamin bahwa tidak ada kesalahan apapun di bagian tersebut. Toh, Shada sudah membuat dokumen yang sama bukan hanya sekali atau dua kali."Maksud, Pak Leo apa?" tanya Shada bingung.Leo tertawa sinis sembari mengusap wajahnya frustasi. Sepertinya sekarang ia sedang tidak berbicara dengan karyawan lama, melainkan anak SD usia delapan tahun. Sementara Shada sudah mulai kesal karena sikap Leo seperti menyepelekannya."Biar coba saya periksa lagi," sanggah Shada setengah mendengus hendak mengambil kertas itu kembali. Namun justru dicegah oleh tangan kekar milik Leo."Sudah tidak perlu! Harusnya kau mengeceknya bahkan sebel
"Apa maksudmu?" Shada memutar tubuhnya dan menghadap penuh ke arah Ruth."Apa kaitannya Max dengan Jennifer?" Kedua mata cokelat gelap Shada mengerjap cepat. Rasa penasaran tiba-tiba menggerayanginya.Lagi-lagi Ruth menghela napas. Mendadak wanita itu kehilangan pasokan oksigennya, seakan sedang diserang asma. Ia lalu memegang kedua bahu Shada dengan yakin. "Ini demi kebaikanmu, Shada. Tapi ada sesuatu yang sulit dijelaskan terjadi di antara mereka berdua. Ada sesuatu yang tidak kau ketahui."Shada menatap skeptis wajah Ruth yang sangat serius. Bahkan kini kedua mata gelap wanita itu memerah serta berkaca-kaca.Ruth pasti tidak main-main. Batin Shada.Tetapi Shada lebih memilih menampiknya. Max tidak seburuk yang Ruth katakan. Ia lebih mengenal Max kurang lebih selama enam tahunan. Pria tersebut setia dan tak pernah berurusan dengan wanita lain selain dirinya. Kecuali Morris, tentunya.Shada menggeleng pelan seraya melipat kening. "Kau pasti salah, Ruth." Tatapannya tak percaya.Ruth
Bayangan seorang pria tampan nan gagah berkelebat di lokasi kecelakaan dimana dua mobil saling bertubrukan dengan dahsyat. Sementara, ia juga mendengar suara sirene keras dari mobil polisi juga ambulans yang saling bersahutan memekakkan telinganya.Ia sangat membenci betapa berisiknya suara sirene mobil. Kedua mata perunggu terangnya tertumbuk demi mengamati tingkat kerusakan pada mobil Shada. Ia mendengus, napasnya tercekat. Sangat disayangkan kenapa hal ini harus terjadi kepada Shada. Apalagi semalam ia tak bisa bertemu dengan wanita tersebut.Matanya lantas beralih kepada seorang pria bertopi dengan luka parah disekujur tubuh. Terutama pada kepalanya. Pria itu terpejam dan tangannya terkulai lemah saat petugas kesehatan memindahkannya ke dalam ambulans. Sudah dipastikan bahwa pria tersebut mati di tempat.Demian menghela napas berat. Untung, ia tak terlambat ke mari. Benturan di kepala Shada sudah banyak mengeluarkan darah. Beruntung mobil pria tadi menabrak bagian belakang mobil S
Udara malam yang begitu dingin tergantikan oleh hangatnya cahaya matahari yang menyiram lembut salah satu wilayah administratif di Ontario, Kanada ini.Max mengerjapkan kedua mata lantaran sinar yang menelisik lewat jendela besar di ruangan tersebut. Ia mendongak lalu tampaklah Shada yang tersenyum ke arahnya."Akhirnya.. kau sudah bangun," ujar Shada santai kepada Max. Max membuang napas kasar, lantas menggerutu."Seharusnya aku yang berbicara seperti itu. Aku sangat mengkhawatirkanmu, tahu."Shada semakin tersenyum lebar tatkala melihat Max menekuk wajahnya. Ingin sekali ia mencubit bibir itu. Seperkian detik berikutnya ia sadar, kemudian mengernyitkan dahi."Lo, sudah jam berapa ini sekarang? Kau tidak berangkat kerja?" Shada menatap Max heran. Sementara Max meregangkan tubuhnya seraya menampilkan ekspresi santai."Tenang, hari ini aku akan menjagamu penuh. Jangan protes," sergah Max sebelum Shada sempat menolak dengan keras kepala.Shada mendengus. Ia jadi merasa merepotkan Max ka
"Shada kau kenapa?!" Demian mendongak melihat Shada yang sudah merah padam.Shada terdiam. Ia menggeretakkan giginya. "Kau yang kenapa! Jangan memaksaku melakukan hal tidak aku inginkan, aku sedang tidak nafsu makan buah!" elaknya membuang muka kembali.Demian tertegun. Sepertinya masa depan yang ia lihat beberapa waktu kemaren menjadi kenyataan."Begitu saja kau marah padaku. Apa beneran itu yang membuatmu marah?" Demian mengangkat tangan dan bahunya. Ia tidak ingin ribut di rumah sakit, tetapi situasinya sudah berbeda."Begitu saja?" pekik Shada mendelik setelah menghadap Demian. "Hah! Kau memang tidak pernah merasa bersalah! Kau sempurna!"Shada tertawa dan kesal di waktu yang sama. Tidak menyangka atas respon pria itu. Demian mengusap rambut gelapnya frustasi. Ia menghela napas kasar, berusaha mengendalikan emosinya."Shada, itu tidak masuk akal. Kau tiba-tiba marah padaku seperti ini. Apa yang terjadi?" Demian bingung. Ia mengamati Shada demi mengetahui isi pikirannya. Namun sia-s
"Shada!" teriak seseorang setelah mendorong pintu lantas menatap kondisi Shada terkini.Nampan yang terbalik, mangkok serta beberapa wadah yang terlihat retak karena terbuat dari keramik poles putih murni. Di lantai berceceran potongan buah yang menempel warna merah sampai kekuningan.Terdapat juga air bening yang telah bercampur warna dengan sari buah yang menggenang. Diduga itu adalah air minum yang belum sempat tersentuh Shada sama sekali. Bekas makanan seperti bubur juga ikut menodai ubin rumah sakit kala itu.Tak hanya itu saja, bahkan keadaan brankar Shada pun ikut berantakan. Tak terkecuali paras cantik Shada yang terlihat sembap, semrawut dan kusut."Shada! Ya ampun! Apa yang terjadi padamu?" pekik Ruth. Ia segera berlari menuju Shada setelah menutup pintu.Wajah Shada sedang memerah. Kedua matanya masih menyisakan air mata di pelupuk. Bahkan kini semakin berkaca-kaca ketika melihat Ruth kemari.Tak menjawab apapun dari pertanyaan Ruth, tangis Shada tumpah lagi. Sontak Ruth la
"Apa? Kau mau tinggal di sini?"Ellene bertolak pinggang di tengah posisinya yang masih berdiri menghadap Demian yang tidur di sofa dengan santai. Pria tersebut sedang membaca buku tentang sinergi bisnis yang tebal. Sementara Ellene menatapnya tak percaya.Di sisi sebelah kiri Ellene juga berdiri Mike yang mengunyah giat chicken cone yang berada di tangannya. Terlihat saus yang menempel di sudut bibir Mike.Demian mendengus. Ia menutup bukunya kemudian menengok ke atas, ke arah Ellene tanpa mengubah posisi rebahnya."Kau keberatan, Mom?" tanyanya dengan tatapan dingin.Ellene memutar mata lalu mulai menurunkan pelan kedua tangannya. Setelah itu mendadak ekspresinya berubah menjadi kegirangan. Ellene mendekat lantas menekan kedua pipi Demian menggunakan tangannya."Oh.. tentu tidak, Anakku. Kau bisa sepuasnya tidur di sini. Ini rumahmu!" pekik Ellene dengan tawa yang bersamaan. Wajahnya gemas saat mencubiti Demian.Demian mengerang, sedikit menggelinjang karena memberontak kemudian seg