"Yang tadi itu … orang yang seharusnya bertanggung jawab atas dari bayi kamu?" Pria yang duduk di sebelah Alisha akhirnya bersuara juga setelah berdeham beberapa kali.Alisha yang sedang menatap nanar jendela pesawat di sebelahnya langsung menoleh. Karena sepanjang waktu tadi yang ia tahu Danesh sedang memejamkan mata tanpa berminat bersuara. Wajar, kalau Alisha sedikit terkejut pria kaku yang pernah mencegahnya melakukan percobaan bunuh diri ini malah mengajaknya berbicara."Ap- apa? ehm ... gimana maksudnya, Mas?" "Pemuda yang tadi itu, ayahnya kan?" Kali ini ekor mata Danesh melirik sekilas ke arah perut Alisha."Itu... hmm, itu, aku nggak mau jawab!" Alisha memilih acuh saja. Memilih diam itu hak prerogatifnya kan?Danesh yang hari ini mengenakan kaos causal berwarna navy hanya mengangguk samar. "Disayangkan sekali kalau memang benar pria tadi yang menyebabkan kamu frustasi dan kabur-kaburan seperti ini."Kening Alisha kembali berkerut. "Maksudnya, Mas?""Selama
"Aku janji kita akan menikah, aku akan tanggung jawab sepenuhnya."Arya berdecak frustrasi kala mengingat janji yang ia lemparkan pada sang kekasih di bawah naungan birahi. Malam itu Arya memang menjual janji akan menikahi Alisha, tapi tentu saja bukan saat ini waktunya. Masih banyak tanggung jawab lain yang harus ia tuntaskan terlebih dahulu pada kedua orangtua yang sudah banyak menaruh harapan padanya."Elo mau ngelamun sampe kiamat, Nja?" teguran dari Irawan membuat Arya mendongak seketika. 'Nja' adalah panggilan kecil dari kedua kakak Arya yang berarti 'Manja', sesuai dengan sikap si bungsu yang menurutnya sangat di luar nalar karena terlalu dimanja oleh kedua orangtua mereka."Sialan!""Itu koper di depan lo nggak akan ke isi penuh kalau lo lihatin terus, bego! buruan beresin, biar dibawa Ghidan."Keberangkatan Arya ke New York semakin dekat, namun pemuda itu sengaja mengulur waktu dengan memberi berbagai alasan agar ia bisa sedikit lebih lama tinggal di tanah air
"Maya, please..."Alisha mendesah panjang, tak tahu lagi harus membujuk Maya dengan cara apalagi agar sahabatnya ini bersedia menuruti pintanya.“Gue janji ini yang terakhir," sambung Alisha mengeratkan genggaman tangannya pada Maya."Ya masa elo minta gue bohong ke orang tua sih?! Pamali itu, dosa besar!" Maya bersedekap saat menatap heran ke arah Alisha yang penampilannya hari ini tampak semakin kacau."Kan ke orang tua gue, May. Bukan ke orang tua lo," Alisha mengguncang lengan Maya dengan raut wajah putus asa. "Please ya, cuma elo temen gue yang dikenal sama Ayah sama Mas Angga. Cepat atau lambat mereka pasti akan nyari gue kalau gue nggak pulang."Alisha meminta bertemu dengan Maya di salah satu cafe yang baru buka di belakang hutan kota. Maya menyanggupi karena ia pun mulai jengah dengan sahabatnya yang satu ini karena sering menghilang, sulit dihubungi bahkan tak nampak batang hidungnya di kelas perkuliahan."Gimana ya?" sejujurnya Maya enggan mengabulkan, tapi
"Dek, kok sampe malem?"Sebenarnya Arya sudah dihantam lelah yang teramat sangat setelah seharian ini menyetir pulang pergi ke Banten. Namun sapaan lembut dari perempuan yang telah melahirkannya tak bisa ia abaikan begitu saja."Dari rumah temen, Ma." Arya berjalan mendekati Hanami yang sedang duduk menyantap makan malam di ruang makan. "Kalau capek nggak perlu nunggu aku, Ma. Aku bukan anak kecil lagi.""Mama nggak tenang kalau belum ketemu sama si bontotnya mama ini!" Hanami tersenyum lebar saat mengacak rambut tebal putranya. "Udah makan?""Udah." Satu potong roti dan satu kaleng minuman soda sudah termasuk makan kan? Entahlah, karena memang pikiran kalut Arya belakangan ini membuatnya tak bisa memikirkan rasa lapar dahaga."Yaah, padahal mama bawain bandeng presto kesukaan kamu lho, Chef Marlon yang masakin," balas Hanami dengan wajah ditekuk.Kalau sudah begini, bagaimana bisa Arya melewatkan kesempatan untuk mengundang senyum di wajah sang mama."Wah, kalau bandeng presto sih, p
“Danesh, tanya bentar deh sini,” panggil Iin pada sang adik yang tengah sibuk menekuri gambar rancangannya di atas meja besar.“Apaan?” tanya pria itu tanpa perlu repot menoleh.Iin memutar bola matanya ke atas. “Kamu tahu kalau … dia sedang hamil?”“Hamil?” Danesh terbebelak sekejap lalu menggeleng pelan.Iin menurunkan pundaknya lemas. “Tadi siang aku antar dia periksa ke Dokter Yunika.”“Ngapain?” Danesh yang tadinya tak terlalu fokus kini langsung mengubah posisi duduk hingga berhadapan dengan sang kakak. Berita sepenting ini harus ia dengarkan dengan seksama.“Ya buat periksain kanduangannya lah, masa mau diilangin. Ya memang sih, awalnya aku ragu, karena ngira Alisha bakal ngegugurin kandungannya. Soalnya sepanjang perjalanan dia nggak berhenti nangis . Syukurlah ternyata dia nggak berpikiran seperti it—”“Stop, stop… maksudku tuh, ngapain dia minta tolong ke Mbak Iin segala? kayak nggak ada orang lain aja. Keluarga atau siapanya gitu.” Danesh mulai merasa ada yang aneh dengan
“Sha? elo ke mana aja? gila, Arya sama gengnya ngerusuh gue terus,” sambut Maya terhenyak ketika melihat Alisha ada di depan kamar kost-nya. “May, wawancaranya nanti aja bisa? sekarang gue butuh bantuan!” Alisha memang tak berniat menjawab pertanyaan Maya. Jadi ia langsung saja mendorong pintu kamar Maya dan duduk di tepian ranjang sahabatnya itu. “Bantuan apa? elo ribut sama Arya?” Alisha menggeleng, masih enggan mendengar semua hal yang berkaitan dengan Arya. “Gue pinjem baju gih, lengkap! Kapan-kapan gue ceritain semuanya.” “Aneh lo, Sha!” Maya hanya mengernyit singkat lalu gegas membuka lemari hendak mencarikan baju untuk sahabatnya. “Elo nggak balik ke apartment?” “Kalau gue balik ke apartment, ngapain juga gue ngerusuh elo, May?” Sejujurnya Alisha masih sangat lelah, tapi jika tak menjawab Maya, gadis itu akan terus mencecarnya dengan pertanyaan lanjutan. “Kal